Senin, 30 April 2012 0 Messages

Langsung Entry, dah

    Alhamdulillah kelar juga. Hampir dua minggu terbengkalai begitu saja tanpa digarap. Semoga hasilnya bisa "memuaskan" meskipun jujur, saya yang nulisnya jauh dari puas. Puas hanya ketika menyelesaikannya. Bukan alurnya, tetapi gaya penulisan yang tidak berkembang. Tak apa, namanya juga proses pembelajaran.
    Mungkin seharusnya di entry besok, bertepatan dengan HARDIKNAS. Tetapi ya untuk apa berlama-lama toh itu sudah selesai di ketik dan di edit. Langsung masuk post aja. Itu aja koq repot ya.
    Semoga bermanfaat. 
0 Messages

Teacher of The Year 2 (The End)


                 Bally tampak sesekali menyisir rambutnya  ke belakang menggukan jari-jemarinya. Jika dibilang parlente ia hari itu, justru berlebihan. Dikatakan hampir, itu lebih mendekati. Dan pembawaannya diatur sedemikian rupa agar lebih berwibawa serta elegan. Merasa menjadi pusat perhatian para siswi, duduknya gusar. Meskipun bukan hanya itu sebenarnya penyebabnya. Kesannya sebagai seorang pengajar psikolog ternyata tidak bisa membantunya kali ini. Walau bagaimanapun harap-harap cemas itu tetap ada.
                Di kursi sebelahnya, disamping Bally ada Donita yang tegang. Muka, tengkuk hingga ke rahang-rahangnya. Tidak ada senyum terulas kecuali dihatinya. Jika bisa, ia ingin melompat hingga kelangit. Ia sangat yakin, hari ini adalah miliknya. Tidak Smarta, tidak Bally, apalagi Soegara. Tentunya setelah apa yang ia lakukan beberapa hari yang lalu. Hari pendidikan nasional tahun ini akan menjadi hari yang bersejarah dalam hidupnya. Ia ingin mengatakan kepada dunia bahwa dirinya layak diperhitungkan. Hanya untuk tahun ini. Tahun depan? Ia meyakinkan dirinya untuk tidak lagi ambil bagian. “Tidak lah sama antara karyawan yang dipecat dengan mengundurkan diri. Yang terakhir bisa berjalan dengan membusungkan dada.” Pikirnya. Sementara matanya menatap seisi ruangan berkonsep pendidikan berkarakter tersebut. Diluar kendalinya, bibirnya tertarik keras ke kiri dan kanan.
                Dan yang paling rilek adalah Smarta. Walau demikian, mendapat kursi disamping seseorang yang membenci dirinya adalah hal yang tidak mengenakkan. Terlebih karena ajang ini ditahun lalu adalah penyebabnya. Ia akan semakin rilek seandainya duduk disamping Bally. Bagaimana tidak, komunikasinya harus melewati karang yang menjulang tinggi. “Dan, seandainya Soegara datang lebih awal.” Smarta membatin. Kursi disampingnya masih kosong. Memang hal luar biasa jika guru bahasa Inggris itu datang tidak tepat waktu. Smarta membuat daftar hal yang mungkin menyebabkan rekan kompetitornya belum menampakkan batang hidungnya. Sakit, menempati tempat teratas. Tetapi, pikir Smarta, bukankah Soegara bisa mengirimkan pesan singkat atau menelpon. Kedua, ia tengah dalam perjalanan. Bisa jadi sepeda motornya bermasalah ketika ingin datang lebih awal kesini. Itu sangat memungkinkan. Dan yang terakhir, Soegara bermaksud untuk tidak menghadiri acara ini. Namun sepertinya itu tidak masuk akal. Lelaki itu tidak akan begitu saja meninggalkan event yang penting buat sekolah dimana ia mengais rezeki. Tidak akan.
                Dari Bally, mata Smarta mengarah ke pintu masuk. Berharap disana ada Soegara berlari-lari kecil menuju podium. Menyapa dirinya dan mengucapkan maaf karena ia telat. Nihil. Itu hanya ada dalam angan-angan Smarta.
                Di lain pihak, Pak Imtihan berinisiatif bijak. Sebaiknya acara perhargaan Teacher of The Year 2012 dimulai saja. Ia mengangkat tangannya sebagai aba-aba kepada ketua panitia. Dan acara pun dibuka.
                Sambutan hanya oleh sang kepala sekolah. Mengulas singkat tentang ajang ini serta mengucapkan selamat kepada seluruh siswa kelas tiga yang baru saja mengikuti ujian nasional. Dalam kesempatan itu, pak Imtihan juga mengajak semuanya untuk berdoa agar hasil ujian nasional tahun ini bahkan lebih baik dari tahun sebelumnya. Meskipun ditahun lalu, sekolah Bintang lulus seratus persen dan menduduki peringkat pertama dalam hal nilai.
                Selesai. Sebaik saja pak Imtihan mengucapkan salam penutup dan dijawab oleh seluruh yang hadir diruangan itu, tepuk tanganpun bergemuruh. Lalu sang MC mengambil posisi.
                “Setelah ini kita akan menyaksikan sebuah persembahan spesial dari pihak sekolah. Kepada Mr. Soegara kami persilakan.”
                Bally ternganga. Donita mematung. Dan Smarta terperangah.
                Sesosok bayangan hitam ada dibalik tirai panggung. Semua perhatian tertuju pada benda itu. Perlahan, tirai putih itu disibak menepi. Dan Soegara muncul dengan biola menempel dipundaknya. Gesekan pertama, melambungkan hingga ke awan. Kedua, ketiga dan gesekan demi gesekan pun tercipta. Mengalunkan irama syahdu nan merdu. Semua mata tertuju padanya.
                Dan beberapa saat kemudian, pintu aula terbuka. Burqa muncul disana. Menenteng selembar kertas putih. Ia berjalan menuju podium. Mic kecil terselip ditelinganya. Fokusnya hanya satu, membaca tulisan dikertas tersebut. Langkahnya perlahan, tetapi pasti. Seirama dengan gesekan biola dari sang guru. Perpaduan sempurna.
Puisinya usai tepat ketika ia menginjakkan kaki di podium. Dan suara biola pun berhenti. “Guru Langit. Karya Soegara.” Burqa menunduk memberi hormat pada seluruh yang hadir disana.
Tak ayal lagi, semua meneteskan air mata. Pak Imtihan, Bally, Smarta hingga Donita yang pura-pura tidak tersentuh. Juga staf pengajar, siswa serta pak Burhan yang mengintip dari jendela.
Hening.
Pak Imtihan membuyarkannya dengan bertepuk tangan. Dan kemudian di ikuti tangan-tangan lainnya. Soegara menuju kursi kosong disamping Smarta. Sementara Burqa duduk di jejeran siswa lainnya.
“Orang pendiam memang punya cara sendiri untuk membuat kejutan.” Smarta berbisik kepada Soegara.
Soegara hanya mengangkat alisnya.
“Saya tidak tahu yang pak guru bisa bermain biola.” Ungkapnya lagi.
“Itu buah dari penjajahan oleh ayah sewaktu kecil. Ia memaksa untuk mengikuti kelas musik. Sambil menggerutu, namun aku tetap ikut juga katanya. Akhirnya ayah mengetahui sendiri bahwa saya tidak tertarik untuk terjun ke dunia itu lebih jauh.”
Smarta nyengir.
“Sudah lama sekali saya tidak memainkan itu. Saya takut justru akan memalukan tadi.” Tambah Soegara lagi.
“Itu bagus. Dan tentang puisi itu?”
Di kursi paling ujung, Bally berusaha mencari perhatian. Dan ketika Soegara beralih padanya, ia mengangkat kedua jempolnya. Giliran Soegara yang nyengir.
Donita berpendapat lain. Apa yang dilakukan Soegara itu biasa-biasa saja. Meskipun tadi ia bahkan hampir tidak berkedip. “Anakku yang SMP bisa lebih dari itu.” Kata hatinya.
Sebenarnya ia ngeri ketika hatinya sempat mengingatkan dirinya pada anaknya yang bungsu tersebut. Memang dii bidang musik, anak itu bisa sedikit diandalkan. Tetapi, besar kemungkinan ia akan terlempar ke sekolah lain. Tidak masuk kualifikasi untuk bersekolah di Sekolah Bintang tersebut. Ia menyadari dirinya terang-terang telah gagal.
******
Hanya dalam hitungan detik kedepan, sang ketua osis yang juga bertindak sebagai ketua panitia sudah berdiri dengan amplop terselip di saku jas nya. Amplop tersebut menyimpan sebuah nama rahasia. Satu diantara empat orang yang dinilai, ya beruntung. Demikian menurut pak Imtihan. Karena apa? Pemilihan secara voting seringkali jauh dari fair. Uang, pamor, tampang fisik tetapi mengesampingkan kualitas. Kala itu sang kepala sekolah mengambil contoh dari kontes pencari bakat hingga pemilihan berbagai kepala, “pokoknya kepala-kepala apalah,” tukasnya kala itu.
“Teacher of The Year, tahun ini jatuh pada….”
Sang ketua Osis membuka lipatan amplop dengan hati-hati. Sambil menghadap ke seluruh siswa, ia bertanya, “Siapa?”
“Mr. Bally…..” beberapa siswi berteriak.
Tak mau kalah, para siswa lainnya juga meneriakkan sebuah nama. “Ms. Smarta…..”
Mendengar itu, Bally semakin melebarkan senyumnya. Demikian pula dengan Smarta. Soegara diam tanpa ekspresi antusiasme. Dan Donita menggelegak.
“Tenang-tenang.” Kata sang ketua Osis.
“Dia adalah…..” Suaranya tertahan.
Deg, deg, deg. Suara detakan jantung mengisi sudut-sudut ruang aula.
“Mr. Bally Setiawan.”
Sorak sorai menggema. Histeria pendukung Bally tidak bisa dibendung. Para siswi melonjak kegirangan. Dan siswa pula banyak yang bermuka kecewa.
Sang pemenang hampir lupa bahwa kakinya ternyata masih menginjak bumi. Langkahnya tercipta sembari namanya disebut untuk maju. Disana pak Imtihan berdiri dengan sebuah piagam penghargaan. Jabat tangan, dan berpelukan. Lalu Bally menghadap ke seluruh siswanya. Sorak sorai kembali menggema.
Disela riuh rendah itu, sang ketua Osis sedikit mengurai tentang hasil polling. “Mr. Bally Setiawan mendapat dukungan sebanyak 44%.” Berhenti sebentar.
“Selanjutnya di ikuti oleh Ms. Smarta Nisa dengan perolehan dukungan sebanyak 32%. Lalu Ms. Donita 20%. Dan terakhir 0,4% adalah Mr. Soegara.” Lanjut sang ketua Osis.
Mendengar itu Burqa memicingkan mata pada teman disampingnya, “Itu kamu Len?”
Leni  tidak berkata apa-apa.
Smarta ikut senang atas gelar yang didapatkan oleh Bally, meskipun ia berharap sejatinya Soegara yang seharusnya ada diposisi itu. Namun, ya, itulah kompetisi. Tidak selamanya pemenang selalu yang terbaik. “Mungkin” Smarta membatin. Di alihkan perhatiannya pada pengajar disampingnya.
Soegara berbaur dengan keadaan. Tak berbeda dengan Smarta, ia juga senang atas keberhasilan Bally tahun ini. Itu suatu penghargaan yang layak didapatkan oleh guru muda tersebut, pikirnya. Seandainya ia yang terpilih, akan sangat sulit baginya untuk mempertanggungjawabkan itu kelak. Tepuk tangannya masih berlanjut ketika Bally memberikan sambutan beserta ucapan terima kasih.
Di lain pihak, Donita meremas-remas jari-jemarinya. Mengenggamnya sekuat mungkin. Berharap emosinya tidak tumpah. Tangannya ia sembunyikan di belakang. Ia yakin tidak ada yang mengetahui hal itu. Susah payah ia menonjolkan muka tidak kecewa seperti tahun lalu. Boleh dibilang itu cukup berhasil. Meskipun ia hendak berteriak sekeras mungkin.
“Permisi.” Donita berjalan di muka Smarta dan Soegara. Berniat ingin ke belakang sebentar.
Secepat kilat ia sudah sampai di toilet guru. Menutup pintu tanpa ampun. Dan berhenti di tepat di wastafel. Ia melihat muka pecundangnya sempurna di cermin. Gaunnya yang dikiranya anggun, kini mentertawakannya seperti seluruh siswa di aula tadi yang menurutnya juga mentertawakan kegagalannya.
“Ha………” Donita berteriak histeris. Lalu tangisnya pecah.
Terdengar ketukan dari balik pintu, “bu, anda tidak apa-apa?”
Merasa kepergok, ia berbohong, “saya baik-baik saja. Hanya ada kecoa.”
Donita mendengar langkah kaki menjauh. Sekarang ia kembali sendirian. Tangisnya tertahan menjadi sebuah isakan. Ditatapnya mukanya di cermin kembali. Kusut. Make up nya sudah luntur. Bersamaan dengan harga dirinya. Seperti tahun lalu. Hanya saja tahun ini entah mengapa lebih menyakitkan. Ia bertahan disana lebih dari sepuluh menit.
“Tidak, aku tidak boleh membiarkan ini berlarut-larut. Pengorbananku sudah sejauh ini. Sia-sia jika harus tidak mendapat apa-apa. Aku kalah, mereka juga harus kalah.” Tawa sinis ada dicermin. Sorot matanya menyiratkan dendam yang belum terbalas.
Bergegas Donita mencuci mukanya. Tidak ingin ketahuan bahwa ia baru saja melelehkan gelegak hatinya. Ia kembali bergabung.
Kehadirannya kembali di podium dikejutkan oleh suara sang ketua Osis, “Ms. Donita, kami semua menunggu kedatangannya. Kami persilakan untuk mengucapkan sepatah dua patah kata.”
“Ini saatnya!” Bisik hatinya.
Donita berucap salam lalu berterima kasih atas kesempatan tersebut. Menyusun irama nafasnya agar terdengar normal.
“Selamat kepada Mr. Bally Setiawan. Saya rasa anda memang patut mendapatkan penghargaan itu.” Jeda sejenak.
“Tapi kita semua tahu bukan bahwa sistem pemilihan seperti ini punya kelemahan. Yang menurut saya sangat fatal. Saya salah jika memang ingin mendapatkan pemenang secara instan. Tetapi, bukankah ajang ini untuk memilih pengajar yang terbaik. Saya yakin, diantara yang memilih Bally berasal dari kalangan siswi.”
Para siswi saling pandang sesama mereka. Sementara Bally menelan ludah atas apa yang didengarnya.
“Jika kalian mengira saya kecewa atas keputusan ini, itu tidak benar. Saya hanya ingin sekedar meluruskan. Dan” Donita berhenti untuk menjelajahi seisi ruangan.
“Dan agar sistem pemilihan ini menjadi yang pertama dan terakhir. Kepada para siswi saya ingin menekankan. Bagaimana jika suatu saat Mr. Bally harus meninggalkan sekolah ini? Apakah kalian tetap bersemangat dalam belajar? Begitu juga seandainya Ms. Smarta harus mengajar ditempat lain. Apakah kalian para siswa akan senang pelajaran Bahasa Indonesia?. Di situlah intinya. Jujur, hati terkecilku mengakui bahwa sebenarnya yang layak untuk mendapat gelar ini tahun ini adalah Mr. Soegara. Kita tahu sendiri bagaimana beliau, bukan? Kalian menyukai bahkan mencintainya bukan karena tampang rupa. Melainkan  cara mengajar serta keseriusannya. Ia ingin kalian mendapatkan nilai serta pemahaman terbaik dalam kelasnya.”
Soegara yang disebut-sebut menunduk. Perasaan tidak enak melanda dirinya. Terutama pada Bally. Ia melihat wajah Bally yang tadinya sumringah kini berubah muram. Kata-kata Donita mengenai hingga ke hatinya. Tentu itu menyakitkan. Dan Soegara dilibatkan dalam hal ini. Seharusnya tidak begitu.
Persis seperti Soegara, Smarta menangkap hal yang sama pada Bally. Sekarang guru BK yang ada disampingnya tidak berani mengangkat muka lebih tinggi. Pandangannya menerawangan. Rasa bahagianya menguap pelan-pelan. Semakin lama Donita berbicara disana, selama itu pula ia menunduk. Seharusnya tidak begitu.
“Itu saja, terima kasih. Wassalamu’alaikum.”
Donita bergabung dengan tiga nominator lainnya. Bally yang tidak mengangkat muka, Smarta yang tidak lagi serileks sebelumnya, dan Soegara yang merasa bersalah.
“Puas!”
Melihat itu Donita merasa benar-benar menang.
******
“Sedikit banyak saya setuju dengan ucapan Ms. Donita waktu itu. Sistem pemilihan harus dirubah. Cara lama lebih mempunyai nilai. Dan betul juga, seharusnya yang mendapatkan penghargaan hari itu adalah Soegara. Buktinya sudah didepan mata.” Pak Imtihan berucap kepada empat wakil kepala sekolah.
Sekolah Bintang menduduki peringkat teratas kembali dalam nilai kelulusan. Dan tahun ini lebih istimewa, nilai Bahasa Inggris salah satu siswanya menjadi yang tertinggi tingkat nasional. Itu membanggakan.




                
0 Messages

Ke Walimahan Saudara (3)



Dari kanan, sepupu (apriadi), me, sepupu (Kurniadi), Sepupu (Mustian)

Bang Apri dan Mustian adalah dua bersaudara. Pernikahannya hanya jeda sebulan lebih. 

Pose with mempelai kedua mempelai. Dari kanan, istri Apriadi (Maryam) dan disampingnya, Eka Fitriani (Istri Mustian)

Kamis, 26 April 2012 0 Messages

Ke Walimahan Saudara (2)

   Mm... namanya juga orang sepok atau wong ndeso. Gak pernah pergi ke kota. Maklum..he..he.. Jadilah saya berperan sebagai pandu wisata.
   Perjalanan yang ditempuh sekitar tujuh jam. Dari Sambas menuju Sui Kakap, Kab.Kuburaya dimana sepupu saya menikah disana. (Terasa mimpi, seolah baru kemarin ketika kami masuk SD bersama-sama. Hanya saja dia berhenti di kelas satu. Maunya satu kelas sama saya. Namun ia harus masuk kelas siang. Barakallah saudara. Juga seakan-akan baru kemarin ketika kami bersama-sama selama dua tahun pergi dan pulang SMK yang berjarak belasan kilometer).
   Sekarang aku benar-benar sadar, ternyata waktu bergulir begitu cepatnya. Dan diri ini sudah cukup tua..he..he..
   Kirain bis carteran, eh tau nya gak. Memang, transportasi di negeri ini masih mengerikan....lewat.
Lucunya, setelah puluhan kilo meter, ternyata bukan hanya aku yang menahan ingin buang air. Biasalah wanita lebih suka terus terang. Mak, dan bibi-bibiku yang lain sedikit gelisah akan hal itu. Tidak sabaran menunggu bis berhenti untuk makan siang. Sebenarnya agar bisa melepaskan panggilan alam...(sorry).
   Daaaann, tiba di kota pontianak ini yang lucu. Untung dalam bis itu orang kita semuanya. Maksudnya orang-orang yang memang ingin pergi ke walimahan sepupu. Biak-biak (anak-anak) kecil terkesima melihat rentetan jumbo. Belum lagi kapal feri yang ukurannya lebih besar dari yang biasa dilihat. Plusss, bangunan yang bertingkat-tingkat. Saya yakin yang tua nya hanya terlalu pintar untuk menyembunyikan kekagumannya. Oho...
   Pas didepan tugu menjulang, "Itu tugu khatulistiwa" Ujarku. Itu bakalan ada di pelajaran IPS. Entah mengerti atau tidak yang ku beritahu. Tak berminat aku untuk melanjutkan kenapa tugu itu dibangun. Selanjutnya, ketika melewati jembatan Landak dan Kapuas, "Nah, kalau ini sungai Kapuas. Sungai terpanjang di Indonesia." Kata ku lagi.
   Masuk telinga kanan keluar telinga kiri kayaknya. Tak apa. Karena mereka lebih tertarik untuk melihat pesawat yang menderu di angkasa. Tak heran seperti itu, toh disana kan memang dekat dengan bandara. Jadi badan pesawat yang tengah mengudara terlihat lebih besar. "Mana? Mana? Mana?" Dari yang muda sampaii yang tua...he..he..
   Datang di Sui Kakap tepat pukul Lima kurang sepuluh menit. Badan kami semua letih. Dan harus menaiki pick up agar sampai di tempat tujuan dimana acara pernikahan di gelar.
Uppss photo-photonya gak ada yang bagus...jadi sorry gak bisa dientry....

 

Kamis, 19 April 2012 0 Messages

Ke Walimahan Saudara

Tiga hari mendatang mungkin tidak bakalan online atau update ni blog. Insya Allah pergi ke acara pernikahannya abang sepupu di Sui Kakap, Kab. Kubu Raya. Rame-rame ni pake bis. Semoga selamat hingga tujuan dan demikian pula pulang kembali. 
Untuk dokumentasinya, mudah-mudahan bisa di entry ntar....
Rabu, 18 April 2012 0 Messages

Salahkan Cinta

    "Tidak..tidak...tidak. Apapun alasannya, aku tidak setuju!"
    Pemuda itu beranjak. Meninggalkan wanita yang telah melahirkannya dua puluh tahun silam itu diteras rumah sendirian. Berlalu tanpa pamit sedikit pun. Tak lama, terdengar daun pintu kamar dibanting dengan keras.
    Wanita itu maklum atas penolakan tersebut. Penyebabnya hanya satu. Usia. Benar kata putranya barusan, "memangnya sudah tidak ada pria yang sebaya dengan ibu?".
    Tapi silakan salahkan cinta yang datang dengan tiba-tiba yang tidak bisa ditolaknya. Apakah pantas ia menyebutnya sebagai korban cinta?
..........
    "Memang tidak ada hukum melarang itu. Tapi apakah tidak ada wanita lain dihatimu. Bukankah Tasya terus mengejar-ngejarmu? Ingat, Zach, ia sebaya dengan ibu."
    Zach tercenung. Ada benarnya apa yang dikatakan oleh ibunya. Tapi benar juga yang mungkin akan dilakukannya tidak ada salahnya. Salahkan cinta yang datang menghampiri. Anggap saja ia korban cinta.
...........
    "Tidak ada satu pun dari mereka yang bersedia menerimamu. Terutama Deni. Ia sebaya denganmu. Sangkalnya bukan karena tidak bersedia mendapatkan ayah tiri. Tetapi usiamu yang terlalu muda, Zach."
    Zach memandang lautan lepas dihadapannya. Kemejanya di terpa oleh angin pantai. Hingga tertarik-tarik ke belakang. Begitu pula dengan celana panjangnya. Sementara Xena memilih membelakangi pantai. Jadilah kerudungnya berkibar-kibar tepat dihadapannya.
    "Ibuku juga tidak mempermasalahkan cinta ini. Hanya saja diantara kita ada sesuatu yang tidak lazim di masyarakat."
    "Lalu apa yang harus kita lakukan?" Tanya Xena.
    Zach mengacak-acak rambutnya sendiri. "Ah..." Tukasnya kemudian.
    "Ada ide?" Zach kembali bertanya.
    "Ku rasa kita tidak mungkin lagi melanjutkan ini semua. Bukanlah laut ini cukup luas untuk menampung sampah cinta diantara kita?"
    "Maksudmu?"
    "Tasya dekat dengan ibumu dan bermimpi ingin menjadi bidadarimu, bukan? Begitu pun dengan aku. Oki terus menanyakan kesedianku untuk menerimanya menggantikan posisi ayahnya Deni."
    "Kau rasa itu yang terbaik?"
    Xena mengangguk.
    Zach meraih HP di saku celananya. Menekan-nekan tomboh disana sejenak. Lalu, "Assalamu'alaikum Tasy, ibuku ingin mendapatkan seorang menantu secepatnya. Maukah kau...?
    Xena juga melakukan hal sama. Membuka tas jinjingnya. HP didekatkan ke telinga kakannya. "Hallo, Oki, kurasa anak-anakku tidak keberatan kau menjadi ayah baru mereka...."

    
0 Messages

Anggrek Putih



 “Kita berbisnis.”
Baru disadari sepenuhnya bahwa tidak ada pilhan ketiga. Lama matanya tertahan pada langit yang membumbung tinggi. Seolah menanti adanya mukjizat dari sana. Nihil. Pilihan itu tetap sama. Pengorbanannya adalah kebaikan bagi dia disana. Pengorbanannya juga akan menghilangkan dirinya diatas permukaan. Ia akan pergi untuk selama-lamanya.
Sang pemberi tawaran terus nyengir sinis kemenangan. Tampuk kekuasaan ada ditangannya saat ini. Wanita itu merasa telah melakukan sebuah kebijakan yang paling bijak. Walaupun ia tahu sendiri itu akan menghancurkan laki-laki dihadapannya. Namun mana ia peduli untuk hal itu lagi. Kepemilikan sepenuhnya atas lelaki itu adalah cita-citanya. Dan sekarang kesempatan itu terbuka luas. “Kesempatan kadang tidak datang untuk kedua kalinya.” Pikirnya.
“Bagaimana?” Diana sedikit mendesak. Menunggu jawaban terlalu lama membuatnya tidak kerasan. Itu bukanlah tipenya. Tinggal mengangguk atau menggeleng yang ia maksudkan. Apa susahnya untuk melakukan itu.
Zahir menggangguk. Lalu memalingkan muka sambil berucap, “permintaan terakhirku”.
“Apa itu?”
*****
"Baru aku tahu bahwa kau suka anggrek putih. “
Zahir terus saja mengajak berbicara sosok yang tergolek diatas kasur. Tanpa memperdulikan ucapannya didengar atau tidak. Ia tetap mengoceh. Zahir hanya melakukan saran dari dokter. “Itu akan membantu proses kesembuhannya.” Kata dr. Kamal beberapa waktu yang lalu. Setelah respon yang ditunjukkan oleh Dimitria ketika mendengar suara Zahir.
“Bisa kah kau mencium baunya?”
Sambil terpejam Zahir mendekatkan hidungnya pada anggek yang baru saja disiramnya. Lalu memalingkan pandangannya pada Dimitria. Ia mendesah. Jujur, ia berharap ketika ia membuka matanya saat itu, Dimitria terbangun dan memanggil namanya.
Zahir berjalan menghampiri Dimitria. “Apakah kau bisa mendengarku Dim?”
Sunyi senyap. “Ku harap kau bisa mendengarku.” Tukasnya perlahan.  
Tak lama setelah itu, melangkah pergi. Yang dilihatnya tadi malam tertinggal dibawah selimutnya. Ia bermimpi Dimitria bahkan sudah bisa duduk sendiri. Tanpa bantuan sesiapapun. Mengucapkan terima kasih kepadanya. Dan ia mengucapkan tidak apa-apa. Terbangun ketika mengetahui Diana menunggunya diluar.
Zahir sudah tidak ada lagi diruang A2 tersebut. Seandainya saja lebih lama disana, ia akan melihat Dimitria menggerakkan jari telunjuknya perlahan. Tapi sayang, hanya anggrek putih bisu yang menjadi saksi keajaiban yang diharapkan oleh Zahir itu.
*****
Rasanya sudah lama sekali aku tidak mendengar suaranya. Kemana ia pergi? Biasanya  ia akan datang menyapaku. Kenapa tidak hari ini? Marah, kecewa atau putus asa? Aku maklum jika itu yang rasakannya. Aku bahkan tidak bisa untuk menggerakkan anggota tubuhku hanya untuk menunjukkan bahwa aku mendengarnya.
Zahir?
Terdengar kenop pintu di tekan dari luar. Seiring dengan itu juga terdengar langkah kaki menghampiri.
Zahir? Zahir, kau kah itu?”
Dimitria merasakan belaian telapak tangan diatas ubun-ubunnya.
Bukan, itu bukan Zahir. Zahir bahkan tidak pernah menyentuhku. Kecuali ketika membawaku dari tempat kejadian itu menuju rumah sakit ini. Lalu siapa? Ibu? Kulitnya terasa lebih halus. Itu pasti bukan ibu. Ibu tidak pernah menggunakan parfum seperti ini. Siapa kamu?
Belaian itu disudahi sesaat kemudian. Langkah kakinya menjauh dan terhenti sebuah sudut dimana Zahir biasa mengajaknya berbicara tentang anggrek putih.
Orang itu menuju anggrek putih tanaman Zahir. Apakah dia juga menyukai bunga tersebut. Tetapi kenapa ia sama sekali tidak bersuara. Ayo orang asing, perdengarkan suaramu!
Dari situ, langkah itu menuju pintu. Kembali terdengar kenop pintu diputar. Lalu tertutup kemudian. Orang itu pergi begitu saja.
Apa maksudnya?
*****
Diruang itu ada ibunya yang tidak henti-hentinya berucap syukur. Wajahnya tersungkur untuk bersujud ketika didapatinya Dimitria membuka mata. Air matanya merambat hingga ke baju. Berkali-kali disekanya, tetapi persediaan itu tampaknya masih banyak. Ia tumpahkan  untuk menyambut kesembuhan putrinya.
Tak kurang dengan ayahnya. Berkali-kali pula ia mengecup kening semata wayang. Membelai rambut anaknya yang hanya saat seperti ini tidak di hijabi. Setelah tadi juga ikut bersujud.
Susah payah Dimitria untuk mengulas senyum. Otot-otot di mukanya jelas kaku setelah berbulan-bulan tidak digerakkan. “Ibu, ayah…” Panggilnya kemudian.
Haru biru menyelimuti. Kebahagiaan mengisi semua relung hati. Dimitria, ibu dan juga ayahya. Dari kejauhan terdengar panggilan. Undangan Tuhan kepada semua hamba agar merendahkan diri menuju Rumahnya. Ayahnya pamit untuk beranjak memenuhi panggilan itu.
Syukur Alhamdulillah ya Rabb atas kesempatan kedua ini.
Tidak lengkap rasanya ketika tanpa kehadiran seseorang yang telah berkorban banyak untuk kesembuhannya disana. Dimitria menjejaki setiap ruangan dan tertahan pada Anggrek putih di dekat jendela. Baru ia tahu bahwa bunganya sudah mulai layu. 
Tiap detik adalah penantiannya. Doanya, Zahir tiba dari balik pintu dan menanyakan kabarnya. Namun detik terus bergulir.  Penantian itu berubah menjadi kekecewaan. Tertuang dalam muka murung Dimitria. Dan ibunya peka.
Sambil tertuju pada arah yang sama, ibunya menghibur, “ibu tadi sudah mencoba menghubunginya. Tetapi tidak diangkat. Ibu sudah mengirimkan pesan, kok.  Zahir, kita banyak berhutang budi padanya, nak ”
Memerah muka Dimitria hatinya tertangkap basah. Kembali senyum diulasnya sebagai jawaban terima kasih. “Beberapa hari belakangan ini ia juga tidak pernah datang lagi.”
“Maaf, ibu tidak merawat bungamu dengan baik.”
Dimitria menggelengkan kepalanya pelan.
“Ibu yakin, sebentar lagi ia akan kesini, Dim.”
Sambil membetulkan selimut di atas tubuh Dimitria, “lapar?” Ibunya menawarkan.
*****
Akhirnya, engkau menijabah doa hamba ya Rabb…
Diakhir shalatnya Zahir tidak putus-putusnya melafazkan syukurnya. Matanya berkaca-kaca. Kepalanya menunduk. Pengorbanannya berbuah. Dan esok, ia akan menjadi sosok baru. Status baru pula. Tidak lagi menjadi Zahir yang melajang. Tetapi akan menjadi bagian keluarga Diana. Itulah pernjanjiannya.
Diana rela mengeruk koceknya untuk pembiayaan Dimitria di Rumah Sakit. Itu kata lain dari Diana telah membeli dirinya. Membeli? Ah, kata apa yang lebih baik dari itu. Karena itu faktanya. Dan Zahir telah bertransaksi dengannya. Jika bisa dikatakan, Zahir menjual cintanya.
Sulit memang. Ungkapan cinta tidak harus memiliki sukar untuk ditolerir olehnya. Toh hati kecilnya tetap berbicara, bahwa ia hanya mencintai wanita itu. Dimitria.
Sebuah panggilan masuk memecah lamunan Zahir. Menyadarkannya kembali bahwa semuanya telah berakhir. Bisnis mereka berujung dipelaminan esok. Meskipun akan hidup tanpa cinta pada awalnya, tetapi Zahir tetap berusaha memberikan cinta terbaiknya pada istrinya kelak. “Mungkin ini jodoh terbaik buatku.” Hatinya meyakinkan.
“Assalamu’alaikum, Diana.”
“Ya, ya.” Sesekali Zahir mengangguk. Mengiyakan apa saja yang Diana sarankan di seberang sana. Telepon ditutup tidak lama setelahnya. Dada Zahir terasa sesak dan badannya rebah seketika.
*****
“Tidak perlu menyiksa diri seperti ini, Dim.”
Ibunya menemuinya di kamar. Ingin menanyakan perihal keputusannya atas pemuda dan kedua orang tuanya yang ada di ruang tamu.
“Yang lalu biarlah berlalu. Apakah kau ingin menghakimi Allah atas pernikahan Zahir. Wanita itu adalah jodohnya. Dan kita tidak tidak bisa berbuat apa-apa. Allah maha tahu yang terbaik untuk hambanya.”
Dimitria tetap diam. Lalu memeluk ibunya dengan deraian air mata. “Tapi kenapa harus seperti ini? Kenapa ia tidak membiarkan saja aku tetap dipembaringan? Kenapa ia harus menanggung biaya operasi itu? Kenapa bu?”
“Setiap orang punya alasan yang tidak bisa untuk dinyatakan. Termasuk pada Zahir. Kita sama-sama tahu bahwa ia juga mencintaimu bukan?”
Dimitria mengangguk.
“Dim, lihat ibu.” Ibunya menangkupkan kedua telapak tangan dimuka Dimitria.
“Ardhi akan menjadi pemuda ketiga yang kau tolak seandainya keputusanmu sama. Jujur, ibu tidak mau itu.  Kau harus melepas diri dari jeratan ini. Keluarkan dirimu. Karena hanya kau yang bisa membebaskan dirimu sendiri.”
Tatapan Dimitria dan ibunya terus beradu. Dan akhirnya anggukan pelan yang Dimitria pilih. Mereka berpelukan kemudian.
*****
Zahir sudah benar-benar hampir melupakan cintanya pada Dimitria. Tidak seperti yang diperkirakannya dahulu, Diana bahkan telah berubah. Sosok wanita sholehah mungkin bisa di sematkan padanya. Proses itu membutuhkan waktu. Dan Zahir berhasil membangun sebuah keluarga Samara. Ia baru menyadari bahwa rahasia Allah itu nyata. Apa yang kita pandang baik, belum tentu baik pula dihadapan Allah.
Zahir menuruni undakan terakhir. “Ummi, pesanan bu Jamil sudah diantar?”
Diana menoleh ke arah suaminya, “Sebentar lagi Joel akan datang, bi. Sekalian mengantarkan bunga pesanan lainnya”
“oh..”
Zahir berbalik menaiki tangga menuju ruang kantornya. Tiba-tiba dua orang membuka pintu tokonya.
“Assalamu’alaikum. Permisi. Anggrek putih ada mbak?”
Langkah Zahir terhenti mendengar suara itu. Ia menelan ludah. Pandangannya ke arah sumber suara. “Dim….”



Selasa, 17 April 2012 0 Messages

Lembar Kunci


Tiga pasang kaki diatur sedemikian pelan langkahnya. Agar tidak terdengar nyaring dan kepergok kemudian. Mengendap-ngendap di kegelapan. Setelah sampai, menyandarkan punggungnya di dinding bercat kuning pudar. Berhati-hati dan nyaris tidak ada suara.
                “Yang kuketahui, diruang ini.”
                “Kau yakin, Dit?”
                Adit mengangguk.
                “Kurasa satpam sudah pulas diluar. Jadi kita bisa mulai beraksi.”
                “Bagaimana jika…?”
                “Diam, Ger. Kalau takut, kenapa mau ikut. Kamu tidak ingin lulus? Dan kita akan kaya setelah ini.”
                “Mar, linggisnya.” Adit membuka telapak tangan kirinya. Dan Dimar memberikan linggis yang diminta.
                “Pelan-pelan.” Bisik Dimar kemudian.
                Sementara itu, tubuh Geri mulai menggigil. Bayangannya akan sosok bang Sudirman memergoki mereka bertiga. Dan itu bisa celaka. Reputasi diri dan keluarga. Juga terancam divonis dari pihak sekolah. Paling buntung, dikeluarkan.
                “Berhasil?”
                Adit menggeleng.
                “Biar aku coba.”
                Dimar memasukkan ujung pipih linggis ke celah-celah diantara bingkai jendela dan dinding semen. Berkali-kali namun tak ada hasil.
                Geri yang sedari tadi bersikap pasif mencoba bertindak. Kali ini, ia memilih daun jendela yang lain. Pikirnya, keberuntungan bisa saja menghampiri. Pesuruh sekolah mungkin lupa mengunci salah satu jendela-jendela ini.
                “Tek.” Berhasil pada percobaan jendela ke dua.
                Adit dan Dimar berpandangan. Keduanya saling melemparkan senyum kemenangan. Rintangan pertama telah teratasi. Selanjutnya adalah membongkar teralis besi yang menghalangi. Itu gampang. Juga dengan menggunakan linggis yang sama. Dicari celah yang memunggikan untuk menancapkan ujung linggis kembali. Baut perekatpun tercabut. Selesai.
                Ketiganya masuk. Ruang kepala sekolah gelap. Berbekal cahaya dari senter kecil yang dibawa, mereka mulai memeriksa satu per satu amplop oranye di lemari. Tak lama, usaha mereka berbuah. Kunci jawaban itu ada ditangan mereka. Secepat kilat, Dimar mencatat isinya. Tak hanya satu mata pelajaran. Seluruh jawaban soal-soal ujian sekolah ada ditangan mereka. Geng ADG. Tajinya terbukti.
**********
                “Ini pekerjaan beresiko, ten. Satu juta itu tawaran termurah kami. Dengar ya, dengan orang lain, kami hargai ini hampir tiga juta.”
                “Bagus, pukul 5 di depan gang.”
                Adit memasukkan kembali handphone ke saku celananya. Puas dengan usaha mereka malam ini. Juga puas dengan penjualan yang baru saja dilakukannya.
                “Aku harus pulang. Sebentar lagi ibu akan membangunkanku. Memaksa shalat subuh.” Tukas Geri.
                “Tidak apa-apa Ger. Jadilah anak baik. Jangan khawatir, bagianmu akan kamu dapatkan.”
                Geri sangat yakin ucapan Dimar barusan. Persahabatan berjalan tiga tahun itu menumbuhkan kepercayaan diantara ketiganya. Tak terkecuali untuk urusan ini.
                Geri berlalu. Tak lama kemudian, tubuhnya hilang didekap kegelapan. Tinggal Adit dan Dimar yang mulai sibuk menghubungi koneksi di sekolah lain untuk menawarkan “barang” mereka.
                Masing-masing sibuk dengan percakapan-percakapan singkat. Berisi negosiasi harga. Patokan yang ditawarkan pun bervariasi. Mulai dari satu sampai tiga juta rupiah. Tergantung kepada siapa mereka menjual kunci jawaban tersebut.
                “Ku rasa semuanya sudah. Dan kita harus bergerak cepat. Berbagi tugas. Kita tidak punya banyak waktu. Hampir pukul setengah empat. Mulai dari lokasi terdekat.” Adit memberi komando.
                “Berapa kira-kira yang akan kita dapatkan pagi ini?” Dimar mencoba menghitung pendapatan mereka.
                Adit memandangi jari-jemarinya yang tengah berhitung. “Dariku sekitar sepuluh.”
                Dimar melakukan hal yang sama. “Delapan juta sekian.”
**********
                Pukul 6.43 WIB, seharusnya masih menyisakan udara dingin. Tapi tidak berlaku pada pak Raden. Kumis tebalnya terasa semakin menusuk lubang hidung ketika mendapati kunci lemarinya dijebol. Dan seperti dugaannya, ujung map oranye sobek. Meskipun tidak ada yang hilang. Sekolah yang dipimpinnya kecolongan tadi malam.
                Sudirman adalah orang pertama yang layak untuk disalahkan. Atas kelalaiannya mengawasi berkas penting tersebut. Murka sang kepala sekolah tumpah kepadanya. Dan ia terima, karena tadi malam dirinya memang ketiduran diluar ruangan.
                Kedua, Bayu, si pesuruh sekolah. Sudah berulang kali pak Raden menyuruhnya untuk memperbaiki kunci jendela yang rusak. Entah kenapa selalu tidak menghiraukan. Dan akibatnya, itu menjadi pintu masuk bagi sang pencuri kunci jawaban.
                Bayu hanya bisa mengedip-ngedipkan matanya ketika dimarahi. Dengan masygul ia mendengarkan ocehan pak Raden. Dalam hatinya berjanji akan memperbaiki jendela tersebut segera. Paling tidak agar tidak kecolongan lagi nanti.
                Pertemuan singkat antar guru pun digelar. Rapat mendadak, ketika para guru yang juga bertugas sebagai pengawas ujian hari ini.
                “Seperti yang saya katakan tadi, mereka melakukan ini bukan sekedar untuk melingkari setiap pertanyaan. Mereka berbisnis.”
                “Setuju, pak.” Tukas bu Wardah, wakil kepala sekolah seksi kesiswaan.
                “Dan juga kita seharusnya bisa menetapkan beberapa tersangka saat ini.” Lanjut bu Wardah kemudian.
                Sementara guru-guru lainnya mengangguk-ngangguk.
                “Adit, Dimar, dan aku tidak tega jika harus memasukkan Geri didalamnya. Tapi siswa berkacamata itu selalu ada diantara keduanya.” Lagi, bu Wardah mengklasifikasi.
                “Kita tidak punya bukti, tapi berdasarkan jejak mereka disekolah ini, itu masuk akal.” Tambah pak Handi, guru honorer BK.
                Pak Raden memutuskan, “kita lihat hasil nilai mereka bertiga. Apakah terjadi kejanggalan. Begitu juga dengan beberapa siswa lainnya yang selama ini terkenal dibawah rata-rata. Terakhir, kita akan melakukan koordinasi dengan sekolah-sekolah di kota ini tentang hal ini. Karena jika benar mereka berbisnis, maka pasar mereka tentu bukan sekolah ini saja. Rapat selesai. Kita bicarakan langkah preventif selanjutnya, nanti.”
                Ujian sekolah berjalan dengan lancar. Seluruh siswa sepertinya sangat jujur dalam mengerjakan soal. Dan juga begitu serius. Seakan daun jatuh ketanah pun akan mengganggu konsentrasi mereka. Itu berlangsung hingga seluruh mata pelajaran diujiankan tuntas dalam satu minggu.
                Terlalu bodoh  jika Adit, Dimar dan Geri melakukan aksi penyontekan secara konvensional. Membuat catatan kecil dan diselipkan dibawah lembar soal. Pengalaman memberikan pelajaran. Banyak metode pembelajaran saat ini yang semakin berkembang. Mereka mencontoh salah satunya. Menomori setiap orang yang ada didepan, belakang, kiri, dan kanan. Si anu adalah soal no sekian, dan jawabannya itu.
                Itu cerdas. Guru  pengawas yang sejatinya memeloti gerak-gerik mereka, bertekuk lutut. Tidak mendapati sesuatu yang ganjil dari tingkah mereka bertiga selama ujian. Hal tersebut mampu mengurangi dugaan para guru.
**********
                “Ini Ger. Tiga juta.” Adit menyodorkan uang hasil penjualan mereka.
                Geri diam. “Hanya tiga juta,”pikirnya.
                “Geri, kita hanya dapat 9 jutaan. Kami tidak bisa menjual dengan harga selangit. Karena ini hanya ujian sekolah. Dan nanti, di ujian nasional, kita akan mendapatkan lebih.” Dimar meyakinkan Geri yang mulai sangsi dengan jumlah pendapatan mereka.
                Mau tidak mau, Geri menerima juga. Menyanggah, hanya sia-sia belaka. Kecuali ia ikut sampai akhir subuh itu. Sayang, ia keburu pulang cepat-cepat.
                Sambil memasukkan uang tersebut kedalam dompetnya, Geri berujar, “sepertinya pihak sekolah mencurigai kita. Mereka mengawasi kemarin, seakan-akan ingin memakanku.”
                “Benar.” Kata Dimar kemudian.
                “Tapi mereka tidak ada bukti untuk menuduh.” Tambah Adit.
                Ketiganya tertawa sejadi-jadinya. Rencana refresh sejenak pasca ujian nasional pun diurai. Adit akan menghabiskannya dengan memancing bersama teman-temannya yang lain. Sementara Dimar akan hiking. Juga bersama teman lainnya. Tak satu pun mengajak Geri ikut bersama. Padahal Geri tidak punya rencana apa-apa untuk menghabiskan uang tiga juta rupiah di dompetnya. Sepertinya uang itu hanya akan menambah saldo tabungannya di bank. Atau untuk membelikan obat ibunya.
**********
                “Cerdik sekali. Mereka tidak membiarkan kita membuat alasan untuk menuduh mereka. Semuanya terlihat normal. Lebih tinggi satu dua poin itu normal, bukan? Bisa jadi mereka meningkatkan intensitas belajarnya. Mereka termotivasi oleh mulut kita, para guru, yang berkoar-koar saat upacara bendera.”
                Pak Raden kembali menghisap rokok di tangan kanannya. Dalam-dalam dan membuangnya lewat hidung.
                Terasa kaku dari pertemuan sebelumnya. Tidak hanya pak Raden dan Bu Wardah, namun semua guru yang hadir dalam pertemuan khusus tersebut. Setiap orang mengetahui penyebabnya. Dan tidak satu pun yang berani mendahului membukanya.
Bu Wardah angkat bicara, “pak.”
Ada jeda sejenak. Bu Wardah menarik nafas dalam-dalam. “Tentang Riko,” lanjutnya kemudian.
Jelas pak Raden kebakaran jenggot. Lambat laun, ruas akan bertemu buku. Guru-guru menduga anaknya termasuk salah satu orang yang melakukan pencurian jawaban malam itu. Mengetahui dimana berkas tersebut disimpan juga sangat memungkinkan. Toh ayahnya sendiri adalah kepala sekolah.
Tapi pak Raden sangat yakin, anaknya tidak terlibat dalam hal ini. Hanya saja ini terjadi begitu instan. Kapten yang bernama asli Riko memang digenjotnya agar belajar dengan keras akhir-akhir ini. Tidak ada waktu luang selain belajar. Dan Kapten mentaati itu. Maka, wajar Kapten mendapat nilai tinggi. Meskipun dalam keseharian, anaknya tidak pernah masuk dalam 20 besar di kelasnya. Sekarang, mungkinkah ia akan melontarkan alasan tersebut. Itu tidak objektif. Dan terkesan melindungi.
Pak Raden berkata bijak, “Aku mengerti. Semua bisa dijadikan tersangka. Termasuk putraku. Tidak fair jika aku membela Riko. Asal kalian tahu, minggu-minggu terakhir ini, saya menekankan kepadanya agar belajar dengan gigih. Dan ia menuruti.”
Suasana rapat hening tiba-tiba. Bu Wardah, begitu juga guru lainnya berusaha mencari kata yang tepat untuk menanggapi hal tersebut. Begitulah, rasa “tak enak sama” seharusnya dibuang jauh-jauh.
“Lantas, apa langkah yang harus kita tempuh?” Handi yang belum sampai dua tahun mengabdi di SMA itu memecah kebungkaman.
                Bu Wardah berusaha bersuara netral. “Kita perketat penjagaan. Bukan begitu pak Raden?”
                “Tepat.” Pak Raden menambahkan.
                Keputusannya adalah penjagaan dilakukan oleh tiga orang pada malam menjelang Ujian Nasional. Handi, Sudirman, dan Bayu dikerahkan untuk melakukan hal tersebut. Handi menyanggupi. Pasti begitu pula dengan dua orang lainnya. Rapat juga memutuskan, hal itu lebih efektif dan terjamin.
**********
                Tiga minggu berlalu. Pak Raden memaksa Riko mengaku jika memang ia beraksi malam itu. Namun anaknya kuat-kuat menutup mulut. Apapun resiko terburuknya, sudah diperhitungkan oleh anak itu. Tidak mungkin berterus terang begitu saja. Tindakan ugal-ugalannya dalam kamar sepanjang hari akan tersingkap. Belum lagi dirinya menjadi salah satu konsumen geng ADG tersebut. Tak ada pengakuan yang keluar dari celah-celah giginya. Akhirnya pak Raden percaya juga.
                Sementara itu, seseorang laki-laki muda bertamu disore menjelang Ujian Nasional yang akan digelar keesokan harinya. Laki-laki itu antusias. Membawa kabar baik dan sebuah tawaran kerja sama. Juga, ia tahu siapa yang akan ditemuinya. Adit si ketua geng.
                “Masih tidur kayaknya. Duduk dulu, pak.” Setelah mempersilakan, wanita paruh baya itu menuju kamar anak bungsunya. Mengedor-ngedor pintu kamar. “Dit, ada tamu. Gurumu.”
                Tak ada sahutan dari dalam. Maka, wanita itu pun memaksakan diri masuk ke kamar anaknya. Nihil. Adit tidak ada ditempat.
                “Wah, pak Handi. Aditnya ternyata keluar. Tidak ada pamit. Tapi sepertinya kumpul sama teman-temannya di rumah Dimar.” Ibu Adit merasa bersalah.
                “Oh, saya langkah kiri ya bu. Mungkin saya bisa minta nomor HP nya Adit?”
                Belum selesai wanita itu menyebutkan dua belas angka, sesosok remaja belia itu datang.
                “Lha, panjang umur ini anak.” Tukas ibu Adit.
                Adit terkesima sebentar. Angin apa gerangan yang membawa guru BK nya bertandang kerumahnya sore-sore begini. Pasti ada hal yang penting. “Atau jangan-jangan…” Adit was-was.
                “Eh, pak Handi. Ada apa pak?” Adit berlakon sewajar mungkin. Menyamarkan rasa khawatir di pundaknya. Berharap bukan kunci jawaban itu yang membawa lelaki muda dihadapannya datang kerumahnya.
                Sementara ibu Adit beranjak ke dapur. Berniat membuatkan barang segelas air manis untuk tamunya. Itu adat dirumahnya. Khusus, tidak akan ditemui dirumah warga lainnya di kota itu.
                Suara pak Handi lebih kepada berbisik, “lebih baik kita bicara diluar saja.”
                Tentu saja. Insting sebagai ketua geng ADG terbukti. Adit mencium sebuah muslihat dari guru dihadapannya. Tapi ia belum bisa menyimpulkan apakah itu sebuah bentuk tawaran atau sebuah perangkap.
                “Tentang apa, pak.” Adit pura-pura tidak tahu dan berupaya menyelelidiki lebih jauh.
                “Di luar.” Pak Handi bersikukuh.
**********
                Itu membuat hati ibu Adit sedikit gelisah. Apa yang lakukan anaknya dengan guru sekaligus tamunya barusan. Dua-duanya menghilang dari ruang tamu. Dan tidak berpamitan. Apa itu urusan  sekolah? Ia terduduk di kursi tamu. Menyeruput kopi panas yang dibuatnya sendiri.
                Rumah Dimar dalam keadaan kosong, kecuali dirinya sendiri. Sekarang bertamah dua, Adit dan pak Handi.  Jadilah tiga kepala berada disana. Siap untuk melakukan pembicaraan serius. Hanya pak Handi saja yang mengetahui tingkat keseriusannya.
                “Bapak, eh lebih enak gunakan saya saja.” Pak Handi melontarkan pandangan bergantian. Kepada Adit, lalu ke sepasang mata Dimar.
                “Saya tahu kalian sudah punya planning untuk malam ini.” Tukas Handi. Mencari titik-titik pengakuan diwajah kedua muridnya.
                “Maksud bapak?”
                “Gak perlu bertele-tele. Saya datang kesini untuk menawarkan kerjasama.” Pak Handi berbicara sambil mencondongkan tubuh ke arah Adit. Adit kecut.
                Pak Handi membalikkan badan. Sementara Adit dan Dimar saling mengkode menggunakan mata. “Kalian ini payah. Tawaran saya, 50-50. Adil bukan, kalian tidak perlu mengendap-ngendap dikegelapan maupun mencungkil daun jendela. Tugas kalian hanya menjual. Itu saja.”
                “Maksud bapak apa?” Dimar mencoba mengalihkan.
                “Jadi, bapak menuduh kami yang mencuri kunci jawaban itu?” Adit menimpali.
                “Sekarang baru kalian mau mengaku. Bagus.” Pak Handi menjawab.
                “Siapa yang mengaku. Kami tidak mencuri. Betulkan dit,” Lagi-lagi Dimar menyangkal.
                Mereka pikir tengah berbicara dengan siapa. Ingat, guru BK. Pak Handi sangat paham mengenai arti body language. Sejak awal percapakan tadi, baik mata Adit maupun Dimar keluyuran. Tidak berani menatap langsung pada dua bola mata gurunya. Bukan karena segan, tapi jelas mereka berbohong.
                “Sepertinya mereka perlu sedikit tekanan.” Pikir pak Handi.
                “Sekarang katakan, aku tidak mencuri. Sambil mengarah ke mataku.” Pak Handi menekan.
                Gawat. Semuanya akan terbongkar. Bisa jadi pak Handi merekam semua pembicaraan mereka itu. Dan pengakuan yang terucap dari mulut Adit dan Dimar pasti menjadi bukti bagi sekolah untuk menghukum ketiganya.
                Tak ada kata-kata terucap. Adit dan juga Dimar diam dalam kegelisahan. Bentrokan antara harus berkata jujur atau menghindar. Tidak ada pilihan sama sekai. Jalan buntu.
                Adit bertindak diplomatis. Terlanjur usahanya terkuak. Dan jika benar dugaannya bahwa pak Handi diutus sekolah untuk menyelidiki mereka, ia pasrah. Karena memang tidak bisa lari kemana-mana lagi. Guru BK itu bisa membaca hatinya.
                “Apa tawaran bapak?” Adit berujar
                “Hah, itu dia. Akhirnya mengaku juga. Tapi jangan khawatir, saya kesini ingin belajar bisnis dengan kalian.”
                Ada riak kelegaan tergambar diwajah Adit beserta Dimar. Dua-duanya penasaran, tawaran apa yang disuguhkan oleh partner barunya itu.
                “Kunci jawaban untuk esok ada ditangan saya. Rekan dari pusat berbaik hati. Ini peluang besar.” Kata pak Handi mengutarakan.
                “Tapi 50-50 itu berat sebelah, pak.” Dimar berkomentar.
                “Berat sebelah? Berat sebelah dari hongkong! Saya punya kunci dan kalian hanya menyebarkan. Bahkan persenan itu terlalu bermurah hati saya pikir.”
                Pak Handi menambahkan, “malam nanti, saya, Sudirman, dan Bayu yang jaga malam. Jadi, jika kalian masih berminat dengan bisnis ini. Pilihan kalian hanyalah menerima apa yang kubawa.” Pak Handi mengeluarkan beberapa lembar kertas dari balik jaket hitamnya.
**********
                Kali ini Geri disingkirkan. Anak itu tidak diperlukan dalam hal ini. Seperti ucapan Adit dan Dimar padanya, bahwa mereka harus berhenti dari perbuatan ini. Saatnya untuk bertobat. Geri percaya begitu saja. Jadilah ia alpa. Paling tidak, rasa bersalahnya tidak bertambah.
                Begitulah. Pak Handi, Sudirman, dan Bayu berjaga di ruang kepala sekolah. Memakan gorengan yang ditemani seceret air kopi panas. Berbicara ke sana kemari. Sesekali berkeliling seantaro sekolah. Mengantisipasi kemungkinan adanya penyusupan. Dan nihil.
                Sampai pukul 12 malam, ketiganya masih terjaga. Hanya Bayu yang menguap berkali-kali. Dan mulai merebahkan diri di sofa di ruang tamu kepala sekolah. Pak Handi sibuk berlayar ke dunia maya. Dan Sudirman yang sering mondar-mandir. Keluar masuk ruangan. Sesuatu mengaduk isi perutnya. Kamar mandi menjadi langganannya hampir sepanjang malam.
                Syahdan. Ujian Nasional sekota berjalan tanpa kendala. Meskipun ada desas desus kebocoran soal, namun hal tersebut tidak menular kemana-mana. Hanya dianggap angin lalu. Itu biasa. Juga terdengar kasus, beberapa oknum guru yang terlihat membantu siswanya selama ujian berlangsung. Guru yang terlalu sayang pada muridnya. Atau sekedar ingin sekolahnya dinilai berprestasi. Semua alasan itu menjadi tabu dan belakangan semakin bisa dinalar.
                Diluar dari tetek bengek prosesi Ujian Nasional itu, ada pihak yang tengah kejatuhan buah durian dari langit. Tak tanggung-tanggung, harga per paket jawaban yang ditawarkan  mulai 3 sampai 4 juta rupiah. Orang kaya baru pun muncul.
                Terkumpul hampir empat puluh juta. Hanya sayang, harga selangit itu tidak diikuti oleh daya beli konsumen. Banyak siswa yang membeli harus berpatungan uang terlebih dahulu. Setelah itu ada juga yang menjual kembali. Begitulah seterusnya.
                Tiga anak manusia itu bersyukur. Bersyukur atas sesuatu yang tidak layak untuk disyukuri. Berkhianat kepada dunia pendidikan bangsa sendiri. Cita-cita untuk mewujudkan pendidikan berkarakter pupus ditelan bumi. Tergadai dalam lembaran-lembaran uang bernominal lima dan enam angka.
**********
                Adit hampir pingsan. Sementara Dimar mematung tidak percaya. Lembar putih ditangannya umpama badai tornado yang menyapu beberapa wilayah Amerika. Dan dipodium, pak Raden lesu mendapati 80% muridnya harus mengikuti ujian ulang atau mengambil paket C. Riko, si Kapten ada diantaranya.
                Riuh rendah tangis pecah didalam aula. Tidak hanya dari siswa yang bersangkutan, tetapi juga berasal dari orang tua yang hadir. Haru biru. Banyak yang meraung. Seolah-olah kerasukan jin yang tersesat. Padahal, sebuah bentuk penyesalan.
                Sisanya, mengukir senyum dihati. Tidak mungkin melompat-lompat ditengah kesedihan kebanyakan siswa lainnya. Geri, nilainya hanya terpaut 0,5 dari standar kelulusan. Ia bangga, bisa membuat ibunya menangis bahagia. Dalam hatinya terbersit untuk membersihkan uangnya dari hasil penjualan malam itu. Sebelum semuanya terlambat. Dan jika harus menghadapi sangsi, ia terima.
                Pak Handi beralasan mengambil cuti panjang. Sehingga ia tidak menyaksikan langsung penderitaan murid yang dibohonginya. Sejak kapan ia punya relasi dipusat. Ia hanya bosan hidup dari hasil honorer yang tak seberapa. Prestasinya didikannya di sekolah tidak mendapat penghargaan yang sesuai. Dua puluh juta, itu pantas. Pandai-pandai mencari untung ditengah buntung, itu motto hidupnya.
                Potret kehidupan. Hanya saja belum dibingkai. Sudah terjadi dan tidak bisa diulangi. Tidak ada rekonstruksi kriminalitas pendidikan. Semuanya bungkam. Adit dan Dimar menjadi mangsa. Amukan konsumennya mengarah pada mereka berdua. Mau apa lagi. Menjelaskan yang sebenarnya tidak ada gunanya. Kejadian terparahnya, beberapa lebam menghiasi rupa mereka. Di muka, punggung dan beberapa bagian di dada.
                Keduanya kompak, beralasan kepada orang tua bahwa mereka terjatuh ketika berkendara. Orang tua masing-masing memendam berang. Tidak mungkin itu alasannya. Namun, sama seperti Kapten, Adit dan Dimar diam seribu bahasa dengan berjuta dalih. 

N/B: di kirim ke annida-online.com, tapi sepertinya tidak ada di inbox email mereka. Jadi  saya entry disini aja deh....


Senin, 16 April 2012 0 Messages

Teacher of The Year (Part 1)


Pantas jika ia membanggakan diri atas nama pengalaman serta track record tahun-tahun sebelumnya. Ms. Donita, 45 tahun, pemegang gelar Teacher of the Year selama 10 tahun berturut-turut sejak ajang ini digelar. Guru matematika itu terkenal keras serta disiplin tingkat tinggi. Dimana jaman ini siswa tidak lagi banyak yang hormat dan segan pada guru-guru mereka, tetapi tidak terjadi pada wanita itu. Ia tetap menjunjung karakter dan nilai-nilai pendidikan. Sering di hujat dan dibenci oleh siswa yang berotak dibawah rata-rata karena tidak ada toleransi, namun sertifikat sebagai guru teladan hampir memenuhi dinding-dinding rumahnya. Hanya sayang, tahun lalu, ia harus rela melepaskan gelar tersebut pada seorang guru muda. Itu membuatnya jengkel. Tahun ini ia kembali berambisi untuk mengembalikan dimana gelar itu seharusnya disematkan.  
*****
                Adalah Ms. Smarta Nisa. Guru Bahasa Indonesia itu hadir memunggungi prestasi akademik yang mencengangkan. Selain itu, masa abdinya yang masih dalam status honorer, berjalan baru setahun sudah mampu membawa sekolah itu sebagai perwakilan daerah di ajang seni dan sastra Indonesia tingkat nasional. Ceria, tegas, elegan dan ramah itulah karakter yang melekat padanya. Semua siswa menyukainya, bahkan beberapa guru laki-laki sering melirik ke arahnya. Tak salah bukan jika tahun itu ia menyabet gelar Teacher of The Year. Untuk pemilihan tahun ini, ia bahkan sedikit dipaksa untuk bersedia mengajukan diri sebagai salah satu nominator.
*****
                Seleksi terus berlanjut, hingga memunculkan nama Mr. Bally Setiawan. Kepiawaiannya menangani siswa-siswa bermasalah di sekolah patut diacungi jempol. Gaya komunikasi yang fleksibel dan mudah bergaul itu modal utama yang dimilikinya. Tentunya disamping rupa yang membuat para siswi histeris dan bermimpi untuk menjadi pendamping hidupnya. Guru muda BK itu tidak hanya pasang tampang dalam karirnya, profesional adalah prinsipnya. “Setiap orang berhak untuk bahagia. Bolehkah saya membantu anda?” itu motto hidupnya. Mencalonkan diri sebagai Teacher of The Year tahun ini sepertinya bukanlah hal yang berlebihan, bukan?
*****
                Ia merasa dirinya hanya sebagai pelengkap saja. Susah payah sang kepala sekolah membujuknya agar mau dicalonkan sebagai nominator Teacher of The Year tahun ini. “Lebih banyak, lebih baik.” Kata Mr. Imtihan. Dan akhirnya Mr. Soegara mengangguk pelan. Guru Bahasa Inggris itu bertahan pada pandangan pengajar lain pada cara mengajarnya. Dalam mentransfer ilmu, ia tidak mau setengah-setengah. Tak jarang ia datang lebih awal ke sekolah hanya untuk sekedar mempersiapkan perlengkapan pembelajaran. Cita-citanya, siswa yang diajarnya bisa menerima dengan kualitas terbaik. Ia juga terkadang risih jika harus dibilang perfeksionis.
*****
                Sekolah bintang masih telalu pagi untuk mulai beraktivitas. Jam dinding yang melekat di gerbang sekolah berjalan lambat. Belum sampai pukul enam lima belas.
                Setibanya ia di sana, pintu pagar tidak terkunci. Bertanda bahwa pak Burhan dan rekan-rekannya sudah mulai rutinitas hariannya. Lalu pemuda itu pun membuka pagar besi sekenanya agar sepeda motor yang membawanya bisa masuk dengan leluasa. Parkir khusus guru menjadi tujuannya.
                Baru saja akan memasuki ruang guru, ia berpapasan dengan pak Burhan. “Assalamu’alaikum, gimana kabarnya pak?” Sambil melemparkan senyum terbaiknya.
                “Alhamdulillah baik, pak Soegara.” Lelaki lima puluh tahunan itu menjawab dengan cengirannya.
                “Jika bisa, saya dukung bapak.” Pak Burhan berbicara berbisik seolah takut ketahuan.
                Soegara geli. Tak perlu sembunyi-sembunyi untuk menyatakan dukungan itu. “Terima kasih, pak.” Ia berucap sambil mendorong daun pintu dihadapannya.
*****
                Sengaja Soegara datang awal ke sekolah hari itu. Perlengkapan pembelajaran harus  persiapkannya untuk menunjang pemahaman kelasnya. Daya tangkap siswa dalam bahasa Inggris masih beragam. Kesenjangannya sangat kontras antara mereka yang bisa dan “bodoh”. Ia berharap dengan memasukkan permainan-permainan singkat dalam proses belajar-mengajar dapat mengurangi jarak itu.
                Ditengah kesibukannya memelototi laptop, suara ketukan terdengar. Pak Burhan datang dengan segelas kopi dan sepiring gorengan. “Saya beli tadi.” Katanya. Lelaki itu berlalu tak lama kemudian setelah Soegara mengucap terima kasih.
                Aroma minuman pekat panas begitu menggoda. Soegara menghentikan pekerjaannya. Menyeruput minumannya setelah sangat sadar bahwa tadi pagi ia tidak sempat melakukan itu. Perpaduan pas antara kopinya AhSeng dengan tiga sendok teh gula pasir. Mantap.
                Apa yang ditekuninya tuntas sebelum pukul tujuh tepat. Kepala sekolah, guru dan siswa bintang sudah mulai berdatangan. Geliat sekolah siap untuk penyebaran ilmu dari sang pemilik kepada penerima. Profesionalisme dijadikan dasar pengembangan sekolah bertaraf intenasional tersebut.
*****
                Persis sejak ajang itu mengumumkan nama Smarta sebagai Teacher of The Year, Donita tidak lagi punya senyum jujurnya. Itu sudah berbaur dengan getir dan muka sedikit masam. Tidak kepada setiap orang, hanya kepada sang perebut gelar tahunannya itu. Namun, Smarta Nisa tidak terlalu memikirkan hal tersebut. Ia berinteraksi secara wajar dengan wanita paruh baya itu. Meskipun sering yang diajak bicara jelas menjaga jarak.
                Juga seperti kali itu. Tak diduga mereka harus beriringan menuju ruang guru.
                “Bagaimana kabarnya, bu?” Smarta menyapa dengan senyum memukaunya. Wajah putih bersih dan sempurnanya membuat siapapun, terutama para siswa tak sabar untuk menjawab salamnya.
                “Alhamdulillah, baik.” Jawab Donita ketus dan sedikit dipaksakan.
                Lalu mereka berjalan tanpa melanjutkan pembicaraan. Begitu saja hingga memasuki ruangan dan duduk di kursi masing-masing. Setibanya dimejanya, Donita langsung sibuk meraih cermin kecil dari tas jinjingnya. Mengamati barang kali ada binatang nakal yang tertarik bermukim di wajahnya. Beruntung, tidak ada. Diam-diam ia melirik sinis ke arah Smarta.                 Sementara itu, Smarta menunjukkan keterkejutan yang pura-pura dibuatnya ketika mengetahui Soegara sudah ada diruangan.
                “Assalamu’alaikum, sir. Wah-wah, pagi-pagi sudah datang. Ada apa ini?”
                Padahal Smarta sudah sangat hafal bahwa guru bahasa Inggris itu selalu menjadi nomor wahid dalam hal kehadiran di sekolah. Paling telat menduduki nomor dua.
                “Alhamdulillah, baik girl.”
Soegara menatap lekat ke arah guru bahasa Indonesia tersebut. Menyangga dagunya dengan kedua telapak tangan. Siapa yang belum pernah melihat kebiasaan itu akan mengira bahwa Soegara tengah menggoda Smarta.
“Jangan menatapku seperti itu lagi!. Ingat, bapak guru telah berjanji kemarin.”
Soegara tertawa lepas. Melemaskan otot-otot serta otaknya yang dipaksa untuk bekerja terlalu banyak. Lalu ia pun berlalu keluar.
Sebelum mencapai pintu, Smarta memanggil Soegara, “aku dukung bapak guru deh.”
Soegara berpaling. “No..no..no..Kita bersaing.” Katanya. Kemudian menghilang dibalik pintu.
*****
Pergelaran Teacher of The Year tahun ini di SMA Bintang di lakukan berbeda. Sebelumnya, pemilihan langsung oleh Kepala Sekolah beserta empat wakilnya. Para kandidat terpilih akan dikualifikasi lagi berdasarkan prestasi pengajaran dan diluar pengajaran.
Kali ini mereka akan menggandeng elemen sekolah lainnya, yaitu Osis dan eskul seni dan budaya. Tugas Kepala sekolah beserta wakilnya hanyalah menentukan kandidat yang layak untuk dijadikan nominator. 
*****
Riuh rendah dari perbincangan hingga tawa terpingkal-pingkal terdengar di Kantin Camar. Hot news yang diangkas mengerucut ke satu topik. Teacher of The Year.
“Kamu, Burq?”
Burqa White, gadis indo itu sibuk memutar-mutar penyedot didalam gelas tinggi berisi jus mangga. Menyipitkan matanya mendengar pertanyaan Dion.
Lalu jawabnya, “Kita? jelas mendukung yang paling ganteng dong.”
“Mr. Bally,  aku datang.” Burqa merentangkan tangan sambil matanya terpejam.
“Sama.” Leni menimpali.
“Sepertinya Ms. Smarta dan Mr. Bally yang diunggulkan. Ms. Donita? Ah, lewat. Masa keemasannya sudah berlalu.” Jay berucap.
“Perfect!” Dion mengacungkan jempol ke arah Jay.
Leni menengahi, “Mr. Soe? Rasa salut menggugah keinginanku juga untuk mendukungnya.”
“Terserah!”
“Ehem..ehem…” Sosok Bally Setiawan muncul dibelakang Burqa. Gadis itu kelabakan. Mukanya memerah seketika. Namun sang guru melemparkan senyum yang membuat jantung Burqa hampir lepas. Denyutnya mengencang.  
“Eh, bapak.”
“Boleh saya duduk disini.”
Semua setuju. Dion, Burqa, Leni dan Jay duduk merapat memberikan ruang kepada guru BK itu untuk mendapatkan tempat duduk. Guru itu tepat duduk berhadapan dengan Burqa.
“Sepertinya ada yang tengah membicarakan saya tadi.”
Jay menetralkan suasana. “Tenang saja pak. Kami mendukung bapak.”
“Terima kasih anak muda. Tidak perlu dilebih-lebihkan hal ini. Siapapun yang terpilih nantinya, itu adalah yang terbaik. Betulkan?”
Burqa perlahan menjawab, “itu bapak sendiri.”
*****

Akhir-akhir ini hujan sering kali mengguyur bumi dimana SMA bintang bernaung. Seharusnya mendinginkan raga, tetapi tidak dengan Donita. Ia merasa gerah luar dalam. Jelas ia tidak ingin kecolongan lagi tahun ini. Semakin merasa dihimpit oleh sistem pemilihan yang melibatkan siswa langsung. Dapat diterka, banyak siswa yang tidak menyukainya.
“Ah. Memang apa sih untungnya gelar itu?” Ia bertanya pada dirinya sendiri.
Hatinya juga menjawab, “gengsi.”
Itulah dia. Donita lelah memikirkan kata itu. Kata yang membuat tidurnya tidak lagi punya mimpi. Makannya hanya sampai ditenggorokan. Bahkan ia tidak lagi kenal pasti antara sang maupun malam.
Donita masih ingat ketika ia sangat bersemangat di podium tahun lalu. Ia rela merengguh kocek lebih dalam untuk membeli kostum terpajang di etalase sebuah toko. Khusus ia beli untuk menerima penghargaan hari itu. Lalu buminya berguncang dahsyat ketika mendapati bukan namanya yang disebutkan. Tetapi nama gadis seumuran jagung. Ia tidak kecewa. Tetapi ia sangat kecewa. Mukanya jatuh seiring dengan harga dirinya sebagai juara permanen. Singgasana kebesaran runtuh berkeping-keping.
“Aku harus menang. Bagaimanapun caranya. Smarta hanya masalah kecil. Disana sisanya Bally menunggu poin.” Donita mendesah.
*****
Asli! Mandek idenya....bagi teman2 yang berminat ngelanjutin atau punya ide lanjutannya gimana,  inbox ke ssupardi2@gmail.com  ya....thanx a lot
 
;