Tiga pasang
kaki diatur sedemikian pelan langkahnya. Agar tidak terdengar nyaring dan
kepergok kemudian. Mengendap-ngendap di kegelapan. Setelah sampai, menyandarkan
punggungnya di dinding bercat kuning pudar. Berhati-hati dan nyaris tidak ada
suara.
“Yang
kuketahui, diruang ini.”
“Kau
yakin, Dit?”
Adit
mengangguk.
“Kurasa
satpam sudah pulas diluar. Jadi kita bisa mulai beraksi.”
“Bagaimana
jika…?”
“Diam,
Ger. Kalau takut, kenapa mau ikut. Kamu tidak ingin lulus? Dan kita akan kaya
setelah ini.”
“Mar,
linggisnya.” Adit membuka telapak tangan kirinya. Dan Dimar memberikan linggis
yang diminta.
“Pelan-pelan.”
Bisik Dimar kemudian.
Sementara
itu, tubuh Geri mulai menggigil. Bayangannya akan sosok bang Sudirman memergoki
mereka bertiga. Dan itu bisa celaka. Reputasi diri dan keluarga. Juga terancam
divonis dari pihak sekolah. Paling buntung, dikeluarkan.
“Berhasil?”
Adit
menggeleng.
“Biar
aku coba.”
Dimar
memasukkan ujung pipih linggis ke celah-celah diantara bingkai jendela dan
dinding semen. Berkali-kali namun tak ada hasil.
Geri
yang sedari tadi bersikap pasif mencoba bertindak. Kali ini, ia memilih daun
jendela yang lain. Pikirnya, keberuntungan bisa saja menghampiri. Pesuruh
sekolah mungkin lupa mengunci salah satu jendela-jendela ini.
“Tek.”
Berhasil pada percobaan jendela ke dua.
Adit
dan Dimar berpandangan. Keduanya saling melemparkan senyum kemenangan.
Rintangan pertama telah teratasi. Selanjutnya adalah membongkar teralis besi
yang menghalangi. Itu gampang. Juga dengan menggunakan linggis yang sama.
Dicari celah yang memunggikan untuk menancapkan ujung linggis kembali. Baut
perekatpun tercabut. Selesai.
Ketiganya
masuk. Ruang kepala sekolah gelap. Berbekal cahaya dari senter kecil yang
dibawa, mereka mulai memeriksa satu per satu amplop oranye di lemari. Tak lama,
usaha mereka berbuah. Kunci jawaban itu ada ditangan mereka. Secepat kilat,
Dimar mencatat isinya. Tak hanya satu mata pelajaran. Seluruh jawaban soal-soal
ujian sekolah ada ditangan mereka. Geng ADG. Tajinya terbukti.
**********
“Ini
pekerjaan beresiko, ten. Satu juta itu tawaran termurah kami. Dengar ya, dengan
orang lain, kami hargai ini hampir tiga juta.”
“Bagus,
pukul 5 di depan gang.”
Adit
memasukkan kembali handphone ke saku celananya. Puas dengan usaha mereka malam
ini. Juga puas dengan penjualan yang baru saja dilakukannya.
“Aku
harus pulang. Sebentar lagi ibu akan membangunkanku. Memaksa shalat subuh.”
Tukas Geri.
“Tidak
apa-apa Ger. Jadilah anak baik. Jangan khawatir, bagianmu akan kamu dapatkan.”
Geri
sangat yakin ucapan Dimar barusan. Persahabatan berjalan tiga tahun itu
menumbuhkan kepercayaan diantara ketiganya. Tak terkecuali untuk urusan ini.
Geri
berlalu. Tak lama kemudian, tubuhnya hilang didekap kegelapan. Tinggal Adit dan
Dimar yang mulai sibuk menghubungi koneksi di sekolah lain untuk menawarkan
“barang” mereka.
Masing-masing
sibuk dengan percakapan-percakapan singkat. Berisi negosiasi harga. Patokan
yang ditawarkan pun bervariasi. Mulai dari satu sampai tiga juta rupiah.
Tergantung kepada siapa mereka menjual kunci jawaban tersebut.
“Ku
rasa semuanya sudah. Dan kita harus bergerak cepat. Berbagi tugas. Kita tidak
punya banyak waktu. Hampir pukul setengah empat. Mulai dari lokasi terdekat.”
Adit memberi komando.
“Berapa
kira-kira yang akan kita dapatkan pagi ini?” Dimar mencoba menghitung
pendapatan mereka.
Adit
memandangi jari-jemarinya yang tengah berhitung. “Dariku sekitar sepuluh.”
Dimar
melakukan hal yang sama. “Delapan juta sekian.”
**********
Pukul
6.43 WIB, seharusnya masih menyisakan udara dingin. Tapi tidak berlaku pada pak
Raden. Kumis tebalnya terasa semakin menusuk lubang hidung ketika mendapati
kunci lemarinya dijebol. Dan seperti dugaannya, ujung map oranye sobek.
Meskipun tidak ada yang hilang. Sekolah yang dipimpinnya kecolongan tadi malam.
Sudirman
adalah orang pertama yang layak untuk disalahkan. Atas kelalaiannya mengawasi
berkas penting tersebut. Murka sang kepala sekolah tumpah kepadanya. Dan ia
terima, karena tadi malam dirinya memang ketiduran diluar ruangan.
Kedua,
Bayu, si pesuruh sekolah. Sudah berulang kali pak Raden menyuruhnya untuk
memperbaiki kunci jendela yang rusak. Entah kenapa selalu tidak menghiraukan.
Dan akibatnya, itu menjadi pintu masuk bagi sang pencuri kunci jawaban.
Bayu
hanya bisa mengedip-ngedipkan matanya ketika dimarahi. Dengan masygul ia
mendengarkan ocehan pak Raden. Dalam hatinya berjanji akan memperbaiki jendela
tersebut segera. Paling tidak agar tidak kecolongan lagi nanti.
Pertemuan
singkat antar guru pun digelar. Rapat mendadak, ketika para guru yang juga
bertugas sebagai pengawas ujian hari ini.
“Seperti
yang saya katakan tadi, mereka melakukan ini bukan sekedar untuk melingkari
setiap pertanyaan. Mereka berbisnis.”
“Setuju,
pak.” Tukas bu Wardah, wakil kepala sekolah seksi kesiswaan.
“Dan
juga kita seharusnya bisa menetapkan beberapa tersangka saat ini.” Lanjut bu
Wardah kemudian.
Sementara
guru-guru lainnya mengangguk-ngangguk.
“Adit,
Dimar, dan aku tidak tega jika harus memasukkan Geri didalamnya. Tapi siswa
berkacamata itu selalu ada diantara keduanya.” Lagi, bu Wardah mengklasifikasi.
“Kita
tidak punya bukti, tapi berdasarkan jejak mereka disekolah ini, itu masuk
akal.” Tambah pak Handi, guru honorer BK.
Pak
Raden memutuskan, “kita lihat hasil nilai mereka bertiga. Apakah terjadi
kejanggalan. Begitu juga dengan beberapa siswa lainnya yang selama ini terkenal
dibawah rata-rata. Terakhir, kita akan melakukan koordinasi dengan
sekolah-sekolah di kota ini tentang hal ini. Karena jika benar mereka
berbisnis, maka pasar mereka tentu bukan sekolah ini saja. Rapat selesai. Kita
bicarakan langkah preventif selanjutnya, nanti.”
Ujian
sekolah berjalan dengan lancar. Seluruh siswa sepertinya sangat jujur dalam
mengerjakan soal. Dan juga begitu serius. Seakan daun jatuh ketanah pun akan
mengganggu konsentrasi mereka. Itu berlangsung hingga seluruh mata pelajaran
diujiankan tuntas dalam satu minggu.
Terlalu
bodoh jika Adit, Dimar dan Geri
melakukan aksi penyontekan secara konvensional. Membuat catatan kecil dan
diselipkan dibawah lembar soal. Pengalaman memberikan pelajaran. Banyak metode
pembelajaran saat ini yang semakin berkembang. Mereka mencontoh salah satunya.
Menomori setiap orang yang ada didepan, belakang, kiri, dan kanan. Si anu
adalah soal no sekian, dan jawabannya itu.
Itu
cerdas. Guru pengawas yang sejatinya
memeloti gerak-gerik mereka, bertekuk lutut. Tidak mendapati sesuatu yang
ganjil dari tingkah mereka bertiga selama ujian. Hal tersebut mampu mengurangi
dugaan para guru.
**********
“Ini
Ger. Tiga juta.” Adit menyodorkan uang hasil penjualan mereka.
Geri
diam. “Hanya tiga juta,”pikirnya.
“Geri,
kita hanya dapat 9 jutaan. Kami tidak bisa menjual dengan harga selangit.
Karena ini hanya ujian sekolah. Dan nanti, di ujian nasional, kita akan
mendapatkan lebih.” Dimar meyakinkan Geri yang mulai sangsi dengan jumlah
pendapatan mereka.
Mau
tidak mau, Geri menerima juga. Menyanggah, hanya sia-sia belaka. Kecuali ia
ikut sampai akhir subuh itu. Sayang, ia keburu pulang cepat-cepat.
Sambil
memasukkan uang tersebut kedalam dompetnya, Geri berujar, “sepertinya pihak
sekolah mencurigai kita. Mereka mengawasi kemarin, seakan-akan ingin
memakanku.”
“Benar.”
Kata Dimar kemudian.
“Tapi
mereka tidak ada bukti untuk menuduh.” Tambah Adit.
Ketiganya
tertawa sejadi-jadinya. Rencana refresh sejenak
pasca ujian nasional pun diurai. Adit akan menghabiskannya dengan memancing
bersama teman-temannya yang lain. Sementara Dimar akan hiking. Juga bersama teman lainnya. Tak satu pun mengajak Geri ikut
bersama. Padahal Geri tidak punya rencana apa-apa untuk menghabiskan uang tiga
juta rupiah di dompetnya. Sepertinya uang itu hanya akan menambah saldo
tabungannya di bank. Atau untuk membelikan obat ibunya.
**********
“Cerdik
sekali. Mereka tidak membiarkan kita membuat alasan untuk menuduh mereka.
Semuanya terlihat normal. Lebih tinggi satu dua poin itu normal, bukan? Bisa
jadi mereka meningkatkan intensitas belajarnya. Mereka termotivasi oleh mulut
kita, para guru, yang berkoar-koar saat upacara bendera.”
Pak
Raden kembali menghisap rokok di tangan kanannya. Dalam-dalam dan membuangnya
lewat hidung.
Terasa
kaku dari pertemuan sebelumnya. Tidak hanya pak Raden dan Bu Wardah, namun
semua guru yang hadir dalam pertemuan khusus tersebut. Setiap orang mengetahui
penyebabnya. Dan tidak satu pun yang berani mendahului membukanya.
Bu Wardah
angkat bicara, “pak.”
Ada jeda
sejenak. Bu Wardah menarik nafas dalam-dalam. “Tentang Riko,” lanjutnya
kemudian.
Jelas pak
Raden kebakaran jenggot. Lambat laun, ruas akan bertemu buku. Guru-guru menduga
anaknya termasuk salah satu orang yang melakukan pencurian jawaban malam itu.
Mengetahui dimana berkas tersebut disimpan juga sangat memungkinkan. Toh
ayahnya sendiri adalah kepala sekolah.
Tapi pak Raden
sangat yakin, anaknya tidak terlibat dalam hal ini. Hanya saja ini terjadi
begitu instan. Kapten yang bernama asli Riko memang digenjotnya agar belajar
dengan keras akhir-akhir ini. Tidak ada waktu luang selain belajar. Dan Kapten
mentaati itu. Maka, wajar Kapten mendapat nilai tinggi. Meskipun dalam
keseharian, anaknya tidak pernah masuk dalam 20 besar di kelasnya. Sekarang,
mungkinkah ia akan melontarkan alasan tersebut. Itu tidak objektif. Dan
terkesan melindungi.
Pak Raden
berkata bijak, “Aku mengerti. Semua bisa dijadikan tersangka. Termasuk putraku.
Tidak fair jika aku membela Riko.
Asal kalian tahu, minggu-minggu terakhir ini, saya menekankan kepadanya agar
belajar dengan gigih. Dan ia menuruti.”
Suasana rapat
hening tiba-tiba. Bu Wardah, begitu juga guru lainnya berusaha mencari kata
yang tepat untuk menanggapi hal tersebut. Begitulah, rasa “tak enak sama”
seharusnya dibuang jauh-jauh.
“Lantas, apa
langkah yang harus kita tempuh?” Handi yang belum sampai dua tahun mengabdi di
SMA itu memecah kebungkaman.
Bu
Wardah berusaha bersuara netral. “Kita perketat penjagaan. Bukan begitu pak
Raden?”
“Tepat.”
Pak Raden menambahkan.
Keputusannya
adalah penjagaan dilakukan oleh tiga orang pada malam menjelang Ujian Nasional.
Handi, Sudirman, dan Bayu dikerahkan untuk melakukan hal tersebut. Handi
menyanggupi. Pasti begitu pula dengan dua orang lainnya. Rapat juga memutuskan,
hal itu lebih efektif dan terjamin.
**********
Tiga
minggu berlalu. Pak Raden memaksa Riko mengaku jika memang ia beraksi malam
itu. Namun anaknya kuat-kuat menutup mulut. Apapun resiko terburuknya, sudah
diperhitungkan oleh anak itu. Tidak mungkin berterus terang begitu saja.
Tindakan ugal-ugalannya dalam kamar sepanjang hari akan tersingkap. Belum lagi
dirinya menjadi salah satu konsumen geng ADG tersebut. Tak ada pengakuan yang
keluar dari celah-celah giginya. Akhirnya pak Raden percaya juga.
Sementara
itu, seseorang laki-laki muda bertamu disore menjelang Ujian Nasional yang akan
digelar keesokan harinya. Laki-laki itu antusias. Membawa kabar baik dan sebuah tawaran kerja sama.
Juga, ia tahu siapa yang akan ditemuinya. Adit si ketua geng.
“Masih
tidur kayaknya. Duduk dulu, pak.” Setelah mempersilakan, wanita paruh baya itu
menuju kamar anak bungsunya. Mengedor-ngedor pintu kamar. “Dit, ada tamu. Gurumu.”
Tak
ada sahutan dari dalam. Maka, wanita itu pun memaksakan diri masuk ke kamar
anaknya. Nihil. Adit tidak ada ditempat.
“Wah,
pak Handi. Aditnya ternyata keluar. Tidak ada pamit. Tapi sepertinya kumpul
sama teman-temannya di rumah Dimar.” Ibu Adit merasa bersalah.
“Oh,
saya langkah kiri ya bu. Mungkin saya bisa minta nomor HP nya Adit?”
Belum
selesai wanita itu menyebutkan dua belas angka, sesosok remaja belia itu datang.
“Lha,
panjang umur ini anak.” Tukas ibu Adit.
Adit
terkesima sebentar. Angin apa gerangan yang membawa guru BK nya bertandang
kerumahnya sore-sore begini. Pasti ada hal yang penting. “Atau jangan-jangan…”
Adit was-was.
“Eh,
pak Handi. Ada apa pak?” Adit berlakon sewajar mungkin. Menyamarkan rasa
khawatir di pundaknya. Berharap bukan kunci jawaban itu yang membawa lelaki
muda dihadapannya datang kerumahnya.
Sementara
ibu Adit beranjak ke dapur. Berniat membuatkan barang segelas air manis untuk
tamunya. Itu adat dirumahnya. Khusus, tidak akan ditemui dirumah warga lainnya
di kota itu.
Suara
pak Handi lebih kepada berbisik, “lebih baik kita bicara diluar saja.”
Tentu
saja. Insting sebagai ketua geng ADG terbukti. Adit mencium sebuah muslihat
dari guru dihadapannya. Tapi ia belum bisa menyimpulkan apakah itu sebuah bentuk
tawaran atau sebuah perangkap.
“Tentang
apa, pak.” Adit pura-pura tidak tahu dan berupaya menyelelidiki lebih jauh.
“Di
luar.” Pak Handi bersikukuh.
**********
Itu
membuat hati ibu Adit sedikit gelisah. Apa yang lakukan anaknya dengan guru
sekaligus tamunya barusan. Dua-duanya menghilang dari ruang tamu. Dan tidak
berpamitan. Apa itu urusan sekolah? Ia
terduduk di kursi tamu. Menyeruput kopi panas yang dibuatnya sendiri.
Rumah
Dimar dalam keadaan kosong, kecuali dirinya sendiri. Sekarang bertamah dua,
Adit dan pak Handi. Jadilah tiga kepala berada
disana. Siap untuk melakukan pembicaraan serius. Hanya pak Handi saja yang
mengetahui tingkat keseriusannya.
“Bapak,
eh lebih enak gunakan saya saja.” Pak
Handi melontarkan pandangan bergantian. Kepada Adit, lalu ke sepasang mata
Dimar.
“Saya
tahu kalian sudah punya planning untuk
malam ini.” Tukas Handi. Mencari titik-titik pengakuan diwajah kedua muridnya.
“Maksud
bapak?”
“Gak
perlu bertele-tele. Saya datang kesini untuk menawarkan kerjasama.” Pak Handi
berbicara sambil mencondongkan tubuh ke arah Adit. Adit kecut.
Pak
Handi membalikkan badan. Sementara Adit dan Dimar saling mengkode menggunakan
mata. “Kalian ini payah. Tawaran saya, 50-50. Adil bukan, kalian tidak perlu
mengendap-ngendap dikegelapan maupun mencungkil daun jendela. Tugas kalian
hanya menjual. Itu saja.”
“Maksud
bapak apa?” Dimar mencoba mengalihkan.
“Jadi,
bapak menuduh kami yang mencuri kunci jawaban itu?” Adit menimpali.
“Sekarang
baru kalian mau mengaku. Bagus.” Pak Handi menjawab.
“Siapa
yang mengaku. Kami tidak mencuri. Betulkan dit,” Lagi-lagi Dimar menyangkal.
Mereka
pikir tengah berbicara dengan siapa. Ingat, guru BK. Pak Handi sangat paham
mengenai arti body language. Sejak
awal percapakan tadi, baik mata Adit maupun Dimar keluyuran. Tidak berani menatap langsung pada dua bola mata
gurunya. Bukan karena segan, tapi jelas mereka berbohong.
“Sepertinya
mereka perlu sedikit tekanan.” Pikir pak Handi.
“Sekarang
katakan, aku tidak mencuri. Sambil
mengarah ke mataku.” Pak Handi menekan.
Gawat.
Semuanya akan terbongkar. Bisa jadi pak Handi merekam semua pembicaraan mereka
itu. Dan pengakuan yang terucap dari mulut Adit dan Dimar pasti menjadi bukti
bagi sekolah untuk menghukum ketiganya.
Tak
ada kata-kata terucap. Adit dan juga Dimar diam dalam kegelisahan. Bentrokan
antara harus berkata jujur atau menghindar. Tidak ada pilihan sama sekai. Jalan
buntu.
Adit
bertindak diplomatis. Terlanjur usahanya terkuak. Dan jika benar dugaannya
bahwa pak Handi diutus sekolah untuk menyelidiki mereka, ia pasrah. Karena
memang tidak bisa lari kemana-mana lagi. Guru BK itu bisa membaca hatinya.
“Apa
tawaran bapak?” Adit berujar
“Hah,
itu dia. Akhirnya mengaku juga. Tapi jangan khawatir, saya kesini ingin belajar
bisnis dengan kalian.”
Ada
riak kelegaan tergambar diwajah Adit beserta Dimar. Dua-duanya penasaran,
tawaran apa yang disuguhkan oleh partner barunya
itu.
“Kunci
jawaban untuk esok ada ditangan saya. Rekan dari pusat berbaik hati. Ini
peluang besar.” Kata pak Handi mengutarakan.
“Tapi
50-50 itu berat sebelah, pak.” Dimar berkomentar.
“Berat
sebelah? Berat sebelah dari hongkong! Saya punya kunci dan kalian hanya
menyebarkan. Bahkan persenan itu terlalu bermurah hati saya pikir.”
Pak
Handi menambahkan, “malam nanti, saya, Sudirman, dan Bayu yang jaga malam.
Jadi, jika kalian masih berminat dengan bisnis ini. Pilihan kalian hanyalah
menerima apa yang kubawa.” Pak Handi mengeluarkan beberapa lembar kertas dari
balik jaket hitamnya.
**********
Kali
ini Geri disingkirkan. Anak itu tidak diperlukan dalam hal ini. Seperti ucapan
Adit dan Dimar padanya, bahwa mereka harus berhenti dari perbuatan ini. Saatnya
untuk bertobat. Geri percaya begitu saja. Jadilah ia alpa. Paling tidak, rasa
bersalahnya tidak bertambah.
Begitulah.
Pak Handi, Sudirman, dan Bayu berjaga di ruang kepala sekolah. Memakan gorengan
yang ditemani seceret air kopi panas. Berbicara ke sana kemari. Sesekali
berkeliling seantaro sekolah. Mengantisipasi kemungkinan adanya penyusupan. Dan
nihil.
Sampai
pukul 12 malam, ketiganya masih terjaga. Hanya Bayu yang menguap berkali-kali.
Dan mulai merebahkan diri di sofa di ruang tamu kepala sekolah. Pak Handi sibuk
berlayar ke dunia maya. Dan Sudirman yang sering mondar-mandir. Keluar masuk
ruangan. Sesuatu mengaduk isi perutnya. Kamar mandi menjadi langganannya hampir
sepanjang malam.
Syahdan.
Ujian Nasional sekota berjalan tanpa kendala. Meskipun ada desas desus
kebocoran soal, namun hal tersebut tidak menular kemana-mana. Hanya dianggap
angin lalu. Itu biasa. Juga terdengar kasus, beberapa oknum guru yang terlihat
membantu siswanya selama ujian berlangsung. Guru yang terlalu sayang pada
muridnya. Atau sekedar ingin sekolahnya dinilai berprestasi. Semua alasan itu
menjadi tabu dan belakangan semakin bisa dinalar.
Diluar
dari tetek bengek prosesi Ujian Nasional itu, ada pihak yang tengah kejatuhan
buah durian dari langit. Tak tanggung-tanggung, harga per paket jawaban yang
ditawarkan mulai 3 sampai 4 juta rupiah.
Orang kaya baru pun muncul.
Terkumpul
hampir empat puluh juta. Hanya sayang, harga selangit itu tidak diikuti oleh
daya beli konsumen. Banyak siswa yang membeli harus berpatungan uang terlebih
dahulu. Setelah itu ada juga yang menjual kembali. Begitulah seterusnya.
Tiga
anak manusia itu bersyukur. Bersyukur atas sesuatu yang tidak layak untuk
disyukuri. Berkhianat kepada dunia pendidikan bangsa sendiri. Cita-cita untuk
mewujudkan pendidikan berkarakter pupus ditelan bumi. Tergadai dalam lembaran-lembaran
uang bernominal lima dan enam angka.
**********
Adit
hampir pingsan. Sementara Dimar mematung tidak percaya. Lembar putih
ditangannya umpama badai tornado yang menyapu beberapa wilayah Amerika. Dan
dipodium, pak Raden lesu mendapati 80% muridnya harus mengikuti ujian ulang
atau mengambil paket C. Riko, si Kapten ada diantaranya.
Riuh
rendah tangis pecah didalam aula. Tidak hanya dari siswa yang bersangkutan,
tetapi juga berasal dari orang tua yang hadir. Haru biru. Banyak yang meraung.
Seolah-olah kerasukan jin yang tersesat. Padahal, sebuah bentuk penyesalan.
Sisanya,
mengukir senyum dihati. Tidak mungkin melompat-lompat ditengah kesedihan
kebanyakan siswa lainnya. Geri, nilainya hanya terpaut 0,5 dari standar
kelulusan. Ia bangga, bisa membuat ibunya menangis bahagia. Dalam hatinya
terbersit untuk membersihkan uangnya dari hasil penjualan malam itu. Sebelum
semuanya terlambat. Dan jika harus menghadapi sangsi, ia terima.
Pak
Handi beralasan mengambil cuti panjang. Sehingga ia tidak menyaksikan langsung
penderitaan murid yang dibohonginya. Sejak kapan ia punya relasi dipusat. Ia
hanya bosan hidup dari hasil honorer yang tak seberapa. Prestasinya didikannya
di sekolah tidak mendapat penghargaan yang sesuai. Dua puluh juta, itu pantas. Pandai-pandai
mencari untung ditengah buntung, itu motto hidupnya.
Potret
kehidupan. Hanya saja belum dibingkai. Sudah terjadi dan tidak bisa diulangi.
Tidak ada rekonstruksi kriminalitas pendidikan. Semuanya bungkam. Adit dan
Dimar menjadi mangsa. Amukan konsumennya mengarah pada mereka berdua. Mau apa
lagi. Menjelaskan yang sebenarnya tidak ada gunanya. Kejadian terparahnya,
beberapa lebam menghiasi rupa mereka. Di muka, punggung dan beberapa bagian di
dada.
Keduanya
kompak, beralasan kepada orang tua bahwa mereka terjatuh ketika berkendara. Orang
tua masing-masing memendam berang. Tidak mungkin itu alasannya. Namun, sama
seperti Kapten, Adit dan Dimar diam seribu bahasa dengan berjuta dalih.
N/B: di kirim ke annida-online.com, tapi sepertinya tidak ada di inbox email mereka. Jadi saya entry disini aja deh....