Kalau kemarin aku bercerita pada pak Soe tentang galau yang sedang melanda, namun sekarang rasanya begitu konyol dibuatnya. Tidak perlu vaksin khusus ternyata untuk menolak virus tersebut. Semuanya ada pada pemikiran kita. Dan Alhamdulillah, aku berhasil. Bagiku memasak adalah jurus ampuh agar pemikiran menyesatkan itu menguap. Suara gorengan, desisan api berwarna biru, kepulan asap dan aroma yang menyengat hidung. Semuanya menjadikanku lebih bahagia.
Tulisan ini rampung beberapa bulan silam. Fiktif belaka pak Soe!
Kejam nian kau Julaiha. Setelah
menghempaskanku hingga berkeping-keping, tanjidormu pula hampir membuat
telingaku pecah. Ditambah lagi mereka yang berduyun-duyun datang dan turut
senang atas pernikahanmu hari ini. Itu, itu hampir membuatku gila. Atau kau
memang menginginkanku mati berdiri saja. Aduh, malang benar nasibku ini.
.............
Lima langkah dari
rumah. Karena itulah aku sangat mengenal Julaiha. Dari masih ingusan sampai
saat ini, ketika ia jelas sanggup memusnahkan hidupku. Dulunya, selalu saja
bersama-sama. Mencebur ke parit dengan anak-anak lainnya juga. Jangan salah, senyumnya
mengembang sembilan sentimeter saat ku katakan mencintainya.
Semuanya berubah ketika
kami menginjak remaja sampai kedewasaan tiba. Bukan persahabatannya, tapi
cintanya. Padahal, andaikan dia tahu, aku sama sekali tidak berubah. Tak
setitik pun dan sampai kapanpun.
Hingga akhirnya, datang
teman kuliahnya. Langsung meminta Julaiha. Padahal ia baru pertama kali datang
ke kampung ini. Lancang sekali melangkahiku. Pemuda itu berjenggot tipis.
Sebenarnya tak ingin mengakuinya, tapi ia benar-benar cocok dengan Julaiha yang
cantik rupawan dan berjilbab. Tidak sepertiku, cermin bahkan hampir rontok
ketika aku berdiri menghadapnya.
Sebaiknya aku mencari
kapas untuk menyumpal dua lubang telingaku. Sebuah slayer juga untuk menutupi
penglihatanku. Sayangnya, kedua benda itu tidak ada dikamar.
Hari
ini akan mengulitiku sedikit demi sedikit. Dari hati hingga pori-poriku. Aw…sakit!
Bantal
di kasur melambai-lambai ke arahku. “Tepat!” tukasku membatin. Benda bersarung
hijau tua itu menjawab segalanya. “Kau benda yang paling baik di dunia ini,”
kataku sendirian. Aku tahu, ia disana tengah menjawab, “itulah gunanya teman.”
Tak
ada lagi Julaiha dan tanjidor sumbangnya. Kalau saja…
………..
“Kau
datang pada orang yang tepat,” Dr. Mock memasang peralatannya di jidatku. “Kau
lihat lampu itu? Artinya masalahmu sudah sangat kritis. Untung kau datang lebih
cepat,” katanya menjelaskan kebingunganku.
Lampu
itu berwarna hijau, kuning, oranye, dan merah. Dan ketika Dr. Mock berbicara
tadi, lampu oranye yang menyala. “Seperti traffic
lamp,” kataku.
Aku
dan Dr. Mock duduk saling membelakangi. Aku hanya menatap dinding dimana
lampu-lampu tadi bertengger. Sementara lelaki berkacamata itu tengah menghadap
ke sebuah layar yang cukup besar. Seperti televisi lima puluh inci saja.
Karena
aku tidak bisa melihat langsung apa yang benar-benar tengah dilakukannya,
makanya aku hanya bisa menebak. Mungkin ia tengah memindai isi kepalaku ke
dalam program komputerisasi yang telah diciptakannya. Paling tidak seperti
itulah pembuka perbicangan kami di awal pertemuan tadi.
“Menurutmu,
kenapa gadis itu sampai tega menolakmu?”
Aku
tetap tidak tahu pastinya apa yang tengah dilakukannya dibelakangku.
“Entahlah,”
Jawabku singkat.
Dr.
Mock berjalan di mukaku. Membetulkan alat yang ditempelkannya tadi. Sepertinya
letakknya belum betul. “Itu mustahil,” katanya heran.
“Baiklah,
beritahu aku kenapa Julaiha harus menerimamu?”
Pertanyaan
yang mudah sekaligus sulit. Bagaimana menjawabnya ya? Aku mengerutkan kening.
“Kata teman-temanku, aku hanya punya satu kekurangan dan dua kelebihan.”
“Menarik.
Apa itu?”
Dr.
Mock kembali mengambil posisi dibelakangku. Kayaknya dia tengah duduk dengan
serius.
“Kurang
muka,” aku terdiam sesaat. “Lebih pesek hidungku dan lebih panjang gigi
depanku.”
“Mengenali
diri sendiri itu hal yang bagus, anak muda,” suara Dr. Mock terdengar getir.
Kemudian ia mengetik sesuatu. “Lalu bagaimana dengan ‘kanker’ yang kau derita?”
“Itu
penyakit turunan dari nenek moyangku mungkin. Sayangnya semua wanita, kupikir,
mempermasalahkan yang satu itu.”
Dr.
Mock mengutarakan kata sepakatnya tentang permasalahan yang terakhir itu. “Siap?”
tanyanya kemudian.
“Jadi,
ini sama sekali tiada hubungannya dengan kanker,” tanggapan pertama Dr. Mock
setelah mendengar ceritaku.
“Kalau
yang itu aku masih sangsi sebenarnya. Tapi kalau Julaiha tidak mata duitan,
pasti orang tuanyalah yang menyarankan agar memilih pasangan berduit. Tidak
yang kantongnya super kering sepertiku. Apalagi bisanya cuma mengandalkan uang
pensiun ayah untuk bertahan hidup,” kilahku.
Aku
melanjutkan bercerita tentang hari-hari penuh harapan menjelang kelulusan
Julaiha. Memang kuliah di kota berbeda, namun gadis itu selalu mengabariku
perihal pendidikannya. Motifnya yang menjadi pertanyaanku, sebagai kawan atau
sebagai calon suami. Sekarang aku baru sadar, yang pertamalah jawabannya.
Aku
mendesah menutup cerita. Ku harap Dr. Mock melakukan hal yang sama. Rupanya
tidak, percuma saja cuap-cuap panjang lebar kalau ternyata ia kebelakang. Lalu,
menyodoriku sebuah gelas panas berisi kopi kental. Ku ambil dan uapnya
berjejalan masuk ke rongga hidungku seketika.
“Tentu
haus. Silakan,” Lelaki yang memberi gelar dokter pada dirinya sendiri itu juga
menyeruput kopi buatannya.
“Sentuhan
terakhir,” katanya. Terdengar suara kursi ditarik. Menandakan ia kini tidak
lagi keluyuran seperti tadi.
“Dr.
Mock,” kataku tertahan. “Apakah kau juga menyediakan jasa bedah plastik atau
semacamnya?”
Tak ada salahnya kan bertanya. Penghapus
memori otak saja ia temukan, apalagi yang memang sudah ada didunia ini. Ia
tinggal memodifikasi sedikit saja. Mudahkan.
“Untuk
yang satu kekurangan dan dua kelebihan tadi.” Tambahkan memperjelas maksud.
Bodoh
sekali aku ini. Kalau memang ia punya, bagaimana mungkin wajahnya lebih jelek
dariku. Tunggu dulu, dokter kan tidak bisa mengoperasi dirinya sendiri.
Sepertinya ia perlu seorang asisten kalau memang alatnya tersedia.
Dalam
hitungan tiga puluh detik, jeda kesunyian diantara kami.
“Orang
tidak akan menghargai kita, kalau kita membenci diri sendiri,” ucapnya tegas.
“Pesek, jongos, atau apapun istilahnya itu, adalah pemberian Yang Maha Kuasa.”
Aku
tercenung.
“Laila
menuntut rasa percaya diriku. Bukan harta melimpah. Waktu itu, aku merasa
seperti pungguk. Sedangkan gadis itu kuanggap rembulan di langit malam. Seandainya
saja aku memahami ini lebih awal, Laila tidak mungkin marah padaku. Nyatanya
suaminya kini lebih jelek daripadaku.”
Dr.
Mock menghentak-hentakkan jemarinya dengan keras diatas tuts. Terhenti sejenak, lalu terdengar keras lagi. Barangkali
ungkapan emosinya. Atau otaknya juga perlu di install ulang, sepertinya.
Bagaimana
ia bisa mendengar suara hatiku. “Oh, jangan!” teriaknya kemudian. Tempat
duduknya berdecit. Dr. Mock mendekatiku dengan muka cemas.
“Kau
ingat siapa namamu?”
“Laila.”
Beberapa
pulau terbentuk di atas bantal. Mungkin ini petunjuk, dimana bisa menemukan Dr.
Mock sesungguhnya. Atau tidak sama sekali. Aku tak mau gara-gara lelaki itu,
aku harus berganti nama. Dari Suparman menjadi Laila. Meskipun akibat kesalahan
teknis.
Ibu
berang di depan pintu kamar. Mendapati anaknya tidak tahu diri. Tidur
seeanaknya sementara tetangganya menggelar acara. “Iya, ya,” tukasku sebal. Aku
mandi sekenanya. Berpakaian, lalu bergabung dengan mereka menyukseskan acara
pernikahan ‘teman’ku.
Dr. Mock benar. Harus
apa adanya.
Ah, Julaiha.