Kamis, 22 Mei 2014 0 Messages

CINCIN BESI (PART 2 - END)

"Maaf, saya merasa tidak sebanding dengan anda."

Garis jodoh, kali ini sepertinya tak bergerak kemana-mana. Atau tidak tahu kalau harus mengarah kemana lagi. Jum'at yang indah awalnya, pikir Soe. Tak ada orang yang melihat, Soe meneteskan air mata seperlunya.

"Ya, sudahlah."
Kalimat yang keluar dari mulutnya tak benar-benar diiucapkan hatinya. Kau tahu, ini tidaklah semudah itu. Padahal kesempatan yang ketiga ini sangat ia harapkan. Tapi, apa daya. Jodoh, Soe yakin jodoh sudah terpilih siapa orangnya. Nadanya lemah dan terdengar putus asa, "kalau memang ada."

Dengan hati miris, Soe menarik laci meja. Menyimpan cincin besi itu di sudut terdalam. Barangkali ia tidak pernah benar-benar akan mengeluarkannya lagi.
..............

Itu dua puluh enam tahun yang lalu.
Sekarang, di sore Jum'at yang sama indahnya, ada sesuatu yang ingin ditunjukkan pada istrinya.

"Saya juga ada." Balas istri Soe saat dirinya mengatakan ingin memberi kejutan pada wanita dihadapannya.
Soe agak kaget. "Benar? Ah, kalau begitu, apa itu?"
"Abang saja dulu."
"Sumprit."
"Gak, gak. Biar abang saja duluan."

Soe perlahan mengeluarkan kotak kecil dari saku bajunya. Tanpa basa basi yang memang bukan kebiasaan lelaki itu, "ini." sodor Soe pelan.

Pekikan takjub terdengar sejenak, "masya Allah apa ini, bang?"
Berkilauan ditempa sinar lampu kamar, batu kecil di cincin itu semakin tampak mempesona. Dan Soe langsung memuji dengan jujur namun terbata, saat benda tersebut ada di jari manis istrinya. "Kau, tampak berkilau."

Bodohkan? Seharusnya bukan kata itu yang keluar dari mulut Soe. Untungnya, istrinya mengerti yang istilah-istilah romantis para pecinta tidak ada dalam kamus hidup suaminya.

Cepat-cepat istri Soe berkata, "terima kasih banyak. Berlian ini sungguh, sungguh indah."

Ada desir kepedihan Soe mendengar ungkapan itu. Ia ingat dulu sewaktu cuma cincin besi menghiasi jari istrinya. Dan wanita itu tidak mempermasalahkannya sama sekali. Padahal Soe tahu, perempuan dan pernak-pernik perhiasan hampir tidak bisa dipisahkan.

Soe lirih sambil menyentuh jemari istrinya, mengatakan, "terima kasih juga, untuk semua ini. Untuk menerima cincin besi ini."

Tiba-tiba keheningan merebak diantara mereka berdua. Soe diam, istrinya bungkam, sambil saling menjajaki perasaan masing-masing.

"Sini, biar cincin besi ini disimpan saja. Kan, sudah ada penggantinya sekarang."
Soe meraih tangan istrinya. Hampir hendak melepas benda bulat tersebut dari tempatnya semula, istrinya menyela. "Jangan. Biarpun sekarang ada cincin yang harganya jauh lebih mahal, tetapi saya tetap menyukai cincin besi ini, bang."

Kalau dulu Soe malu menangis untuk mengakui kegagalan, kali ini Soe tak malu menangis senang atas keikhlasan istrinya.

"Baiklah." Soe setuju.
.............

"Secepat ini?" Lagi-lagi Soe kaget. Kejutan istrinya diluar dugaan.
Mantap, istri Soe menukaskan, "lebih cepat lebih baik, bukan?"
"Betul, memang betul. Jadi kapan?."
"Kata Putra dalam minggu ini."
"Oh..."

Benar-benar tidak terasa. Baru setelah mendengar yang anaknya hendak melamar seorang akhwat, Soe sadar ternyata waktu begitu cepat berlalu. Tahu-tahu mereka bakal punya menantu. Sebentar lagi, panggilan kakek dan nenek melekat pada mereka berdua.

Soe dan istrinya saling pandang. Dan saling senyum kemudian.



Senin, 19 Mei 2014 0 Messages

NANNY (PART 3 - THE END)

"Syukurlah cuma mimpi."

Belum lepas dari efek mimpi aneh tadi, jantung Soe masih berdetak kencang. Ia menguap tertahan sambil memijat kepalanya sendiri. Pastinya, bangun kesiangan akan berbuah demikian. Perlahan tapi pasti, Soe mulai melipat alas kasur dan selimut, lalu menumpukkannya ke atas bantal.

Serapi apapun hasilnya, kesan tersebut tertutupi oleh menggunungnya pakaian bersih yang belum 'sempat' dilipat, dua novel tergeletak di lantai, mug berisi ampas kopi sisa semalam, dan si oren yang ternganga bebas kehabisan cas.

Nanti saja membereskannya, kilah Soe.

Namun, wait a minute.

Tap-tap-tap.

Soe senyap sementara suara itu semakin mendekat.

Tap-tap-tap. Sesosok manusia muncul dari balik dinding. Jantung Soe hampir lepas.

"Soe, mau makan apa siang ini? Saya mau ke pasar nih. Oh ya, nasi goreng dan teh panas sudah ada di dapur."

Tak mampu bergerak dan bahkan berkedip sekalipun. Nafas Soe terpotong-potong serta pandangannya kabur, lalu kosong seketika.

Satu,
dua,
tiga!

"Bugg....."

Soe pingsan.
............

"Assalamu'alaikum....."

Soe kesulitan bernafas, sesak.

"Assalamu'alaikum...."

Ia belum bisa menjawabnya kecuali dalam hati.

"Assalamu'alaikum...."

Untuk ketiga kalinya, salam itu terlontar. Semuanya masih terlalu tiba-tiba. Sukar Soe mencerna apa yang terjadi sebenarnya. Mimpi berlapis dan bersambung dengan sosok yang sama. Benar-benar membuatnya tengah berada di dimensi lain.

"Gak ada orangnya kali. Pulang aja yuk."

Dengan tenaga semampunya, pemuda itu menguatkan diri bangkit.

Kreeett

Pintu kamar terkuak. Satu wanita sudah di jok motor. Dan wanita muda yang berucap salam tadi berbalik badan,mungkin mendengar ada tanda kehidupan dari dalam. "Oh maaf," katanya cepat mendapati Soe kusut masai.

"Wa..wa'alaikum salam."
Lalu agak pelan, "warohmatullahi."

"Bise print bang?"

Soe berkedip-kedip. Wajah yang bertanya sama sekali tidak asing. Wajah yang mengganggunya dalam mimpi, tapi ini jauh lebih muda tiga puluh tahun, sepertinya.

"Bi..bisa."

Hampir saja Soe pingsan sebenarnya, namun si Nanny, kucing piaraannya mengeong nyaring dan mengelus kaki majikannya. "Ngeoooonng."

TAMAT
Minggu, 18 Mei 2014 0 Messages

NANNY (PART 2)

Perhiasan yang paling indah,
Bagi seorang abdi Allah,
Itulah dia wanita sholehah,
Dia menghiasi dunia....

Tepat jam enam, alunan nasyid The Fikr buat Soe terjaga. Ia mengeliat, lantas dalam pejam menggapai-gapai HP, mematikan alarm.

Perhia.....

Tak jadi. Lagu berjudul wanita sholehah tersebut urung berlanjut. Soe mengucek-ucek mata sekenanya. Saatnya beraktivitas, pikirnya. Tapi kepalanya terasa sakit. Nyuuutt-nyuuutt-nyuuuttt.

Ia tahu selalu begini, kalau bangun kesiangan.

Uhh....dengan susah payah dan agak sempoyongan, pemuda itu beranjak menuju dapur.

"Sudah bangun, Soe?"

Soe otomatis terbelalak.

Wanita itu berbicara tanpa melihat kepada Soe. Tangannya sibuk mengaduk-aduk cairan pekat mengepul dalam gelas kecil. Baunya harum sekali, hinggap sampai ke penciuman Soe.

Dengan gugup, "si..siapa kamu?" tanya Soe terbata-bata.

Wanita itu tak menghiraukan. "Kopimu sudah siap. Kue di bawah tutup saji ya. Saya mau keatas."

Pastinya ia cantik semasa muda dulu. Matanya tajam namun tidak mengancam. Gelombang rambutnya bak debur ombak dipantai. Hitam mengilap dan bersih. Pakaiannya anggun, cocok dengan porsi tubuhnya yang tidak terlalu gemuk maupun kurus. Usianya, tebak Soe, sekitar lima puluh tahunan. Semakin membuatnya terlihat jauh lebih muda, wajah merona dan jauh dari beban-beban kehidupan.

Masih bingung, Soe mematung saat wanita itu melangkah meninggalkannya sendirian di dapur. Tap-tap-tap, terdengar langkah kaki semakin mengecil.

Apa ini? Siapa wanita itu?

Aroma kopi kian menggoda. Kepulan asapnya menari-nari saat Soe mengangkat mug tersebut. Menyeruputnya sedikit, dan wah luar biasa rasanya. Inilah kopi ternikmat yang pernah ia rasakan. Oh, siapa wanita asing itu?. Datang seenaknya ke rumah Soe dan melakukan ini itu tanpa ijin terlebih dahulu.

"Bajuku?"

Soe berlari menuju kamar. Dugaannya terjawab dalam hitungan satu setengah detik berikutnya. Kardus berisi tumpukan pakaian kotor kosong melompong. Ada yang mengambilnya. Mungkinkah.......

Dari kamar, Soe berlari lagi menuju tempat cuci piring. Bersih. Tak satupun gelas, piring, garpu-sendok kotor teronggok disana. Semuanya dalam keadaan tercuci dan tersisih apik di tempatnya. Bagaimana ini? Apa arti semuanya?

Satu hal lagi yang terlewat dari pengamatan Soe. Lantai ternyata tak kalah mencengangkan. Kilauannya seolah merebak kemana-mana.

"Tidak, tidak, Ini pasti mimpi."

Soe berlari untuk kesekian kalinya ke serambi, normal. Seluruhnya tampak normal. Lalu lalang kendaraan mengular. Anak-anak sekolah berbagai jenjang berduyun-duyun melintas. Para pekerja kantoran dan petani pun demikian pula. Ini pasti mimpi!

"Ada apa?"

Seorang tetangga menyapa, memastikan Soe tidak apa-apa. Dan normal, semuanya memang nyata. Tapi siapa wanita itu.

Soe berjalan cepat mengarah ke lantai atas. Namun baru mencapai anak tangga pertama, keduanya bertemu. "Siapa kamu?"

Wanita tersebut tersenyum manis. "Aku Nanny".
............

Soe terbangun paksa. Tubuhnya terlonjak di tempat tidur. Nasyid wanita sholehah membangunkannya. Ia berkeringat pagi.

(bersambung ke Part 3 ending)
0 Messages

RAZIA

Pritttt....prittt....

Polisi itu mengisyaratkan lengan sebelah kanan. Membawa pengendara agar menepi ke bahu jalan sebelah kiri. "Ada apa? Kecelakaankah?" Soe yang belum sadar bertanya-tanya. Ia masih membawa motornya dengan santai.

Prittt....prittt....

Di pinggir jalan, seorang wanita tua berjongkok malas dan memelas sepertinya. Tapi itu belum apa-apa bila dibandingkan dengan pemuda disampingnya. Pemuda itu mondar-mandir sambil sesekali menepuk jidat. Nahas sekali tampaknya.

Prittt...prittt....

Satu demi satu sepeda motor menepi. Kala itulah baru Soe tersentak. Wah gawat, RAZIA!

Berbelok jelas tak mungkin. Menerobos apalagi. Soe berpikir keras-keras, "apa yang mesti kulakukan?"

Dan ketika tiada lagi celah, jawabannya tentu adalah PASRAH.

Mengikuti isyarat salah satu polisi, Soe melewati bahu jalan. Parkir diatas bekas tumpukan pasir.

Tenang, Soe. Tenang. Tarik nafas dalam-dalam. Tunjukkan wajah biasa-biasa saja. Wajah tanpa ekspresi. Seperti yang selalu kau latih tiap hari. Toh semua surat menyurat berkendara lengkap, kan? Ya, lengkap, kecuali.....

"Pagi, pak. Bisa tunjukkan SIM dan STNK nya?"

Soe melihat kebangkrutan dihadapannya sendiri. Uang di dompet yang jumlahnya sedikit akan segera habis ludes. Tak tersisa.

Dengan lunglai dan lemas, ia mengeluarkan dua benda yang diminta polisi dari dompetnya.

"Ini."

ALLAH, APAPUN YANG TERJADI SETELAH INI, SAYA PASRAH.

Jidat polisi itu berkedut.

Dug...dug...dug... Jantung Soe mulai tidak stabil. Tenang, Soe. Tenang!

Polisi itu masih berkedut jidatnya.

Dan Alhamdulilah. "Silakan."

Ibaratnya bergantung pada seutas tali benang. Uhhaaa....Soe benar-benar lega. Polisi itu hanya melihat SIM yang kebetulan berada diatas STNK. Seandainya....ah, Alhamdulillah sekali lagi. Akan sangat gamblang terlihat di STNK bahwa pajak motor telat dibayar. Pokoknya, ah sekali lagi Alhamdulillah.

Soe menghindar dan melaju dengan dada yang membuncah penuh rasa senang. Memang ini bisa disebut keberuntungan. Tapi hari-hari selanjutnya, belum pasti seberuntung ini.
.............
Jumat, 16 Mei 2014 0 Messages

NANNY (PART 1)

Nanny hafal betul. Kalau Soe membuka pintu hendak masuk pasca shalat subuh, ia berlari sekuat tenaga menghampiri. Teriakannya berulang-ulang. Dan jelas Soe tahu apa yang diinginkannya. "Ayo, Nanny," ajaknya  singkat sambil melangkah ke dapur.

Tapi, subuh tadi Soe menangkap riak kecewa di wajah Nanny, Nanny enggan menyantap lahap pemberian pemuda itu. Sekali dua gigitan saja, ia berhenti. Merengek-rengek pada Soe, meminta yang lain. Wah, Soe menyesal sekali tidak membeli kue yang itu.

Soe tak ingin keluar membeli kue lagi hanya demi Nanny!
...........

Nanny, sebagai makhluk 'buangan' yang berhasil menemukan tempat berteduh di rumah Soe, terbilang bersih. Maksudnya, pandai membersihkan diri. Paling tidak itu yang diucapkan oleh salah satu pengunjung Sentras beberapa waktu silam.

"Ih, lucunya...."
"Ambil saja kalau mau."
"Gak ah, di rumah juga sudah banyak kucing."
............
Soe menyadari ia kurang tidur. Selesai baca Qur'an sejenak, matanya melirik bantal.
"JANGAN, JANGAN. AYO, BERPAGI-PAGI MENCARI REJEKI."
"TAP APA-APA. SETEL ALARM JAM 6. TIDUR BENTAR PUN JADILAH."

Soe di persimpangan. Sayangnya, satu dua menit berikutnya, ia telah tergolek tak sadarkan diri. "Bangun jam enam...zzzZZZZ." Ia melaju ke alam mimpi.

(bersambung)
Selasa, 13 Mei 2014 0 Messages

Si Mug

Selain si F1zer dan si Oren, satu lagi tambahan barang istimewa yang masuk dalam urutan teratas. Si Mug.

Pagi hari, isi kopi panas di dalamnya, cocok sekali berpadu dengan 'tambul-tambul' yang lezat. Jadi teman sebelum memulai aktivitas diawal hari. Lain waktu, teh panas yang berbau harum pula, mengepul dari si Mug transparan tersebut. Sembari makan siang dan menonton serial animasi Sinchan. Wah-wah-wah, sedaaaap sekali.

Sore menjelang malam, si mug ikut menemani saat-saat ...membaca novel, dengan teh panas lagi terisi di dalamnya. Dan saat malam menjelang tidur, tak jarang ia tergeletak di samping, isinya sering sampai dingin, ikut menghantar ke alam mimpi.


Meski cuma souvenir hadiah pernikahan, si Mug telah menjadi bagian dari hidup. Si Mug juga, tampaknya dengan bangga ikut melayani siapa saja yang datang berkunjung ke Sentras. Penasaran mo lihat si Mug langsung??? Kuharap tidak!
He...he...he.....
Senin, 12 Mei 2014 0 Messages

INI NASIB ATAUKAH TAKDIR NAMANYA?

"Kuliah ke?"

Soe menggeleng dengan yakin saat teman sekelasnya bertanya. Tak ada celah sama sekali, pikirnya. Sekuat apapun memeras pakaian kering, air takkan pernah keluar dari sana, kan?

Ah, menyalahkan kedua orang tua tentunya kurang ajar sekali. Ini nasib ataukah takdir namanya?. Soe menyimpan elok-elok ijazah SMK yang menuliskan angka-angka, simbol kegemilangan masa belajar selama tiga tahun. Kalau saja angka-angka tersebut berguna, sesal pemuda itu agak sesak.

Sudahlah! Lewat!
...........

Pagi-pagi sekali, Soe sudah melangkahkan kaki turun dari rumah. Hari baru saja terang tanah. Udara kampung yang segar, embun bergentayangan menyapa, menyejukkan. Dia justru masih terbilang kesiangan. Sudah banyak warga kampung yang bahkah jauh lebih awal sudah berangkat menoreh karet. Berbekal lampu senter, merangsek sebatang demi sebatang melukai pohon uang tersebut.

Berbulan-bulan. Rasanya sudah cukup mengumpulkan ongkos ke Sintang. Ke Sintang? Kesana bukannya untuk bersenang-senang. Cuma beralih profesi saja. Dari penoreh karet menjadi penambang emas. Karena penghasilan menambah emas jauh lebih besar dibandingkan hasil menoreh karet.

Seharian bergulat dengan pasir dan bebatuan kerikil, panggangan matahari dan siraman air tidak bersih. Memanggul dua puluh liter atau lebih solar, meski kadang bergantian, pun menjadi makanan harian. Kerasnya mencari duit, tampak biasa saja saat dinikmati. Terlebih, saat membayangkan, suatu waktu bisa mengecap bangku kuliah.

Bangku kuliah....entahlah. Beruntung sekali mereka yang ditanya, "nanti mau kuliah dimana, nak?" Dan sang anakpun tinggal menyebutkan universitas tujuannya.

Ini nasib ataukah takdir namanya?
........

Hari berlepas hari. Sampai juga di bulan pembukaan tahun ajaran baru untuk tahun berikutnya. Ada secercah cahaya menggelayut di benak Soe. Yah, ia ingin kuliah. Apa mungkin? Uang yang dikumpulkannya berbulan-bulan, tepat cuma cukup untuk daftar dan daftar ulang seandainya lulus.

"Insya Allah ada jalannya."

Berbekal semangat dari orang tua dan saudara, Soe mendaftar di sebuah universitas negeri. Setahun suntuk tak bersentuhan dengan mata pelajaran, ingatan Soe masih terbilang bagus ketika mengisi lembaran soal. Alhasil, walaupun gagal di pilihan pertama bahasa Inggris, namun ia terdaftar sebagai mahasiswa Akuntansi. Sesuai dengan jurusan sewaktu Sekolah Menangah Kejuruannya. Akhirnya!

Dan sejak saat itu, segalanya bukan menjadi lebih mudah. Pasokan uang yang diterima setiap periode mesti dihemat sehemat mungkin. Teliti setiap melakukan pengeluaran. Selalu was-was akan uang ludes sebelum kiriman berikutnya tiba.
..........

Sebelas tahun berlalu seakan baru kemarin saja. Sekarang Soe punya jawaban atas pertanyaannya. Ini nasib ataukah takdir namanya?

Usaha dan perjuangan keras mengubah nasib, itulah takdir kita! Setelah melakukan yang terbaik, serahkan hasilnya pada Allah Ta'ala. 
Jumat, 09 Mei 2014 0 Messages

REKEJI TAKKAN KEMANA!

"Assalamu'alaikum..."

Kumandang azan Ashar baru saja selesai. Kala itu, aku tengah di kamar kecil. Jawaban salam pun hanya dijawab dalam hati saja. Aku bergegas agar tamu tidak pulang. Sayang, begitu keluar, kudapati sang tamu sudah berada di jok motornya. Seorang wanita masih muda berbadan gemuk, dengan pengendara seorang pria kurus. Hampir saja aku meneriakinya, meski sesungguhnya itu bisa, lalu mereka tidak jadi pergi. Tapi, surau belakang mengumandangkan Iqomat.

Rejeki takkan kemana, aku menghibur diri. Seandainya melayani keperluan mereka, paling tidak menghabiskan lima belas menit sampai setengah jam-an. Ashar tertunda, sementara jamaah sudah pada pulang semuanya. Berdiri dipersimpangan, "ah rejeki takkan kemana." Aku menghibur diri kembali.

Sampai malam bertandang, dua orang tadi tak kunjung nampak batang hidungnya. Rejeki takkan kemana!
.............

Sejauh ini, hari Jum'at selalu istimewa dan aku bingung meski shalat di masjid mana. Paling dekat, mesjid Senyawan, atau mesjid Tanjung Rasau tempat biasanya dulu, atau mesjid Tumok, wah sudah lama tak shalat disana. Barangkali masjid besar Babul Jannah saja,  namun sayang sedang direhab. Bisa juga ke mesjid di komplek pesantren sekalian pulang dari perpustakaan.

Belum bisa membuat keputusan!

Sebuah motor matic parkir tepat di depan rumah. Seorang wanita muda gemuk dan wanita muda yang jauh lebih kurus. "Assalamu'alaikum, bang..." sapanya ringan.

Jelas sekali, ia orangnya mudah akrab.

"Wa'alaikumsalam warohmatullah...." balasku sesantai mungkin.

"Gini bang, mo pesan undangan......"
Blaa...blaa...blaa...REJEKI TAKKAN KEMANA! Benar, wanita muda gemuk bernama Ela tersebut adalah tamu yang raib kemarin.
..............

Aku tidak lagi bingung mau shalat di mesjid mana. Ya, yang terdekat saja. Setengah dua belas, kuajak F1zer menjejaki jarak kurang dari satu kilometer. Sepi, tapi mesjid masih sepi.

Keputusan kilat. Akhirnya aku bersila di mesjid yang baru saja setahunan selesai direhab. Dalamnya begitu adem meski warna fisik bagian luar terlalu mentereng. Mesjid Tumok tempatku menunaikan shalat Jum'at.

Usainya, aku memacu F1zer ke pasar, mencari plastik undangan.
Kamis, 08 Mei 2014 0 Messages

CINCIN BESI

Jum'at yang mendebarkan. Mengungkit penasaran dan was-was sekaligus. Mungkinkah? atau jangan-jangan.... dua kata yang tumpang tindih muncul kepermukaan. Terkadang, satu lebih kuat dari yang lainnya.

Ah, tenang saja. Terima apapun keputusan yang ia berikan. Namun, sayangnya kalimat penghibur diri itu tak jua mempan. Waktu bergerak perlahan sekali!

Soe, menunggu setelah shalat Jum'at
............

"Kamu pikir anakku ini apa, hah?!"

Diam dan menyusut. Menjelaskan hakikat berumah tangga pun sepertinya sia-sia. Soe mengatur langkah mundur teratur. Bersamaan dengan itu, garis jodoh terpental, berbalik arah. Menuju titik yang "tepat". BARANGKALI.
............

Masih sejelas pagi yang hangat ini, pengalaman itu kian membekas. Penolakan tanpa ampun orang orang tua yang mengambil alih kehidupan putrinya. Pun, si anak perempuan tidak terlalu kuat pendiriannya. Urusan jodoh memang tidak boleh dipaksa-paksa. Sekuat apapun berjuang, urung juga akhirnya.

Baru setengah delapan, tinggal lima jam kedepan. Daripada memikirkan hal tersebut, Soe berpikir lebih baik menggurat kata demi kata bersama si oren.
............

"Oh, manisnya. Terima kasih, Soe."

Pemuda itu tercengang. Nyatakah ini? Atau ia sedang bermimpi tengah hari. TIDAK. Ini adalah fakta. Respon yang tak terbayangkan sama sekali oleh Soe.

Orang tua Soe dan gadis itu senang serentak. Sanak saudaranya juga ikut merasa hal serupa. Tapi entahlah, Soe justru merasa ada yang janggal. Apa itu? Belum jelas juga.

Gadis itu melanjutkan, "aku tahu apa maksud ini semua. Cincin besi ini hanyalah sebuah ujian, kan?"

Ujian. Ujian apanya. Oh, jangan-jangan.........
.............

Jum'at berkah, setengah sebelas kurang delapan menit. Sering, apa yang nampak tidak seperti sesungguhnya. Sejak awal kepada gadis itu, orang tuanya, dan keluarga besarnya, Soe mengatakan, saat ini hanyalah cincin besi ini yang sanggup ia jadikan mahar pernikahan. BENAR. .

Soe ingat, suasana malam  syahdu kala itu, tiba-tiba berubah tidak enak. Mencekam setiap orang yang hadir. Tiada lagi senyum, kecuali masam dan tidak ikhlas. Ucapan maaf terlontar disana sini. Ah, urusan jodoh, sekali lagi memang bukan kita penentunya, kan? Garis jodoh terpental ulang, mengarah pada titik yang lain. Yang mungkin "tepat".

............
Gadis itu telah menuliskan jawaban pada sebuah e-mail, lalu menyimpannya dalam format draft. Berulang-ulang kali ia mengejanya. Setiap kata beserta tanda bacanya. Agar maksud yang disampaikannya bisa ditangkap. Tinggal menekan menu KIRIM. Tapi nanti, ba'da shalat Jum'at. Seperti janji yang mereka buat bersama-sama.

Ia sudah meminta keputusan lewat shalat malamnya semalam. Hatinya, entah bagaimana, pagi ini cukup bahagia.

Pagi itu, si gadis mengisi mentoring di kampusnya.
............

Shalat Jum'at yang paling buruk! Khusyuk keluar masuk, seperti dikejar apa, gitu. Padahal, gunung dikejar takkan lari. Begitu pepatah yang menekankan agar jangan terlalu terburu-buru.

Do'a secepat kilat, Soe bergegas pulang. Datang ke rumah langsung menghidupkan si Oren. Menghubungkan jaringan internet via modem yang murah meriah meski agak lemot, ia meluncur ke google.co.id.

email....email....email...

Tepat Janji. Sebuah pesan elektronik baru masuk. Dengan tidak sabar, Soe membukanya. Loading yang memerlukan waktu bagai tengah menyiksanya. Sedetik demi sedetik!

Tarrra....... Kalimat itu tidak panjang dan juga tak perlu pikir keras memahami maksudnya. Soe meraih Cincin Besi yang teronggok manis di samping si oren. Tersenyum, mengangkatnya tinggi-tinggi kemudian.

Mumpung tak seorangpun melihat, Soe ingin menangis.
=============

(Bersambung gak ya.....entahlah)
#Justfiction
Minggu, 04 Mei 2014 0 Messages

Di Suatu Waktu

Pernah, di suatu waktu dulu. Aku gemar googling tentang media yang terima tulisan. Tentu harapannya adalah, aku kirim dan dapat fee. Alamat-alamat tersebut aku simpan baik-baik dalam si oren. Hari-hari berikutnya, aku malah membayangkan telah mengirim hasil tulisan. Nyatanya, imajinasi itu hanya sampai di kepala.

Setiap kali menulis, semakin menyesakkan saja. Seolah ada yang menuntut menulis. Juga seolah punya tenggat waktu penyelesaian. Aku sesak.

Rupanya, ada yang salah dalam motivasi menulisku! Menulis bukanlah tentang mendapatkan ganjaran melimpah. Menulis baik dan bagus, upah itu mengekor secara pasti dibelakangnya. Itu yang keluar dari analisaku.

Makanya, sekarang ini, aku haruslah banyak menulis dan banyak menulis lagi. Bila jemari telah lentur dan sistem menulis tercetak di otak, menuju karya yang lebih besar semakin mudah.

Bukan begitu???
0 Messages

RATAPAN VIOLA (3 - TAMAT)

Kadang, bumi terlalu sempit. Kemanapun melangkah, selalu saja bertemu dengan orang yang sama. Apa ini benar-benar nyata. Soe masih tercengang saat ibunya mengurai benang rahasia helai demi helai. Fakta yang selalu dipertanyakannya, kini hampir membuatnya tak sadarkan diri.
"Lambat laun, kau harus tahu ini juga Soe. Dan ibu pikir, inilah saatnya."
Yah, benar inilah saatnya.
..........
Viola bak patung di depan dua gundukan tanah. Deru mobil, suara motor, laju angkutan umum, sama sekali hilang dari pendengarannya. Yang ada di telingannya saat ini hanyalah, suara-suara sayup memanggil namanya. Berulang-ulang, dan ia tidak bisa mengenyahkannya begitu saja.
"Ola....ola....."
"Ma.....ma....."
Padahal Viola bisa saja langsung hengkang dari sana jika terganggu. Kenyataan berbicara lain. Entahlah, apa ini sebuah kerinduan? Atau barangkali penyiksaan diri. Suara-suara itu datang silih berganti. Perasaannya pun demikian. Ada kehausan yang terpenuhi, sekaligus mencabik-cabik batinnya sedikit demi sedikit.
Soe berdiri berjarak tiga langkah di belakang. Ibu menyadarkan Viola dengan menjatuhkan tangan di pundak sang artis ternama tersebut.
"Sudahlah, ayo..."
Viola kelihatannya enggan berdiri. Ia kemudian menghela nafas dalam-dalam. Kerudung dan pakaian hitamnya menjadi saksi. Sebuah penyesalan yang sudah teramat jauh untuk dilakukan. Kacamata hitamnya pula, menutupi genangan bening dari sudut-sudut matanya. Untuk kesekian kalinya, ia menyekanya dengan sapu tangan biru.
Viola berdiri.
.........
"Soe, mungkin jauh lebih baik seandainya sejak awal lagi membeberkan ini semua. Biar almarhum Uli, abangmu, meski tidak bisa melihat, paling tidak ia tahu yang ibu kandungnya masih hidup," kata ibu menutup malam.
Sudah terlambat, mungkin. Dan sepertinya aku tahu apa yang tengah dipikirkan mama Vio saat ini di apartemennya.
Esoknya, manajer pribadi, agen iklan, dan rumah produksi heboh atas kehilangan Viola. Media elektronik dan massa gempar. Acara gosip selebritis bahkan berjam-jam mengabarkan berita ektra menjual itu.
VIOLA LENYAP.
..........
Disana, di suatu tempat, di belahan bumi lainnya, wanita itu baru merasakan benar-benar hidup.
SELESAI
 
;