Jumat, 24 Mei 2013 0 Messages

Wali Murid

Itu diluar kebiasaan setiap pagiku. Aku bangun awal dalam rangka memenuhi janji dengan seseorang. Melihat lahan tanah yang ditawarkannya. Dan setelah menyurvei secara langsung, ada semacam ketidakcocokan. Entah apa itu. Sulit dijabarkan. Tapi ini akan tetap kusampaikan pada kakak tertuaku yang berniat membeli tanah tersebut. Mulai dari jalan menuju area tersebut hingga letaknya yang dikelilingi rumah penduduk. Cuma itu kapasitasku.

Lokasi yang kami datangi tadi sebenarnya tepat di kampung sebelah dimana aku menyewa rumah. Sepulang dari sana, sebuah sms masuk. Sebuah permintaan tolong lantaran ia mendapatkan kecelakaan. Bukan untuk membantu fisiknya, tapi pada urusan disekolah. Ya, hari ini adalah penerimaan amplop kelulusan. Anak dari sepupuku itu terjatuh ke parit bersama dengan ibu dan adiknya dalam perjalanan menuju kota ini. Memang niatnya adalah untuk mengambil amplop kelulusan. Takdir bicara lain. Dan aku tidak heran, soalnya beberapa hari sebelumnya permintaan ini telah kuterima. Hanya saja, katanya hari itu tidak jadi. Karena ia akan mengajak ibunya sendiri yang datang ke sekolah.

Anggaplah, saya mematut diri sembari merapikan seragam. Memastikan semuanya tampak sempurna, meski sejatinya apa yang  ingin kutahui tidak ada hubungannya dengan kerapian. Sama sekali tidak. Hari itu,  hanya terdapat dua kata yang seharga mati. Lulus atau Tidak Lulus.

Beberapa jam kemudian, saat ibu membuka segel amplop dengan hati berdebar-debar,  aku justru pucat sepertinya. Dan kata didalam surat pernyataan itu melunturkan rasa tegang yang terus membayangi sejak turun dari rumah tadi. Alhamdulillah. Ah, itu sudah sepuluh tahun silam. Sungguh tidak begitu terasa masa berlalu. 

Dan pagi ini tahu-tahu aku berada diruangan bercat kuning. Luapan emosi, kekhawatiran, ketegangan serta was-was, semuanya berbaur. Awalnya, kupikir tidak akan termasuk salah satu yang merasakan seperti itu, eh, rupanya aku salah. Padahal tidak ada alasan tepat untuk aku merasakan hal tersebut. Namun tetap saja aku berharap hasil yang bakal diperolenya setimpal dengan usahanya selama ini. Dengan kata lain, lulus memang yang terbaik sepertinya.


Selasa, 21 Mei 2013 0 Messages

The Miracle of Woman's Hand

Kalau yang ini masih berkaitan langsung dengan satu entry sebelumnya. Title yang kuberikan diatas adalah apa yang terjadi dalam satu hari ini. 

Tangan salah satu kaum hawa yang akan segera menuntaskan masa remajanya telah menyulap gubuk sewaan kami berkilauan. Yang sebenarnya kumaksudkan adalah, dia berhasil menguras meski tidak habis, kesan "kapal pecah" terhadap tempat kami bernaung tersebut. Bangunan yang dalam kesehariannya kami beresi seadanya. Dan kedatangannya cukup membuat banyak perbedaan. Mmmm....
Senin, 20 Mei 2013 0 Messages

New Comer

Wow-wow-wow! Tangan ini rasanya gatal melihatnya melakukan itu. Sesuatu yang amat sangat langka terjadi dirumah ini. Seorang gadis menyiangi sayuran untuk makan malam kami lalu memasaknya kemudian. Ada ketidaktenangan disana. Bukannya tidak senang, suka malah. Hanya saja kukira perlu membiasakan diri untuk menghadapi ini. Lebih-lebih kalau dia jadi tinggal disini. Bersama kami. Aku lantas berpikir, apakah ini juga yang akan kurasakan pertama kalinya nanti melihat istriku bekerja didapur. Haruskah aku menghilangkan saja hobi memasakku? Jawabanya lugas, tentu saja TIDAK!

Namanya adalah rahasia. Gadis itu keponakanku. Lebih tepatnya anak dari salah seorang sepupuku yang malam ini menginap dirumah. Dan rencana kedepannya, dia juga akan melanjutkan kuliah di kota kecil ini. Ya benar. Dia akan tinggal disini. Makanya tadi kukatakan, harus mulai membiasakan diri sejak dini. Karena sedikit banyak, sentuhan tangan seorang kaum hawa pastinya akan banyak mengubah rumah ini. Paling tidak,  bangunan layaknya kapal pecah ini tertata agak apik. Dan urusan dapurpun akan sedikit-banyak terbagi antara aku dan dia. Aku yakin sepenuhnya diberikan kepadanya pun ia tidak keberatan. Tipikalnya memang seperti itu. Ia sudah terbiasa berkat pengalamannya kerja dirumah orang hampir genap tiga tahun. Cuma aku yang memastikan itu supaya tidak sepenuhnya terjadi. Urusan dapur toh bisa-bisa saja dibagi. Lagian, memasak kan salah satu rahasia pengusir sakit kepalaku. He..he..

Intinya, aku senang atas hadirnya penghuni baru dirumah ini. Semoga dengan itu aku bisa lebih fokus lagi menapaki tujuanku. Membagi bukan berarti menyerahkan, kan. 
Minggu, 19 Mei 2013 0 Messages

Kapal Kehidupan

Mau tidak mau harus mengaku juga bahwa diri ini adalah seorang berjenis introvert. Apapun definisi yang 'agak' negatif terkait itu, aku yakin tercipta memang bukan untuk menjadi orang lain. Aku adalah diriku sendiri. Pengakuanku juga dalam hal bersosialisasi dan bekerja sama. Dua poin tadi merupakan sesuatu yang sangat mengerikan bagiku. Meski buat kebanyakan orang justru biasa-biasa saja. Memang demikian adanya. 

Makanya aku lebih senang bekerja pada bidang yang cuma memerlukan sepasang tanganku. Bekerja dalam tim jelas-jelas bukan bagian dalam hidupku. Paling tidak untuk saat ini. Barangkali terdengar egois bila ada istilah sukses sendiri. Mmm...bagiku itu biasa saja. Kalau ada orang yang sukanya sukses bareng orang lain, kenapa pula tidak mesti ada orang yang suksesnya sendiri-sendiri. Titik kritisnya cukup terletak pada kata 'berbagi' setelah mencapai kesuksesan. Benar-salahnya pendapatku itu, terserahlah. 

Dan interaksi tadi malam dengan seorang kerabat keluarga sempat menyentakkanku. Tapi setelahnya aku tersadar, betapa lucunya reaksi spontanku tadi. Toh memang setiap orang punya pendapat sendiri, kalau tidak bisa disebut sebagai usulan. "Kenapa tidak mencoba saja melamar PNS!" Kuberi tanda seru diujung sebagai bentuk tekanan. 

Mencoba. Kata itu dalam sepekan kudengar dua kali yang dipadukan dengan kalimat serupa. Lalu, setelah mencoba dan lulus? Apa yang akan terjadi? Jujur, aku tidak bisa membayangkannya kecuali melepasnya begitu saja. Ada "mencoba" yang lain yang mesti ku kejar. Dan ketika kerabatku itu menanyakan apa itu, aku berkilah menyembunyikan. Sulit bagiku menjelaskan, karena aku lebih senang membuktikan. Sulit bagiku  memaparkan, karena memang jenis itu masih termasuk profesi langka. Kata singkatnya, aku tidak akan membiarkan orang lain mengambil alih kapal kehidupanku. 

Anjing menggonggong, kafilah berlalu. Ini pepatah yang kuanut saat ini. Keras kepala dan sedikit egois untuk menggapai cita-citaku yang menggantung dilangit. Hampir, perlu beberapa buah anak tangga ajaib lagi. Insya
Allah dalam waktu dekat ini. 




0 Messages

Pulang Kampung 1 Juta


Pulang kampung satu juta, sampai detik ini belum banyak memberikan inspirasi tambahan. Tapi cukup signifikan sebagai angle (sudut pandang) tulisan selanjutnya. Setelah beberapa hari berkutat dengan frame serupa, baru malam ini mendapat sedikit pencerahan harus dari mana mulai adegannya.

Tidak usah getol memikirkan selanjutnya, karena pengalaman berbicara, itu akan mengalir atau bahasa lainnya mengikuti seiring semakin bertambahkan kata yang dituliskan. Ada momen-momen tertentu yang akan memunculkan ide segar lainnya. Sehingga plot tidak kaku dan membosankan. Aku hanya berharap kedatangannya tidak terlalu lama. Soalnya jatah semakin menipis setiap harinya. Kurang dari dua pekan setelah ini.

Dan perjalanan pulang kembali ke kota Sambas mudah-mudahan kembali mendapatkan secuil sketsa cerita. Sehingga setibanya di rumah, aku tinggal merangkainya menjadi sebuah cerita utuh. Dua hari, mungkin gak ya? Peranyaan yang tidak perlu jawaban secara verbal. Melainkan dengan sebuah action nyata.
Eittss tunggu dulu, ada satu cerpen kelar yang belum tersentuh publikasi. Bagaimana kalau itu saja dipoles dengan ide yang ada. Mmmm…menarik untuk dicoba nih..

= Well, dua topik yang kudengar dalam dua hari ini seolah lecutan semangatku. Semuanya berasal dari kerabat keluarga. Ternyata kesitu juga larinya. Sekarang aku memilih bungkam saja, Insya Allah, waktu saja yang mewakiliku berbicara suatu hari nanti =

Jumat, 17 Mei 2013 0 Messages

AKU - DIRIKU

Aku jadi bertanya-tanya pada diri sendiri. "Benar gak sih pengin jadi penulis hebat?"
Lalu aku menjawab, "ya." 
Aku yang bertanya tadi bertanya lagi, "kalau begitu, sudahkan bersungguh-sungguh atau berdarah-darah?
Aku yang ditanya hanya bisa bungkam. Pelan-pelan berkata, "belum."  Atau aku sendiri, kurasa terlalu cengeng pada diri sendiri. Kurang konsen barangkali. Pokoknya sukanya mengulur-ulur waktu. Padahal....
"Padahal apa? Padahal banyak ide yang bergelantungan. Begitu?"
"Kok tahu?!"
"Ya iyalah. Masa iya dong. Aku kan dirimu juga."
"Bukan. Kamu bukan bagian dari diriku."
"Yah, paling tidak benar. Aku memang bukan bagian dari dirimu selama kamu tidak mau mengakui keberadaanku. Aku selalu saja berkata jujur, kan?"
"Kuharap, suatu saat. Ketika kau sudah menyatu dengan diriku, jangan biarkan aku jadi seperti sekarang ini. Ingatkan aku meski kadang mungkin terasa 'agak' menyakitkan."
Aku yang bertanya tadi memandangku dengan seksama dan sedikit sinis, "akan kucoba."
"Bagus...eh, maksudku terima kasih."
"Kalau begitu, maukah kau mengakuinya dengan mantap?"
Jalan berbalik sudah tertutup dibelakang. Mau tidak mau aku harus mengakuinya dengan mantap, seperti mintanya. "Aku belum melakukan yang terbaik untuk cita-citaku sebagai seorang penulis!"
"Okke...selanjutnya, menulislah karena aku akan selalu ada dalam dirimu. Membohongiku sama artinya membohongi dirimu sendiri. Pesan terakhirku, kau akan menemukan gaya menulismu sendiri seiring giatnya latihan yang kau lakukan."
"Sip."

0 Messages

TEROPONG


Sekeluarnya dari masjid pasca shalat Maghrib, kami heboh bukan main. Pasalnya seorang tetangga yang
termasuk salah satu jamaah kehilangan sepeda motornya. Yamaha merek Vega warna biru donker. Komentar bernada heran meluncur deras.  
"Disini ni!" Kata bang Ervin selaku korban sambil menunjukkan dimana tadi ia memarkir motornya. 
Sejauh ini kesimpulannya masih pada tahap 'barangkali orang salah bawa', meski tidak dipungkiri kemungkinan dicuri cukup terbuka. Beberapa waktu silam kasus kehilangan motor juga sempat membuat panik warga se-gang kami dan sekitarnya. Seorang warga mengaku sepeda motornya raib. Hanya saja, kala itu ternyata ada satu motor lainnya yang tertinggal. Dan dalam hitungan beberapa jam kedepan, pemilik motor yang terparkir lebih dulu melapor ke pihak berwajib dan mengakui bahwa ia khilaf. Bukan lantaran bermaksud mencuri, hanya salah bawa motor.

Kami semua mencocokkan jumlah motor dengan jumlah jamaah yang belum pulang. Cocok! Artinya motor bang Ervin benar-benar hilang untuk sementara ini.
.........sampai disini cerita nonfiksinya tamat.......

Aku bersegera menuju base camp. Yang kumaksudkan adalah kios ukuran empat kali tiga dimana aku sehari-hari menjemput rejeki. Akhir-akhir ini tidak ada kasus yang cukup menarik. Secara keseluruhan membosankan. Gardu meledak gara-gara tali kawat layang-layang, perkelahian remaja di dini hari, ibu-ibu gosip bareng di beranda rumah dan yang semacam itu lainnya. Semuanya bukan urusanku. Kali ini beda. Saatnya memungsikan TEROPONG ciptaanku lebih jauh. Mudah-mudahan berhasil.  

Tidak perlu tergesa-gesa kupikir. Toh kemungkinan tidak hilang seperti yang saya sebutkan diatas masih ada. Oleh karena itu, setibanya di base camp aku memilih melanjutkan tilawah dulu. Jika tidak, menuntaskan juz 8 bakal memecahkan rekor. Dalam 4 hari! Apa saja sih sebenarnya yang aku lakukan!

Dan kini waktunya tiba. Aku memilih icon berbentuk teropong hitam. Ya, apalagi kalau bukan TEROPONG. Kemampuan software ini adalah mendeteksi titik-titik keramaian massa. Menggunakan kemampuan satelit, dilayar akan memunculkan spot merah seperti titik api, namun ketika kita mengarahkan mouse kesana, akan muncul sebuah tag berisi situasi terkait. Informasi yang disuguhkan cukup akurat walau terkadang perlu dipastikan dengan fakta dilapangan. Pengembangan ini terus kulakukan karena prospek kedepannya cukup meyakinkan. Menyaingi google earth dan sesuatu yang berharga untuk ditawarkan pada pihak media massa. Lumayan. 

Radius kupersempit dengan mengetikkan desa dan kota dimana aku berada pada kolom search. Ada tiga titik merah dilayar sekarang. Aku mengabaikan dua lainnya, langsung menuju lokasi dimana aku ada disana beberapa waktu lalu. "Belasan orang berkumpul. Membicarakan sepeda motor hilang. Belum diketahui keberadaannya." Demikianlah kalimat dalam tag pada titik tersebut. 

Lagi, pada kolom search, ku tambahkan nomor plat sepeda motor yang hilang. Ruang radius kulebarkan seisi kota. Hasilnya? TIDAK TERDETEKSI. 

Jangan menyalahkan. Aku hanya mencoba, kan. Memang ini masih dalam tahap pengembangan.
................
Tahu-tahu aku secara sengaja mendamparkan diri di salah satu pulau terkecil di Indonesia. Masih dalam provinsi yang sama dengan kotaku sebenarnya. Tujuanya, aku memenuhi undangan seorang tetangga yang telah lama berdomisili di sini. Pertama-tama, kedatanganku disambut oleh scene yang menggoda mata untuk menatap lekat. Jernihnya air menyuguhkan ikan-ikan kecil yang berenang dengan riang dibawahnya. Pasir dan kerikil pun seolah menyentuh benakku untuk dijajaki. Luar biasa. Belum lagi lambaian pepohonan kelapa bak penari pantai. Itu semua membuat aku kehilangan pendengaran, ketika seseorang menyebut namaku. Aku tersentak kemudian. 

"Oh, iya. Benar, bang. Maaf, disini sungguh, sungguh indah."
Perawakannya tidak lebih tinggi daripadaku. Usia? kayaknya seumuran. Pukul rata saja, makanya aku memanggilnya abang. Ya, biar lebih santun. 
Aku sudah berada di jok belakang sang utusan tuan rumah dimana aku akan tinggal selama dua hari. Begitulah rencana refreshingku kali ini. Sayangnya, aku belum menjadwal apa-apa saja yang akan kulakukan di pulau menakjubkan ini. Terlintas tentang panen cengkeh, ikut nelayan melaut jika gelombang tenang, membayar rasa terkesan tadi, dan entahlah. Mungkin lebih banyak dari yang bisa kusebutkan. 

Rupanya sumberdaya yang melimpah belum berkorelasi dengan tingkat kesejahteraan masyarakat sini. Kebanyakan rumah masih berbinding papan walau beratap seng. Jika aku tidak salah besar. Apa itu? Oho, bagaimana bisa itu terlewat dari perhatianku. Pilihannya adalah antara hiburan juga transportasi dengan tempat berlindung. Terbukti dari bertengger dengan angkuhnya antena parabola disetiap rumah. Selain itu, sepeda motor ikut melengkapi hiasan taman. Kalau bisa disebut taman. 

Sampai juga akhirnya. Perjalanan dari steher sampai ke rumah Cik Mai memakan waktu lima belas kurang lebih. Orang yang kusebutkan itu telah menunggu di depan pintu. Seringainya mengembang tanpa terpaksa. Itu artinya sebenar-benarnya ketulusan. Sulit bagiku untuk membalasnya kelak bagaimana. Apakah dengan menjadi tamu baik-baik sudah mencukupi. Semoga. 

"Ini," aku menyodorkan uang sepuluh ribu rupiah pada tukang ojek tak resmi tadi. Ia menolak dengan halus. Cik Mai juga mengatakan hal yang sama. "Tak usahlah, Soe." Tukasnya. 
Wah-wah. Selain dilafazkan, aku juga berucap terima kasih dengan hati terdalam. Baik benar orang disini. 

Sepeda motor itu melesap saat sang pengendara menarik gasnya lebih kencang. Raungannya tertahan oleh rancangan knalpot sejenis itu. Suaranya bergetar dan teredam. Tidak merasa risih sebenarnya. Hanya saja memperhatikan setiap detil adalah bagian tidak terpisah dari kepribadianku. Jadinya merek motor itu sasaranku. Jidatku berkedut sejenak. Lalu kabar baik pun datang menghampiri. 

(Eit, jangan berprasangka buruk dulu. Pasar gelap untuk barang-barang seperti itu cukup dengan mudah untuk mendapatkan pembeli. Jadi orang itu hanyalah korban. Titik)

Cik Mai mengajakku masuk. Tentu saja aku mengikuti belakangnya. Dari dapur pula, muncul sang istri yang langsung menghampiri dengan sebuah baki berisi gelas mengepulkan asap. Kopi barangkali. 

"Oh, itu namanya Ukil. Baru-baru ini ia memang suka jalan-jalan. Maklum, motor baru. Murah lagi. Ia beli dari temannya teman dia," jelas Cik Mai saat aku menanyakan perihal lelaki yang menjemputku tadi. Aku mengangguk paham. 

Sesi awal istirahat kugunakan untuk membuka netbook. Aplikasi TEROWONGlah yang pertama kali kuaktifkan. Mengulang tindakan dua minggu silam. Memasukkan plat kendaraan bang Ervin yang hilang. Berputar-berputar-dan-berputar. TERDETEKSI. 

Selesai dengan kesan sebuah sinetron ya? Ha....ha....hanya sebuah dongeng.




Rabu, 15 Mei 2013 0 Messages

Jahitan di Poster

Terlambat penasarannya! Uh...terserah saja. Yang terpenting sekarang aku sudah tahu bagaimana membuatnya seperti itu. 

Tiba-tiba aku bertanya-tanya bagaimana sih nge-print sesuatu yang hasilnya terpotong-potong. Memuaskan diri, maka akupun menghidupkan komputer beserta printer, lalu mengotak-atik ke bagian properties dalam keadaan siap print. Teng-ting-tong. Dan...dapat. Oh, rupanya ada setting-an khusus yang dinamai POSTER. Seringaiku mengembang. Tapi hati yang melakukannya. 

Percobaanpun bermula. File yang kupilih adalah pamplet Sentras (nama usaha jasaku saat ini) yang baru saja kuselesaikan siangnya. Tre...t-tre...t-tre...t. Jadi. Sejatinya pamplet yang berhalaman satu, setting poster menjadikannya empat halaman kertas A4 penuh. Sempurna. 

Sayangkan jika itu harus berakhir di tong sampah. Membuang tinta printer sekaligus kertas yang terpakai meski bekas. Ide ku muncul seketika. Berhubung azan Isya telah berkumandang, apa yang terlintas dipikiranku itu dipending sampai keesokan harinya. 

Esok harinya aku bergegas menunaikan hajat yang tertunda malam sebelumnya. Setelah menggenahkan posisi spanduk kecil punya rekanan di muka kios, saatnya aku mencipta karya. Untungnya sisa double tip yang menempel di dinding masih bisa digunakan. Dan pas sekali untuk ditempeli empat lembar kertas. Tempel sana-sini dan selesai juga akhirnya. 

Sayangnya, pertemuan antar sisi kertas tampak jelas sekali. Berpikir-berpikir-berpikir! Cukup banyak sisa sterofom yang terbengkalai. Memotongnya selebar jari dan agak memanjang menjadi pilihanku. Kemudian ditempel pada pinggir kertas dengan tidak biasa. Sebuah bingkai tidak utuh. Persis yang kubayangkan. 

Selanjutnya memberi sentuhan pada garis perpotongan empat lembar kertas bagian dalam. Ku raih pensil, lalu menggambar titik banyak-banyak secara berpasangan, vertikal dan horizontal. Selanjutnya adalah menarik garis untuk menghubungkan antar titik. Aha! Seolah-olah kertas itu dijahit sebelum ditempel ke dinding. Kesan jahitannya begitu mencolok dan berhasil mengaburkan tiap sisi perpotongan kertas. 

Tak lama berselang aku jadi berpikir. Setiap orang pasti punya kekurangan. Sepertinya tidak perlu menyembunyikan kekurangan tersebut. Justru seharusnya menjadikan diri lebih sempurna dengan kekurangan yang ada.  
Selasa, 14 Mei 2013 0 Messages

Rekans dari Politeknik Terpikat Sambas

Berkaca tahun lalu, beberapa pekan kedepan sepertinya akan intens berinteraksi dengan mahasiswa dari Politeknik Negeri Sambas. Kalau sekarang mereka tengah sibuk dengan laporan magang beserta revisinya, setelahnya akan berkaitan dengan pembuatan Tugas Akhir. 

Ku pikir paling tidak ada juga gunanya ilmu sewaktu kuliah dulu untuk dibagi. Pada teknik penulisan misalnya. Soalnya, Tugas Akhir itu sebenarnya kurang lebih dengan skripsi. Hanya saja yang terakhir itu lebih kepada teknis di lapangan. 

Ada kesenangan tersendiri bisa membantu mereka. Barangkali teringat saat-saat seperti itu ketika masa perkuliahan. Belum lagi keluhan mereka yang terkadang lebih terdengar seperti joke di pagi hari. Bercerita tentang cerewetnya ibu ini, susahnya bapak itu, dan bla-bla-bla. 

Dan kesenangan itu bertambah-tambah saat membayangkan mereka berbalut toga beberapa bulan setelahnya di suatu pagi kelak. Berfoto sambil menggamit tangan kedua orang tuanya masing-masing. Meski susahnya mencari kerja mau tidak mau tetap membayangi pasca kelulusan, satu kalimat di hari itu "itu urusan belakangan".

Berkaca lagi pada tahun sebelumnya, disaat itulah interaksi secara finansial biasanya berakhir. Kalau adapun satu dua jumlahnya. Jelas saja, setelah itu jiwa serta raga mereka sibuk mencari pekerjaan. Belum lagi tuntutan orang tua. Namun perhubungan sebagai teman tetap berlanjut. Bila perlu tiada batas waktu. 
0 Messages

Kisah Burung

Suara anak-anaknya yang masih merah membangunkannya dari lelap. Tubuh-tubuh mungil itu berlomba-lomba untuk direngkuh segera. Ia tersenyum dengan caranya sendiri. Juga mengungkapkan sayang pada generasinya itu dengan caranya sendiri. Saat memanjangkan leher dan mengintip ke luar, semburat cahaya biru muda mengambang di langit timur. Kini saatnya. 

Awalnya ia kaku mengepakkan sayap di pagi ini. Namun itu tidak berlangsung lama. Kemampuannya menaklukkan angin tidak lagi diragukan. Ia terus saja berkeliling menjelajahi hutan yang tidak lagi rimbun. Instingnya sebagai hewan mampu merasakan ancaman akan keberlangsungan hidup habitatnya dimasa hadapan. Pepohonan kekar dan menjulang semakin banyak yang rebah. Berduyun-duyun, seolah setiap saat jumlah pemalak kayu semakin bertambah saja. 

Ia terus melebarkan sayapnya. Sorotan matanya menangkap mangsa pertama. Seekor cacing tengah berkeliaran di tanah becek. Dalam satu kali patukan mudah, binatang merah memanjang itu telah ada di paruhnya. Di sarangnya, ia disambut gembira oleh anak-anaknya yang membuka mulut lebar-lebar. Tiga-empat kali atau lebih ia melakukan itu. Sampai anak-anaknya kekenyangan. 

Waktu berburu kembali tiba. Entah kenapa ada kekhawatiran saat berpisah dengan anak-anaknya. Jelas saja, usia yang masih sangat belia seperti itu sangat rentan dimangsa. Ular pohon paling tidak, dan burung buas lainnya. Diantara semua itu, ada yang lebih membuatnya gusar. Ya, deru mesin penebang kayu semakin hari semakin dekat dengan sarangnya. Bagaimana jika kediaman mereka hari ini mendapat giliran. Tetapi, ia berhasil juga mengesampingkan pikiran tersebut. Ia dilepas dengan teriakan anak-anaknya lagi. 

Hingga sore. Rupanya ia bertualang terlalu jauh hingga memasuki pemukiman warga di pinggir hutan. Tidak seperti biasanya, sekarang tengah musim layangan yang bergentayangan di langit. Menandai musim panen telah berakhir dan manusia akan segera mulai lagi menyemai bibit. Banyaknya benda segi empat itu mengapung di udara, menyempitkan ruang geraknya. Terlanjur ia ada disana, mau tidak mau ia harus melintasi benda-benda tersebut. Padahal sewaktu ia datang tadi tidak demikian. 

Sepasang sayapnya dengan tangkas membuat dirinya meliuk-liuk. Cukup mudah, pikirnya. Tinggal beberapa kepakan kedepan, ia akan terbebas. Tidak ada lagi yang menghalanginya membumbung. Kecuali, sreeet...

Apa ini? teriaknya keras. Sebuah pisau tajam, ah bukan, bukan pisau tapi tali tajam. Tali tajam? Apapun itu  telah berhasil menyabet sayapnya bagian kanannya. Terbangnya pincang, lalu keseimbangannya hilang. Oh, untuk pertama kali atau mungkin saja yang terakhir melihat keadaannya, ia akan mendarat dengan tragis. Sayap kirinya bukannya mencoba untuk mengepak, justru merapat ketubuhnya sendiri. Dalam waktu singkat jaraknya dengan bumi kini semakin pendek. Daya gravitasi menariknya dengan cepat tanpa ampun. Ia terhempas, pasrah, dan tergolek. Bahkan tidak sempat untuk memikirkan anak-anaknya. 

Sementara di tempat berbeda, sebuah pohon sebesar rentangan tangan orang dewasa kembali tumbang. Bersamaan dengan itu, lima ekor anak burung yang baru kemarin menatap dunia harus ikut rebah. Mereka sama sekali tidak tahu apa yang terjadi. Tahu-tahu tubuh mereka telah terpental dan keluar jauh dari sarangnya.


Kamis, 09 Mei 2013 0 Messages

Cerita Pagi

Aha! akhirnya menang juga dipagi ini. Godaan kasur selepas shalat subuh begitu kuat dan biasanya aku termakan untuk tidur lagi. Namun hari ini, memikirkan sepeda motor yang berbedak debu mengalahkan itu. Dengan susah payah aku berjalan ke belakang, mengisi ember dengan deterjen dan sunlight. Bergegas ke jamban mumpung air sungai lagi pasang. Juga lagi, mumpung belum ada orang beraktifitas di sana. Kurang dari satu jam, selesai! Clinggg....motor kembali bersinar cerah (gak segitunya juga). 

Setelahnya, ada godaan lain muncul. Kali ini berasal dari air sungai itu sendiri. Wah-wah, sudah lama sekali tidak mengambang disana. Oleh karena itu, kuputuskan saja untuk terjun. Tentu sebelumnya harus mengantar motor ke teras dan peralatan mencuci tadi pada tempatnya. Mengganti celana panjang ke yang lebih pendek. Siap? 1-2-3! Luar biasa! Seolah semua permasalahan hidup melebur bersama jernihnya air. Aku menyelam beberapa saat. Sebuah motor air membelah badan sungai yang membuat gelombang kecil. Jelas memaksa tubuhku untuk mengikut iramanya. Aku rela saja. 

Tidak perlu berlama-lama. Rutenya hanya antar jamban yang kuperkirakan tak lebih dari dua puluh meter. Cukuplah untuk sekedar meregangkan otot. Barangkali besok lagi, kalau memang memungkinkan. Naik kerumah, lalu membilas diri sebagaimana biasanya. 

Menyiapkan minuman panas dari kopi putih instan adalah yang kulakukan beberapa menit kemudian. Disamping itu, netbook pun dinyalakan. Berselancar sejenak di dunia maya. Bla-bla-bla, hampir pukul tujuh, kesadaranku mulai berkurang. Entah bagaimana, saat memandang layar yang sepuluh inci itu membuatku mengantuk. Tak ayal lagi, netbook kumatikan, kopi yang mulai dingin ku tutup sekenanya, lalu rebah lagi. Setumpuk pakaian yang belum sempat dilipat menjadi sasaranku. Sepertinya enak tiduran disana, dan ohoo tidak salah sama sekali. Alarm hp ku stel hingga pukul delapan kurang dua puluh. Itu jam dimana aku harus bersiap-siap berangkat keluar rumah. Setelah itu, HP sengaja ku-off kan. Tak ingin terganggu. Waktu berjalan seperti keong. Singkat namun lamban. Bermimpi atau tidak, aku tidak pasti. Yang kutahu, tidur dalam waktu puluhan menit tersebut terasa begitu lama durasinya. Dan aku terjaga satu menit lebih awal dari seharusnya.


Senin, 06 Mei 2013 0 Messages

First Experience to Find A Job

Hari itu menyenggat sungguh. Debu terbang sesuka hati tanpa ampun dari dum-truk yang melenggang santai. Seolah senang akan lubang jalan yang bertaburan dimana-mana. Sepeda motor dan kendaraan umum tidak mau ketinggalan ambil bagian. Di kawasan Jeruju, aktivitas tidak pernah terhenti barang sedetik. Riuh rendah dari manusia dan desing mesin-mesin. Dan aku bergabung disana.  

Sengaja aku memacu kendaraan dengan alot. Berharap tentunya apa yang dicari segera ketemu. Papan nama bertuliskan sebuah lembaga bahasa kursus Inggris. Alamatnya memang ada dijalan ini, tapi nomor bangunan yang tidak lagi tersusun apik sungguh menyulitkan. Terlebih, di kota ini aku adalah orang baru, orang pendatang. 

Berhenti mengambil nafas sejenak serta menambah sedikit informasi. Mudah-mudahan ada hasilnya. Rupanya nihil sama sekali. Orang yang kutanyai keberadaan lembaga kursus bahasa Inggris tersebut bisanya cuma menggelengkan kepala. Yah, semoga saja aku tidak mengganggu jualan buahnya. Toh, beliau memang tidak tengah melayani pembeli kok. 

Aku terus bergerak. Kiri kanan mataku melihat. Memastikan tidak ada yang terlewat. Kuakui ini cukup berbahaya. Konsentrasi pecah antara menjejaki dan berkendara. Hingga akhirnya, diantara ribuan papan nama dari yang ada, nama lembaga itu terselip kecil disitu. Di sebuah pasar yang padat pengunjung atau sekedar lalu lalang.

Suatu pagi di beberapa hari setelahnya. Sejuknya kota hanya bertahan sampai pukul menjelang tujuh. Atmosfir hangat merambat dari aspal yang di tindih berbagai bentuk pengguna jalan. Gesekan antara karet ban dengan tubuh aspal, menciptakan panas tidak tertahankan.

Untungnya aku lepas dari itu semua. Sengaja pergi berpagi-pagi dengan tujuan datang tepat waktu. Dan ternyata tidak hanya tepat waktu, kedatanganku terlalu pagi. Terserah dari definisi manapun, lembaga itu tidak menerapkan disiplin ketat. Bahkan waktunya selentur karet gelang. Padahal seharusnya acara interview dan seleksi dimulai pukul tujuh, tujuh kurang lima menit pintu depan masih tergembok. Kalau tidak salah, beberapa puluh menit setelahnya baru datang sesosok wanita melepas kuncinya. Ia adalah seorang custumer service.

Tetek bengek pun berlanjut dengan tergesa-gesa. Ruang praktek mengajar sepertinya belum disiapkan, termasuk sang interviewer belum datang. Sementara peserta lain sepertiku mulai bermunculan satu per satu. Berkenalan dengan sesama pelamar, eh rupanya dia memang sedang kuliah di ABA (akademik bahasa asing), jurusan bahasa Inggris pula. Aku ciut? Tidak, toh ku anggap ini adalah pengalaman melamar pekerjaan perdana. Berbekal pengetahuan autodidak belajar bahasa Inggris, kukira memang tidak mungkin ada lembaga yang mau mempekerjakanku sebagai instruktur. Bagaimanapun, proses selesksi berjalan dan aku mengikuti saja.

Pertama-tama mengisi beberapa soal sederhana yang dilanjutkan dengan speaking test. Disini setiap orang diberi tugas untuk menyampaikan materi tertentu. Kebetulan aku dapatnya kebagian mengajarkan tentang "take". Pelamar lain sungguh mantap bahasa Inggrisnya! Cuma aku yang keteteran dan musti mencampur bahasa Indonesia sedikit. Sedih gak tu?

Sudah dapat ditebak hasilnya. Aku memang tidak terlalu berharap untuk lulus seleksi. Berkaitan dengan letak lembaga itu cukup jauh dari rumah, juga mengukur kemampuan diri baru setipis kulit ari.

Waktu terbang memasuki hitungan tahun sejak hari itu. Saat melintasi lembaga kursus tersebut, plang nama yang menunjukkan keberadaannya tidak ada lagi. Kemungkinan pindah ke tempat yang lebih besar. Atau kemungkinan lain, lembaga itu hanya tinggal sebuah sejarah. Entah bagaimana, hati kecilku cenderung pada pendapat kedua. Mengingat sistem yang belum terbangun dan fasilitas lembaga yang kalah bersaing kala itu.


Jumat, 03 Mei 2013 0 Messages

Bakat Terpendam

Senang bisa menemukan satu lagi hal yang dapat mengusir kejenuhan, selain memasak dan menulis tentunya. Menggambar memang bukanlah hal asing bagiku. Hanya saja terlampau lama ditinggalkan. Kalau istilah sekarang, kurang terupdate. Jadinya bakat itu tidak pernah berkembang sama sekali. 

Dan kesempatan itu terbuka lebar. Namun justru bingung untuk memulainya dari mana agar menjadi profesional. Simpel saja sebenarnya, tinggal ikut kelas melukis yang pastinya tersedia paket dari pemula hingga  advance. Memang sih, namun masalah klasik menjadi kendala. Apalagi kalau bukan tentang money. So, pilihan yang paling masuk akal adalah autodidak. Meski tidak ada ukuran jelas atau barangkali kabur untuk menuju kepada keahlian mapan. 

Ah, kalau di pikir-pikir ini sebenarnya masa menemukan diri. Saat menanyai mbah google mengenai cara mengenal potensi diri, jawabnya tak lebih dari "kalau kau selalu senang dan tidak ingat untuk makan ketika melakukannya, di situ lah potensimu."

Aku tidak menyangkal. Saat memasak, segala permasalahan menguap seperti air dibawah terik mentari. Pikiran menjadi terbuka, dan senang ketika kita atau orang lain menyantapnya dengan lahap. Itu yang pertama. Kedua, menulis ini punya momok tersendiri. Tidak perlu dipertentangkan lagi bahwa mood terkadang mengambil alih potensi yang satu ini. Banyak praktisi yang berasal dari penulis hebat menekankan jangan menulis berdasarkan mood atau peralatan tertentu. Menulislah! tegasnya. Saat mengetik kata demi kata, membuat plot atau alur cerita, memberikan sentuhan emosional pada tokoh kita, ya kalau semudah itu, biasa menulis menjadi hal yang sungguh menyenangkan. Tidak sabar rasanya untuk menuntaskannya segera. Dan lainlah kalau yang terjadi justru sebaliknya. Nanti lah....adalah kata pamungkas untuk membenarkan kemalasan diri. Makanya hingga kini karya tulisan baru setipis kulit ari. 

Terakhir, menggambar. Kalau memasak iramanya adalah desisan api biru dan berdendang hentakan jari, saat menggambar aku lebih senang bernyanyi. Kayak anak kecil saja. Nyatanya memang begitu. Saat menggambar animasi tertentu, sadar tidak sadar justru mulutku menyanyikan soundtracknya. Saat menggambar sketsa lady, entah bagaimana yang keluar adalah lagu tentang cinta. Uh...

Dan ini adalah gambar keempat yang kutempel pada dinding dimana telah ada dua gambar lainnya. Sekedar mengisi waktu senggang. 
Rabu, 01 Mei 2013 0 Messages

Behind the 2 Pics

Aku tengah corat-coret diatas kertas putih polos ketika temanku itu datang. Beliau bekerja di salah satu bank swasta syariah di kota ini. Kami berjabat tangan dan ia langsung duduk setelahnya. Pembicaraan selanjutnya bertukar kabar dan hal-hal yang ringan. Hingga akhirnya pada topik apa yang ditempel di dinding.
Alamak!
Terlanjur tampak, aku langsung menjelaskan saat beliau mengungkapkan, "ada bakat terpendam nih, bang."

Menggambar atau melukis sebenarnya bukanlah hal asing bagiku. Hobi ini telah menjalar sejak SD. Siang, setelah pulang sekolah dan makan, aku biasanya tengkurap sendiri di beranda ditemani pen dan buku bekas. Tak lain, yang tengah kukerjakan adalah menggambar kartun. Masa anak-anak adalah masa dimana imajinasi kita bergerak tanpa batas. Kalau anak-anak lain barangkali perlu dongeng sebelum tidur, maka aku mendongengi diri sendiri lewat coretan-coretan tak jelas tersebut. Tak peduli lah bentuknya lain sama sekali dengan superhero andalan, yang penting alur cerita yang direka bisa menghanyutkan. Lembar pertama adalah untuk menggambar sang jagoan dan musuhnya. Lembar kedua, mungkin, aku lupa, dimana dua sosok tadi tengah bertempur, dan begitulah seterusnya. Tak lama kemudian, tahu-tahu mata pena tidak lagi bergerak, sementara aku telah hanyut dalam mimpi.

Menggambar pakai pensil tidak seru! Oleh karena itu, pena apapun tidak boleh menganggur sedikit. Dan yah, pena bapak yang selalu menjadi korban. Ketahuan, beliau menggerutu. Aku monyong sebelum berhenti. 

Aku tertawa, "ah, biasa saja. Sikit-sikit bisalah." Itu sekedar respon atas tanggapan temanku tadi. 

Sambil menunggu pelanggan datang, kuraih pensil 2B dan kertas HVS ukuran A4. Tekstur permukaan meja komputer yang bergelombang-gelombang, menjadikan enak mengarsir diatasnya. Dan.....inilah hasil perdananya kemarin siang. Dan ini pula yang kucari kemana-mana sejak pagi. Eeh, rupanya tadi malam ku tempel dengan senang hati di dinding. Padahal niatnya mau di lepas saja keesokan harinya. Ketahuan deh!












Perbincangan kami berlanjut ke pembahasan lainnya. Sopan tidak sopan, entahlah. Aku berbincang sambil menarikan pensil 2B di atas kertas HVS yang berukuran A4 lagi. Tema ini telah ku rekam dalam memori sejak kemarin. Visualisasinya baru nampak sedikit. Kami berbincang, tanganku menggambar. Karya kedua, ini dia.....ku beri nama RoseLady. Komentar teman di FB mengatakan "Pujangga Baru". 


Sore ini, ada gambar yang hendak di buat dengan tema berbeda tentunya. Nyatanya, kemampuan menggambarku masih cetek. Semakin banyak coretan yang dibuat, sebanyak itu pula penghapus menyamarkan jejak. Itu petanda hasilnya tidak bakal maksimal kalau dipaksakan. Lebih baik mencari aktivitas lain. Kusadari, menggambar dua karya diatas tidak dilandasi dengan unsur pemaksaan diri. Mengalir begitu saja seperti air. Besok saja, kalau memungkinkan. 

Gambar dua telah ku tempel dengan yakin tepat dibawah gambar pertama. 



 
;