"Maaf, saya merasa tidak sebanding dengan anda."
Garis jodoh, kali ini sepertinya tak bergerak kemana-mana. Atau tidak tahu kalau harus mengarah kemana lagi. Jum'at yang indah awalnya, pikir Soe. Tak ada orang yang melihat, Soe meneteskan air mata seperlunya.
"Ya, sudahlah."
Kalimat yang keluar dari mulutnya tak benar-benar diiucapkan hatinya. Kau tahu, ini tidaklah semudah itu. Padahal kesempatan yang ketiga ini sangat ia harapkan. Tapi, apa daya. Jodoh, Soe yakin jodoh sudah terpilih siapa orangnya. Nadanya lemah dan terdengar putus asa, "kalau memang ada."
Dengan hati miris, Soe menarik laci meja. Menyimpan cincin besi itu di sudut terdalam. Barangkali ia tidak pernah benar-benar akan mengeluarkannya lagi.
..............
Itu dua puluh enam tahun yang lalu.
Sekarang, di sore Jum'at yang sama indahnya, ada sesuatu yang ingin ditunjukkan pada istrinya.
"Saya juga ada." Balas istri Soe saat dirinya mengatakan ingin memberi kejutan pada wanita dihadapannya.
Soe agak kaget. "Benar? Ah, kalau begitu, apa itu?"
"Abang saja dulu."
"Sumprit."
"Gak, gak. Biar abang saja duluan."
Soe perlahan mengeluarkan kotak kecil dari saku bajunya. Tanpa basa basi yang memang bukan kebiasaan lelaki itu, "ini." sodor Soe pelan.
Pekikan takjub terdengar sejenak, "masya Allah apa ini, bang?"
Berkilauan ditempa sinar lampu kamar, batu kecil di cincin itu semakin tampak mempesona. Dan Soe langsung memuji dengan jujur namun terbata, saat benda tersebut ada di jari manis istrinya. "Kau, tampak berkilau."
Bodohkan? Seharusnya bukan kata itu yang keluar dari mulut Soe. Untungnya, istrinya mengerti yang istilah-istilah romantis para pecinta tidak ada dalam kamus hidup suaminya.
Cepat-cepat istri Soe berkata, "terima kasih banyak. Berlian ini sungguh, sungguh indah."
Ada desir kepedihan Soe mendengar ungkapan itu. Ia ingat dulu sewaktu cuma cincin besi menghiasi jari istrinya. Dan wanita itu tidak mempermasalahkannya sama sekali. Padahal Soe tahu, perempuan dan pernak-pernik perhiasan hampir tidak bisa dipisahkan.
Soe lirih sambil menyentuh jemari istrinya, mengatakan, "terima kasih juga, untuk semua ini. Untuk menerima cincin besi ini."
Tiba-tiba keheningan merebak diantara mereka berdua. Soe diam, istrinya bungkam, sambil saling menjajaki perasaan masing-masing.
"Sini, biar cincin besi ini disimpan saja. Kan, sudah ada penggantinya sekarang."
Soe meraih tangan istrinya. Hampir hendak melepas benda bulat tersebut dari tempatnya semula, istrinya menyela. "Jangan. Biarpun sekarang ada cincin yang harganya jauh lebih mahal, tetapi saya tetap menyukai cincin besi ini, bang."
Kalau dulu Soe malu menangis untuk mengakui kegagalan, kali ini Soe tak malu menangis senang atas keikhlasan istrinya.
"Baiklah." Soe setuju.
.............
"Secepat ini?" Lagi-lagi Soe kaget. Kejutan istrinya diluar dugaan.
Mantap, istri Soe menukaskan, "lebih cepat lebih baik, bukan?"
"Betul, memang betul. Jadi kapan?."
"Kata Putra dalam minggu ini."
"Oh..."
Benar-benar tidak terasa. Baru setelah mendengar yang anaknya hendak melamar seorang akhwat, Soe sadar ternyata waktu begitu cepat berlalu. Tahu-tahu mereka bakal punya menantu. Sebentar lagi, panggilan kakek dan nenek melekat pada mereka berdua.
Soe dan istrinya saling pandang. Dan saling senyum kemudian.
Garis jodoh, kali ini sepertinya tak bergerak kemana-mana. Atau tidak tahu kalau harus mengarah kemana lagi. Jum'at yang indah awalnya, pikir Soe. Tak ada orang yang melihat, Soe meneteskan air mata seperlunya.
"Ya, sudahlah."
Kalimat yang keluar dari mulutnya tak benar-benar diiucapkan hatinya. Kau tahu, ini tidaklah semudah itu. Padahal kesempatan yang ketiga ini sangat ia harapkan. Tapi, apa daya. Jodoh, Soe yakin jodoh sudah terpilih siapa orangnya. Nadanya lemah dan terdengar putus asa, "kalau memang ada."
Dengan hati miris, Soe menarik laci meja. Menyimpan cincin besi itu di sudut terdalam. Barangkali ia tidak pernah benar-benar akan mengeluarkannya lagi.
..............
Itu dua puluh enam tahun yang lalu.
Sekarang, di sore Jum'at yang sama indahnya, ada sesuatu yang ingin ditunjukkan pada istrinya.
"Saya juga ada." Balas istri Soe saat dirinya mengatakan ingin memberi kejutan pada wanita dihadapannya.
Soe agak kaget. "Benar? Ah, kalau begitu, apa itu?"
"Abang saja dulu."
"Sumprit."
"Gak, gak. Biar abang saja duluan."
Soe perlahan mengeluarkan kotak kecil dari saku bajunya. Tanpa basa basi yang memang bukan kebiasaan lelaki itu, "ini." sodor Soe pelan.
Pekikan takjub terdengar sejenak, "masya Allah apa ini, bang?"
Berkilauan ditempa sinar lampu kamar, batu kecil di cincin itu semakin tampak mempesona. Dan Soe langsung memuji dengan jujur namun terbata, saat benda tersebut ada di jari manis istrinya. "Kau, tampak berkilau."
Bodohkan? Seharusnya bukan kata itu yang keluar dari mulut Soe. Untungnya, istrinya mengerti yang istilah-istilah romantis para pecinta tidak ada dalam kamus hidup suaminya.
Cepat-cepat istri Soe berkata, "terima kasih banyak. Berlian ini sungguh, sungguh indah."
Ada desir kepedihan Soe mendengar ungkapan itu. Ia ingat dulu sewaktu cuma cincin besi menghiasi jari istrinya. Dan wanita itu tidak mempermasalahkannya sama sekali. Padahal Soe tahu, perempuan dan pernak-pernik perhiasan hampir tidak bisa dipisahkan.
Soe lirih sambil menyentuh jemari istrinya, mengatakan, "terima kasih juga, untuk semua ini. Untuk menerima cincin besi ini."
Tiba-tiba keheningan merebak diantara mereka berdua. Soe diam, istrinya bungkam, sambil saling menjajaki perasaan masing-masing.
"Sini, biar cincin besi ini disimpan saja. Kan, sudah ada penggantinya sekarang."
Soe meraih tangan istrinya. Hampir hendak melepas benda bulat tersebut dari tempatnya semula, istrinya menyela. "Jangan. Biarpun sekarang ada cincin yang harganya jauh lebih mahal, tetapi saya tetap menyukai cincin besi ini, bang."
Kalau dulu Soe malu menangis untuk mengakui kegagalan, kali ini Soe tak malu menangis senang atas keikhlasan istrinya.
"Baiklah." Soe setuju.
.............
"Secepat ini?" Lagi-lagi Soe kaget. Kejutan istrinya diluar dugaan.
Mantap, istri Soe menukaskan, "lebih cepat lebih baik, bukan?"
"Betul, memang betul. Jadi kapan?."
"Kata Putra dalam minggu ini."
"Oh..."
Benar-benar tidak terasa. Baru setelah mendengar yang anaknya hendak melamar seorang akhwat, Soe sadar ternyata waktu begitu cepat berlalu. Tahu-tahu mereka bakal punya menantu. Sebentar lagi, panggilan kakek dan nenek melekat pada mereka berdua.
Soe dan istrinya saling pandang. Dan saling senyum kemudian.