Alhamdulillah, setelah menuntaskan orderan undangan barusan, menjelang mandi sore, ingin menuliskan ini.....
*****
"Kami berpencar dan tidak mengetahui nasib masing-masing. Hamba sudah berusaha menyusur lokasi-lokasi yang kemungkinan menjadi tempat persembunyian pemimpin dan rakyat lainnya. Namun tak seorang pun ada disana."
Ia terdiam sejenak sembari menahan air yang hendak meluncur dari biji matanya. Lalu melanjutkan, "hamba berfirasat, hambalah satu-satunya warga negara selatan yang selamat dari gas beracun tersebut Yang Mulia."
Sang pemimpin negara Utara menyimak penuturan sosok di hadapannya. Beberapa kali mengangguk dan menyeka matanya, bertanda simpati.
Sunyi menjadi jeda diantara mereka di ruang utama istana. Pemimpin utara menggeser dudukannya.
"Bagaimana menurutmu tangan kanan?"
Ia akan mempertimbangkan usulan tangan kanannya. Meski sejatinya pilihan telahpun dibuatnya. Tak ada cara lain selain mengungsi ke tempat yang lebih aman. Untuk sementara sampai situasi memungkinkan kembali lagi kesini.
"Kita belum mengetahui secara pasti seperti apa keadaan dilapangan, Yang Mulia. Bisa saja apa yang kita dengar sekarang ini taklah separah faktanya."
Ia menarik nafas dan dengan agak dag-dig-dug menyampaikan sarannya. "Menurut hamba, alangkah baiknya kita menunggu barang sehari dua Yang Mulia. Atau sampai situasi di negara Selatan kita ketahui secara detail. Jika Yang Mulia menitahkan, hamba akan mengutus beberapa pengawal pergi kesana."
Masuk akal juga, pikir pemimpin negara Utara.
"Tapi yang mulia...." secara lancang rakyat biasa sebagai pelapor tadi mencoba meyakinkan. "Maafkan hamba Yang Mulia, tetapi keadaan sekarang ini sudah teramat genting. Hamba hanya tidak ingin negara Utara ini lenyap seperti negara kami."
Sang Tangan Kanan merasa dongkol mendengar penyanggahan tersebut. Padahal ini adalah kesempatan emas untuk menggeser kedudukan pemimpin Negara Utara. Ia tahu, akibat yang disebabkan oleh gas beracun tersebut. Nyawa, itulah dia. Ia sengaja untuk menunda-nunda pemimpin mengungsi. Agar ketika gas beracun sudah memasuki gerbang perbatasan, sang pemimpin sudah tidak punya waktu untuk melarikan diri. Dirinya? jauh-jauh hari harus sudah mencari tempat persembunyian yang aman.
"Kamu boleh pergi."
Raja ingin membuat keputusan sendiri dengan tangan kanannya. Rakyat negara Selatan yang sudah lemah di papah untuk keluar.
"Baiklah, kita tunggu situasi dan tetap bertahan disini untuk sementara waktu. Tapi ingatkan seluruh negara agar tetap waspada."
"Junjung perintah Yang Mulia."
*****
Sementara itu gas beracun semakin menghampiri perbatasan antara negara Selatan dan Utara. Rakyat telah bergelimpangan tak bernyawa.
Alarm raksasa berdentang keras memekikkan sesisi negara. Rakyat panik seketika, gas beracun telah menjalar di desa pertama di perbatasan. Tanpa menunggu waktu lama, rakyat yang menghirup udara tersebut nahas. Sang Pemimpin dan aparat kalut serta panik. Terutama sang Pemimpin negara Utara, disamping mengkhawatirkan keselamatan keluarga, ia juga tersiksa membayangkan kematian rakyatnya secara mendadak.
"Cepat Yang Mulia, kita tidak punya banyak waktu. " Sang Tangan Kanan menuntun pemimpin dan keluarga menuju tempat persembunyian 'palsu'. Yang ia ketahui sendiri tidak bakal menyelamatkan dari gas beracun. Ia berniat, ditengah perjalanan kelak, ia akan memisahkan diri. Menuju jalurnya sendiri.
Ia tersenyum sinis tanpa seorangpun tahu.
Dan plaakkkkk
"Yo, bassar lalu nyamok tok."
Tangan Kanan tewas ditangan wanita gendut yang dengan asyik menyaksikan proses Fogging dari rumah ke rumah. Tiga setelah ini, adalah rumahnya.....