Rabu, 27 Februari 2013 0 Messages

Lost One Day

Senja Merah di dua puluh tujuh Februari dua ribu tiga belas. Berbalut gerimis menemani azan maghrib bergema. Esok jika masih ada, adalah ending bulan ini. Waktu, pantas nian berlalu. 

Mengingat dua puluh delapan adalah tanggal penghabisan Februari tahun ini, bergegaslah aku berkendara menuju PLN Wilayah Sambas. Udah tanggal gini? he..he...biasa aja kali. Tapi ada kemajuan, bulan lalu justru sekitar tanggal 29 baru bayar listrik. 

Catatan penting disini bukan tentang tanggal muda atau tua, waktunya yang terasa cepat. 

Balik ke waktu lagi, tapi kali ini yang ku maksudkan adalah 'hari'. Tenyata Rabu! Wow...Padahal aku menyangka hari ini adalah selasa. Kamis itu giliran mengambil e-ktp di kampung. Maka, rencananya besok (dikira rabu) siang baru pulkam. Eh, ternyata besok sudah hari H-nya. Gawat-gawat. 

Koq bisa ya. Padahal ketika berdebat kecil-kecilan tadi sore dengan cik Herzi bahwa menurutku hari ini adalah selasa. Beliau kukuh mengatakan Rabu. Hayo siapa yang benar? Jelas saja beliau yang benar, wong kepala sekolah koq. Hanya 'pengangguran' seperti diriku ini yang tak terlalu pandai menghitung hari. 

Memastikan aku yang salah, ku rogoh HP di saku celana. Barangkali tanggal dan hari di HP lagi sangsot. Benar rupanya, Wed-27-02-2013. Wednesday itu Selasa apa Rabu ya? Selasa itu Tuesday. Alamak, ape nak jadi. Ape nak jadi, belom tue dah lupa hari. 

Runut punya runut, akar permasalahannya terletak pada persepsi yang tersimpan di memori otakku. Patokan yang kupakai, entah bagaimana, adikku libur karena kelas III tryout itu mulai Senin. Padahal mereka libur mulai hari Selasa. Senin masih masuk sekolah. Memang jarang-jarang mulai libur hari itu, terlebih jarang lagi mulai tryout hari setelah Senin. 

He..he...kata temans kuliah dulu "Jangan salahkan ibu mengandung". Memang tak salah kan. Selain dari itu semua, alhamdulillah masih diingatkan bahwa esok hari Kamis. 
Minggu, 10 Februari 2013 0 Messages

Awalnya Panas, tapi Ujungnya Sedih ya

          Kalau dengar orang marah itu biasanya telinga kita itu merah ya. Tapi tidak bagiku ketika pak Soe tiba-tiba muncul dan menyemburkan 'nasehatnya'. Telingaku cuma melar seperti punyanya gajah. Satu sisi ada benarnya juga sih ucapannya. Jeda hampir satu bulan lamanya tidak ada entry yang ku buat. Padahal sudah letih ia memintaku untuk menggantikan posisinya sementara. Letih? Tak segitunya kali. Memangnya siapa dia menyuruh-nyuruh!
            Saat aku mengatakan 'tidak ada mood menulis', marahnya semakin menjadi. Apa-Hubungannya??, katanya. Jelas ada lah. HA ditolak dan HO diterima. Dengan demikian, disimpulkan bahwa terdapat hubungan erat antara mood dan kuantitas tulisan. (mmm..sok pandai mata kuliah statistik segala).
             Panjang lebar ia mencopot, eh maksudku mengambil setumpuk nama penulis-penulis hebat. Dalam dan luar negeri, wak. Berikut dengan kiat beserta motivasi mereka dalam menulis. Intinya, kata mood hanyalah sebuah kata yang tersampir di kamus bahasa Inggris. Tidak pada otak mereka dalam hal menulis. Mereka menarikan jemari-jemarinya dengan penuh kedisiplinan. Suka tidak suka. Sibuk tidak sibuk. 
       Ah, kalau itu aku juga tahu, Pak Soe. Beberapa buku dan artikel yang pernah ku baca juga mengungkapkan hal serupa. Kau tahu, ketika aku berucap demikian, semakin kuyup pendengaranku dengan hujan kemurkaannya. Uhh...
            Makanya, sekarang aku coba untuk, memakai istilah yang 'Partai Penguasa' di negeri ini menyebutkan solusi bagi internal mereka, RESTRUKTURISASI. Sewaktu kuliah dulu, aku sangat bingung dengan kata itu. Apa itu artinya. Ternyata simpel, barang itu adalah bla..bla...blaa (lihat jendela sebelah, ada mbah google tu). mulai mendisiplinkan diri untuk rutin menulis lagi.
            Beberapa entri sempat dituliskan sebagai update sebenarnya. Salah satunya ingin menceritakan petualanganku bersama John Smith keliling hampir seluruh dunia. Amerika, London, Italia hingga Rusia. Lewat "Cassandra Compact", karyanya Robert Ludlum. Bersama sang pahlawan menyelamatkan negeri untuk mencegah menyebarnya virus yang sangat mematikan bernama Cacar Air. Untungnya kami berhasil.
            Juga terpikir untuk menulis cerpen dalam perjalanan PP Pontianak-Sambas beberapa waktu silam. Berkat penundaan yang terus-menerus, sense menuliskannya menguap dengan perlahan. Padahal cukup unik temanya. Nantilah, kalau rajin. 
         
         Aku merasa sedikit bangga jika Pak Soe begitu ngototnya muncul hanya untuk meneriaki kelakuanku. Ternyata tidak! Katanya sekedar kebetulan ia ingin menyampaikan bahwa putri bungsunya, Andira, ibunya Ahmad ( masih ingat, kan?) sudah keluar dari rumah sakit. Namun, sayang dengan bayinya yang ditabungkan. Hanya singgah sejenak saja untuk menatap dunia. Itupun sebatas dinding kaca yang dilihatnya. Tanya Ahmad ketika menyaksikan adik kecilnya di timbun dengan tanah basah, "kek, apakah adik akan baik-baik saja?"
"Ya, adikmu akan sangat baik-baik saja disana," jawab pak Soe.
         Dari suaranya, teman tuaku itu terdengar mencoba untuk kelihatan tegar. Dengan secepatnya ia berusaha untuk pergi. Bahkan sepertinya enggan menerima ucapan belasungkawa dariku.    T_T
         

Kamis, 07 Februari 2013 0 Messages

Tikus Saving Money

Adikku kehilangan duit, meskipun jumlahnya tak banyak. Dirumah kame' ni cuma dua orang jak. Aku dan adikku itulah. 

Suspect jatuh pada orang ke tige. Makhluk yang selalu bergerilya kalau kame' dah tidok. Gila gak tu. Tikus tahun 2013 pun dah pandai nak saving money. Entah tuk ape jak tu. Masa depan anak cucunye kali be. 
"Cobe cek di belakang lemari," kataku pada adik. 

Benar wak. Di situ rupenye bank-nye. Tak ada kasir ataupun CS. Lembaran duit tu teselip-selip. Adikku lega mendapatkan duitnye agek. 

Moge jak tak ngamok tikus tu ye. Kalau ngamok, tak kasih racun baru tahu. Oh, selalu jak lupe nak belikan racun tikus tiap balik kampong. 
0 Messages

Ah, Virus itu cuma mengada-ada...Kalau kau tahu Julaiha

             Kalau kemarin aku bercerita pada pak Soe tentang galau yang sedang melanda, namun sekarang rasanya begitu konyol dibuatnya. Tidak perlu vaksin khusus ternyata untuk menolak virus tersebut. Semuanya ada pada pemikiran kita. Dan Alhamdulillah, aku berhasil. Bagiku memasak adalah jurus ampuh agar pemikiran menyesatkan itu menguap. Suara gorengan, desisan api berwarna biru, kepulan asap dan aroma yang menyengat hidung. Semuanya menjadikanku lebih bahagia.

Tulisan ini rampung beberapa bulan silam. Fiktif belaka pak Soe!


            Kejam nian kau Julaiha. Setelah menghempaskanku hingga berkeping-keping, tanjidormu pula hampir membuat telingaku pecah. Ditambah lagi mereka yang berduyun-duyun datang dan turut senang atas pernikahanmu hari ini. Itu, itu hampir membuatku gila. Atau kau memang menginginkanku mati berdiri saja. Aduh, malang benar nasibku ini. 
.............
            Lima langkah dari rumah. Karena itulah aku sangat mengenal Julaiha. Dari masih ingusan sampai saat ini, ketika ia jelas sanggup memusnahkan hidupku. Dulunya, selalu saja bersama-sama. Mencebur ke parit dengan anak-anak lainnya juga. Jangan salah, senyumnya mengembang sembilan sentimeter saat ku katakan mencintainya.
Semuanya berubah ketika kami menginjak remaja sampai kedewasaan tiba. Bukan persahabatannya, tapi cintanya. Padahal, andaikan dia tahu, aku sama sekali tidak berubah. Tak setitik pun dan sampai kapanpun.
Hingga akhirnya, datang teman kuliahnya. Langsung meminta Julaiha. Padahal ia baru pertama kali datang ke kampung ini. Lancang sekali melangkahiku. Pemuda itu berjenggot tipis. Sebenarnya tak ingin mengakuinya, tapi ia benar-benar cocok dengan Julaiha yang cantik rupawan dan berjilbab. Tidak sepertiku, cermin bahkan hampir rontok ketika aku berdiri menghadapnya.
Sebaiknya aku mencari kapas untuk menyumpal dua lubang telingaku. Sebuah slayer juga untuk menutupi penglihatanku. Sayangnya, kedua benda itu tidak ada dikamar.
            Hari ini akan mengulitiku sedikit demi sedikit. Dari hati hingga pori-poriku.  Aw…sakit!
            Bantal di kasur melambai-lambai ke arahku. “Tepat!” tukasku membatin. Benda bersarung hijau tua itu menjawab segalanya. “Kau benda yang paling baik di dunia ini,” kataku sendirian. Aku tahu, ia disana tengah menjawab, “itulah gunanya teman.”
            Tak ada lagi Julaiha dan tanjidor sumbangnya. Kalau saja…
………..
            “Kau datang pada orang yang tepat,” Dr. Mock memasang peralatannya di jidatku. “Kau lihat lampu itu? Artinya masalahmu sudah sangat kritis. Untung kau datang lebih cepat,” katanya menjelaskan kebingunganku.
            Lampu itu berwarna hijau, kuning, oranye, dan merah. Dan ketika Dr. Mock berbicara tadi, lampu oranye yang menyala. “Seperti traffic lamp,” kataku.
            Aku dan Dr. Mock duduk saling membelakangi. Aku hanya menatap dinding dimana lampu-lampu tadi bertengger. Sementara lelaki berkacamata itu tengah menghadap ke sebuah layar yang cukup besar. Seperti televisi lima puluh inci saja.
            Karena aku tidak bisa melihat langsung apa yang benar-benar tengah dilakukannya, makanya aku hanya bisa menebak. Mungkin ia tengah memindai isi kepalaku ke dalam program komputerisasi yang telah diciptakannya. Paling tidak seperti itulah pembuka perbicangan kami di awal pertemuan tadi.
            “Menurutmu, kenapa gadis itu sampai tega menolakmu?”
            Aku tetap tidak tahu pastinya apa yang tengah dilakukannya dibelakangku.
            “Entahlah,” Jawabku singkat.
            Dr. Mock berjalan di mukaku. Membetulkan alat yang ditempelkannya tadi. Sepertinya letakknya belum betul. “Itu mustahil,” katanya heran.
            “Baiklah, beritahu aku kenapa Julaiha harus menerimamu?”
            Pertanyaan yang mudah sekaligus sulit. Bagaimana menjawabnya ya? Aku mengerutkan kening. “Kata teman-temanku, aku hanya punya satu kekurangan dan dua kelebihan.”
            “Menarik. Apa itu?”
            Dr. Mock kembali mengambil posisi dibelakangku. Kayaknya dia tengah duduk dengan serius.
            “Kurang muka,” aku terdiam sesaat. “Lebih pesek hidungku dan lebih panjang gigi depanku.”
            “Mengenali diri sendiri itu hal yang bagus, anak muda,” suara Dr. Mock terdengar getir. Kemudian ia mengetik sesuatu. “Lalu bagaimana dengan ‘kanker’ yang kau derita?”
            “Itu penyakit turunan dari nenek moyangku mungkin. Sayangnya semua wanita, kupikir, mempermasalahkan yang satu itu.”
            Dr. Mock mengutarakan kata sepakatnya tentang permasalahan yang terakhir itu. “Siap?” tanyanya kemudian.

            “Jadi, ini sama sekali tiada hubungannya dengan kanker,” tanggapan pertama Dr. Mock setelah mendengar ceritaku.
            “Kalau yang itu aku masih sangsi sebenarnya. Tapi kalau Julaiha tidak mata duitan, pasti orang tuanyalah yang menyarankan agar memilih pasangan berduit. Tidak yang kantongnya super kering sepertiku. Apalagi bisanya cuma mengandalkan uang pensiun ayah untuk bertahan hidup,” kilahku.
            Aku melanjutkan bercerita tentang hari-hari penuh harapan menjelang kelulusan Julaiha. Memang kuliah di kota berbeda, namun gadis itu selalu mengabariku perihal pendidikannya. Motifnya yang menjadi pertanyaanku, sebagai kawan atau sebagai calon suami. Sekarang aku baru sadar, yang pertamalah jawabannya.
            Aku mendesah menutup cerita. Ku harap Dr. Mock melakukan hal yang sama. Rupanya tidak, percuma saja cuap-cuap panjang lebar kalau ternyata ia kebelakang. Lalu, menyodoriku sebuah gelas panas berisi kopi kental. Ku ambil dan uapnya berjejalan masuk ke rongga hidungku seketika.
            “Tentu haus. Silakan,” Lelaki yang memberi gelar dokter pada dirinya sendiri itu juga menyeruput kopi buatannya.
            “Sentuhan terakhir,” katanya. Terdengar suara kursi ditarik. Menandakan ia kini tidak lagi keluyuran seperti tadi.
            “Dr. Mock,” kataku tertahan. “Apakah kau juga menyediakan jasa bedah plastik atau semacamnya?”
             Tak ada salahnya kan bertanya. Penghapus memori otak saja ia temukan, apalagi yang memang sudah ada didunia ini. Ia tinggal memodifikasi sedikit saja. Mudahkan.
            “Untuk yang satu kekurangan dan dua kelebihan tadi.” Tambahkan memperjelas maksud.
            Bodoh sekali aku ini. Kalau memang ia punya, bagaimana mungkin wajahnya lebih jelek dariku. Tunggu dulu, dokter kan tidak bisa mengoperasi dirinya sendiri. Sepertinya ia perlu seorang asisten kalau memang alatnya tersedia.
            Dalam hitungan tiga puluh detik, jeda kesunyian diantara kami.
            “Orang tidak akan menghargai kita, kalau kita membenci diri sendiri,” ucapnya tegas. “Pesek, jongos, atau apapun istilahnya itu, adalah pemberian Yang Maha Kuasa.”
            Aku tercenung.
            “Laila menuntut rasa percaya diriku. Bukan harta melimpah. Waktu itu, aku merasa seperti pungguk. Sedangkan gadis itu kuanggap rembulan di langit malam. Seandainya saja aku memahami ini lebih awal, Laila tidak mungkin marah padaku. Nyatanya suaminya kini lebih jelek daripadaku.”
            Dr. Mock menghentak-hentakkan jemarinya dengan keras diatas tuts. Terhenti sejenak, lalu terdengar keras lagi. Barangkali ungkapan emosinya. Atau otaknya juga perlu di install ulang, sepertinya.   
            Bagaimana ia bisa mendengar suara hatiku. “Oh, jangan!” teriaknya kemudian. Tempat duduknya berdecit. Dr. Mock mendekatiku dengan muka cemas.
            “Kau ingat siapa namamu?”
            “Laila.”

            Beberapa pulau terbentuk di atas bantal. Mungkin ini petunjuk, dimana bisa menemukan Dr. Mock sesungguhnya. Atau tidak sama sekali. Aku tak mau gara-gara lelaki itu, aku harus berganti nama. Dari Suparman menjadi Laila. Meskipun akibat kesalahan teknis.
            Ibu berang di depan pintu kamar. Mendapati anaknya tidak tahu diri. Tidur seeanaknya sementara tetangganya menggelar acara. “Iya, ya,” tukasku sebal. Aku mandi sekenanya. Berpakaian, lalu bergabung dengan mereka menyukseskan acara pernikahan ‘teman’ku.
Dr. Mock benar. Harus apa adanya.
Ah, Julaiha.


 
;