Itu diluar kebiasaan setiap pagiku. Aku bangun awal dalam rangka memenuhi janji dengan seseorang. Melihat lahan tanah yang ditawarkannya. Dan setelah menyurvei secara langsung, ada semacam ketidakcocokan. Entah apa itu. Sulit dijabarkan. Tapi ini akan tetap kusampaikan pada kakak tertuaku yang berniat membeli tanah tersebut. Mulai dari jalan menuju area tersebut hingga letaknya yang dikelilingi rumah penduduk. Cuma itu kapasitasku.
Lokasi yang kami datangi tadi sebenarnya tepat di kampung sebelah dimana aku menyewa rumah. Sepulang dari sana, sebuah sms masuk. Sebuah permintaan tolong lantaran ia mendapatkan kecelakaan. Bukan untuk membantu fisiknya, tapi pada urusan disekolah. Ya, hari ini adalah penerimaan amplop kelulusan. Anak dari sepupuku itu terjatuh ke parit bersama dengan ibu dan adiknya dalam perjalanan menuju kota ini. Memang niatnya adalah untuk mengambil amplop kelulusan. Takdir bicara lain. Dan aku tidak heran, soalnya beberapa hari sebelumnya permintaan ini telah kuterima. Hanya saja, katanya hari itu tidak jadi. Karena ia akan mengajak ibunya sendiri yang datang ke sekolah.
Anggaplah, saya mematut diri sembari merapikan seragam. Memastikan semuanya tampak sempurna, meski sejatinya apa yang ingin kutahui tidak ada hubungannya dengan kerapian. Sama sekali tidak. Hari itu, hanya terdapat dua kata yang seharga mati. Lulus atau Tidak Lulus.
Beberapa jam kemudian, saat ibu membuka segel amplop dengan hati berdebar-debar, aku justru pucat sepertinya. Dan kata didalam surat pernyataan itu melunturkan rasa tegang yang terus membayangi sejak turun dari rumah tadi. Alhamdulillah. Ah, itu sudah sepuluh tahun silam. Sungguh tidak begitu terasa masa berlalu.
Lokasi yang kami datangi tadi sebenarnya tepat di kampung sebelah dimana aku menyewa rumah. Sepulang dari sana, sebuah sms masuk. Sebuah permintaan tolong lantaran ia mendapatkan kecelakaan. Bukan untuk membantu fisiknya, tapi pada urusan disekolah. Ya, hari ini adalah penerimaan amplop kelulusan. Anak dari sepupuku itu terjatuh ke parit bersama dengan ibu dan adiknya dalam perjalanan menuju kota ini. Memang niatnya adalah untuk mengambil amplop kelulusan. Takdir bicara lain. Dan aku tidak heran, soalnya beberapa hari sebelumnya permintaan ini telah kuterima. Hanya saja, katanya hari itu tidak jadi. Karena ia akan mengajak ibunya sendiri yang datang ke sekolah.
Anggaplah, saya mematut diri sembari merapikan seragam. Memastikan semuanya tampak sempurna, meski sejatinya apa yang ingin kutahui tidak ada hubungannya dengan kerapian. Sama sekali tidak. Hari itu, hanya terdapat dua kata yang seharga mati. Lulus atau Tidak Lulus.
Beberapa jam kemudian, saat ibu membuka segel amplop dengan hati berdebar-debar, aku justru pucat sepertinya. Dan kata didalam surat pernyataan itu melunturkan rasa tegang yang terus membayangi sejak turun dari rumah tadi. Alhamdulillah. Ah, itu sudah sepuluh tahun silam. Sungguh tidak begitu terasa masa berlalu.
Dan pagi ini tahu-tahu aku berada diruangan bercat kuning. Luapan emosi, kekhawatiran, ketegangan serta was-was, semuanya berbaur. Awalnya, kupikir tidak akan termasuk salah satu yang merasakan seperti itu, eh, rupanya aku salah. Padahal tidak ada alasan tepat untuk aku merasakan hal tersebut. Namun tetap saja aku berharap hasil yang bakal diperolenya setimpal dengan usahanya selama ini. Dengan kata lain, lulus memang yang terbaik sepertinya.