Minggu, 19 Januari 2014 0 Messages

Dora, Mau Kemana Kita?

We did it - we did it - we did it
DORA, mau kemana kita?
PUSARA CINTA
Jangan Dora, itu cerita lama!


We did it - we did it - we did it
DORA, mau kemana kita?
LANGIT CINTA
Belum Dora, itu masa depan!


We did it - we did it - we did it
Sekarang DORA, mau kemana kita.............?
PEMILIK CINTA
Benar, kita akan kesana!
Jumat, 17 Januari 2014 0 Messages

Cinta, Kapan Kau Datang?

Cinta, kapan kau datang?
Kok tak mengabari sebelumnya?
Aku belum sempat cuci muka, mandi pagi, dan tidur lagi.

Cinta, kapan kau datang?
Sudah lama menunggu ya?
Ya, minta maaf deh. Kan aku harus jahit baju dulu atau pura-pura sakit di kamar.

Cinta.....kapan kau datang?!
Napa diam saja sih?
Tahu lah. Sekarang kita sama-sama gemetaran. Namun tolong jawab pertanyaanku.

Cinta, kapan kau datang?
Mmmm....apa aku silap kata?
Barangkali ini yang benar

Cinta......
Katakan kepadaku,
Bagaimana mestinya aku menyambutmu?

Kamis, 16 Januari 2014 0 Messages

Aku Memilih Setia

Emmm...tujuh tahun kebersamaan, kau masih meragu ya? Sejak pagi tadi kamu ngambek terus dan tak mau bicara sepatah katapun. Oke, baiklah. Kita usut dan tuntaskan segera. Masalah diantara kita berdua harus clear. Se...karang!

= Ke masa silam =
Siap? Aku sebenarnya malas. Tapi masa depan menggerayangi pelupuk mata. Bayangan kedua orang tua melihatku mengenakan toga, menjadi penyemangat. Kau, tanpa letih menemaniku di kamar empat kali tiga. Belum lagi, menjelang akhir kelulusan, atap kamar selalu bocor saat hujan lebat. Rela aku berkorban melindungimu terkena air.

Bergadang kita hampir setiap malam. Menuntaskan salah satu yang paling menyesakkan dalam hidup, Skripsi. Senyummu tetap mengembang. Kau, masih juga bertahan denganku. Tak jarang sampai menjelang satu dini hari, baru kita terlelap bersama. Menjadikan tubuhmu lebih sering demam dibuatnya. Kau mengatakan, "aku tidak apa-apa. Demi masa depanmu." Uh...menyentuh sekali kedengarannya.

Saat kelulusan pun sudah ditangan, kita tak terpisahkan jua. Aku pulang kampung, kau kubawa serta. Dan akhirnya, kita merintis Sentras bareng mulai tahun 2012.
............

Aku memilih setia, bukanlah lagunya Fatin SL. Walaupun si Oren ada, kau selalu menjadi yang utama. Kita belum memetik banyak kesuksesan. Sentras, masih perlu bantuanmu. Banyaaaak. Sekali lagi, perlu banyak bantuanmu.

Kompu, bicaralah. Masih ada tugas yang mesti kita kerjakan nih. Ayo, hiduplah.
............

Kukira monitor yang punya masalah. Setelah di lepas hubungan langsung ke CPU, monitor menunjukkan ia baik-baik saja. Jadi CPU yang berulah. Baiklah, giliranmu CPU. Mau dirumah sakitkan?. Tapi sebelum itu, biar saya cek dulu. Ohh...ini sih mungkin.....? entahlah.

Aku lepaskan RAM dari tempat asalnya, dan pasang lagi. Owowo...ada kemajuan. Kompu bernyawa lagi. Eitttss tunggu-tunggu. Ada yang nyendat. Kompu bernyawa tapi tak bernafas. Dengan kata lain, belum bisa dioperasikan.

Ingat, masalah kita belum kelar. Jeda shalat Jum'at dulu lah, baru kita bicara panjang lebar lagi. Ram yang tadinya cuma satu, aku tambah lagi dengan Ram cadangan. Apa tidak meledak ya? Masih saja sama. Tekan delete, lalu masuk ini, masuk itu.....tarrraaa...Alhamdulillah berhasil.

Kita, masih berteman kan Kompu. Ayo, SEMANGKA! (Semangat karena Allah)
Jumat, 10 Januari 2014 0 Messages

Rumah Kosong ( ngrrrrr......... )

"Ah, serius!"
ilustrasi
Arul merangsek ke belakang. Padahal kami sama sekali belum melihat rumah yang dimaksud.
"Kenapa sih!" Bentakku pada Arul.
Yadi memastikan ucapannya. "Sudah ditinggal oleh sepasang penghuninya sejak hampir dua tahun lalu. Suaminya meninggal mendadak dan istrinya menyusul pula tak lama kemudian tanpa sebab."

Arul mulai pucat di belakang. "Kejam kau, di. Masa carikan kami rumah kayak gitu."
"Hey..hey...hey...yang mengajukan anggaran miris siapa. Ada uang ada barang. Masih untung dicarikan!"

Kami terus menyusuri gang Seram. Kata Yadi, calon rumah kontrakan kami tepat berada di ujung. Apa boleh buat. Pasokan dana minim untuk menyewa satu rumah, ya dapatnya cuma sebuah rumah kosong. Terdengar menyeramkan. Mengiyakan sikap Arul, aku mulai berkhayal yang bukan-bukan. Ah.....kuusir perasaan takut seketika.

Yadi menambahkan, "anak perempuan mereka satu-satunya pula sering menghilang tak berkabar. Namun ada beberapa warga mengatakan, pernah melihatnya sesekali. Perempuan itu berkeliaran dengan pakaian kumal."

Aku mulai merinding.
"Cari yang lain saja ya, Soe?" Arul berharap keajaiban.
"Banyak bawa duit??" tanyaku menyindir.
Arul diam.
"Dan sampai sekarang belum ada yang pernah menyewanya. Biasalah, namanya juga rumah kosong."

Langkah kami terus berlanjut. Antar rumah kini jaraknya semakin jarang. Dan Yadi memecah keheningan, "ha, sampai."

Tak seangker yang diceritakan. Kalau boleh dibilang, "lumayan lah." Rumah itu sederhana, tipe empat lima. Dengan cat luar hijau muda, tapi sudah sangat tampak kusam. Halamannya penuh rumput yang berbaur dengan bunga tak terawat. Mmmm, wajar kok.

Yadi maju menghampiri pintu. Tok-tok-tok. "Assalamu'alaikum...."
Tak ada jawaban.
"Lho, katanya rumah kosong. Kenapa mesti ucap salam." Arul heran.
"Iya," tegasku ulang.

Kreeee....t. Gagang pintu berputar. Sejumput rambut panjang menyembul dari balik pintu. Yadi kaget. Sementara aku dan Arul serentak berteriak. "Hantu........"
"He....he...wa'alaikum salam."
Nenek itu mengibaskan rambutnya kebelakang dengan tangannya. Barangkali ia merasa dirinya ambassador sebuah produk sampoo.

Yadi membentak kami dengan suara tertahan, "kalian apa-apaan sih!"
Ia melanjutkan ketika menghadap si nenek misterius kembali, "ini nek teman yang saya katakan kemarin."

Mulutnya mengunyah sesuatu. Bibirnya agak kemerah-merahan. Memang generasi lima puluhan tulen. "Oh, jadi ini anaknya. Silakan masuk. Ukh...ukh... maaf, nenek agak demam."

Kami masih bingung dengan apa yang terjadi sebenarnya.
"Cepat!" Yadi menyadarkan kami pada kenyataan.
...........
Nenek itu adalah adik perempuan almarhum si pemilik rumah yang hendak kami sewa. Disamping itu, beliau juga yang mengurus keponakan perempuannya yang menjadi gila. Semakin berat beban hidupnya, ia belum menemukan jodohnya hingga usia senja seperti itu. Menemukan? ah, ia sudah pasrah tentang yang satu itu.

"Nenek tidak tahu bagaimana nasib Laila sekarang. Kadang ia pulang, kadang tidak. Lagipula nenek tidak mungkin menjemputnya, kan. Mengurus diri sendiri saja susah. Untung-untung kalau Laila betah tinggal dirumah saja. Bisalah kiranya nenek menjaganya sedikit bersih. Ukh...ukh....tidak mengganggu tetangga-tetangga."

Iba juga mendengar penuturan nenek di depan kami. Kesan misterius tetap ada saat kami memasuki rumahnya. Entah bagaimana mendeskripsikannya. Gelap, sedikit bau, dan perabot rumah berserakan dimana-mana.
"Jadi ini rumah yang mau disewakan, nek?" tanya Arul.
Tumben sekali Arul telah menjadi segar bugar. Tadinya takut bukan main.

"Bukan. Kalau ini disewakan, dimana nenek mau tinggal?" jawab si nenek.
"Bukan????" Lagi, aku dan Arul serentak heran.
Yadi pula menunjuk sudut dapur. "Di belakang," ucapnya lebih kepada berbisik.
...........
Wah-wah-wah. Sempurna nian. Ini benar-benar rumah kosong. Kalau seorang produser mau memproduksi film horor, inilah tempat pertama yang paling aku rekomendasikan.
Mataku melebar, demikian pula dengan Arul. Definisi rumah kosong kali ini benar-benar sederhana. Sebuah rumah yang tidak ada sekat sama sekali. Dari pintu depan, langsung menuju pintu dapur. Ada bangunan kecil terpisah dibagian belakang, itu hampir sulit disebut toilet. Oke, baiklah. Kita berdua kan hobi main badminton, sekalian saja kita buat GOR mini.

Dibelakang rumah, Arul menyenggol tubuhku sembari menunjuk ke satu arah, "Soe, lihat itu."
"Apaan?"
Syahdan, ketika aku menoleh, seratus meter dari tempat kami berdiri, tampak jelas jejeran pemakaman. Rimbun pepohonan menjadikan tempat itu agak redup dan sunyi.

"He..itu cuma kuburan lama," nenek merangsek berjalan menuju pintu depan.
"Ku...bu....ran lama?" kami saling pandang.
Yadi merasa tugasnya selesai sampai disini. Barangkali ia berharap kami menerima pilihannya bulat-bulat. Dan sayangnya, kami memang belum ada pilihan lain. Uh....nasib.

..........
"Soe..." Arul yang memilih tidur di tepi dinding menggoyangkan tubuhku. Suaranya ditahan-tahan serendah mungkin.
Saking ngantuknya, aku mengabaikannya.
"Soe....bangunlah. Kau dengar itu?"
Yang kulihat hanyalah sebuah ruangan terhampar dihadapan. Meski sore tadi sempat juga berkhayal disudut sana ada ini, di sudut sini ada itu, namun rasa kantuk mendera setelah shalat Isya dan makan malm. Kerja bersih-bersih debu tadi sore begitu melelahkan. "Apaan..." aku berucap sekenanya.
"Dengar......" Arul mendekat.
Kupasang telinga lebar-lebar. Sayup-sayup terdengar suara tangis seorang perempuan. Aku terjaga saat itu juga. Bulu kudukku mulai berdiri. Tiba-tiba seolah kami tengah terperangkap di rumah hantu.
"Arul....."
"Soe....."

"Cabut................!!!!!"
...........
Laila dengan rambut acak-acakan masih pulas ketika paginya kami pulang ke rumah kosong itu. Ia rupanya berbaring tepat di samping rumah. Kalau diperkirakan, sebenarnya tadi malam jarak kami dengannya hanyalah berbatas dinding.

Walau itu tadi malam suara rintihan Laila, kami memutuskan untuk hengkang dari sana. Berpamit baik-baik pada nenek setelah mengemas pakaian. Beruntung, nenek mau mengembalikan sebagian besar jumlah uang sewaan kami. "Nenek mengerti," katanya saat kami mengutarakan niat.

Syukurlah.



Selasa, 07 Januari 2014 0 Messages

In Memory, Salesman Dadakan

Aku pulang ke rumah dengan kardus besar berisi accessories, obat-obat herbal, kerudung, dan pernah-pernik lainnya. Ia kelelahan bukan main. Kuletakkan benda itu di pojok kamar, lalu beranjak ke luar. Menuangkan air putih ke gelas plastik diatas meja dan glek...glek...glek... "Alhamdulillah, nikmatnya," pikirku. Aku pun menyeka keringat, masuk kamar lagi. Sementara di luar, sinar matahari tengah panas-panasnya.
..........

Jum'at entah tanggal berapa, kira-kira di tahun 2009.

"Jam lapan lah ye, Dan."

Setengah tujuh ke rumah Dani, temanku itu belum mandi. Padahal semalam sudah sepakat sebelumnya, jam delapan kami harus sudah hengkang. Mulai aktivitas yang sama sekali asing. Kalau orang-orang perlu pelatihan khusus sebelumnya, justru pelatihan sekaligus praktek yang kami lakoni. Aku tidak berani dan malu melakukannya sendirian, dan Dani menjadi mangsa. Sales door to door, emmm kedengaran menakutkan. Tapi apa boleh buat, duit tersisa cuma lima puluh ribu rupiah. Menyedihkan!

Tinggal di ibu kota provinsi dengan duit sebanyak itu??? Akan kuingat sepanjang hidupku. Itulah kisah yang sampai saat ini bak motivator luar biasa yang pernah ada. Pilihan sulit kuambil sebelum memutuskan untuk menjadi Salesman dadakan. Pertama, langsung pulang kampung membawa kardus tadi dan berjualan disana. Kedua, menjualnya di kampung-kampung pinggir kota Pontianak. Bingung.

Keputusan bulat pada yang kedua. Resiko tak laku dan uang habis buat ongkos bensin terbayang-bayang jelas. Kutepis dan yakinkan diri. Bismillahi tawakkaltu 'alalllah. Aku dan Dani mulai merayap menuju Pal tepat setengah sembilan.

..................
"Sekarang kerja dimana, di?"
Tanya kak Ema tanpa menoleh. Tangannya lihai membetulkan letak kerudung rabbani yang miring pada gantungan. Kak Ema membuka butik dengan berbagai accessories. Disana juga ada sendal-sendal unik. Minyak wangi, stiker dan macam-macam.

"Mmmm belum ade ni, kak."
Setelah mengundurkan diri sebagai admin di sebuah lembaga kursus bahasa Inggris, nasibku mengawang tak jelas. Berniat menyelesaikan skripsi yang tertinggal di komputer, namun perlu biaya hidup yang tidak murah. Untuk ukuran seperti diriku khususnya. Mengharap pasokan uang dari keluarga, aku malu minta ampun. Setelah setahun lebih pasokan itu ditutup.

"Bagaimana kalau bawa barang-barang kakak ni jak. Lumayan lo. Budak-budak pun banyak yang macam tu." Kak ema memotivasi. Melihat celah seseorang bersedia menjualkan barangnya, gadis berjilbab itu menghadapku. Padahal "budak-budak" yang dimaksudnya adalah para akhwat. -_-!

"Mmmm bolehlah, kak."
................
Kata 'boleh' mengawali semengat juang Jum'at pagi. Fizer tanpa mengeluh meski ngos-ngosan, harus menampung dua mahasiswa diatasnya. Membelah kota Pontianak dari arah barat, kami menuju Pal 1, lewat! Pal 2, lewat! Lo...ini ceritanya mau jualan atau jalan-jalan.

"Singgah ke, Dan?"
"Singgah jak, Di?" Dani tak bisa dimintai pertimbangan. Ia mengikut saja.
"Nanti jak lah ye!"

Kerumunan orang seperti monster saja. Seharusnya disanalah kami menggelar jualan. Memperlihatkan dan menawarkannya kemudian. Rasa malu ternyata lebih besar. Menjadi Salesman, sungguh perlu muka tebal luar biasa. Apa boleh buat. Sudah sejauh ini, bensin pun terkuras banyak. Kalau tidak berhasil menjual, esok mau makan apa??? Dani sih enak, dia memang anak Khatulistiwa asli kok.

Memasang muka tembok, menepikan Fizer pada sebuah kios dimana ramai ibu-ibu berkumpul.
"Permisi bu...."
Aduh, apa seharusnya begitu ucapannya?

Untungnya, "ye..." senyuman terlontar dari wajah-wajah itu. Sikap menerima mereka, meredam gejolak dihati kami.

"Ini.....ada bawa barang. Accessories, obat herbal, dan ....... bise di gelar disini ke?"
"Oh, bise lah."

Alhamdulillah....

"Wah, cantik. Mak, beli ni." Seorang bocah perempuan berumur enam tahun mengangkat bando berwarna pink. Bagian atasnya tersemat kupu-kupu plastik berwarna kuning.

"Kalau yang ini berape, bang?"

Pembeli pertama, aku gugup. "Oh, oh itu..... lima belas ribu." Getir kedengarannya.
"Bise kurang agek lah ye?"

"mmm...."

Beberapa saat kemudian, kerumunan semakin banyak. Beberapa kerudung, bros laku terjual. Obat herbal cuma sampai di tanya harga.

"Adek bedua ni dari mane?"

"Pontianak," kate Dani. "Kalau kawan ni dari Sambas."

Sambas, apakah aku bisa pulang kesana???? entahlah.
..........

"Lanjut agek, Dan."

Pengalaman pertama menyesakkan dada. Lega rasanya berhasil melewati masa-masa mendebarkan. Kami melaju lagi bersama Fizer. Beberapa kerumunan kami lewati. Rupanya rasa malu masih mendominasi. Ah, disana saja. Nanti saja, tunggu tak banyak orang....

"Ah, disini saja, Dan."
"Serahlah," kata Dani santai. Dari awal dia memang tak kelihatan malu sama sekali. Pun kalau kau ingin tahu, sebenarnya yang pantas disebut penjual saat itu adalah temanku itu. Aku, anggap saja tukang ojeng.

"Bu..."
Ibu penjual gorengan tak terlalu menanggapi. Deg!

"Ye."

"Ini ada bawa ...." bla-bla-bla. Kata pembukanya kurang lebih dengan sebelumnya.
"Oh," tanggapnya singkat.

Pilah-pilih, ibu itu gak mau lama-lama. Ia mengambil satu buah bros ukuran lumayan besar. Harganya tak lebih dari dua belas ribu. Alhamdullah, lagi.
............

Itulah tempat kedua sekaligus terakhir kami berjualan. Mood menawarkan barang sudah menguap sejak tadi. Kami berdua sepakat pulang saja. Kurang dari lima puluh ribu, bila dihitung habis tuk ongkos jalan saja. Kami berbelok menuju jalan pulang. Membelah perkampungan entah dimana, terdampar disebuah masjid saat shalat Jum'at hendak digelar.

Perjalanan pulang pun berlanjut. Sembarang memilih jalan pintas, sesat pun menjadi lakonan. Bertanya sana-sini, akhirnya sampai juga di ujung Pontianak bagian selatan. Menyeka lelah sejenak, kami berhenti di warung pecal pinggir jalan. Kebetulan perut juga belum terisi. Saat melihat HP, angka dua tertera disana.

Dani luar biasa, sebagai teman. Jadilah disela-sela santap siang dengan uang hasil jualan, kami saling tertawa. Antara seru dan nestapa, menjadi salesman dadakan sehari punya banyak cerita. Enam jam, hanya dua kali menjual. Mau lagi? Mungkin. Tanpa Dani dan area yang berbeda.
............

Tekor. Uang tersisa pas-pasan tuk ongkos bis pulang ke Sambas. Sebelum itu, "nanti aja, Di. sekalian kalau dari Sambas," pesan singkat kak Ema yang melegakan.

Serasa gimana gitu. Alhamdullah tak perlu menyetor dulu, dan adalah uang lebih tuk kembali ke kampung halaman. Meski dengan catatan hutang dikemudian hari.
............
 
;