“Yakin, Od?”
Kedua rahangku mengeras mendengar
pertanyaan tak berbobot Jaidi. Ternyata ia masih juga sangsi perihal niatanku
untuk ikut kompetisi itu. Kurang asam sekali, pikirku.
“Sumpah pemuda!” tegasku singkat.
……………
Aku senang tidak berada diantara mereka yang
berkerumun di lapangan. Karena tempat kami berbeda yaitu diatas panggung. Dengan
satu orang protokol, tiga juri yang menurutku bisanya cuma mengatakan enak atau
tidak. Juga dua pesaing yang tak satupun dari mereka membuatku minder. Karena dengan
seyakin-yakinnya, hari ini adalah sejarah hidupku terukir. He…He…!
“Tes-tes-tes…” Pak ngah Judin
memastikan kondisi mic-nya bisa berjalan sempurna. Sama seperti yang ia selalu
lakukan setiap menjadi protokol di acara pernikahan warga. Karirnya dalam dunia
protokoler memang cukup populer. Sayang saja hanya berkubang dilingkup dusun.
Ia berucap salam. Lalu mengucap
hormat pada jajaran pemerintah desa yang enak-enakan bernaung di tenda di sisi
kiri panggung. Dilanjutkan dengan menyapa warga yang antusias dan meringis di
bawah sinar mentari pukul delapan lewat.
Di depan kami selaku peserta, ada
tiga meja yang disusun agak berjauhan. Tak perlu ditebak apa diatasnya meskipun
tertutup. Itu adalah inti dari kompetisi ini. Namun, saat ini aku lebih
berselera untuk menekan sainganku. Bukankah itu biasanya yang harus dilakukan
sebelum bertanding. Katakanlah sebagai pemanasan. Atau uji kesiapan mental.
Tepat duduk disampingku seorang ibu
muda yang sok cantik. Itu pendapatku. Dan ketika kutanyakan kepada Jaidi
kemarin, ia juga berkata serupa. Jadi, kesimpulanku tidak salah. Namanya
Jelita. Ah, nama dan orangnya seperti pinang di belah dua. Ketika membelahnya
menggunakan parang tumpul. Buah pinang pun pecah bertaburan.
Gayanya glamor ala kampung. Tahukan
maksudku? Jika tidak, bayangkan saja sendiri. Kalau bicara keramahannya, aku
mengakui. Dari pertama datang sampai setelah kurang lebih satu jam disini ia
selalu tersenyum. Baik kepada kami sebagai saingannya maupun kepada warga yang
kebanyakan mengharapkan kemenangannya. Itu wajar. Ku harap setelah acara ini,
ia tidak sakit pipi. Terlebih ketika melihat aku memegang trofi kemenangan
nanti.
Jujur, aku merasa terganggu dengan
ikutnya wanita itu dalam kompetisi ini. Tetapi justru karena itu juga kenapa
aku ada disini. Cukup sudah Mak Ude selama 32 tahun memangku kepala juru masak
dusun. Dan Jelita merupakan cucunya yang berusaha meneruskan “rezim”
keluarganya. Tak sopan sekali.
Lengsernya Mak Ude dari kursi juru
masak kampung terjadi secara otomatis. Ia menutup usianya dengan angka 65
tahun. Seperti kebanyakan lansia, faktor penuaan dan komplikasi penyakit
tersembunyi menyebabkan kematiannya. Beberapa hari sepeninggalnya, kepala dusun
berembuk dengan warga untuk menentukan pengganti beliau. Maka kompetisi ini adalah
cara penentuannya.
Tatapku kepergok Jelita. Secepatnya
kualihkan pandangan kepada warga yang masih saja antusias mendengarkan ocehan
pak ngah Judin. Ku coba melakukan hal yang sama dari Jelita, tersenyum manis.
Yang muncul kemudian hanyalah senyum masam. Karena aku sangat sadar,
satu-satunya orang yang, itupun dengan terpaksa, mengandalkanku hanyalah Jaidi.
Setelah ia mengatakan bahwa aku sedikit stres dengan cengiran gigi jongosnya.
Sergahku pada pandangan Jaidi kemarin, “mungkin kau betul sob. Lantaran terlalu
banyak menganggur, makanya pikiranku tidak lagi normal.” Aku diam sejenak
sebelum melanjutkan, “asal tahu saja Je, tingkatan stres itu
bertingkat-tingkat. Ku yakin berada pada tingkat yang produktif kok.” Jaidi
menggeleng mendengar ucapanku.
Alamak. Jelita mendapat poin satu
dariku. Aku merasa menjadi pecundang dengan tidak membalas tatapannya tadi. Ia
berhasil mengintimidasiku hingga ke pojok panggung. Aku terkucilkan. Rilek, tenang,
dan tidak apa-apa. Kali ini mungkin ia bisa bertingkah seperti itu. Setelahnya,
ku pastikan matanya akan keluar dari rongganya saking terperangah melihat
kemampuanku dalam mengolah rempah-rempah. Menciptakan masakan terbaik untuk
dusun ini. Lihat saja nanti.
Rasanya tidak adil dan terlalu
lengah jika mengabaikan saingan tertua kami. Jehan itulah namanya. Aku menyesal
jika harus mengatakan ia sebaiknya tidak ikut saja kompetisi seperti ini. Lebih
baik ia merias diri dikamar, lalu menunggu seseorang datang melamarnya. Belum
sempat mengadakan penelitian memang, tapi dugaanku sepanjang hidupnya terlalu
diberatkan dengan menjadi asisten Mak Ude. Terlalu antusias menjadi juru masak
dusun suatu hari nanti. Itu menjadikannya lupa untuk mencari pendamping.
Padahal masa kedewasaannya telah melampaui tiga puluh tahun.
Berbicara pengalaman, ia nomor wahid
tentunya. Namun sebuah perubahan tidak cukup hanya dengan itu. Perlu pemikiran
yang segar dan kreatifitas. Pengalaman sebagai landasan agar berbuat lebih
baik. Bila dipikir-pikir posisiku berada dimana ya?. Pengalaman atau kreatifitas.
Ternyata Jaidi benar, bekalku hanyalah dekat dan ambisi tak jelas.
Bagaimanapun sungguh tak tega melihat
Jehan meratap diakhir pertandingan kelak. Sembari mendengar bahwa dirinya
menjadi runner up atau juara
terakhir. Menyedihkan sekali. Pucuk dicinta ulam tak tiba. Tapi itulah
kompetisi dan ia bersikap untuk mengambil resiko.
……..
Dan peluit pun berbunyi. Tepuk tangan
dan dukungan dari bawah bergema. Menyebut-nyebut nama Jelita dan Jehan. Lalu
dimana Jaidi yang kutugaskan untuk mengumpulkan anak-anak muda agar menjadi supporter-ku. Sampai saat ini aku bahkan
belum melihat batang hidung tetanggaku tersebut.
Tantangan pertama adalah ayam masak
merah. Merupakan seperti menu wajib di acara syukuran atau pernikahan di dusun.
Gampang, pikirku. Antisipasiku tepat. Bagaimana memasaknya telah kupelajari
dari bunda tercinta dua hari yang lalu. Bawang merah, bawang putih, ketumbar,
dan santan kelapa. Dengan tambahan cabe bubuk sebagai pewarna. Ada yang kurang.
Tapi apa? Tak penting. Biasanya kalau masak-masak itu diberi kunyit, cengkeh,
dan kapulaga juga boleh mungkin.
Waktu berlari begitu lajunya. Rasanya
aku baru saja menghidupkan kompor gas dan memasukkan rempah-rempah.
Menyatukannya dengan bahan utama yaitu daging ayam. Tiba-tiba tinggal lima
menit tersisa. Sedikit lega ketika melihat dua pesaingpun sepertinya cukup
kelabakan mengetahui hal itu. Pak ngah Judin tak henti-hentinya memberitahukan
bahwa waktunya sebentar lagi berakhir. Jadi kepada peserta diharapkan untuk
segera melakukan pekerjaan terakhir.
Aba-aba dari suara peluit nyaring
terdengar. Secara spontan pula menghentikan tindak-tanduk kami diatas meja.
Sayangnya aku tidak bisa melihat riak mukaku sendiri. Yang pasti, masakanku
cukup sempurna.
Tak tahan untuk tidak memandang hasil
lawan. Masakan Jelita menjadi sasaran pertama. Sakit rasanya untuk berkata
jujur bahwa wanita itu memang pandai dan gemar memasak. Lauk pauk hingga beribu
variasi kue. Informasi yang beredar, Jelita tak pernah alpa untuk membeli
majalah seputar masak-memasak. Atau jangan-jangan?
Ku menyelidiki barangkali ada sesuatu di
dalam saku celemeknya. Seperti catatan resep atau semacamnya. Di telapak
tangannya boleh jadi juga ada. Kosong. Diatas meja? Semuanya bersih. Ternyata
ia menyontek lewat memori otaknya.
Aku menggunakan istilah plating yang kuyakin Jehan tidak pernah
tau apa itu artinya. Itu ku dapatkan dari seringnya menonton reality show
Masterchef. Dan plating yang Jelita
suguhnya sangat, sangat elegan. Ayam masak merah dengan wahana mangkuk kaca transparan.
Bawang goreng bertabur diatasnya, potongan cabe merah, dan beberapa batang sawi
di pinggirnya.
Sementara wanita paruh baya diujung sana
mengukuhkan statusnya sebagai generasi tahun enam puluhan. Seperti kataku tadi,
pengalaman mengekangnya untuk berkreatifitas lebih. Mangkuk yang dipilihnya
adalah kaca yang berwarna susu. Hanya taburan bawang goreng diatas sebagai
hiasannya.
Entah aku yang mengikuti Jehan atau ia
yang justru meniru plating-ku. Sama
persis soalnya. Apapun, aku sangat yakin diantara kami bertiga, Jelita justru
melakukan kesalahan besar. Ia pikir ini kompetisi untuk menjadi juru masak di
restoran atau rumah makan. Dusun nona. Ingat! di Dusun Karya!
Para juri telahpun melakukan tugasnya.
Mencicipi, mengangguk-ngangguk sebentar lalu menuliskan poin di kertas. Bila
dilihat dari latar belakang juri sih, besar kemungkinan nilaiku bakal tinggi.
Juri pertama adalah sepupu dua kali dengan bapak. Tak mungkinlah ia tega
melihat keponakan jauhnya ini ternista menanggung malu. Di runut dari silsilah
keluarga pula, kakeknya ibu dengan kakeknya juri kedua masih saudara kandung.
Itu juga nilai tambah buatku. Dan yang terakhir, tidak ada hubungan darah sama
sekali. Dengar-dengar ia pendatang dulunya di dusun kami.
Tantangan kedua dan ketiga dilakukan
dalam satu waktu. Yaitu Semur Sapi dan Sup Jamur. Durasinya dua kali lipat dari
sebelumnya. Begitu aba-aba berbunyi kami pun mulai memasak. Lagi-lagi dalam
hatiku berucap terima kasih kepada bunda tercinta yang susah payah mengajariku
memasak semur sapi. Juga dua hari yang lalu. Tapi aku terus saja menggerutu
sendiri. Siapa yang harus disalahkan? Jelas bunda tercinta juga karena tidak
mengingatkanku bahwa acara dusun biasanya tak lepas dari Sup Jamur. Dan aku
belum belajar apa saja rempah-rempahnya.
Lebih dari separuh waktu yang diberikan,
aku telah menyelesaikan hidangan pertama. Kali ini memang agak susah buatku.
Ketika aku hendak beranjak ke masakan ke dua, dua pesaingku sepertinya sudah
sedikit santai. Tinggal menunggu air supnya mendidih lalu memasukkan
bahan-bahannya. Tanpa sadar aku menyeka keringat. Bisa gawat jika keringatku
masuk ke dalam rebusan air.
Teng! Semua beres. Aku menghela nafas
panjang ketika telah menyiapkan dua hidangan diatas meja. Jelita lewat
senyumnya mencoba menyemangatiku yang ketinggalan. Jangan sok baik deh,
pikirku. Jehan tadinya juga serius memerhatikanku. Asal jangan perhatian lebih
saja, tidak apa-apa. Tapi mungkin ia berdoa agar memasakku berjalan lancar.
………..
Jeda sejenak melepas lelah. Tenggorokan
kami dimanjakan dengan es kopyor dan kue melimpah. Sementara pendengaran dan
penglihatan di hibur oleh suara sumbang sukarelawan yang tak kaca diri. Itu
lebih baik, lebih baik tidak usah menyanyi. Dikiranya tengah mengikuti audisi
mencari bakat barangkali. Anehnya, warga seolah terpana dan terpesona mendengarkan
alunan lagunya. Tepat! Bukan suaranya yang mendayu merdu. Namun musik dangdut
selalu ada tempat di hati warga. Tak level.
Dari satu menjadi dua yang siap
menyumbangkan suara sumbangnya. Yang kedua lebih baik dari yang pertama. Sama
juga sih, lebih baik tidak usah saja. Bedanya ia membawakan lagunya ST12 dengan
penuh penghayatan. Baru aku sadari rambutnya juga benar-benar Charli dan ada
anting-anting kecil di kuping kanannya. Huh.
Sementara kumbang bernyanyi, dewan juri
sibuk mendiskusikan torehan poin yang tertera di kertas masing-masing. Tentunya
selain mengkalkulasikan hasil keseluruhan, mereka juga mempertimbangkan untuk
kebaikan Dusun Karya kedepannya. Bagaimana kalau si anu menang? Dan bagaimana
jika si dia? Sesekali satu atau dua dari mereka melihat ke arahku. Aku tahu
artinya itu? Itu artinya aku!
Di kerumunan di bawah, akhirnya aku
menemukan Jaidi juga. Ia sepertinya baru datang entah dari mana. Mungkin hilir
mudik mencari anak-anak muda yang rela menjadi supporter-ku. Semuanya itu tidak lah bermakna sekarang. Buktinya
tanpa Jaidi menjadi pendukung tunggal maupun rekan-rekan kaum muda pun, aku
bisa melakukan tugasku dengan sebaik mungkin.
…………
Tak sabar rasanya melihat Jelita kecewa,
menangis lalu berlari tunggang langgang. Juga, sebenarnya tak sampai hati
dengan Jehan, kalau harus mengusap pipi keriputnya. Seolah menjadi seorang
penghianat bagi pengorbanan wanita tua tersebut. Tapi, pikirku. Aku kan tidak
bisa menyenangkan setiap orang. Kecuali aku dengan suka rela menyerahkan trofi
kemenangan kepada Jehan. Tidak tentunya kepada Jelita.
Pak ngah Judin berdehem. Memandangi kami
bertiga sekilas. Dimatanya, bisa saja kami seperti patung liberty yang pucat
tertimbun salju.
“Dengan pertimbangan seksama serta hasil
masakan yang diperoleh, dewan juri memutuskan….”
Aduh pak ngah Judin berlagak seperti MC
dalam tv saja. Menunda-nunda untuk mengumumkan siapa pemenangnya. Degub
jantungku semakin kencang. Aku seolah kehilangan nafas. Jelita disampingku
pias, tapi dengan senyum tetap menyungging di bibirnya. Jehan pula menunduk
kebawah. Apa mungkin ia melihat keriput pula dibuku jemari kaki-kakinya.
“Selamat, kami ucapkan kepada Jehan.”
Padahal disini tidak ada gunung.
Bagaimana mungkin bumi tiba-tiba bergetar. Panggung ikut bergoyang. Meja melompat-lompat.
Warga berlari kelimpungan. Berteriak histeris memanggil anak-anak, istri, dan
suami mereka. Pak ngah Judin sekuat mungkin menenangkan, “harap tenang, tidak
apa-apa,” katanya. Akhirnya ia tidak sanggup juga. Menyelamatkan diri entah
apa. Yang pasti bumi berguncang hebat.
Itu hanya terjadi padaku. Sulit di
percaya wanita itu memangku jabatan juru masak kampung. Lalu apa arti pandangan
dewan juri beberapa waktu lalu. Apakah itu artinya meremehkan kemampuanku.
Padahal aku sudah mulai memasak sejak kelas enam SD. Ketika bunda tidak
menyiapkan lauk yang ku sukai, aku membuat hidangan sendiri. Nasi goreng
misalnya. Dan itu berjalan bertahun-tahun. Saat kuliahpun tak jarang aku
memasak untuk diri sendiri. Biarpun paling sering mi instan.
Itulah masalahnya ternyata. Puluhan
tahun itu, aku tidak pernah memasak menu seperti kompetisi kali ini. Ayam masak
merah, semur sapi, dan sup jamur. Oho, lihat sisi baiknya saja lah. Tidak
mungkinkanlah pemuda sepertiku harus menjadikan juru masak dusun sebagai karir.
Tidak mungkin!. Bagaimana tulisanku nantinya jika setiap minggu harus memasak
dalam acara syukuran atau pernikahan di dusun. Terlebih bulan haji seperti saat
ini akan ada banyak rentetan acara.
Ku dapati Jehan berjalan ke muka. Mengambil
trofi kemenangannya dari salah satu dewan juri yang menyerahkan secara
langsung. Tak lama, tepuk tangan bergema di seantaro lapangan. Baru kali ini
sejak tadi, senyum Jehan mengembang. Mungkin, “wah akhirnya…” itu yang
diucapkannya dalam hati.
Wanita disampingku tidak lagi seperti
sebelumnya. Seolah kata senyum telah hilang dari kamusnya. Menguap ke udara dan
berbaur dengan angin. Matanya mulai berkaca. Rautnya menunjukkan kekalahan.
Apakah seperti ini ketika ia terdepak dari audisi Masterchef beberapa bulan
lalu? Satu hal yang kutarik dari kesepakatan dewan juri. Pengalaman nomor satu.
………….
“Kemana saja?” Jelas aku marah dengan
Jaidi yang lalai akan tugasnya. Kemunculannya diakhir acara sangat
mengecewakanku. Meskipun kumaafkan setelahnya.
“Bawa ayah ke rumah sakit. Cuma salah
makan kata dokter.” Jaidi membela diri.
“Alhamdulillah, untuk ayahmu.” tukasku
kemudian melembek.
Diam sejenak.
“Je, bagaimana menurutmu jika aku ikut
saja audisi Masterchef season 3 nanti?”
Jaidi terjungkal di belakangku.
By the way, namaku Oddy (Odd=aneh/ganjil)