Bangga?
Tentu saja. Apalagi harus dalam waktu genap tujuh tahun. Coba bayangkan,
setinggi apa ilmu yang diraup disana.
Ah, kalau yang terakhir itu terlalu berlebihan. Kenyataannya aku tidak
merasa seperti itu. Cukuplah dengan melihat wajah mak mengembangkan senyum
dengan mata berkaca-kaca di hari wisuda. Matanya berkaca-kaca ketika melihat
aku memakai toga. Persembahan ku untuk mak.
“Be….”
Terlalu
di dramatisir jika mengatakan pintu kamar hampir pecah oleh gedoran tangan mak.
Tapi itulah adanya. Engsel karatan hampir saja lepas dari badan pintu. Lebih
lama mak menggedor pintu, aku pasti itu akan memunculkan super hero baru.
“Ya…”
Jawabku parau.
Aku
didepan laptop sepanjang malam tadi. Pukul satu lewat dua belas menit ditambah
mengambang beberapa saat, aku baru berlayar ke alam sebelah. Jadilah setelah
susah payah menyadarkan diri untuk shalat subuh di mushalla belakang rumah, aku
kembali terkapar. Hasilnya?
“Mau
jadi apa, Be? Jam segini masih belum bangun. Kuliah jauh-jauh hanya jadi tukang
cetakin foto orang.?”
Pilihan
bijakku hanyalah bungkam. Bukannya apa, aku takut untuk menjadi anak durhaka. Itu
menyedihkan, bukan? Sangat!
Lalu,
gedoran mak terhenti dengan sendirinya. Tentu saja setelah mendengar deritan tempat
tidur besi tua. Di telinga mak, itu petanda bahwa aku sudah bangkit dari semedi. Dari balik pintu ku dengar
langkah kakinya menjauh. Di ikuti dengan gerutu-gerutu kecil.
Selalu,
sejak sebulan yang lalu. Beberapa hari setelah aku diwisuda, mak terus
mendesakku untuk melamar pekerjaan. “Dimana saja!” pintanya yang cenderung
memerintah. “Ada lowongan, masuk!” Katanya lagi kala itu.
Sempat
sebenarnya aku membantah untuk menjadi wiraswasta saja di kampung ini, tetapi
mak bersikeras. Entah apa yang ada dipikiran mak. Ia sangat ingin aku bekerja
di sebuah kantor, Dinas atau yang sejenisnya.
******
“Kemana?”
“Bank.”
“Bank
apa bu?”
“Wah,
kalau itu saya kurang tahu bu. Pokoknya Bank kata Bakti.”
Mak
dan bu Sana membicarakanku di teras. Jelas saja terdengar olehku yang tengah memasukkan
sepatu di muka pintu. Namun sosokku tersekat oleh dinding papan.
Aku
muncul. Menghampiri mak lalu mencium tangannya. Dan mak mengembangkan senyum.
Inilah yang selalu diharapkannya. Anaknya mencari kerja.
“Di
Bank mana, ti?” Tanya Bu Sana.
Memangnya namaku Beti, Surti atau Siti,
hingga harus dipanggil “ti”
“Bakti tidak suka
dengan panggilan itu, bu Sana.” Mak menangkap arti diamku.
Bu
Sana meminta maaf.
“Bank Syariah, bu.”
Jawabku.
Mendengar
nama Bank yang ku sebutkan, kening bu Sana berkedut. “Oh…” Tukasnya kemudian.
“Semuanya
sudah dibawa?” Tanya mak menyelidiki.
Agar
mak tidak lagi was-was, aku memeriksa berkas-berkas dalam folder. “Sudah.”
Balasku kemudian.
“Mak,
pergi dulu. Assalamu’alaikum.”
“Wa’alaikumsalam.”
Mak dan bu Sana menjawab bersama-sama.
Rencananya
sebelum ke kota, aku ingin singgah dulu di kantor pos kecamatan.. Ratusan
lembar kertas yang telah kuselesaikan tadi malam harus ku pos kan ke suatu
tempat. Harapanku tentunya, ini akan mengawali karir yang aku cita-citakan
selama ini. Aku menarik nafas panjang, lalu melepasnya cepat. “Bismillahi Tawakkaltu”.
Informasi tentang lowongan di Bank Syariah itu
sendiri kudapat dari Juli. Dia juniorku empat tahun. Namun kami diwisuda pada
hari yang sama. Kami dipertemukan oleh dosen pembimbing skripsi yang sama.
Ketika itu ia tengah menunggu didepan ruang jurusan. Lalu aku datang. Juga
bergabung dengannya menunggu seorang dosen.
Merasa ada batu es
diantara kami, aku berusaha untuk mencairkannya. Kumulai dengan menyapa,
“menunggu siapa?”.
“Pak Harlan. Dosen
pembimbing.” Katanya
“Sama,” Sambungku
cepat.
“Sudah dihubungi?”
Tanyaku lagi
“Sedang dijalan,
katanya.”
Aku mengangguk pelan.
Aku yakin waktu itu ia pasti junior ku. Karena apa? Karena hanya aku mahasiswa
yang sudah berjanggut di kampus hijau
ini. Lalu tanya-tanya pendek pun terjadi diantara kami. Akhirnya kami
mengatakan nama masing-masing. Dan yang sedikit membuatku kaget adalah ternyata
Juli berasal dari kabupaten yang sama denganku. Namun dari kecamatan berbeda.
Tahu demikian adanya, bicara kami langsung menggunakan bahasa daerah. Hingga
akhirnya, harus di cut oleh kehadiran
sosok dosen yang ditunggu-tunggu. Kelegaan pun menghampiri. Bisa ku tebak
begitu juga dengan Juli.
Dikesempatan lainnya,
Juli meminta no HP ku. Tanpa panjang lebar, aku menyebutkan ke dua belas digit angka
tersebut. Dan juga nomor cadangan yang sesekali ku pakai seandainya nomor tadi
tidak aktif.
Juli yang saat ini
sudah diterima di sebuah lembaga Asuransi, dewasa ini sering menghubungiku.
Mulai dari menanyakan “apa kabar” hingga sesuatu yang tidak perlu. Dan yang
terakhir adalah mengenai lowongan di Bank yang sedang ku tuju.
Sebagai lelaki tentu saja
aku bisa mendefinisikan apa itu. Ya, Juli menyisakan ruang dihatinya untuk
diriku. Meskipun tidak pernah ku tanya langsung. Itu lampu hijau darinya.
Namun, aku bahkan tidak berniat untuk menanyakan kepadanya. Apakah itu
penghianatan? Justru bagiku menerima Juli adalah penghiatan. Terhadap diri dan
persahabatan kami.
Aku, aku sejatinya
masih mengharapkan untuk bertemu dengan seseorang yang selama hampir sepuluh
tahun muncul dalam mimpi-mimpiku. Itu menyiksa karena tidak pernah terungkap.
Sewaktu SMA dulu aku hanyalah pecundang. Meskipun sekarang kusadari itu ada
hikmah besar bagiku. Doaku hanya satu, agar bertemu dengannya walau sekali
saja. Kepada gadis Tionghoa itu aku
ingin mengatakan bahwa aku pernah mencintainya. Diterima atau tidak, itu urusan
belakangan. Yang penting keinginanku sudah tercapai.
******
Dari kantor pos, aku
terus berdoa agar apa yang baru saja aku kirimkan itu mendapat yang terbaik.
Seandainya yang terbaik adalah diterima, aku meminta untuk dimudahkan. Dan jika
ditolak, pasti ada iktibar disebaliknya.
Kembali ku menghidupkan
mesin sepeda motor yang bakal membawaku ke Bank Syariah. Keringat sudah mulai
keluar dari pori-poriku. Untuk pertama kalinya aku menyelipkan tisu di saku
baju. Daripada dibilang ceroboh, mau tidak mau aku harus sedikit mengalah.
Setelah melalui jarak
tempuh sekitar satu jam, akhirnya aku tiba didepan gedung yang didominasi oleh
warna hijau tua. Di bagian atas terpampang besar tulisan Bank Syariah. Aku
menghela nafas. “Ini demi mak.” Aku menguatkan. Walaupun batinku menolak untuk
melakukan ini. Sayangnya aku belum punya alasan kuat untuk membantah mak.
Seandainya saja….
Mataku membelalak tidak
percaya ketika ku layangkan pandangan ke dalam ruangan. Dari luar, samar-samar
aku bisa melihat sesosok wanita berjilbab hijau muda. Dengan baju dan rok panjang
berwarna hijau tua. Di bawah lehernya hingga ke dada, tersampir semacam syal
berwarna kuning bermotif bunga-bunga kecil.
“Ya, Allah. Benarkah
apa yang kulihat?”
“Dia.”
Jantungku berdetak
semakin kencang. Itu persis ketika saat-saat aku duduk atau berdiri
disampingnya dulu. Meskipun terdiam tanpa kata-kata. Dan dulu, dia pun seolah
sama. Merasa tidak luwes dengan kehadiranku.
Ku letakkan telapak
tangan di jidatku sendiri. Tubuhku entah mengapa tiba-tiba mulai hangat. Grogi,
penasaran, takut atau sejenisnya menyelimutiku. “Uh…..”
Ku beranikan diri juga
untuk mendorong pintu kaca. Tepat di depan tulisan “push” tanganku ku keraskan
otot-ototnya. Berpura-pura tidak terjadi apa-apa tadi, ku pasang tampang
senormal mungkin. Keringat yang membajiri sudah ku lap dengan tisu putih.
“Untung aku membawa tisu.” Pikirku.
Seorang satpam ada
dibalik pintu kaca transparan itu. Kostum putih biru tua melambangkan statusnya
di Bank tersebut. Tetapi, saat ini keberadaan seorang satpam secara keseluruhan
bukan hanya bertugas untuk menjaga keamaan, juga agar dapat memberikan layanan
terbaik kepada para nasabah Bank. Seperti saat itu.
“Assalamu’alaikum pak.
Ada yang bisa saya bantu?”
Satpam yang dari bordir
dibajunya tertulis Shaleh itu menawarkan jasa serta senyum terbaiknya. Ku tahu
tawaran itu bentuk pelayanan, tetapi sulit ku cerna apakah senyumnya itu
ketulusan atau juga bagian dari pelayanan.
Gugup. Aku berusaha
menyusun kata-kata. “Mau masukin lamaran, pak.” Jawabku perlahan. Tentu saja
aku tidak ingin mendapat perhatian banyak orang terutama dia yang tengah
melayani seorang costumer dan seorang
costumer lainnya yang tengah
mengacak-acak rambutnya. Menunggu antri layanan.
Aku mencuri pandang. Benar dia.
Habis sudah. Pak Saleh mengarahkanku
untuk langsung saja menemui costumer
service. Aku mengiyakan dengan cengiran. Ingin rasanya menggaruk sesuatu,
tetapi aku harus menjaga image. Dan
aku pun menunggu di sebuah kursi kosong dekat nasabah lainnya.
Sementara gadis Tionghoa yang ku kenal bernama Tania itu belum menyadari kehadiranku disana. Ia
sibuk dengan entah calon nasabah atau calon pengaju kredit. Identitasnya semakin
diperkuat dengan name tag yang
tersemat di kerudungnya. Aku terpesona.
Hingga tiba saatnya aku
harus berhadapan dengannya. Pertama, ia masih tidak sadar. Namun ketika benar-benar
mengenaliku, ia terdiam. Aku ikut bungkam. Rona mukanya berubah, persis seperti
dulu, ketika aku mengajaknya berbicara sebagai seorang teman. Tak lebih. Jika
bukan khayalanku, disana masih ada sesuatu.
“Kamu….” Ucapnya
kemudian.
******
Tiba dirumah aku
disambut oleh mak dengan segelas air putih ditangannya.
“Bagaimana?” Mak tidak
sabar untuk mengetahui hasilnya.
Indah.
Aku bertemu lagi dengannya. Dengan dia yang selama ini mengusik tidurku. Tetapi
waktunya kurang tepat. Nyaliku ciut seketika. Seandainya…
Tidak
mungkin kan aku bertanya kepadanya langsung tadi. Apakah kamu telah menikah?
Jika ya, aku tidak akan mengajukan pertanyaan selanjutnya. Jika belum, lalu apa
yang harus aku lakukan. Menanyakan padanya, apakah ia mencintaiku? Oh, Itu
tindakan bodoh dan memalukan. Apalagi ia tengah sibuk dengan pekerjaanya.
Atau
sebaiknya tadi aku menunggu sampai ia pulang saja. Jam lima atau setelah
maghrib. Itu bakal lebih gila lagi. Dan apa urusanku?. Anggap saja reuni
kecil-kecilan. Atas dasar apa? Bahkan terakhir bertemu dengannya disekolah dulu
aku tidak mengatakan apa-apa. Seolah aku tidak menyimpan apa-apa.
“Eh, malah melamun.”
Mak membawaku ke alam sadar.
“Jadi bagaimana?” Serbu
mak lagi.
“Anu…katanya akan
dihubungi lagi nanti.”
Mak bertingkah seolah
mengerti. Dan itu melegakan. Rentetan pertanyaannya langsung berhenti mendengar
kata “akan dihubungi”.
“Be, tadi siang pak Darwi nelpon. Menanyakan
apakah kamu sudah selesai kuliah. Beliau menawarkan apakah kamu bersedia untuk
jadi tenaga honor di kantor Camat. Di bagian keuangan. Katanya itu cocok dengan
jurusanmu.”
Aku layu. Tidak
berselera untuk menanggapi lebih jauh.
Mak melanjutkan dengan
antusias, “tapi kalau dipikir-pikir boleh juga itu Be. Sementara menunggu
panggilan dari Bank, jadi kamu tidak menganggur.”
Pak Darwi adalah
seorang Camat dimana desa kami bernaung dibawah pemerintahannya. Bisa dibilang
masih punya kekerabatan dekat dengan mak. Bila dirunut dari silsilah, neneknya
mak dengan neneknya pak Darwi adalah dua bersaudari. Pembawaan hubungan di desa
lebih akrab, maka silsilah itu seolah menjadikan mak dan pak Darwi bagai saudara
kandung.
“Ada lagi Be.”
“Ada lagi?,” pikirku
“Tak lama setelah kamu
berangkat tadi, pak Budi menanyakan apakah kamu sudah ada pekerjaan tetap. Mak
mengatakan belum.” Jeda sejenak.
“Sebaiknya tidak usah
Be. Ia menawarimu untuk horor juga di SMA. Mengajar Ekonomi dan Bahasa Inggris.
Paling gajinya berapa.” Mak memonyongkan bibirnya.
“Dan satu lagi.” Mak
menambahkan.
“Stop…stop…stop…,mak.
Bakti kebelakang dulu.” Sergahku sebagai antisipasi daripada aku harus muntah
diruang tamu.
Secepatnya aku menuju kamar
mandi. Rasa mual memenuhi mulutku. Makanan yang mengganjal perutku tadi siang
sepertinya berlomba-lomba untuk dikeluarkan. Untungnya tidak jadi. Setelah
beberapa saat rasa mual itu menguap. Lalu aku mencuci muka.
******
Tak ada satu pun
tawaran yang disajikan mak kemarin ku tanggapi. Kali ini aku bersikeras untuk
melakoni apa yang telah ada. Meskipun hanya cetak photo untuk orang desa yang
ingin membuat KTP. Ada juga sebagian lainnya yang ingin mengabadikan
momen-momen sekeluarga. Serta yang ingin agar photo masa silam bisa diperbarui.
Jika dihitung-hitung,
usaha ini lumayan untuk kantong orang bujang. Apalagi diriku tidak mengisap
benda lintingan. Hanya saja jika ingin pendapatan lebih, butuh proses lebih
lama. Yang itu tidak disukai oleh mak. Jujur, aku yakin jika usaha ini ku kelola dengan serius,
maka tak mustahil akan besar juga skalanya. Namun, lagi-lagi mak tidak mau
kompromi untuk ini.
******
Sebuah pesan masuk
menggetarkan HP yang kusimpan dipinggir meja. Beruntung tidak sampai jatuh ke
lantai. Meskipun itu nokia tipe 3550, tetapi benda itu telah menemaniku selama
aku bergelar mahasiswa hingga sekarang.
“Nomor tak dikenal.”
Pikirku.
“Ah, Tania. Itu pasti
Tania.”
Aku memang tengah
menunggu sebuah keajaiban. Tania akan menghubungiku lewat nomor HP yang tertulis
didalam kurikulum vitae. Dan nomor tak dikenal itu sepertinya jawaban dari
penantianku tersebut.
Penasaran, segera aku
membuka isi pesan singkat tersebut. Aku salah. Ternyata itu pesan dari Juli.
Dia hanya ingin memberitahu bahwa ia baru saja mengganti kartu perdananya. Dan
itu adalah nomor barunya. Selebihnya ia bertanya kabar tentang diriku.
Untuk menghilangkan
rasa tidak enak, aku membalas pesan dari Juli dengan diawali kata “oh, iya”.
Disitu juga aku tuliskan untuk menyimpan nomor tersebut.
Ku kira cukup sampai
disitu. Tak lama berselang, Juli membalas ulang. Kali ini ia menanyakan apa
yang tengah aku lakukan. Bagaimana dengan lamarannya kemarin dan ini itu.
Jawabanku sekenanya
daripada hanya akan membuatnya sakit hati. Khayalanku, seandainya itu dari
Tania. Pasti lebih bagus.
Dan klimaksnya tiba.
Juli balik mengirim pesan. Lebih panjang dari sebelumnya. Dimulai dengan
kata-kata puitis dan berujung pada satu kesimpulan. “Aku mencintaimu”.
Aku sama sekali tidak surprise. Telah terbaca olehku arahnya
kemana. Hanya saja aku salut Juli cukup berani untuk mengatakan itu. Mengukur
pada diriku yang cukup lambat merespon, maka Juli mengambil keputusan tersebut.
Sekarang, giliranku
yang kelimpangan. Jawaban apa yang harus aku berikan kepadanya. Meskipun ku
tahu harus menolaknya. Tapi dengan cara terbijak dan terhalus. Katanya wanita itu makhluk peka.
Beberapa saat, tidak ku
apa-apakan alat komunikasi itu. Bahkan untuk sekedar menyentuhnya. Ku terdiam. Berpikir
keras mencari kata yang tepat sebagai sebuah penolakan. “Aku tidak pantas
untuk…” Ah, itu terlalu di dratisir. “Lebih baik cari yang lain…”. Apakah aku
sekejam itu padanya?
Lalu batinku
menegaskan, “jika takut melukai hatinya, terima saja!”
Oho, tidak bisa. Aku
masih berharap pada Tania. “Bagaimana jika Tania benar-benar telah menikah?”
Aku membatin kembali.
“Be…” Suara mak kecil
terdengar ditelingaku. Itu membuyarkan kekalutan yang tengah kuhadapi.
“Iya, mak.” Engganku
beranjak.
“Ada yang cari.” Teriak
mak lagi.
Sejak kapan aku mulai
menerima tamu dirumah kecuali teman-teman disini. Kalau mak berkata demikian,
pasti orang itu asing dimata mak. “Siapa? Apakah?”
Aku berlari-lari kecil
menuju ruang tamu. Dalam perjalanan singkat itu anganku menduga naskahku
diterima. Tetapi apa mungkin secepat
itu. Yang kutahu, biasanya baru akan mendapat respon paling tidak tiga bulan.
Tercepat satu bulan.
Langkahku tertahan.
Jantungku terasa lepas dari tempatnya. Dan waktupun seolah ikut terhenti ketika
melihat sosok Tania duduk di kursi tamu. Ia melemparkan senyum ke arahku. Aku
tidak bisa berbuat apa-apa. Ku pikir, aku akan pingsan. “Hai…” Sapanya.
Aku masih tidak percaya
bahwa ini nyata. Keajaiban terjadi lebih dari yang kubayangkan. Tania datang
dengan sendirinya tanpa diundang. Tadinya kuharapkan ia akan menghubungiku,
malah mengunjungi berdasarkan alamat di kertas itu. Aku memastikan dengan
mencubit tanganku sendiri. Benar, aku tidak tengah bermimpi.
“Eh,” Sikapku otomatis
menjadi kaku.
“Darimana tahu alamat
rumahku?” Tanyaku pura-pura.
“Disitu tertulis banyak
tentang mu.” Jawab Tania singkat.
Lalu mak muncul dari
belakang. Sudah tradisi dirumah ini agar tamu dilayan dengan sebaik mungkin.
Makanya mak datang dengan segelas teh panas.
“Hanya air.” Tukas mak
kemudian.
Tania mengucapkan
terima kasih dan mak mempersilakan. Wanita Tionghoa
itu pun menyeruput sedikit minumannya.
Sementara mak beranjak
dari situ, Tania membuka tas jinjingnya. Menarik resleting kuning keemasan,
lalu mengeluarkan sebuah benda tipis persegi. “Ini.” Sodornya ke arahku.
“Insya Allah tanggal 01
bulan depan. Datang ya.”
Apakah bumi telah
runtuh atau tsunami kembali terjadi. Kurasakan rumah bergoyang. Ku lihat air
didalam gelas pun ikut bergerak. Desauan angin diluar rumah menguat. Siap untuk
membuat pusaran puting beliung. Menghancurkan rumah beserta isinya, termasuk
diriku sendiri. Pandanganku semakin gelap, tak terasa tubuhku telah rebah
dilantai. Sebelum kesadaranku benar-benar hilang, sempat kudengar suatu benda
jatuh. Suara itu bersumber dari kamarku sendiri.
******
Semuanya
menggantung. Pesan Juli sama sekali belum sempat aku balas dikarenakan HP
kesayanganku hancur berderai. Seolah paham dengan pemiliknya, ia berempati. Nahasnya
lagi, nomornya ku simpan dalam memori HP. Kesimpulannya, aku tidak bisa menghubunginya.
Ada baiknya juga
sebenarnya, itu bisa menjadi kilahku untuk menunda memberi keputusan. Bukan
keputusan, tetapi jawaban. Perkiraanku, saat ini Juli sudah menarik konklusi
sendiri. Tidak ada balasan artinya cintanya tertolak. Mungkin katanya, “bukan
begini caranya!”
Mau bagaimana lagi. Aku
sama sekali tidak hafal nomor tersebut kecuali enam angka pertama dan dua angka
terakhir. Hilang ditengah-tengahnya.
Aku juga belum
memutuskan untuk pergi atau tidak pada hari yang disebutkan oleh Tania tadi.
Semuanya terlalu begitu cepat. Aku belum punya amunisi apapun, tetapi aku sudah
hancur duluan. “Seandainya…” Kata ku pelan.
“Seandainya, apa?” mak
mengejutkanku yang tiba-tiba menerobos masuk.
“Kau pingsan hampir
tiga jam.” Kata mak lagi.
Ku layangkan ke
jendela. Dari celah ventilasi ku lihat hari sudah gelap. Perkiraanku sekarang
masih maghrib. Seingatku, berkunjungnya Tania kerumah tadi ba’da Ashar.
Mak melepaskan kompres
di jidatku. “Baguslah kau tidak demam, Be.” Anggukanku sebagai jawaban. Untuk
beberapa saat, pikiranku kembali terpaut pada peristiwa tadi sore. Awal yang
menyenangkan harus berakhir dengan penderitaan. Aku mendesah.
Teringat belum shalat maghrib,
aku menguatkan diri untuk berdiri. Tidak ada apa-apa yang terjadi denganku. Ku
anggap pingsanku hanyalah sebuah akibat dari transisi drastis dari rasa suka
menjadi duka. Tak lebih ku kira.
“Tadi itu orang cina kah, Be?”
“Kawan sekolah.”
Tak mau membahas
tentang Tania lebih jauh, aku langsung melangkah menuju dapur.
“Be, kata temanmu tadi
besok kamu harus ikut tes wawancara.”
******
Keputusanku sudah bulat.
Aku akan menghadiri undangan tersebut sebagai seorang teman sekolah. Memang
berat, tetapi itulah resiko yang kuambil. Semoga dengan melihatnya bersanding
dipelaminan membuat aku benar-benar mengerti bahwa Tania bukan tercipta untuk
diriku.
Aku mengenakan batik
lengan pendek. Warnanya biru tua dengan ornamen burung enggang putih. Ku
padukan dengan celana panjang berwarna hitam. Ku menimbang apakah harus memakai sepatu atau
sendal. “sesekali,” pikirku. Aku mengambil sepatu yang sama yang kugunakan
ketika pergi ke Bank Syariah beberapa waktu yang lalu.
Santai saja
pembawaannya. Aku pergi ke gedung dimana resepsi di gelar. Berpandukan undangan
yang diberikan oleh Tania, belok kiri-kanan. Akhirnya sepeda motor ku parkir
juga. Dekorasi didominasi oleh warna merah. Tulisan mandarin disana-sini. Satu
pun tidak aku mengerti. Hanya muncul keheranan di batinku, “bukankah Tania
telah menjadi muslimah?”
Tak terjawab, aku
melangkah memasuki ruangan. Berjalan sendirian meskipun didalam undangan
tertera agar membawa partner.
Khayalku nakal, “partner ku ada
didalam.”
“Selamat datang.” Sapa
gadis belia yang disulap menjadi bidadari dari Tiongkok berbaju etnik berwarna
merah tua. Rambutnya di pintal dengan sebuah susuk konde sebagai pemanis.
Bedaknya tebal minta ampun. Jumlah mereka tidak sampai sepuluh orang. Dan aku
dipersilakan masuk.
Orang pertama yang ku
temui didalam membuatku kelabakan. Belum sempat aku melihat Tania duduk bersama
suaminya dipelaminan, sosok Juli termangu melihatku. Sorot matanya
menggambarkan kekecewaan. Namun, aku tidak melihat aura kebencian disana.
“Mas, kenalkan ini bang
Bakti.”
Pria yang tadinya ada
disamping Juli berbalik. Bila dibandingkan dari segi tampang, aku hanya kalah
sedikit. Sedikit saja.
“Jadi ini yang namanya
Bakti. Juli bercerita banyak tentangmu.”
“Oh ya. Trims.”
“Aku Gunawan. Aku harap
mas Bakti bisa hadir dalam pernikahan kami bulan depan.”
Perfect!.
“Ini kejutan.” Kataku mengarah pada Juli.
Juli mengatur nafasnya.
“Aku berkali-kali mencoba menghubungi bang Bakti. Tapi selalu saja tidak
aktif.”
Jadi, setelah hari itu
Juli terus menghubungiku. Seandainya Juli tahu dimana rumahku, aku jamin ia
sudah muncul disana.
Aku merasa bersalah.
Membuat orang yang banyak membantuku dalam proses penyelesaian skripsi harus
menelan pahit. Jika dihitung pengorbanan Juli, itu terlalu banyak. Ia
menjelaskan tahap demi tahap dari proses persiapan seminar hingga ujian
komprehensif. Juli juga ikut menyiapkan konsumsi untuk dua hari tersebut. Dan
yang mengesankan, ia setia menunggu di luar hingga ujianku usai.
Bukankah itu seimbang
dengan aku seharusnya menerima cintanya? Namun aku tidak bisa. Karena ini
tentang hati. Tentang perasaan. Bukan tentang sejauh mana kita berkorban untuk
seseorang.
“Ma..”
Ucapanku terpotong oleh
seseorang. Dia berkerudung merah, baju etnik lengan panjang dengan paduan rok
menguncup juga berwarna merah. Tangannya membawa sebuah kipas berwarna putih.
“Sudah lama, Bakti?”
Sapa Tania.
Rasa bingungku masih
belum hilang, Juli malah memberi isyarat kepadaku untuk berbicara empat mata.
Ia melangkah mendahului. Dan aku mengekorinya. Merasa di pojok kanan ini cukup
relevan, langkahnya terhenti.
“Kamu keterlaluan bang
Bakti. Apakah kamu tidak cukup membuatku harus lama menunggu jawaban darimu?
Itu adalah saat-saat tersulit buatku. Abang tahu bagaimana rasanya?”
Aku menunduk. Tidak
berani menatap wajahnya. “HP ku rusak.” Kilah ku.
Juli menambahkan dengan
memasang lengan dilipat didadanya, “Apapun alasanmu itu bang. Aku hanya ingin
sebuah jawaban. Ya atau tidak.”
Jeda sejenak. Tetapi
riuh rendah para undangan mengisi
kesunyian diantara kami.
“Aku menyimpulkan, itu
artinya tidak. Dan satu permintaan terakhirku. Bisakah?”
Ku mencoba mengangkat kepala
lebih tinggi. Anggukan adalah jawaban andalanku.
“Tania menunggumu. Ia
telah memupuk cintanya bahkan sejak kelas satu SMA. Abang terlalu bodoh tidak
bisa membaca itu. Aku merasa beruntung tidak menikah denganmu.”
Walaupun berujung
dengan ledekan Juli, aku ingin melompat hingga ke langit. Ku alihkan padangan
pada Tania, namun ia tengah sibuk dengan para undangan lainnya. Sesekali ia
mencuri untuk melemparkan pandangan ke arah kami. Bukan, itu bukan ke arah
kami. Itu padaku.
Baru ku lihat dengan
jelas nama yang tertulis dalam undangan yang kubawa. Disitu tertera Tanya.
******
Kejutan demi kejutan
datang silih berganti. Begitu sulitkah mencari sebuah nama hingga adiknya Tania
harus bernama Tanya. Juga persahabatan antara Juli dan Tania ternyata sudah
terjalin sejak tahun lalu. Juli bekerja di Bank Syariah selama satu bulan dalam
program magang dimana merupakan syarat untuk mendapatkan nilai mata kuliah
sebesar 3 SKS tersebut.
Terakhir yang membuat
aku hampir syok adalah Tania pernah menikah. Dan telah dikaruniai seorang
putra. Dari suaminya yang telah wafat itulah, dia mendapat hidayah. Itu persis
dua tahun setelah lulus sekolah.
Meskipun merasa tidak
enak sebelumnya, tetapi itu tidak lagi jadi masalah. Seperti tidak masalahnya ketika
akhirnya aku gugur dalam tes wawancara kedua di Bank Syariah. Toh cintaku telah
berbunga. Hampir sepuluh tahun terpendam, kini muncul juga ke permukaan.
Rencana Tuhan untuk hambanya memang tidak bisa di duga.
Giatku hanya untuk
mengumpulkan uang. Persiapan untuk menuju bahtera rumah tangga. Sesuai saran
mak yang diralatnya sendiri, aku mulai honor di SMA. Sebagai Sarjana Ekonomi,
sedikit banyak aku menguasai mata pelajaran ekonomi. Dan mengajar Bahasa
Inggris ku anggap sebagai bonus. Tak ada rotan, akar pun jadi.
Baru
saja hendak masuk ke rumah, aku dikejutkan oleh suara klakson, “pos.”
“Ibnu
Bakti?” Tanya lelaki berbaju oranye tersebut.
Aku
mengangguk.
Lelaki
itu menyodorkan sebuah amplop cokelat muda berukuran sedang dengan sebuah tanda
terima diatasnya. Aku menandatangani bukti tersebut.
Pak
pos berlalu, sementara aku masih berdiri di situ. Ku baca nama pengirimnya.
Hatiku berdebar seketika. Itu balasan dari penerbit dimana aku mengirimkan
naskah novelku. Tak terasa tiga bulan berjalan begitu cepat.
Segera
ku buka segelnya. Ku baca isinya secepat kilat. Dan aku melonjak. Cepat-cepat
aku masuk kerumah mencari mak. Tetapi mak tidak ada. Dikamarnya nihil, di dapur
juga kosong. Lalu dimana mak? Tak sabar aku ingin mengabarkan berita
mengembirakan itu padanya.
“Mak…”
Teriakku memekakkan seisi rumah.
Mak
muncul dari balik pintu kamar kecil. Aku langsung memeluk mak yang tengah
keheranan. Erat, erat sekali. “Syukur alhamdulillah, mak. Novel ku akan naik
cetak. Dan itu artinya karirku sebagai penulis terbentang dihadapan.”
Berlagak
faham, mak turut bersyukur. Setelah pelukan kami lepas, mak berucap, “tadi pak
Kades ingin mengajakmu untuk ikut dalam proyek i-KTP.”
Tak
terbendung lagi, rasa mual melanda perutku. Bukannya karena mendengar perubahan
dari “e” menjadi “i”, tetapi mak tetap saja bersikukuh agar aku punya pekerjaan
yang bisa dibanggakannya ketika berbicara dengan tetangga dan famili lainnya.