Rabu, 26 September 2012 2 Messages

Antrian Tulisan

        Jaman sekarang, bukan hanya ibu-ibu yang mulai memerankan sebagai pengantri bensin di Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum. Tetapi, ide tulisan di kepalaku juga turut antri ingin ditulis. Hanya saja corongnya lagi tersumbat sana-sini. Jadinya keluarnya gak lancar. 
           Paling tidak sudah ada lima ide cerita pendek yang ingin digarap. Apa-apa saja itu? Tuliskan disini gak ya? mm.....bolehlah. Siapa tahu ada yang berminat ingin menggarapnya. Itulah hebatnya otak seorang penulis, dengan judul yang sama pasti akan memiliki sudut pandang bercerita yang berbeda. 
          "Ini kali yang ketiga ia menikah. Yang pertama harus dipisahkan oleh kematian. Kedua hancur dengan menyiksa. Dan lebih tragis lagi dengan hilangnya sang buah hati dibawa kabur oleh sang suami. Yang terakhir, pernikahannya tak ubahnya hidup dibawah rezim otoriter. (Takdirnya memang begini, namun apakah akhirnya dirinya tinggal sebuah nama?)". Itu yang pertama. Mungkin judul yang tepat untuk sementara adalah Janda ke 3. 
            "Hidup dirantau orang demi meniti pendidikan yang lebih tinggi. Kuliah. Tinggal berdua dengan adik yang masih duduk di bangku sekolah atas. Awalnya tidak apa-apa. Hanya saja, sesuatu terjadi dirumah sebelah. Rumah yang sudah beberapa bulan kosong dan secara kasar mata fisiknya begitu angker. Mungkin pembawaan ocehan warga sekitar yang menjadikan rumah itu semakin seram. (Apakah rumah itu benar-benar tempat tinggal makhluk gaib yang mulai iseng dengan kehadiran kami sebagai tetangga barunya?)". Kisi-kisi yang kedua ini bolehlah kiranya diberi judul Rumah Kosong. 
           "Sebuah televisi berita milik swasta dengan gampangnya menuding kegiatan lembaga kerohanian Islam sebagai ajang penjebol teroris nasional. Mendapatkan kritikan dari berbagai elemen dari mahasiswa yang tergabung dalam lembaga dakwah dan kerohisan ditingkat sekolah atas tentunya. Diantara itu, justru ketegangan terjadi antara dua bersaudara yang masing-masing mewakili pihak terkait. Si adik yang terkenal sebagai akhwat militan dan sang kakak yang berprofesi sebagai Anchor di media pemberitaan. (Orang tua mereka juga merasakan dampak dari perseteruan kedua buah hatinya. Mungkinkah menemukan titik tengah sebagai jalan keluar?)". The Anchor, demikian judul yang kukira sangat tepat. Mengambil sudut pandang pergolakan batin si kakak yang harus memilih antara agamanya berikut hubungannya dengan si adik atau karir yang tengah menanjak. 
        Keempat. "Lidah memang benda yang paling tajam. Bagaimana tidak, kata-kata yang terlontar tak akan bisa ditarik kembali. Terlanjut omong besar menjadikan lelaki itu gelisah atas niat sahabatnya yang ingin berkunjung ke kediamannya. Bukannya asal bertandang, kegiatan kantor yang mengharuskan sahabatnya itu berada disana untuk beberapa hari. Cemas dengan kehidupannya yang bertolak belakang dengan ucapannya beberapa waktu lalu, lelaki itu berharap kunjungan sahabatnya itu batal, tertunda, atau apalah itu namanya. Yang pasti jangan bertandang ke rumahnya dalam waktu dekat ini. (Benarkah sahabat lelaki tersebut masih ingat dengan segala ucapannya?)". Belum ada judul yang tepat untuk yang satu ini. Dusta, Omong Besar. Dua-duanya belum merangkum isinya, kukira.
         Dan yang terakhir adalah tentang prinsip hidup. Ketika fresh graduates lain berbondong-bondong memilih untuk menjadi PNS atau karyawan di perusahaan swasta saja sebagai karir, ia justru memilih berwirausaha. "Namun keinginannya tak sejalan dengan pemikiran kedua orang tuanya. Diakhir perbincangan, ia berada diatas angin dengan satu perjanjian. Dan sekang ia benci menghadapi bulan depan. Dimana ia harus bertekuk lutut pada nasib. Jatuh tempo yang semakin memangkas. Usahanya tidak berjalan seperti yang diharapkan. Maka, orang tuanya menagih apa yang telah dibuat sebelumnya. (Menyerah? apakah ia benar-benar telah menyerah? Ketika semuanya terasa begitu mati, sesuatu yang membuatnya ingin melonjak setinggi langit terjadi. Ada apa gerangan?)". Ku memilih nama bulan sebagai title. Oktober atau November. Salah satunya, agar momennya tidak basi.
        Well, langkah selanjutnya adalah skala prioritas. Doakan ya. Salah satunya bermaksud ingin dikirimkan ke koran lokal. Semoga semuanya bisa diselesaikan dalam waktu singkat sesingkat-singkatnya. Sambas, 27 September 2012. Tertanda Gho Soe.

0 Messages

"Penampakan" ide

        Diksinya kurang tepat kali ya. Penampakan-yang identik dengan makhluk gaib. Tapi bila dipikir-pikir, bukankah ide itu benda abstrak atau kasat mata. "Engkau datang dan pergi sesuka hatimu", nyangkut ke lagu jadul pula. Memang, ide itu datang dan pergi sesuka hatinya. Tak kita minta, toeeeeng, muncul sendiri disela-sela kesibukan kita. 
         Saat makan misalnya. Tengah asyik-asyiknya santap siang dengan sambal plus ikan asin (sedih lauknya, hee...he...) ide itu bergelayut menari-nari dipiring yang permukaannya didominasi warna merah maron. Kalau demikian adanya, sayang untuk dilewatkan begitu saja. Hidupkan alarm imaginasi tingkat tinggi. Rangkai dengan even-even yang berkaitan. Tentu biasanya berdasarkan kejadian-kejadian sebelumnya. Jadilah, sebuah kerangka tulisan dalam otak kita. Tapi perlu di garis bawahi, terkadang sebelum sempat dituliskan, ia menguap seperti air yang membasahi cucian piring di rak. 
          Atau saat...he..(sopan sedikit, katakanlah dikamar kecil). Benar lo, aktivitas di ruangan kecil itu kadang menjadi tempat paling mudah untuk mendapatkan ide. Menggelinding di dinding-dinding pemikiran dan fantasi. Dari satu slide ke slide lainnya seolah kita tengah menyaksikannya di bioskop Trans TV. Mmmmmm, dah belebih tu. 
            Saya memasukkan-membaca. Apapun itu; buku, majalah, novel, koran dan lainnya. Dan yang paling mengerikan adalah, yang namanya ide itu muncul ketika tengah beribadah. Sholat atau mengaji. Itu tak perlu lagi dipertanyakan. Jelas kita ibadahnya tidak khusyuk. 
           Bab V KESIMPULAN DAN SARAN ('-'). Ingat ini versi si penulis! Ide itu muncul ketika tengah melakukan aktivitas. Hanya menyebabkan sakit kepala jika mencarinya dengan sengaja. Apalagi pas duduk manis di depan kompu atau laptop. Bisa nyot-nyot tu. Saran, catat idenya sebelum diterbangkan angin. Malas mo nulis di buku, buka HP. Kalau malas juga, simpan di memori otak. Kalau malas juga, pergi ke Hongkong!

0 Messages

Tabrak Lari

       Aku berada sekitar tiga puluh meter dari tempat kejadian. Namun dari sini dapat ku lihat sosok itu tergolek kaku di pinggir jalan. Bukan takut untuk mendekati, seperti orang kebanyakan yang lalu lalang, aku malas untuk menghampirinya. Ya, aku sudah menjadi bagian orang-orang yang tak lagi peduli dengan lingkungan sekitar. Bagaimanapun, ketika pemberitaan ini ku muat, hanya dua orang anak kecil yang melintas berniat untuk menolongnya. Pada saat kakinya diangkat, tubuhnya menggenjot pelan. Boleh jadi itu gerakan terakhir sebelum ia benar-benar meninggalkan dunia ini.
       Aku tetap saja tidak tertarik untuk mengetahui apa dan siapa yang melakukan tindakan kejam tersebut. Yang pasti tak bertanggungjawab sama sekali. Seenaknya saja ketika memiliki kuda besi berkaki dua atau empat atau berapapun. Ia juga punya hak untuk dihormati. Tentunya dalam batas-batas sebagaimana kodratnya. 
        Ayam itu berbulu hitam pekat. Sekarang sudah dibawa oleh dua anak tadi. Kekhawatiranku hanya satu setelah korban tak lagi berada di TKP. Ia akan disembelih dan dikonsumsi setelah tidak lagi bernyawa. Semoga saja dugaanku tidak jadi kenyataan.
Selasa, 25 September 2012 0 Messages

Garuda's Eyes


Langit pagi ini terasa berbeda. Puluhan jet tempur menghiasinya. Lalu lalang, saling kejar dan sesekali membentuk formasi. Dari bawah, benda baja bersayap itu tak ubahnya seperti segerombolan elang hitam.
Seperti yang kita ketahui, pagi ini akan menjadi sejarah penting bagi bangsa Indonesia. Sebuah jet tempur bernama Garuda’s Eyes akan melakukan sebuah demontrasi di udara. Bukan hanya sekedar tontonan yang bakal menakjubkan, Garuda’s Eyes juga lambang kebanggan negeri ini. Ia merupakan jet tempur pertama karya anak bangsa.
Perlu kami informasikan juga bahwa, rombongan kepresidenan baru saja tiba di lokasi. Itu artinya, sebentar lagi kita akan menyaksikan performance dari si  Garuda bermata merah.  
Namun sebelum itu, berikut wawancara singkat kami dengan Nanda Winata atau yang akrab dipanggil De’Nan beberapa waktu yang lalu. Beliau adalah pilot yang dipercaya untuk menerbangkan Garuda’s Eyes untuk pertama kalinya.
Reporter 
Apa yang bapak rasakan saat ini?
De’Nan 
Saya selalu senang, he..he… Maksud saya, ini adalah suatu kehormatan luar biasa yang diberikan oleh bangsa Indonesia.  Saya sudah sering  melakukan atraksi atau demontrasi semacam ini, namun kali ini rasanya …. wah, sulit untuk diungkapkan dengan kata-kata.
Reporter 
Adakah persiapan khusus yang bapak lakukan untuk demontrasi hari ini?
De’Nan 
Kapan dan dimanapun. Saya tetap melakukan persiapan terbaik untuk segala sesuatu. Terlebih yang berkenan dengan profesi saya sekarang ini. Tetap fokus dan disiplin, ku kira itu.
Reporter 
Terima kasih pak, kami ucapkan selamat menjalankan tugas. Dan tentunya rakyat di seluruh pelosok tanah air tidak sabar untuk  menyaksikan performance bapak beserta Garuda’s Eyes. 
Pemirsa, sekarang adalah detik-detik dimana Garuda’s Eyes akan menghiasi langit dengan demontrasi terbaiknya. 
Dapat kita dengar bersama, auman mesinnya yang terdengar kian semakin mendekat. Dari arah selatan, dan itu ……
Itu adalah Garuda’s Eyes yang siap membelah langit Halim Perdana Kusuma!
=wew……Garuda’s Eyes melesat dengan kecepatan luar biasa. Semua mata mengikuti pergerakan jet tersebut. Jet itu kembali melintas dengan laju dari arah berlawanan. Lalu terbang lebih tinggi, tampak hanya sebesar semut. Kemudian turun dengan tajam. Setiap kepala mendongak. Menanti selanjutnya. Wah…..secara tak sadar ucapan itu terlontar begitu saja. Jet semakin mendekati bumi. Makin rendah, rendah dan rendah. Apa yang terjadi? Semua yang hadir terperangah. Degub jantung masing-masing semakin kencang. Was-was dan khawatir sesuatu yang buruk bakal terjadi. Bapak presiden beserta staf spontan berdiri. Gelisah dan berdoa agar keadaan terburuk tidak bakal terjadi. Namun, beberapa menduga itu bagian dari pertunjukan. Tak ada tanda-tanda Jet tempur itu untuk melandai. Moncong pesawat dengan sempurna menghujam ke arah bumi secepat kilat, dan …..=
“De’Nan….” pemanggil maknye dengan sikap protektif. Sementara De’Nan asyik mengawasi ikan dari pinggir parit.
“Iye, mak!” Sahut De’Nan dengan nada kesal.

Semenjak dibuatkan pesawat kertas, hari-hari berikutnya De'Nan terus minta dibuatkan. "Lha, yang kemarin man?" Tukasku.
"Jatoh ke parit, bang." 
Sabtu, 22 September 2012 3 Messages

Turbulensi

       Serasa benar-benar berada di posisi terbawah dalam turbulensi kehidupan. Terperuk dan terburuk. Inilah hidup. Tak selamanya memang berada diatas rasa bernama bahagia. Dan sekarang, harus menjajaki aral bernama cobaan. 
    Dikasihani. Terdengar sungguh menyakitkan. Menyesakkan dada dan aku malu jika harus mengeluarkan air mata. Seolah tak bisa berbuat apa-apa. Walau bagaimanapun ku berucap terima kasih. Selagi bisa, berpegang pada prinsip mandiri. Keteguhanku kian teruji. Tak ingin aku menyerah pada keadaan. Karena insya Allah pasti ada jalan. 
        Boleh jadi saat ini adalah memetik buah keteledoran dan kurang disiplin masa silam. Bermalas-malasan, enggan menerima saran serta kritik yang membangun, ego pada pendapat diri sendiri, dan terlalu anguh untuk berubah menjadi lebih baik. Hm....
        Tak semuanya tampak begitu terlambat. Selagi esok masih ada, selagi itu pula kesempatan tuk berbuat terbuka lebar. Asa terdalamku tuk membahagiakan orang-orang tercinta yang mencintaiku, berkorban pada mereka yang berkorban banyak buatku. Satu lagi, menjemput dia, siapa kah, yang sudi menjadi pendamping sejati dalam perjalanan ini. 
        I wish .... aku punya kesempatan. Insya Allah
Selasa, 18 September 2012 0 Messages

Faridah


            Faridah letih melakoni sebuah rutinitas. Enggan ia, namun tetap juga menyerah kalah pada akhirnya. Menunggu. Kata itu, bagi setiap orang tak lebih baik artinya. Lebih-lebih buat wanita dengan umur kepala lima tersebut. Menunggu bukan hanya melelahkan tetapi juga menyengsarakan. Membuahkan penderitaan dan penyesalan yang berkepanjangan. Serta menghilangkan kesempatan untuk membuat pilihan. Sayang, ia tak kuasa untuk memutar waktu. Alur hidupnya telah terjilid sempurna dalam rentetan masa.
Sekarang genap dua puluh lima tahun lamanya. Ketika ia mendengar janji yang keluar dari mulut seorang lelaki muda impiannya, “Dua bulan lagi, aku akan datang ke rumahmu.”
Ah. Waktu itu, hanya satu ungkapan yang bisa menggambarkan suasana hati Faridah. Musim semi bersemayam disana. Kuncup-kuncup bunga bermekaran. Menebarkan aroma wewangian. Kupu-kupu beterbangan. Dan kumbang hilir mudik dari satu bunga ke bunga yang lain melengkapi keindahan.
Ucapan Rahim itu sampai hari ini masih saja terdengar jelas ditelinganya. Bagaimana suara berat pemuda itu berucap dengan sepenuh kemantapan. Betapa memerah mukanya kala itu. Namun kini semuanya telah berubah. Kenangan itu menjadi sebuah pisau guillotine yang menggorok kehidupannya. Seorang perawan tua. Apa yang lebih jelek dari gelaran itu?
******
Faridah menghidu sesuatu di kamarnya. Dicarinya dengan seksama sumber bau tak sedap tersebut. “Bisa mati tercekik aku kalau begini.” Gerutunya membatin.
Disinsingkannya juntaian kelambu kusam yang melantai. Dilakukannya dengan perlahan-lahan. Bau itu semakin menyengat pada saat ia semakin menghampiri sudut kamar di dekat jendela. “Keti…!” Teriaknya menjadi.
Baunya masam dan busuk. Seperti dugaannya ketika tengah mencari tadi. Siapa lagi kalau bukan pekerjaannya si Keti. Untuk apa ia susah payah mengajari “anak” itu dimana seharusnya buang hajat. Kenyataannya Keti masih bertindak jorok. “Dimana kau, ha!”
Keluar kamar ia langsung menuju dapur. Meraih sapu ijuk di bawah tungku. “Anak itu sesekali harus diberi pelajaran.” Pikirnya.
Dengan kedua matanya, dijelajahinya setiap sudut rumah. Tadi di kamar jelas Keti tidak ada. Didapur juga demikian. Karena Keti tak dibiarkannya bermain sendirian di luar rumah, jadi kemungkinan besar Keti di ruang tengah.
Persis. Keti tergolek diatas kursi yang sofa hanyalah tinggal sebuah nama. Kulit sintetis pembungkus tempat duduk itu telah mengelupas disana sini. Sulit untuk menyebutnya berwarna merah, karena cenderung memudar lebih keunguan. Busanya juga telah mengendap. Bila diduduki, tak ubahnya serasa menduduki kursi kayu. 
Tubuh Keti terperuk di salah satu cekungan sofa. Mengacuhkan Faridah yang membentaknya sambil membawa sapu, Keti tetap pulas.
“Buk.”
Satu pukulan sebagai peringatan mendarat pada sandaran sofa. Dan itu menganggu tidur Keti. Keti mengedipkan mata. Lalu tidur lagi. Melihat itu, Faridah semakin emosi. “Buk.” Pukulan sapu ijuk kembali mendarat di tempat yang sama.
Keti terkesiap. Matanya benar-benar terjaga.
“Berapa kali ku bilang. Buang hajat jangan di kamar. Atau dimanapun. Untuk apa aku mengajarimu dan juga membuat WC. Padahal baju itu baru saja kucuci. Hanya saja belum sempat melipatnya. Sekarang, siapa yang harus mencucinya lagi kalau bukan aku! Jawab, ayo jawab.”
Jendela depan terbuka lebar sejak tadi. Seorang ibu muda melintas dan sempat melirik ke arah rumahnya. Bertemu pandang dengan Faridah yang tengah marah, dia cepat-cepat berlalu. Faridah tahu ibu muda itu mengoceh sesuatu. Faridah juga tahu kata apa yang keluar dari mulut orang tersebut. Gila, sinting. Tak jauh-jauh dari dua kata tersebut.  
Ya, ia memang telah sinting, gila atau apapun namanya. Mendidik Keti, menjadikannya laiknya seorang dokter hewan yang bisa berbicara dengan binatang apapun. “Andai saja Keti benar-benar anakku, tentu itu akan lebih mudah.” Desisnya perlahan. Amarahnya mulai mereda.
Nama Keti diambilnya dari saluran televisi yang memunculkan sosok kartun kucing lucu dan menggemaskan. Ia tak tahu bagaimana tepat menuliskannya. Keti, keti, itulah yang dia dengar. Waktu itu Keti adalah seekor anak kucing yang induknya entah kemana. Mengeong keras di teras rumahnya. Hatinya tergugah. Boleh jadi lantaran merasa senasib dengan kucing tersebut, Faridah memeliharanya. Dan entah bagaimana setelahnya, Keti bagai anak baginya.
Tak mungkin ia memukul anaknya tersebut. Ia takut terjadi apa-apa dengan Keti. Jika itu benar-benar terjadi, siapa lagi temannya dimalam hari. Tempatnya untuk berbagi kisah. Bercengkerama sebelum tidur. Kadang, bercerita betapa cintanya ia pada Rahim dulu. Juga, betapa bencinya ia pada nama itu sekarang. “Tiada maaf baginya.” Itulah biasanya kata penutup obrolannya dengan Keti sebelum berlayar ke alam mimpi.
Faridah menatap Keti lekat-lekat. Kucing itu mengerjap-ngerjapkan matanya. Seolah mengerti perasaan Faridah. Tingkahnya, dimata wanita lima puluh tahun itu tak ubahnya sebuah ungkapan maaf. Faridah jongkok, “tak apa Ket, aku terkadang sulit mengendalikan emosiku. Kau tahukan bagaimana perasaanku ketika tanpa sadar membuka lembaran-lembaran silam.” Mata Faridah berkaca dan menerawang keluar jendela. Sesekali dilihatnya orang yang melewati rumahnya.
Mengalihkan pandangan kembali ke arah Keti sambil mengelus bulu pirang berbelang hitam binatang berkaki empat tersebut. “Aku benci mengingatinya. Namun, semakin aku mencoba untuk melupakannya, semakin jelas saja dibenakku. Jika saja aku menerima pinangannya Madun kala itu, tentu hidupku tak lah semelarat begini. Hidup sebatang kara dengan kucing yang juga sebatang kara.” Lagi, Faridah mengelus bulu Keti.
Faridah beranjak menjauhi sofa. Amarahnya benar-benar sudah mereda. Ia berbalik badan menuju dapur. Tentu saja untuk menyimpan sapu di tempatnya semula. Baru satu langkah, ia berbalik lagi mengarah pada Keti. Keti kembali tidur. “Kamu pasti akan bertemu dengan ibumu kelak.” Ucapnya pelan. Kata-kata itu sebenarnya ia tujukan kepada dirinya sendiri. Ia sangat sadar bahwa dimulut berucap benci, dihatinya masih menyimpan cinta. Bagaimana jika suatu saat ia harus bertatapan dengan Rahim lagi. Mimpi di siang hari.
Kembali Faridah berbalik badan. Seperti tujuannya semula, dapur. Namun niatnya kembali urung lantaran teringat peristiwa kemarin di rumah sakit. Tadi malam sebelum tidur, ia lupa menceritakannya. Wanita itu menghampiri Keti lagi. Mengusik Keti dengan belaian kasarnya. “Bangun Ket.” Pintanya.
“Aku takut di alam sana engkau akan menuntutku untuk bercerita. Dan aku lebih takut lagi jika engkau minggat begitu saja. Pasalnya aku sudah berjanji sebelum pergi ke rumah sakit kemarin. Bukankah janji harus ditepati. Aku tahu rasanya dikhianati seperti apa.”
Faridah menghela nafas dalam.
“Sewaktu menunggu…..”
*********
=bersambung=


Sabtu, 15 September 2012 0 Messages

Turut Senang

     Lebih dari sekedar melayani seorang konsumen. Mereka, kuanggap sebagai adik tingkat perkuliahan. Meskipun pada akhirnya tetap membayar atas jasa yang kuberikan, namun hakikatnya bantuan yang sedapat mungkin yang terbaik. Berbagi hal-hal yang menyangkut kisi-kisi perkuliahan. Teknik penulisan makalah, laporan (sedikit) misalnya, hingga pembuatan abstrak tugas akhir. 
      Well, tentunya tak lupa ku ingin mengucapkan terima kasih atas bertransaksi selama ini. Kekurangan disana-sini tentunya masih ada saja. Kepercayaan atas jasa yang kuberikan menjadi perhatian kalian. Terakhir, tak ada yang lebih ku senangi adalah turut sedikit saja berkontribusi atas kelulusan mereka. Menyandang sebuah gelar Amd dibelakang nama masing-masing sebagai lulusan Politeknik Terpikat Sambas.
Minggu, 09 September 2012 0 Messages

Penari Pedang


       
         Dari dulu dia menolak untuk disekolahkan disana. Ayahnya bersikeras menentang. Pendapat ibu malah lebih. "kamu akan menjadi pemain pedang yang tangguh." 
         Kenyataannya, dia tetap saja bingung. Apakah dia benar-benar bisa bermain pedang, sementara justru tari-menari yang dipelajari setiap harinya.
          Baru setelah semester ini berlalu, sang kepala sekolah mengatakan bahwa, penemuannya setahun yang lalu belum berjalan dengan sebagaimana mestinya. Haruskah memberitahukan kedua orang tuanya? "Kami disini tak lebih dari kelinci percobaan sang kepala sekolah?"
Selasa, 04 September 2012 0 Messages

Kotak Ajaib

      Luar biasanya luar biasa. Ku kira telah menemukan kotak ajaib!.
     Paling tidak lima judul tulisan yang belum rampung ketika aku buka-buka penyimpanan di drive D. Luar biasa. Tiga diantaranya adalah yang telah ku entri di sini, Menguapnya Selebritas, Pedagang Pagi part 1 dan Pak Bondot. Dua diantaranya terlalu sayang jika harus dihapus. Tingkat "menggantung" nya masih sangat tinggi. Suatu hari, ku ingin melanjutkan ceritanya.
      Ketika membacanya aku bahkan tak percaya, dulu aku pernah menulis itu. Tanpa sadar, aku iri pada diriku sendiri yang itu. Dimana apa yang ku tulis begitu mengalir seperti air setiap pragrafnya. 
      Tepat! Tulisan itu ada sebelum pindah ketempat ini. Bukannya berbicara tentang pengaruh sebuah tempat. Aku menulisnya sebelum disibukkan oleh prosesi pindah tempat usaha dan rumah. Ya, itu dia. Waktu menganggur menulis melumpuhkan kapabilitasku. Nyatanya, tiga bulan terakhir ini aku bahkan belum mampu menulis seperti itu lagi.  Paling tidak menyamainya.
          Ku harap bisa lagi menulis seperti itu...Pasti bisa seiring latihan dan bergulirnya waktu. Insya Allah.

2 Messages

Pedagang Pagi Part 1


       Pemuda itu membuka mulut sejadi-jadinya. Melepaskannya dan bersuara. Dan kemudian ia baru sadar untuk menutup mulutnya. Sudah terlambat. Lupa, suatu hal yang pantas untuk dimaafkan. Matanya memerah. Kurang tidur merupakan satu hal yang pantas disalahkan di pagi ini. Dia juga tidak tahu secara pasti apakah harus menyalah waktu atau dirinya sendiri. Yang pasti kata “kurang tidur” sangat tepat menjadi biang kerok.
       Bila dipikir lebih jauh lagi, tak seharusnya dia mengkambing hitamkan dua kata tadi. Bukankah salahnya sendiri jika harus menumpuk materi tiga bulanan untuk diropol habis dalam satu malam. Itu penyiksaan. Penyiksaan terhadap diri sendiri. Tetapi ya. Sepertinya sudah menjadi lumrah bagi kebanyakan mahasiswa di sini. Sardi mentertawakan dirinya sendiri.
      Ujian semester genap hari ini akan berakhir dan ditutup dengan mata kuliah perpajakan. Mata kuliah yang sangat tidak disukainya. Kedua-duanya, antara dosen pengampu maupun materi-materinya. Sama sekali tidak ada hubungannya dengan maraknya desas-desus penyimpangan pajak belakangan ini. Dia hanya tidak suka. Tidak perlu alasan rinci mengapa itu bisa.
   Sardi masih mengucek-ngucek matanya hingga makin memerah. Berharap akan merangsang kesadarannya. Melihat jam di layar HP. Pukul tujuh lewat satu. Masih ada dua puluh sembilan menit untuknya bersantai ria. Mempertimbangkan untuk tidur kembali dan bangun pukul tujuh lima belas. Tak butuh waktu lama untuknya mandi dan berangkat kemudian. Toh dia tinggal di RUSUNAWA. Bermotor dua menit, sampai.
       Ketika tangan kanannya mulai meraba-raba bantal yang masih tergeletak diatas kasur, tangan kirinya meraih HP kembali. Menyetel alarm agar terbangun tepat waktu.
         “Lumayan, lima belas menit.” Pikirnya
         Baru saja akan kehilangan kesadaran. Sardi terlonjak. Cepat-cepat dia bangkit dan mencopot handuk dari gantungan. Berlari-lari kecil menuju kamar mandi. Dan kali ini ia cukup beruntung, karena kamar mandi tengah kosong.
       Buru-buru dia berpakaian. Mengambil tas, memasukkan laptop kedalamnya. Menyisir rambut yang telah diminyaki seadanya. Tanpa bercermin. Begitu keluar dari kamar, langsung menguncinya. Meraih sepatu dan menuju parkir gedung yang ia tempati.
        “Uhh…” Ternyata dia meninggalkan kunci motornya dikamar. Dan bergegas menaiki tangga menuju lantai tiga. Terengah-engah ketika sampai didepan pintu kamarnya. Membukanya kemudian dan secepat kilat meraih kunci motor. Sepertinya ada sesuatu yang tertinggal. Tapi dia tidak tahu apa itu.
         Sardi mengabaikan perasaannya. Menuruni tangga lagi. Namun belum sampai dilantai dua, dia teringat bahwa kartu ujiannya tertinggal. Itu dia. Kemarin kartu itu ia simpan di saku baju. Dan sepulang ujian, dia langsung mencuci baju tersebut. Untungnya sempat dikeluarkan sebelum ikut tercuci.
         Sardi kelabakan, ternyata dia lupa dimana meletakkan kartu penting itu. Sambil mengelap keringat yang mulai berkeluaran dan diikuti oleh detakan jantung yang semakin mengencang, Sardi mengingat-ingat.
     “Dekat kamar mandi” Hatinya memberi tahu dirinya sendiri. Berlari-lari menuju kamar mandi. Didapatinya pintu kamar mandi tertutup.
         “Siapapun didalam. Tolong ambilkan kartu ujianku di dekat tempat sabun. Tolong cepat!”
         Sosok Danu yang keluar. Menyodorkan kartu kecil persegi tersebut. Sardi berterima kasih.
         “Ya.” Jawab Danu singkat dan berjalan menuju kamarnya sendiri.
     Sardi kembali berlari menuruni tangga yang berjumlah enam. Meraih sepeda motor dan langsung menghidupkannya. Dia menyesali dirinya. Seharusnya membetulkan settingan jam di HP nya.
       “Pantas saja ketika terbangun pukul lima untuk shalat subuh tadi, hari sudah mulai terang.” Batinnya berucap.
        Pengaturan jam di HP nya sengaja perlambatnya selama dua puluh lima menit tadi malam. Karena bahan perpajakan cukup banyak, maka dia mensimulasi dirinya sendiri dengan mengatakan bahwa malam belum lewat. Masih banyak waktu untuk belajar. Padahal biasanya dia malah mensetting jamnya lebih cepat hampir tiga puluh menit yang menyebabkan teman-temannya terkadang berang jika bertanya waktu dengannya.
         Setibanya dikampus hijau, Sardi melihat hanya beberapa mahasiswa yang keluyuran dan nongkrong di parkiran. Ia yakin mahasiswa-mahasiswa tersebut baru akan ujian pada jam kedua. Tidak seperti dirinya yang pasti sudah sangat terlambat. Paling tidak sepuluh sampai dua puluh menit.
……………..
       “Jadi bu. Inysa Allah besok. Ada yang mau dipesan?” Lama dia mendengarkan jawaban seseorang yang tengah diajaknya bicara.
       “Ya, Insya Allah. Assalamu’alaikum.” Tak banyak yang dia bicarakan dengan ibunya. Kurang lebih hanya memberitahukan bahwa ujian telah selesai dan libur panjang pun sudah dimulai. Kurang lebih dua bulan. Cukup lama untuknya melepas rindu dan membantu ibu dan ayahnya nanti disana. Di kota yang dulu pernah terkenal dengan nama serambi mekah setelah Aceh.
         Tak banyak waktu untuknya tiduran di sore ini. Otaknya mulai menyusun rencana perjalanan mencari barang-barang yang dipesan oleh orang tuanya sebelum pulang kampung. Habbatusauda, minyak urut, dan beberapa CD bajakan yang dipesan adiknya. Dan tempat itu berbeda-beda lokasi. Makanya dia harus memilih kemana dulu harus pergi agar tidak bolak-balik.
      Beberapa saat kemudian Sardi telah mantap. Ia memastikan kartu SIM, STNK dan ATM tidak tertinggal. Semuanya lengkap. Dan dia pun keluar.
        Jalanan Ayani memang ramai di sore akhir pekan seperti saat ini. Ini adalah jam pulang kantor dan jalan-jalan bagi mereka yang dinasnya berakhir hari jum’at kemarin. Jalanan juga ikut diramaikan oleh muda-mudi yang tengah mencari tempat nongkrong. Didukung pula dengan matahari yang mulai menggelinding kearah barat.
       Sardi hanya berharap toko-toko yang menjadi tujuannya belum tutup. Makanya ia pandai-pandai mencari celah untuk menerobos di antara kerumunan di jalanan. Beberapa kali ia hampir menyenggol belakang motor dari pengendara lainnya. Sumpah serapah dan tatapan tajam pun terlontar. Tapi Sardi tidak ambil peduli.
          “Enam”
          “Dua-duanya?”
          “Habbatusauda enam dan minyak urut dua saja.”
          Penjaga toko herbal itupun membungkus dan kemudian menghitung total belanja.
          “Dua ratus tiga puluh ribu rupiah” ucapnya gadis berjilbab lebar tersebut.
        “ini ukhti.” Sardi menyodorkan uang dua ratus lima puluh ribu rupiah yang masih baru. Memang baru saja ditariknya dari ATM di depan toko ini.
         Sardi mengambil bungkusan dari sang penjaga toko.
         “Kapan pulkam?”
         “Insya Allah besok.”
         “Anti?”
         “Ana sih mungkin gak pulkam. Kerja. Susah juga.”
         Sardi mengangguk pelan mencoba mengerti.
         “Oke. Syukron”
       Belum sempat gadis berjilbab itu menjawab, Sardi langsung keluar toko. Masih ada satu barang yang belum dibelinya. CD bajakan. Mengingat benda itu, hatinya antara mau dan tidak untuk membelinya. Namun ketika mengingat wajah adiknya yang berusia enam tahun, ia tidak tega. Pilihan terberat harus ia lakukan juga. 

Insya Allah jika kapabilitas menulis mulai pulih, akan secepatnya di lanjutkan...
 
;