Minggu, 28 September 2014 0 Messages

GAS BERACUN



Alhamdulillah, setelah menuntaskan orderan undangan barusan, menjelang mandi sore, ingin menuliskan ini.....

*****
 "Kami berpencar dan tidak mengetahui nasib masing-masing. Hamba sudah berusaha menyusur lokasi-lokasi yang kemungkinan menjadi tempat persembunyian pemimpin dan rakyat lainnya. Namun tak seorang pun ada disana."
Ia terdiam sejenak sembari menahan air yang hendak meluncur dari biji matanya. Lalu melanjutkan, "hamba berfirasat, hambalah satu-satunya warga negara selatan yang selamat dari gas beracun tersebut Yang Mulia."
Sang pemimpin negara Utara menyimak penuturan sosok di hadapannya. Beberapa kali mengangguk dan menyeka matanya, bertanda simpati.
Sunyi menjadi jeda diantara mereka di ruang utama istana. Pemimpin utara menggeser dudukannya.
"Bagaimana menurutmu tangan kanan?"
Ia akan mempertimbangkan usulan tangan kanannya. Meski sejatinya pilihan telahpun dibuatnya. Tak ada cara lain selain mengungsi ke tempat yang lebih aman. Untuk sementara sampai situasi memungkinkan kembali lagi kesini.
"Kita belum mengetahui secara pasti seperti apa keadaan dilapangan, Yang Mulia. Bisa saja apa yang kita dengar sekarang ini taklah separah faktanya."
Ia menarik nafas dan dengan agak dag-dig-dug menyampaikan sarannya. "Menurut hamba, alangkah baiknya kita menunggu barang sehari dua Yang Mulia. Atau sampai situasi di negara Selatan kita ketahui secara detail. Jika Yang Mulia menitahkan, hamba akan mengutus beberapa pengawal pergi kesana."
Masuk akal juga, pikir pemimpin negara Utara.
"Tapi yang mulia...." secara lancang rakyat biasa sebagai pelapor tadi mencoba meyakinkan. "Maafkan hamba Yang Mulia, tetapi keadaan sekarang ini sudah teramat genting. Hamba hanya tidak ingin negara Utara ini lenyap seperti negara kami."
Sang Tangan Kanan merasa dongkol mendengar penyanggahan tersebut. Padahal ini adalah kesempatan emas untuk menggeser kedudukan pemimpin Negara Utara. Ia tahu, akibat yang disebabkan oleh gas beracun tersebut. Nyawa, itulah dia. Ia sengaja untuk menunda-nunda pemimpin mengungsi. Agar ketika gas beracun sudah memasuki gerbang perbatasan, sang pemimpin sudah tidak punya waktu untuk melarikan diri. Dirinya? jauh-jauh hari harus sudah mencari tempat persembunyian yang aman.
"Kamu boleh pergi."
Raja ingin membuat keputusan sendiri dengan tangan kanannya. Rakyat negara Selatan yang sudah lemah di papah untuk keluar.
"Baiklah, kita tunggu situasi dan tetap bertahan disini untuk sementara waktu. Tapi ingatkan seluruh negara agar tetap waspada."
"Junjung perintah Yang Mulia."

*****
 Sementara itu gas beracun semakin menghampiri perbatasan antara negara Selatan dan Utara. Rakyat telah bergelimpangan tak bernyawa.
Alarm raksasa berdentang keras memekikkan sesisi negara. Rakyat panik seketika, gas beracun telah menjalar di desa pertama di perbatasan. Tanpa menunggu waktu lama, rakyat yang menghirup udara tersebut nahas. Sang Pemimpin dan aparat kalut serta panik. Terutama sang Pemimpin negara Utara, disamping mengkhawatirkan keselamatan keluarga, ia juga tersiksa membayangkan kematian rakyatnya secara mendadak.
"Cepat Yang Mulia, kita tidak punya banyak waktu. " Sang Tangan Kanan menuntun pemimpin dan keluarga menuju tempat persembunyian 'palsu'. Yang ia ketahui sendiri tidak bakal menyelamatkan dari gas beracun. Ia berniat, ditengah perjalanan kelak, ia akan memisahkan diri. Menuju jalurnya sendiri.
Ia tersenyum sinis tanpa seorangpun tahu.
Dan plaakkkkk
"Yo, bassar lalu nyamok tok."
Tangan Kanan tewas ditangan wanita gendut yang dengan asyik menyaksikan proses Fogging dari rumah ke rumah. Tiga setelah ini, adalah rumahnya.....

Jumat, 26 September 2014 0 Messages

KAKEK ITU



Kumal dan dekil.
Tak ada beda seperti pertama kali mengenal beliau. Bukan, bukan. Bukan mengenal, tetapi berinteraksi dengan beliau.
Kala itu, beliau menunggu di simpang tiga menuju Senyawan dan melambaikan tangan pada siapa saja. Termasuk aku, yang saat melintas di hadapannya.
"Nak kemane, ki?"
Beliau adalah lelaki paruh baya berusia, barangkali sekitar tujuh puluhan. Jalannya tak lagi tegap dan dipaksa-paksa. Boleh jadi, melihatnya, kamu akan bersimpati.
Kakek tersebut mengatakan ingin menumpang. Minta dihantarkan ke sebuah kampung yang letaknya cukup jauh. "Ketinggalan oto..." demikian beliau beralasan.
Aku percaya, namun tak bisa memberikan bantuan. Maaf.
.........
Itu telah berhari-hari sebelumnya ketika aku melihatnya lagi di area sekitar. Baju yang sama, topi yang sama, kumal dan dekilnya. Menenteng beberapa kantong plastik juga. Berjalan dengan badan tak lagi tegap sembari melihat kiri-kanan, entah apa maksudnya.
"Nek aki iye...." tukasku dalam hati.
.........
Dan itu pun berhari-hari terlewati. Hingga jawaban atas siapa kakek itu sebenarnya terkuak juga.
Hari ini, Jum'at barokah, pada saat kami memacu kendaraan menuju masjid besar Tumuk untuk shalat Jum'at.
Masih baju yang sama, topi yang sama, kumal dan dekilnya. Beliau bersimpuh letih di pinggir jalan, tepat dibawah naungan pohon rindang. Tangannya tak terulur, tetapi ada sebuah wadah kecil plastik dihadapannya. Uang dua ribu beberapa lembar dan uang recehan teronggok di dalam sana.
Oh, rupanya....
Sayang teramat sayang. Bukan cara beliau mengais rupiah yang disayangkan. Saat khatib naik mimbar, azan berkumandang, dan khutbah dibacakan, beliau tetap bersimpuh di tempatnya.
.........
Di simpang tiga menuju Senyawan, beliau kembali berdiri dan melambaikan tangan. Berharap kebaikan seseorang memberikannya tumpangan. Tak tahulah apa alasan yang bakal beliau lontarkan.

*Aki = kakek

Selasa, 16 September 2014 0 Messages

OH MALAYSIA

Deja vu. Tak pernah ia sangka ketika harus mengulang lagi. Menyerah pada nasib, merantau ke luar negeri, negeri Jiran Malaysia. Seharusnya itu menyenangkan jika tujuannya jalan-jalan, liburan, dan bersenang-senang semata. Nyatanya TIDAK!

Dan kali ini jelas-jelas berbeda. Status suami cuma tinggal catatan di Kartu Keluarga saja. Lelaki itu lenyap tanpa jejak. Tiada nafkah bahkan sejak dua tahun lamanya. Makanya, mau tidak mau, demi semata wayang hasil dari pernikahan mereka, bocah perempuan berusia empat tahun, ia mesti mendulang ringgit ke sana. Duh, Malaysia, kalau lah boleh memilih, tak ingin dirinya meninggalkan orang-orang yang dicintainya.

Tanpa menahan-nahan air mata yang mengalir deras, berkali-kali di peluk-ciuminya bocah perempuannya. Tiada kata-kata, karena sepertinya ikatan batin punya cara tersendiri berbicara. Sang bocah hanya terdiam dan heran.

"Ma, aku minta belikan sepatu ya."

Semakin menohok hingga ulu hati. Sekali lagi, cuma peluk-cium ia berikan sebagai jawaban. Dan stok air matanya seolah tak habis-habis meski ia tahu, kinilah saatnya harus berangkat segera.

Dua tas besar telah siap sejak semalam, yang bakal menemani perjalannya ke negeri orang. Sanak keluarga berkumpul di ruang tengah, ingin sekedar mengucapkan selamat jalan. Tak lepas tentunya, menghatur doa agar selamat sampai tujuan hingga pulang kembali ke kampung halaman.

Dua tahun. Wanita itu menghela nafas dalam. Ia berharap rentang waktu tersebut tidak mengubah apa-apa, kecuali kehidupan yang lebih baik. Tetapi tetap saja, sulit baginya tuk tidak khawatir dengan kondisi psikologis sang anak. Jangan-jangan, saat ia pulang kesini lagi, ikatan anak-ibu memudar, lalu tak bersisa sedikitpun.
Selasa, 02 September 2014 0 Messages

Nanny Mencari Alamat Palsu


Berhari-hari, seingat Soe sejak hari itu hingga dalam minggu kemarin, Nanny tetap mencari. Teriakannya nyaring, nyaring sekali. Kalau tidak berlebihanlah ya, kamu yang mendengarnya akan merasa 'agak' miris.

Bermula, berminggu-minggu yang silam, dan begini ceritanya......
...........
Apa tidaknya, sepulangnya dari kampung halaman, Soe mendapati tiga anak Nanny menyebar kotoran di ruang tamu. Alias ruang kerja Soe sendiri. Takkan pula, baru datang mesti mengurus yang demikian lagi. Huh...

Timbul rasa geram juga dibuatnya.

Sebelum pulang kampung, Soe telah memasukkan Nanny beserta satu anaknya yang berhasil ditangkap ke dalam kardus. Untuk dikeluarkan selama ia pergi. Tetapi dua ekor lainnya mengumpat semakin dalam dan jauh ke bawah tangga. Bergabung dengan tumpukan kardus. Demi, demi menjangkaunya harus bongkar itu tumpukan? Tidak lah. Soe menyerah setelah mencoba berulang-ulang kali mengumpan agar mereka keluar.

Jadilah Nanny dan tiga anaknya, dengan berat hati tetap berada di rumah.

Kembali ke awal.
Beruntung belum ada konsumen yang datang ke Sentras kala itu. Soe berkutat dengan cepat dan jengah, membersihkan buangan tiga anak Nanny. Nanny, sewaktu ditinggalkan, entah dari mana ia keluar rumah tapi sampai Soe datang, ia tak bisa masuk lagi. Pintar sekali!

Sementara  Soe sibuk, Nanny menyusui ketiga anaknya yang teramat sangat lapar.

Tuntas!
Namun masih menyisakan nada-nada kedongkolan di hati. Bagaimana ya caranya agar ini tak terulang lagi?

Baiklah, konsumen pun datang, dan Soe lupa sejenak permasalahannya.

Beberapa jam kemudian.
Eh, bara geram masih ada rupanya. Ketika tiga anak Nanny bermain-main, Soe menyuruhnya masuk lagi ke bawah tangga. Terdengar kejam, bukan? Dan Soe menyesal setelah semuanya terlanjur terjadi.

Tiga anak Nanny ketakutan, berlari menuju 'rumah' mereka. Di bawah tangga. Nanny hanya mengerjapkan mata. Itu terus berulang beberapa kali. Sampai.....

Ini teramat...ah sudahlah.

Nanny menjemur diri di muka pintu belakang. Anaknya yang sudahpun kenyang berlari-lari di sekitarnya. Soe pun dengan teganya menutup pintu. Yang berakibat menggeser tubuh Nanny ke luar rumah. Dua anaknya berlari ke 'rumah' mereka.

Pintu tetap tertutup. Nanny memanggil anaknya. Soe bekerja keras menangkap mereka tadi. Dan berhasil! Mengeluarkan mereka kesemuanya, merapatkan pintu dapur lagi.

Padahal Soe tidak benar-benar ingin "mengusir" mereka.

Inilah awal pencarian alamat palsu Nanny.

Tak lama setelah kejadian itu, Nanny dengan santainya melenggang masuk dari pintu depan tanpa ketiga anaknya. Ia terus melangkah menuju dapur. Soe yakin, buah hatinya masih ada di balik pintu dapur.

Nanny meringkuk di lantai kisaran setengah jam-an begitu. Lalu, ia pun keluar lagi.
Soe tidak tahu apa yang terjadi setelahnya.

Saat siang bertandang, Nanny sendiri saja. Sore pun tak beda. Hingga keesokan harinya dan esok-esoknya lagi, Nanny tetap sendiri saja. Kemana anak-anaknya?

Kupikir hijrah ke rumah tetangga lantaran merasa terusir. Soe tanya kesana, jawaban mereka, "sean" alias "tidak ada". Soe barangkali bertanya pada penghuni rumah yang salah, yang tak tahu keberadaan anak kucing tersebut.

Nanny mengunjungi rumah tetangga. Ah, barangkali, pikir Soe, memang di rumah itu.
Hari berganti hari. Nanny mulai memanggil-manggil anak-anaknya. Setiap kali naik ke rumah, arah bawah tangga lah ia mengeraskan suara. Soe membayangkan keajaiban, tiga anak kucing keluar dari sana. Nyatanya, KOSONG.

Nanny meraung-raung lagi. Bila kau mendengarnya, barangkali akan terharu.

Soe bertanya lagi ke tetangga kiri kanan, barangkali anaknya Nanny ada di rumah mereka. Tetap sama.  Mereka, menghilang tanpa jejak. 
 
;