Senin, 31 Maret 2014 0 Messages

APRIL MOVE!

April tinggal menghitung masa yang tersisa. Kurang lebih dua puluh empat jam setelah ini, usianya masuk dua delapan. Sebenarnya itu bukanlah masalah berat buat dirinya pribadi, namun tidak dengan orang tuanya yang jelas-jelas kian hari kian gusar. Pun teman-teman yang ditemuinya selalu bertanya-tanya. "Kapan merit?"

Sepertinya sore tadi puncak penderitaannya. Menghadiri resepsi pernikahan rekan kerja, ia malah merasa tersudut. Meski sejatinya, tak ada seorang pun yang melakukan hal itu padanya. Perasaan. Ya, itu cuma perasaannya. Timbul tenggelam rasa iri dibenaknya, bersua teman satu sekolahan bersama pasangan masing-masing. Ada juga yang membawa buah hati serta. Duh...., pikirnya. Kapan kiranya.....?

Dan saat menyalami Lia, mempelai wanita, April justru mendapat bisikan, "cepat menyusul ya..." Deg! April bisanya hanya senyum masam, mengiyakan.

Wanita itu faham, ketika ia membuka mata esok, hari-hari kedepan pasti semakin berat. Apa ia meruntuhkan prinsipnya saja kalau begitu? Lelaki sholeh, barangkali itu bukan lagi sosok calon suami yang perlu ditunggu kedatangannya. April lelah.

Dalam lelap, ia bermimpi tengah berada di BUMI CINTA. Ternyata novel berjudul sama, mengantar kesadarannya hilang ke negeri seberang.
.........

Keputusan ini seperti hidup dan mati. Soe yakin, rekan kerja, keluarga, tetangga atau siapapun menyesalkan keputusan yang diambilnya. Namun hatinya telah bulat. Selama ini, ia merasa dirinya tak lebih dari mesin berjalan. Karir menanjak yang dibangunnya pun sekedar keberuntungan belaka. Kepala bagian pemasaran, ah banyak yang menginginkan jabatan itu di kantornya. Soe malah melemparnya begitu saja.

Lelaki itu selesai berkemas bahkan sejak tadi pagi. April Move, begitu ia menamai pilihan fenomenalnya. Dari profesi memasarkan barang berubah menjadi penulis lepas. Cita-cita yang selama ini terus menggelayuti, cuma sering ditundanya. It's show time, benaknya mantap. Berbekal cerpen-cerpennya yang dimuat di koran lokal, sesekali nasional, serta artikel-artikel di media online, Soe yakin masa depannya adalah dunia kepenulisan. Terlebih, ide untuk menelurkan novel hampir membludak. Sebelum kepalanya pecah, alangkah baiknya ia mulai mengeluarkannya sedikit demi sedikit.

Pulang kampung. Terdengar seru sekaligus mengerikan. Mengingat, mesti membeberkan alasan masuk akal pada kedua orang tuanya sejelas-jelasnya. Belum lagi perihal pasangan hidup yang masih berbentuk tanda tanya. Tentang yang satu ini, Soe sendiri bingung. Waktunya habis bekerja dari pagi hingga malam. Semakin tinggi posisinya, lembur semakin memangsa malam-malamnya. Dan ketika ada waktu luang, ia malah menghabiskan dengan menulis.


Dua tiga wanita yang menggilakannya di kantor, tapi itu bukan tipikal ia sepakati tuk jadi ibu dari anak-anaknya kelak. Yah paling tidak, pendamping hidupnya itu bisa mengayomi buah hatinya dengan kasih sayang serta agama. Bisa menjaga aib keluarga, dan saling menasehati dalam kebaikan. Singkatnya, perjalanan cinta Soe belum temu titik ujung. 
0 Messages

ZURIAT

“Nano, mak datang nak.”
ILUSTRASI

“Nano, mak datang nak.”
Wanita itu beranjak dari satu kuburan ke kuburan lain. Rambut panjangnya tak lagi terurus, sementara bajunya kumal bukan main. Kalau kau orang baru di desa itu, mungkin akan terkejut dengan wujudnya. Tetapi warga sudah maklum. Sebulan terakhir, itulah lakonan di perkuburan sejak hari baru terang tanah.
“Nano, mak datang nak.”
=Sebulan silam=
Parlina tiba-tiba mematung. Pandangannya kosong berikut bibirnya mulai bergetar. Turun ke tangan, lalu kakinya. Braakkkk….Telepon seluler yang digenggamnya berserakan dilantai.
“Par, ada apa?!”
Suaminya yang tengah membaca jadi panik. Untung dalam beberapa langkah, ia mendahulu menyangga tubuh Parlina yang seketika lunglai. Parlina pingsan.
“Par, Parlina, bangun sayang…”
Parlina tetap pejam. Suaminya kelabakan mencari bantuan keluar rumah.
Kurang dua puluh empat jam dari kejadian itu, rumah pasangan Surya dan Parlina sesak pentakziah. Tepat menjelang pukul delapan, ambulan tiba di depan rumah. Mengantar putra semata wayang mereka. Satu-satunya zuriat yang mereka miliki kini telah berpulang akibat kecelakaan. Tiada yang tersisa. Umur keduanya pun toh tidak memungkinkan untuk menambah keturunan lagi.
Saat jenazah dikeluarkan dari mobil ambulan, Surya berlutut, terduduk lemas. Ia berharap ini cuma sebuah mimpi. “Bangunkan aku!” pintanya tak pada siapapun. Dua langkah darinya, Parlina tak ubahnya mayat hidup. Ia berbaring di pangkuan kakak kandungnya. Dengan matanya yang terbuka hampir tak berkedip. 
..………….
“Nano, mak datang nak.”
Ratusan kalimat itu terdengar, namun Salmah tak merasa terganggu. Ia mengkhusyukkan diri pada dua gundukan tanah di depannya. Nisan yang satu bertuliskan Ramadhan, dan satu lainnya, Winara. Tangannya telaten mencabuti rerumputan disitu. Walau tak ada lagi yang tersisa, tangannya tetap bekerja. Apa pikirannya juga mulai tidak waras? Buliran bening menyeruak dari dua celah matanya.  Salmah tergugu.
=Dua minggu sebelumnya=
Dua dini hari, Dani gusar menunggu di muka pintu. Ia berjalan mondar mandir dan hatinya resah gelisah.
“Tenang, Dan. Kita sama-sama berdoa.”
Ibu mertuanya mencoba menghibur. Ayah mertuanya pula telah menghabiskan berpuntung-puntung rokok. Masih belum ada tanda-tanda bidan membuka pintu, Dani coba untuk duduk. Kreeek…..padahal itu hanya kucing yang mencakar-cakar tong sampah. Namun lelaki itu menyangka pintu di depannya membuka. Kesunyian kini mendekap. Malam membisu dengan lampu redup lesu. Seolah kehidupan tidak benar-benar ada.
“Kreee….k.”
Dani langsung berdiri. “Bagaimana Salmah bu? Bagaimana anak saya?”
Bidan menyingkap masker yang menutupi mulutnya. Kepalanya menggeleng perlahan. “Ibu tidak apa-apa pak, hanya…..hanya saja bayi dalam kandungannya telah meninggal kira-kira sejak dua jam yang lalu. Maaf. Kami segera mempersiapkan untuk melakukan operasi. Silakan bapak ke bagian administrasi.”
Bidan berlalu. Danni tersungkur ke lantai. Ibu Salmah berurai air mata, dan ayahnya menyeka matanya berulang-ulang.
=Dua tahun sebelumnya=
“Pak Danni dan Bu Salmah, silakan duduk.”
“Terima kasih dok.”
“Jadi begini, pak, bu.” Dokter mengangguk dari dari ke Salmah.
Danni dan Salmah was-was.
“Jantung Ramadhan bocor.”
………..
Sampai sekarang, masih saja Salmah sesekali menyesalkan, seandainya waktu itu ia punya uang, Ramadhan mungkin ada bersama mereka saat ini. Tapi memang tidak masuk akal bagi diri dan suaminya. Lima belas juta, bukanlah jumlah yang sedikit.
…………
“Jadi ini yang dibicarakan orang-orang?”
Baru saja menapaki langkah pertama memasuki areal perkuburan, mata Laila langsung tertuju pada wanita gila di ujung sana. Belum cukup sampai disitu, eh rupanya ada wanita lain juga, pikirnya.  Punya teman meski berjauhan, ketakutannya buyar dalam sekejap. Tanpa menyapa, ia melenggang menuju arah berbeda. Berbelok-belok kiri-kanan melintasi puluhan kuburan, akhirnya ia berhenti juga. Tangannya mengelus batu besar tanpa nama. 
Pikirannya terpental ke setengah tahun lalu……..
“Ayah…ayah…ayah…..”
“Hussshh…husshh….”
Dalam tangisnya, Laila menyadari badan Miki, anaknya makin panas. Tiap lima menit sekali, bocahnya itu mengingau mencari-cari ayahnya terus. Apa yang bisa dilakukannya? Menemui suaminya? Itu jelas-jelas tidak mungkin. Badun, suaminya atau mantan suaminya raib entah kemana. Sejak pertengkaran di siang yang panas itu, Badun tidak muncul-muncul lagi. Pun bila dipikir-pikir, untuk apa ia datang kembali. Talak telahpun terucap. Kini Laila tinggal menjalani nasib. Membesarkan hasil pernikahannya yang baru duduk di bangku PAUD.
“Ayah…ayah…ayah….”
“Hussshh…hussshh…”
Laila menepuk-nepuk bahu Miki berulang-ulang. Menenangkan. Ia teringat lagi……….
“Maaf ni Lai, tapi orang-orang hampir semuanya sudah pada tahu cerita ini.”
“Cerita apa bu?” Laila pura-pura tidak tahu.
“Tapi sekali lagi maaf ya, kata orang suamimu itu selingkuh disana.”
Hari nahas itulah menjelaskan segala-galanya pada Laila. Memang Badun tidak mengaku perilakunya terang-terangan. Tetapi kata talak menjelaskan segala-galanya.
Laila tersentak.
“Ayah…ayah…ayah….”
“Hussshhh…hussshh…”
Panas badan Miki meninggi. Igauannya makin menjadi-jadi. Kadang-kadang meraung –raung dalam waktu lama. Tetangga berdatangan mendengar itu. Kasihan, prihatin, membaur, jadi satu. Beberapa mendesak agar Miki dirumah sakitkan. Awalnya Laila menolak dan menunggu perkembangan hingga esok saja.
“Ini mungkin Malaria, Lai. Lebih baik Miki segera dibawa ke rumah sakit.” Pak RT menasehati.
“Biar saya menyiapkan mobil,” tawar tetangga lainnya. Karman, yang tak lain dan tak bukan adalah teman satu sekolah Laila sewaktu kecil. Entahlah, yang pasti lelaki itu pernah menyimpan relung hati buat Laila suatu waktu dulu. Apakah saat ini rasa itu masih ada? Mengingat dirinya belum menikah-menikah jua.
Sejuknya malam menusuk-nusuk hingga ke tulang. Tadi sore habis hujan lebat, makanya angin terasa jauh lebih dingin.
“Biar Laila dan Miki di depan.” Perintah pak RT.
Benak Karman berteriak kegirangan. “Ini bukan saatnya,”  ia mengingatkan diri. Beberapa menit kemudian Laila yang tengah mendekap Miki, ada disamping Karman. Karman yang berada di belakang setir.
Pak RT, istrinya, dan ibunya Karman, duduk di box pickup. Semuanya mengenakan baju berlapis-lapis, dan berbalut jaket lagi.
“Ayah…..ayah…..ayah….”
“Hussshhh…husshhh….Miki, Miki….”
Kali ini Miki tidak bisa diam. Teriakannya memekakkan. Bocah itu meronta, lalu kejang-kejang. Berulang-ulang hingga membuat Laila dan Karman panik. Rombongan di belakang juga ikut panik. Laju pick up yang terseok-seok lantaran jalan berbatu kong menambah penyakit.
“Stop…stop…stop…” Pak RT memukul-mukul badan kendaraan roda empat itu.
Malam terbelah. Jauh dari perkampungan, yang ada bentangan sawah saja. Mobil pick up berhenti, namun tidak dengan Miki. Miki meronta dan kejang-kejang.  Laila terus memanggil-manggil nama anaknya. Karman, Pak RT, bu RT, ibunya Karman, semuanya beristighfar. Sesekali memanggil-manggil nama Miki. Saat lampu HP disuluhkan ke muka Miki, bocah itu melotot. Berteriak dan berteriak lagi.
“Astaghfirullah….”
“Astaghfirullah….”
Miki kejang lagi untuk yang penghabisan. Sebelum akhirnya, matanya menutup pelan. Nafasnya berhenti seiring detak jantung yang tiada lagi.
“Miki, Miki, Miki…….” Laila mengguncang-guncang anaknya.
“Innalillahi wainna ilaihi roji’un….”
“Innalillahi wainna ilaihi roji’un….”
………….
“Harus secepatnya saja.”
Syahadah bungkam.
“Ikhlaskan saja, Ada. Biarkan Wahid tenang disana. Seharusnya kita bersyukur Allah masih memberikan kepercayaan kepada kita. Meski hanya dalam hitungan jam.”
Syahadah tetap bungkam.
=Tiga dini hari tadi=
Syahadah terjaga mendengar sepeda motor yang tiba-tiba berhenti tepat didepan rumahnya. Ia langsung awas. Khawatir kalau-kalau sesuatu yang tak diinginkan terjadi. Jadilah ia keluar kamar dengan mengendap-endap. Menyibak tirai sedikit, dan ia telat. Dua orang diatas sepeda motor itu melaju secepat kilat.
Syukurlah, Syahadah membatin. Ada sedikit kebingungan yang mengganggu sebenarnya. Kok tiba-tiba dua orang tadi singgah disini, lalu langsung pergi. Wanita itu menguap sambil berbalik badan. Satu setengah jam yang akan datang baru subuh bertandang. Syahadah bermaksud kembali ke kamar, namun langkah kakinya tercekat. Ketika indera pendengarannya menangkap suara tangisan. Ya, suara itu dari teras depan rumahnya sendiri. Hantukah? Syahadah bergidik. Kakinya melangkah lagi.
“Huaaa……”
Suara itu lagi. Syahadah penasaran. Cepat-cepat ia masuk kamar. Membangunkan suaminya, Sultan. “Bang, bang, bangun bang. Ada suara bayi di luar.”
Senyap.
Sultan mengerjap-ngerjapkan matanya. “Tidak ada. Ada mimpi kali?”
“Benar bang. Ada tidak mimpi. Suaranya dari teras depan.”
Sultan konsentrasi mendengarkan.
Senyap lagi.
“Tidak ada.”
“Tadi ada.” Syahadah membela diri.
Sultan membalikkan bantal dan badannya. Syahadah terduduk di pinggir tempat tidur.
“Huaaa…….”
Mendengar tangisan itu lagi, Syahadah berlari keluar kamar. Diraihnya kunci pintu depan diatas meja. Dengan dua putaran, pintu terkuak. Sebuah paket kardus teronggok di muka pintu.
“Huaaa……”
“Abaaaaang.”
……….
Syahadah mengangguk pelan. Semua datangnya dari Allah dan akan kembali kepada Allah. Wahid memang bukanlah anaknya, tapi ia menganggap titipan sebentar itu lebih dari anaknya sendiri. Apa mungkin perasaan ini muncul karena lima tahun pernikahannya belum juga mendapat zuriat?
Syahadah menatap lekat-lekat pada tubuh mungil bertutup kain batik kepunyaannya sendiri.
………..
Desa gempar mulai pukul tiga lewat sedikit. Warga berduyun-duyun mengerumuni bayi misterius. Atau tepatnya, bayi malang dari dalam kardus. Komentar-komentar menyayangkan dan mengutuk orang tua bersangkutan, meluncur deras bersamaan. Bersamaan dengan itu pula, Syahadah tak henti-hentinya menceritakan sewaktu ia melihat dua orang diatas sepeda motor tadi.
“Di luar gelap. Saya tidak bisa mengenali mereka berdua. Tapi kalau dilihat-lihat dari perawakannya, tampaknya bukan orang kita sini.”
Terus berulang-ulang seperti itu. Hingga warga sedikit demi sedikit kembali ke rumah masing-masing. Pun Syahadah letih bercerita. Tapi kegembiraannya justru meluap-luap.
“Besok dibawa ke puskemas saja bu Ada, memastikan keadaannya bayi ini,” saran bidan Desa yang diiyakan Sultan serta Syahadah.
Sampai pagi, bidan desa sengaja tinggal disana, untuk antisipasi hal-hal yang tidak diinginkan. Maklumlah, pasutri itu belum pengalaman mengurus bayi. Lagi pula, sepertinya bayi tersebut baru menatap dunia dalam hitungan beberapa jam.
“Bang,” Syahadah memecah kesunyian.
“Em?” Sultan tiba-tiba mengantuk lagi.
“Ada menamai bayi ini….Wahid. Bagaimana?”
“Emm…bagus juga.”
“Kan ini anak pertama dalam rumah tangga kita, makanya Ada mau kasih nama itu.”
………..
“Sudah siap, pak Haji.”
Pak haji meminta kepada warga agar bersiap-siap.
“Baiklah, kita segera melaksanakan shalat jenazah. Pak Sultan, silakan.”
Bayi itu bukan siapa-siapa bagi Sultan, melainkan anak pertamanya. Itu yang dipikirkannya. Makanya ia meminta diri untuk menjadi imam.
………..
Syahadah baru saja dari belakang. Ia berucap lirih, “innalillahi wainna ilaihi roji’un”.
Ruh Wahid telah pun dijemput malaikat maut.
…………
Sinar mentari mulai panas. Banyak yang mengantar jenazah Wahid ke pembaringan terakhir. Yang merasa kehilangan adalah Syahadah dan Sultan. Namun bila dipikir-pikir, itu tak lah seharusnya terjadi. Rupanya, kasih sayang dan nurani keibu-bapakan, menjadikan mereka lupa. Sosok siapa yang tengah mereka antar.
Menghampiri perkuburan, warga pengantar jenazah bocah Wahid menyaksikan tiga wanita ada disana. Berada agak berjauhan, masing-masing khyusuk dengan ziarahnya.
………..
“Nano, kau kah itu nak? Nano, kau kah itu nak?,” ucap Parlina ketika menoleh kerumunan warga .
Salmah memutar pandang, “ada yang meninggalkah?”
“Siapa yang meninggal?” pikir Laila.
………..
Di sebuah kamar, disebuah rumah, di sudut kota, seorang wanita muda mengecap dirinya sendiri sebagai makhluk durjana. Membuang bayinya dengan kedua belah tangannya sendiri. Demi masa depan, ah persetan! Masa depannya telah hancur bahkan sejak suatu malam, sembilan bulan yang lalu. Saat menyaksikan zuriatnya dikubur dari kejauhan, hatinya runtuh berkeping-keping. Ia memastikan tidak akan memaafkan tindakannya itu.



===BTW, ternyata hari ini tanggal merah ya===
Sabtu, 29 Maret 2014 0 Messages

Ah, ALHAMDULILLAH

Akhirnya selesai juga. Walau belumlah terasa cukup, tetapi paling tidak dua puluh dari kami mendapat pencerahan. Bagaimana mengelola usaha jadi jauh lebih baik. Ataupun yang belum punya, tahu bagaimana cara memulainya.
Satu hal yang pasti, bisa bertemu 19 orang-orang hebat yang punya keinginan. Keinginan tuk maju, bukan dari celah sebagai karyawan melainkan melalui status entrepreneur sejati. Serta panitia yang turut luarbiasanya menyukseskan kegiatan hampir sepekan penuh tersebut.
Saat bangun pagi esok harinya, tinggal kita memilih, menjalankan ilmu yang diperoleh ataupun menyimpannya apik-apik dalam peti keabadian. Semuanya terserah pada diri kita pribadi.
Di samping itu pula, tak lepas dari pengamatan, ternyata benih-benih cinta bertebaran dimana-mana selama masa itu....he..he..he..... 6 days, love find u.
Dan yang paling seru di sesi terakhir. Detik-detik pembagian "amplop kemenangan". Tak satupun dari seluruh peserta mukanya tampak susah. Yang ada malah senang over dan penuh ketidaksabaran. Menggelayut pertanyaan, "berapa ya kira-kira..?"
Ah, alhamdulillah.
0 Messages

SENDIRI LAGI

Kini, ia sendiri lagi. Pengorbanan sembilan minggu sia-sia belaka. Dua buah hatinya nahas dalam hitungan hari. Bahkan, belum genap sepekan menatap dunia.
Nelangsa dibuatnya. Siapa yang musti disalah jadi tersangka. Toh, statusnya penumpang tanpa masa. Jadi, tergantung pemilik rumah saja. Huh! Dalam hati terdalam, ia memaafkan.
..........
Pemuda itu dipersimpangan. Membiarkan pasangan keluarga kecil itu terperangkap dirumah atau menggusur mereka secara paksa. Benar-benar keputusan yang sulit. Ia berumpama, "bak makan buah simalakama." Padahal sampai usia menjelang kepala tiga, tak sekalipun pernah ia melihat buah yang dimaksud. Agaknya, ketika mengukir pepatah diatas, si pencipta tengah bersadar di pohon simalakama. Entahlah, bisa jadi...
Pemuda itu akhirnya, dengan teramat berat hati, mengeluarkan tiga anak beranak. Sang ibu menjerit. Barangkali memohon agar tidak dihijrahkan. Sementara dua anaknya, matanya kedip-kedip penuh kantuk berikut tanya, "ada apa ya?"
..........
"Sudahlah. Pun nasi telah menjadi bubur," ibu itu membatin. Ia pasrah pada keadaan. Memang sulit seandainya ia bertahan didalam rumah itu. Bagaimana untuk keluar mencari makan? Paling tidak, dengan berada di luar rumah, ia bisa keluar-masuk pintu mencari rejeki lain. Dan inilah yang terjadi. Perpisahan dirinya dengan anaknya tak terhindarkan.
..........
Lebih baik begitu. Daripada membiarkan kucing mati kelaparan di dalam rumah, sedangkan kami asyik-asyik pulang kampung. Itu namanya menyiksa. Saat mendapati kabar tak mengenakkan, "anak kucingnya mati," dari tetangga sebelah, hanya bisa speechless. Apa mau dikata? Itulah hidup!
.............
More than just ‪#‎fiction‬
Minggu, 23 Maret 2014 0 Messages

UNDANGAN MISTERIUS (PART 2)

“MENIKAHLAH DENGAN PUTRIKU. PERUMAHAN CINTA BOULEVARD BLOK A1 NO. 10" 

Planet Cinta Memang Aneh. 

Tak ingin dituntut untuk kali kedua, mau tidak mau Soe mendatangi alamat yang dimaksud. Pun kesan “wah” pada rumahnya tidak lagi menyita perasaannya. Lambat laun justru rumah yang keseluruhannya berwarna pink itu kian membosankan. Soe meyakinkan diri tuk merehab ulang catnya sekembalinya nanti ia ke planet ini. Dan hei, undangan misterius di tangannya membuat kemungkinan itu terbuka lebar.

"Nien, silakan masuk nak."

Dan Soe terguncang hebat malam itu. Melihat Nien, gadis yang hendak dijodohkan dengannya, seolah ia terlempar pada suatu waktu. Tak pernah membayangkan perkara ini bisa terjadi dalam hidupnya. Nien persis sama dengan seseorang di planet bumi. Riak muka, cara bicara serta berpakaian, dan senyumnya. Duh....“seseorang” yang pernah mengisi relung hatinya, membuat hari-harinya begitu hidup sekaligus menghancurkan sisanya setelah itu.

Soe masih tercengang sampai sebuah suara menyentak kesadarannya, "bagaimana?" Ayah Nien menunggu dengan sabar. Sementara Nien dan ibunya membisu saja.

“Saya…” Soe ragu. Apa jawaban yang mesti diberi. Tiada yang salah dengan ini semua, pikirnya. Nien adalah orang lain. Tapi bisakah ia mencitai gadis itu seutuhnya tanpa bayang-bayang kisah silam? Adilkah pun seandainya ia benci seseorang yang tak pernah berbuat salah padanya?

"Saya tidak akan melaporkan anda jika menolak. Toh menurut saya, peraturan itu benar-benar bodoh dan saya jelas-jelas menentangnya."

Mendengar itu Soe lebih santai dan senyum masam. Ia sepakat tak setuju pada peraturan teraneh buatan manusia. Namun begitu, hatinya masih bergolak. Apakah ia akan menerima penawaran tuan rumah?

Akhirnya, "beri saya waktu berpikir sampai besok, pak." Soe berjanji

"Baiklah."
..............

Soe berdiri di persimpangan. Episode kembara cintanya bisa saja berakhir esok. Dengan catatan, akhir sujudnya malam ini muncul nama Nien. Seandainya tidak juga, ia akan mengabari selekasnya pada ayah gadis itu. Lalu beranjak ke bandara menuju planet bumi. Meski tiada yang menunggunya.....oho, wait a minute, apakah di bumi benar-benar tidak ada yang menunggunya? Bagaimana dengan seseorang yang selalu menanyakan kabar dirinya? Apakah itu artinya.......?

Terlalu banyak tanda tanya malam ini. Soe terlampau letih memikirkannya.
..............

=Ayo, temans sekalian, ada yang mau bantu membuat "happy ending" dari kisah ini? Siapa pilihan Soe? Soalnya, part 3 harus sudah selesai. OK. komen di bawah ya.=

N/B: jujur, nulis ini agak kurang gak enak. jadi harap maklum jika membacanya pun terasa eneg.
Kamis, 20 Maret 2014 0 Messages

Undangan Misterius

Masih di Planet Cinta. 

Seminar berjalan sukses. Bahkan sambutan universitas di luar dugaan Soe sendiri. Kalau dibumi, ia hanya mendapatkan fee berlimpah-limpah atas jasanya, disini ia mendapatkan sebuah rumah dan tanah lengkap dengan surat menyuratnya. Enak sekali. Barangkali itu sebabnya, penduduk bumi mulai melirik hijrah ke planet pink ini. Ketika bumi kian padat dan gerah, sepertinya planet cinta begitu menarik.

Tak mau menunggu waktu lama, begitu selesai agenda wajib, Soe penasaran dan minta diantar ke rumah barunya. Rupanya, begitu ia melangkah keluar pintu utama gedung universitas, sebuah pesawat jet pribadi tengah menunggunya. Sang rektor langsung mempersilakan.

"Terima kasih."
Itulah kata terakhir untuk pertemuan mereka kali ini. Soalnya esok, Soe harus kembali ke bumi. Meski tidak ada seseorang pun yang menantinya disana, menghilang dua hari dari planet kelahirannya, dalam hatinya timbul rasa rindu pula.

Hanya ada seorang pilot, Soe dan seorang lagi perwakilan universitas di pesawat mungil itu. "Berapa lama kita akan sampai?" tanya Soe jelas sekali menunjukkan ketidaksabarannya.
Perwakilan universitas disampingnya menjawab, "lima menit sebelas detik, sir."

Ada hitung detik juga ya? pikir Soe. Bahkan Jepang yang terkenal dengan kedisiplinannya tak pernah menyebutkan hitungan detik dibelakang menit.

"Oh ya, sir. Ini ada undangan dari salah satu peserta seminar." Ucap lelaki di samping Soe.

Undangan? Dalam bingung, Soe memindahkan kertas pink tersebut ketangannya. Belum sempat ia membukanya, pesawat telah pun mendarat. Perhatian akan undangan misterius itu langsung tersedot, ketika ia menyaksikan kemegahan rumah di hadapannya.

Bersambung.......

‪#‎Justfiction‬#
Senin, 17 Maret 2014 0 Messages

Planet Cinta Memang Aneh

Jadi ini planet cinta, pikirku.
Tak tahulah menggambarkannya seperti apa. Ku kira cukup terwakili dengan satu kata, PINK. Entah sejak kapan warna itu selalu saja identik dengan cinta.
Gedung-gedung pencakar langit bak pensil raksasa. Tetumbuhan rindang menggelayut mesra. Bisa-bisanya saling berpasangan hidupnya. All in Pink. Planet ini memang cocok dengan namanya.
Banyak yang datang kesini sekadar mencoba mencari cinta. Setelah dibumi, cintanya tak jua berlabuh. Tapi kalau dipikir-pikir, jodoh itu tetaplah takkan kemana. Merenda disini bukan pula suatu jaminan.
"Soe?!"
Suara dua polisi yang menghadang langkahku. Itu terdengar menakutkan.
"Ya," jawabku mencoba tuk tidak gentar.
Ia saling pandang, "silakan ikut kami."
"Tapi, kenapa?" sergapku menantang.
"Biar kami jelaskan di kantor nanti."
Di kejauhan, wanita yang kulihat di lounge bisnis tersenyum masam. Eitts, senyum kemenangan.
Tujuanku ke planet ini bukanlah untuk menemukan cinta. Paling tidak untuk sejauh ini, masih belum. Kalaulah memang harus bertemu, aku terima saja. Yang pasti, sebuah universitas ternama tengah menanti kedatanganku. Sebagai nara sumber sekaligus pemilik lisensi G-X, dalam seminar Teknologi dan Sains.
Namun, nasib malang sejak aku pertama menjejakkan kaki di sini. Bukannya disambut oleh perwakilan universitas, justru mendekam di kantor polisi. Untuk alasan yang tidak aku ketahui sama sekali.
Di kantor polisi setempat.
Seorang polisi lainnya masuk. Tetap berdiri dan bertanya, "maaf pak Soe, kami terpaksa membawa anda kesini."
Apakah ini dugaan teroris? Aku kalut. Meski sebenarnya tak ada yang mesti dikhawatirkan.
"Atas dasar?"
"Atas dasar laporan seorang wanita yang satu pesawat dengan anda. Katanya, anda tidak membalas cintanya."
Gubraakkkkk.
"Anda tersangka melakukan pencurian. Pencurian terhadap hati wanita pelapor."
Rupanya, di planet cinta ini, seseorang bisa melaporkan orang lainnya lantaran cintanya tidak berbalas. Luar biasa!
Planet Cinta Memang Aneh!
0 Messages

Asisten

Punya asisten model gini, jangan kerjakanlah
Pas bongkar-merusak printer, eh ia malah meringkuk tak jelas arah
Mendengkur lagi
Sesekali membuka mata malas, pejam kembali
Punya asisten model gini, jangan kerjakanlah
Ia tengah galau, kemana masa depan
Kan sudah jelas, seterang tengah hari.
Kalau mo melahirkan, jangan disini!
Punya asisten model gini, jangan kerjakanlah
Upps, sejak kapan mengangkatnya jadi asisten ya?
Kan cuma seekor binatang kaki empat bernama.....
Cing, siapa namamu?
Ngeoooooong
Punya asisten model gini, sekali-kali bolehlah.
Kalau-kalau serdadu tikus mulai mengincar rumah
0 Messages

Sedia Menatap Hari, Sedia Menggapai Mimpi

Setelah hujan berbalut dendangan para kodok tadi malam, pagi ini terasa nikmat. Dan lebih hangat dari biasanya. Dari balik dinding, suara lalu lalang kendaraan jadi irama. Uh, pagi yang sempurna. 

Pemuda itu punya semangat baru. Meski melanjutkan tidur setelah subuh, spiritnya tetap membara. Ketika membuka jendela, hari sama sekali tidak menyengat. Sisa-sisa embun, bukan, hujan semalam barangkali, masih ada. Sesekali menetes dari ujung dedaunan. Lalu jatuh ke bumi, menghilang.

Ia menghirup udara dalam-dalam. Bukannya mudah mendapatkan udara sesegar ini, pikirnya. Matanya masih terpejam, saat HPnya berkicau. Sebuah pesan singkat masuk.

Toeeeeenggggggggg...................

Bola matanya membesar hampir lepas. Tangannya bergetar. Mustahil, sungguh-sungguh mustahil. 


Ini tidaklah tentang isi pesan singkat, melainkan angka jam yang tertera di layar mungil tersebut.

11.03

Tidak, tidak! Ini pasti mimpi.

Sedia menatap hari, sedia menggapai mimpi. Tetap berlanjut mesti bangun kesiangan. He...he...just fiction.
Kamis, 13 Maret 2014 0 Messages

KETIKA MATI LAMPU

Ketika mati Lampu,
Aku bertanya sembari kecewa,
Kenapa, kenapa mati lampu?!

Ketika mati lampu,
Bumi gulita, hambar rasanya,
Dan ah, jangan cerita perihal hantu

Satu-satunya cahaya berasal dari sebatang lilin yang hampir ajal. Di kamar lima kali empat, kuberpikir kira-kira apa yang bisa dilakukan ketika mati lampu seperti ini. Sebuah ide tiba-tiba mendesak-desak di kepala. Memohon segera ditunaikan. Aku mengiyakan, bangkit meraih HP, lalu langsung menekan menu kamera.

Oh sayang sekali. Padahal aku ingin mengambil gambar bayangan di dinding. Pastinya seru membentuk sesuatu lewat cahaya lilin, kemudian memotretnya. Sekali lagi, sayang beribu kali sayang, kamera dari alat komunikasiku itu tidak memungkinkan.

Ketika mati lampu,
Pasti ada karya luar biasa,
Apa itu? aku membisu.

Pasti ada sesuatu yang bisa dilakukan dengan kamera ini, pikirku keras. Bla..bla...bla... tak sengaja, kamera menyorot api lilin. Dari layar HP, kumenyaksikan pertunjukan luar biasa. Tak tahulah apa ini namanya dalam pelajaran Fisika. Semburat cahaya bertebaran dan saling bersilangan di sekeliling api. Wah...wah...wah...

Ketika mati lampu,
Kan sudah kukata pasti ada,
Karya yang bisa kutunjukkan kepadamu.

Ketika mati lampu.
.........
By: Soe


NO EDIT






Selasa, 11 Maret 2014 0 Messages

Pernikahan.....

"Capat-capat dah cari tukang masak...."
Oho, tujuan pernikahan tak lah serendah itu. Kalau cuma perihal masak memasak, itu perkara mudah. Toh, sejak kecil ia terbiasa membuat menu makan siang sendiri. Artinya, untuk urusan mengganjal perut, ia sama sekali tak kesulitan.
Lebih dari pada itu. Pernikahan bukanlah ikatan sehari dua. Menyatukan dua kepala beda isi dan tak jarang beda prinsip. Dalam mahligai pernikahan, semuanya saling mengisi dan melengkapi. Makanya, benturan-benturan kecil pun pastinya tak bisa dihindari.
Ini bukanlah tentang mencari pendamping belaka, atau menantu buat ibunda. Cita-cita luhur dalam berumah tangga mustilah dikira serta. Kalau punya visi hidup bersama tentunya akan jauh lebih mudah. Berdua, merenda keluarga SAMARA.
Bagaimana seandainya salah satu tidak sekata? Itu dia. Pilih memilih pasangan memang perlu. He...he..
Ah, itu cuma alasan pemuda tadi. Asal tahu saja, ia belum punya cukup uang tuk sekadar membeli mahar. Macam mana mau menghidupi anak orang???.....
Senin, 10 Maret 2014 0 Messages

Wanita Tua Penjual Kayu Bakar

Saat orang-orang mengeluh tentang panas yang menggila, wanita itu bahkan tak sempat memikirkannya. WALAU SEJENAK.

Debu jalanan membuat mukanya makin kusam. Belum lagi panas yang memanggang kulitnya, menjadikan kian legam. Keringat bercucuran tiada seka, riak keletihan pun jadi suguhan. Aduhai kasihan sekali.

Nanti dulu, orang memandang selalu banyak komentar. Wanita itu tidak merasa begitu. Atau paling tidak, tidak kalut akan hal itu. Yang ia tahu hanyalah, hari ini bisa mengumpulkan segepok uang. Tuk menukarnya dengan keperluan harian.

Sebesar rangkulan bocah SD, kayu bakar terjunjung di kepala. Menjadi perisai ketika sang surya menempa dirinya. Langkahnya tak lunglai sekalipun. Justru kelihatan penuh semangat. Ayuhan kedua belah tangan melengkapi ketakjuban. Wanita tua penjual kayu bakar, tengah-tengah hari mengantarkan pesanan.

= Wanita tua penjual kayu bakar =
Minggu, 02 Maret 2014 0 Messages

Tung-tung

ilustrasi
Tung-tung membuka matanya dengan malas. Meski demikian, ia tahu dengan pasti apa dihadapannya. Semesta malam benderang dengan bulan dan gemintang menggantung diatasnya. Dendangan binatang malam menambah kemeriahan, serta para lalat pengacau.

Ia mengibaskan ekornya, pun dengan setengah hati. Tak banyak yang diharapkan, para lalat pastinya pergi cuma dalam hitungan detik. Secepat itu pula hinggap lagi pada tubuhnya. Tung-tung melengus. Hussss...

Purnama?

Ia tiba-tiba terjaga, sadar sepenuhnya. Ini, kalau tidak salah purnama keempat sejak terakhir kali melihatnya. Sesosok lelaki tua yang selalu mengelus tubuh dan kepalanya dengan apik. Memberi rumput-rumput enak. Tak lupa air minum pun disuguhnya dengan lemah lembut.

Membayangkannya, binatang berkaki empat tersebut mendesah lesu. Kemana lelaki itu sekarang? tanyanya dalam hati. Tung-tung menutup matanya lagi. Sebelum kesadarannya benar-benar hilang, dari kejauhan ia melihat lelaki itu tengah menuju kearahnya. Namun, kantuk menyergapnya dari belakang. Sosok itu menghilang begitu saja.
..........
Wanitu itu berusia awal empat puluh.

Setengah karung rumput tampak ringan di pundaknya. Langkahnya gesit dan mantap. Keringat mengalir di jidat, dari balik kerudung putih lusuh yang dikenakannya. Akhirnya, ia menurunkan panggulannya juga. Tepat disamping seekor sapi gemuk yang sibuk merumput. Moooooo.....ooh.

Entah bagaimana, sambutan Tung-tung langsung menghempas letihnya. Disekanya keringat dengan lengan baju. Kemudian, ia menarik nafas sejadi-jadinya, menghebuskannya lewat mulut.

Melihat jatah makan, Tung-tung kian mendekat. Wanita itu menumpahkan seluruh isi karung, dan beranjak pergi. Sapi itu sedang menikmati makanannya, sementara wanita tadi menghampiri sumur.

Moooooo.....ooh. Lagi, Tung-tung menyambut kembalinya wanita itu dengan seember air. Saat binatang peliharaannya itu minum, wanita itu mengelus lembut badan dan kepala Tung-tung. Persis yang dilakukan oleh suaminya. Dulu.
.........

Ah, wanita itu lagi.
Tung-tung selalu berharap, yang datang adalah lelaki itu. Bukannya wanita di hadapannya sekarang ini. Tapi, melihat apa yang dibawanya, Tung-tung menyapa dengan antusias juga.

Kemana lelaki itu?
Ingin Tung-tung bertanya pada si wanita. Sayangnya, Tung-tung faham, tidak ada cara tuk menyampaikannya. Sesekali ia melirik, wanita itu tampak tegar. Wajahnya jelas menyimpan keletihan, tetapi Tung-tung pikir tekadnya mengalahkan segala-galanya.
.........
Mentari menggelinding semakin tinggi. Cahayanya mulai menghangatkan bumi. Tung-tung mencari tempat berlindung.
..........

Sorenya, air berjatuhan dari langit. Tidak lebat memang, tapi cukuplah membasahi sekujur tubuh Tung-tung. Binatang itu benar-benar berharap segera dipindahkan. Tali di lehernya membuatnya tak bisa kemana-mana.

Kresek-kresek-kresek

Setengah berteriak, Tung-tung juga melompat saat menoleh. Mooooo...ooh. Rupanya, tengah berdiri wanita di belakangnya. Mengenakan mantel plastik dan sepatu boat. Melepaskan ikatan pada tiang pancang, lalu menarik Tung-tung agar mengikutinya.

Tung-tung senang.

Hujan tambah lebat. Wanita itu pun mengayun kaki tambah cepat dan pantas.

Berhenti.

Kenapa? Tung-tung ikut berhenti. Tepat di pemakaman keluarga, wanita itu menyambung langkah. Tung-tung bertahan di luar area sambil mengedip-ngedipkan matanya sendiri. Menahan air. Tak perlu jauh masuk lebih dalam, wanita itu jongkok di depan sebuah gundukan tanah. Masih bisa dibilang baru. Pun rerumputan belum banyak yang tumbuh diatasnya. Tapi sepertinya itu hal yang tak bisa dimaafkan oleh si wanita. Tangannya tanpa ampun mencabuti rumput-rumput pada gundukan tanah tadi.

Ia keluar pemakaman tak lama setelah itu. Mengambil tali kekang Tung-tung, lalu beranjak pergi.
..........
"Saya rasa sudah cukup," ucap seorang lelaki berjenggot tipis. Merasai mata parang dengan telapak jempolnya sendiri.

Orang-orang sudah pada berkerumun. Lobang kecil telah pun digali di tanah. Tung-tung tidak mendapati wanita yang membawanya kemarin disitu. Moooooo....ooh. Tung-tung memanggil. Wanita sekaligus lelaki itu. Nihil. Manusia-manusia yang diharapkannya tak jua muncul.

"Sekarang!" perintah terlontar dari mulut seorang lelaki lainnya.

Tung-tung baru saja hendak berontak, namun beberapa pria mengikat sepasang kaki depannya lebih dulu. Jasadnya rebah ke tanah. Giliran sepasang kaki belakang pula yang diikat selanjutnya.

"Ha, angkat kesini. Siap ya, satu, dua, tiga. Uhhh...."

Tung-tung pasrah. Orang-orang menahan tubuhnya. Banyak di bagian punggung, kaki, dan kepala. Kilatan mata parang begitu menakutnya. Lebih-lebih saat matahari memantulkannya tepat ke kedua mata Tung-tung.

Tung-tung menutup mata sejenak. Inilah akhir hidupnya, pikirnya. Ia menelan ludah. Membuka mata lagi.

"Bismillahi........" ucap lelaki berjenggot tipis.

Mata parang terasa dingin di lehernya.
Saat ia membuka mata, Tung-tung melihat lelaki itu. Senyum dan tampaknya ingin membelai kepala dan tubuhnya. Lelaki itu?

Mata Tung-tung langsung berair. Rasa sakit tak lagi dihiraukannya. Lelaki itu bahkan kini telah mendekapnya.
.........

"Ini untuk anak-anak yatim dan kurang mampu."
Hampir separuh daging sapi yang dipotong sengaja wanita itu sisihkan. Untuk membantu sesama, seperti yang sering dilakukan oleh suaminya. Dulu.

 
;