Sabtu, 29 Desember 2012 0 Messages

Lenyap, Mungkin Ada Monster di Bawah Ranjang

     "Yang terakhir melihatnya adalah ibunya sendiri."
     Sersan Dann diam sejenak, "katanya, Sarrin tengah tidur."
     Prita, gadis yang bertindak asisten detektif Dann itu mengitari bangkunya. Seperti atasannya, ia bergelut dengan pikirannya sendiri. Bagaimana mungkin seorang anak bisa menghilang begitu saja ketika tidur. Apakah ini gejala sleepingwalking yang dialami oleh bocah itu? Mereka telah membahas sedikit tentang kemungkinan ini dan kata Detektif Dann peluangnya kecil. Semua pintu rumah dalam keadaan terkunci dengan sempurna. Jadi, sindrom ini langsung diketepikan.  
     "Bagaimana dengan ibu Vanisha? Maksudku, adakah kemungkinan ia yang melakukannya?"
     Detektif Dann berjalan menuju jendela. Matanya menjejalah sudut kota dibawah gedung tempatnya berdiri. "Segalanya bisa saja terjadi. Tapi sejauh ini belum ada motif nyata bagi wanita tersebut melakukan hal itu. Lagi pula, kau lihat sendirikan bagaimana ia merasa sangat kehilangan putri tunggalnya. Sorot dan  mata tidak bisa berbohong. Meski itu bisa dipelajari."
     Prita mengangguk. Mereka berdua sebenarnya menaruh prasangka pada ayah Sarrin yang telah lama berpisah dengan ibunya. Namun, tiga tahun terakhir keberadaannya sama sekali tidak diketahui oleh Vanisha. 
       HP Detektif Dann berbunyi heboh bernada dangdut kontempor di saku celananya. Sulit bagi Prita untuk tidak mengulum senyum pada lelaki empat puluh tahun itu. Begitu juga dengan rekan-rekan mereka yang ada diruangan. Dann merasa konyol dengan nada dering tersebut. Pasti itu ulah anaknya, pikirnya.
        "Hallo. Ya, kami segera ke sana." Dann bergegas meraih jaketnya yang tersampir di kursinya. Sementara Prita menunjukkan muka waspada dan penuh tanda tanya. "Ayo, Vanisha menghilang!"
...........
      "Pak Baidan, tetangga sebelah itu mendengar jeritan bu Vanisha. Ia bergegas mendatangi, namun tidak bisa berbuat banyak karena rumah terkunci dari dalam. Setelah beberapa kemudian, warga berkumpul dan memutuskan untuk mendobrak saja pintu depan. Hasilnya, pintu bisa di rusak sementara mereka tidak menemukan bu Vanisha dimana-mana. Menghilang seperti anaknya."
        Sementara Bayu, ketua tim forensik melaporkan, detektif Dann berpikir dalam dan memicingkan matanya. Prita yang ada disana juga sama sibuk menyimak. Ia tahu atasannya tengah membuat berbagai asumsi serta kemungkinan. Namun, sejauh ini gadis itu menebak ini seperti kasus penculikan yang dilakukan oleh profesional. Ia masih berpendapat bahwa hilangnya Sarrin dan sekarang ibunya berhubungan dengan ayah anak tersebut.
        Detektif Dann mencatat beberapa poin penting di buku sakunya berkenaan dengan laporan Bayu. Setelah mengucapkan terima kasih, ia pun menjelajahi setiap sudut rumah. Berharap menemukan sesuatu yang tidak ditemukannya kemarin. Prita pun mengikuti melakukan hal yang sama. Mereka berpencar.
         Di luar, warga terus berdatangan untuk sekedar melihat dan ingin mengetahui perkembangan terbaru kasus ini. Demikian juga halnya dengan para wartawan yang kehausan berita terkini. Seolah hembusan nafas detektif Dann pun mereka laporkan.
         Prita berteriak memanggil detektif Dann. Dann dengan cepat mendatangi sumber suara yang ternyata berasal dari kamar Sarrin. Prita menunjuk ke arah tempat tidur Sarrin tepat saat detektif tiba. Kali ini sang detektif kalah satu langkah dari bawahannya. Sejujurnya, ia bingung dengan apa yang dimaksudkan Prita. Langkah kaki bergegas berhenti di belakang mereka. Lalu bertanya, "ada apa?" Bayu mendongakkan kepala lantaran tubuhnya tidak bisa dijejalkan antara Prita dan detektif Dann di muka pintu kamar.
         "Apakah ada barang-barang yang sudah disentuh sejauh ini?" Prita bertanya dengan semangat penuh pada Bayu.
"U ntungnya warga tahu sedikit tentang prosedur penyelidikan. Mereka mengatakan sejak masuk ke rumah ini, belum menyentuh atau mengubah sesuatu apapun."
        "Bagus!" jawab Prita. Detektif Daan mengekor Prita yang berjalan mendekat tempat tidur. Sampai detik ini, ia masih juga tidak mengerti apa sebenarnya maksud gadis itu. Satu-satunya yang dilihatnya dari tempat tidur itu adalah spray yang lasak.
          "Tuan detektif," Prita menggunakan kata 'tuan' setiap kali merasa mendahului atasannya. Detektif Dann tahu itu, dan ia sama sekali tidak merasa terkecilkan dengan panggilan itu. Justru lelaki tersebut senang dengan pencapaian anak buahnya. Karena sehebat apapun dirinya seperti yang diberitakan media, suatu saat ia harus memiliki generasa sekompeten atau harus jauh lebih hebat dari dirinya. "Mungkin anda tidak sadar, tapi saya betul-betul ingat kondisi terakhir kita meninggalkannya. Rapi dan seolah tidak tersentuh. Kecuali, kecuali ada orang yang menyentuhnya, bukan?"
          Prita jeda sejenak.
          "Dan kita juga telah melarang bu Vanisha hal itu selama masa penyelidikan."
Detektif Dann mengangguk hampir tidak kelihatan.
          Bayu yang mengelus janggut tipisnya keheranan mencoba menyimpulkan, "jadi ini ulah bu Vanisha?"
Padahal ia bertanya langsung kepada Prita. Tetapi detektif Dann yang menjawabnya dengan singkat, "bukan!".
Prita juga menyambar dengan tegas, "ya, bukan!"
"Jangan-katakan-ini-ulah-monster-di bawah-ranjang?" Bayu tidak percaya dengan ucapannya sendiri. Detektif Dann dan Prita mengulum senyum kemenangan.

   
=nol besar kalau kau menganggap itu ulah makhluk bertubuh jelek=

    
Kamis, 27 Desember 2012 0 Messages

Tebak Aku!

Duduk dimuka pintu dengan segelas kopi, mengawasi orang yang tengah beraktifitas.
Sekuriti!
Bukan, bukan. Aku tidak sedang mengawasi dalam artian mencemaskan sesuatu. Lagipula tidak ada yang tengah ku jaga sebenarnya.
Apakah kamu berbadan besar dan menakutkan?
Maksudmu penjaga karcis? Tentu tidak. Penjaga karcis tidak pernah memegang laptop.
Bisa saja, kan? Emm...meskipun sebenarnya engkau cukup mengambil kertas itu dari orang yang mau masuk.
Duduk di muka pintu dengan segelas kopi dan sebuah laptop. Apa yang tengah kau lakukan?
Itu dia kunci jawabannya. 'Apa yang tengah aku lakukan?'
Tunggu, tunggu. Jangan beritahu dulu. Kamu adalah ......
Aku adalah .....
Kamu adalah seorang yang sedang menulis. Benar! Kamu adalah seorang penulis.
Hundred Percent buat kamu.


Kamis, 13 Desember 2012 0 Messages

Pemburu Liar

        Aku berasa tengah mengunjungi kebun binatang ketika memasuki ruang tamu Mr. Kiem. Ruangan tersebut secara mencolok menjelaskan siapa dia sebenarnya.
       "Wah Mr. Kiem, ini semua tampak benar-benar asli, ya." Aku terperangah lalu mendudukkan diri pada sofa empuk sebaik saja ia mempersilahkan. Mendengar tanggapan terpesonaku, lelaki berkumis tipis dan mata sipit itu menggurat senyum bangga.
       Dengan puasnya ia menukaskan, "heh, ini semua memang asli. Kau tahu!"
       Aku menelan ludah tidak percaya.
       "Binatang-binatang ini ku kumpulkan sejak hampir lima belas tahun yang lalu. Yang terbaru adalah orang utan di depan tadi. Dari Kalimantan"
       Ya, itu membuat aku terkejut. Ku kira binatang langka tadi terbuat dari silikon yang kemudian di jual dengan harga ratusan juta rupiah. Rupanya itu benar-benar orang utan. 
       Menjawab kebingungannku, Mr. Kiem menjelaskan, "semua yang ada disini telah disuntik dengan bahan pengawet kelas A. Jadi, aku tidak perlu khawatir untuk menghidu aroma binatang busuk di rumahku."
       Kejam!
   Mr. Kiem berdiri dan mengajakku melihat-lihat koleksinya. Pikirnya, ini akan menjadi sesuatu yang menggemparkan dan menegaskan sosoknya yang fenomenal. Pemburu ilegal yang tidak pernah tersentuh atau diajukan ke ranah hukum. Kok bisa? tanyaku membatin.
       Keberadaanku disini bukan untuk mencari bukti atas operasi terlarangnya, namun atas permintaannya sendiri. Dengan bayaran yang cukup tinggi, aku menerima saja sebagai penulis bayangannya. Rencananya Mr. Kiem akan menggelontorkan buku biografinya sendiri. Jelas saja ia tidak punya waktu untuk menulis, lagi pula bakatnya tidak ada di bidang itu. Maka aku adalah jawabannya.
        Di dekat sofa tadi bertengger seekor macan tutul dengan mata melotot. Sebenarnya aku was-was kalau binatang bertubuh loreng itu hidup lagi lalu menerkam. Menjadikanku santapannya siang ini. Untungnya tidak. Di dinding pula terpajang kepala rusa. Masih utuh, kecuali badannya, tampak menyedihkan. Dan di dalam akuarium besar, bangkai kaku komodo tengah menjulurkan lidahnya kepada siapa saja yang memandangnya. Seolah mengajak bertarung.
        Kami menuju etalase lainnya sebesar lemari raksasa di ruang sebelah. Di celah-celah keramik antik, ada beberapa ekor kelinci dengan banyak warna dan motif bulu. Tikus putih dan hitam dan juga marmut. Berbagai jenis mumi burung, sungguh menakjubkan. Binatang kecil lainnya juga menghiasi didalam sana. Tapi yang menjadi pertanyaanku adalah kenapa ular kobra juga di taruh disana. Bukankah sebaiknya ia di lilitkan di salah satu tiang saja. Katakanlah sebagai penyambut tamu. 
        Aku bergidik ketika melihat ular tersebut menjulurkan lidah dan menaik-turunkan kepalanya. Luar biasa, pikirku. Entah teknik apa lagi yang Mr. Kiem pakai untuk membuatnya seolah benar-benar bernyawa. 
        "Setelah ini, kita sebaiknya melihat-lihat di gudang. Simpananku disana lebih banyak lagi. Ku harap tidak terlalu mengejutkanmu lagi."
        Aku mengangguk dan bertanya penasaran. "Mr. Kiem, apakah seluruh binatang di dunia tinggal di rumah ini?"
       Mr. Kiem mengerutkan jidatnya, "hampir, ku kira." Ia menanggapi seolah itu pertanyaan terbaik yang pernah di dengarnya. "Aku akan sangat tertarik pada penemuan spesies baru di belahan penjuru dunia manapun. Berburu sambil jalan-jalan membuatku merasa bukan berusia lima puluh delapan tahun."
        "Oh," aku menanggapi sekenanya. Memang posisi ini tidak ideal bagiku sendiri. Di satu sisi aku menghujat usaha lelaki dihadapanku ini, sementara sisi lainnya adalah sudah tugasku untuk menuliskannya. 
         "Kesimpulanku, anda adalah teman semua binatang," ku coba menjejaki kepribadiannya lebih dalam. 
         "Tentu saja, Daren. Tentu saja." Ia diam sejenak, "kecuali satu binatang."
         Jauh dari dugaanku, ternyata Mr. Kiem punya takut juga pada satu jenis binatang. "Apa itu?" tanyaku penasaran. 
         "Ingat, ini rahasia antara kita. Dan tidak perlu kau tulis nanti," katanya. 
         "Jangan khawatir," tegasku. 
         Dengan berbisik ia mengatakan, "ular." 
        "Ular?" ulangku sulit memercainya. 
        "Ya, ular," tukasnya. "Itu sebabnya kau tidak melihat seekor ularpun dalam rumah ini, bukan?"
        Jelas saja bingung. "Lalu itu apa?" aku menunjuk pada lemari kaca di belakangnya.
        Mr. Kiem membalikkan badan spontan, menganga.
     Sapa si ular kobra terlalu berlebihan. Menyentuhkan mulutnya dengan cepat pada si pemburu. Tanda persahabatan yang mematikan. Dalam hitungan detik, Mr. Kiem rebah dan kejang-kejang di lantai. Sang ular tak berminat melakukan hal yang sama padaku. Ia memilih meliuk-liuk diatas ubin menuju selasar. 
       Itu tidak memberiku banyak waktu. Muka Mr. Kiem sudah kebiruan ketika aku mencoba memberikan penyelamatan pertama. Kalaupun sempat, jujur aku tidak tahu harus melakukan apa. Mr. Kiem berguling-guling di atas lantai. Sementara mulutnya berbusa. Matanya seperti milik banyak binatang di rumahnya. Melotot garang. Geliat ganasnya berhenti seketika. Seiring dengan nafas yang tidak lagi berembus.
Jumat, 07 Desember 2012 0 Messages

Ketika "Waktu" Ayah Tiba

     Vena, kembaranku itu mengurung diri dirumah. Ia mengatakan ngeri untuk datang ke kampus dalam beberapa hari ini. Sepasang mata pekatnya terus menerus mengeluarkan cairan bening. Yah, ketakutan yang dirasakannya sangat klise dan kering. Bukan tentang status ayah yang 'mengkhawatirkan', namun harga dirinya sendiri. 
       Saudara perempuanku itu merupakan gambaran kekayaan keluarga kami, kekayaan ayah maksudku. Mobil sport keluaran terbaru, alat komunikasi super ter-update, pakaian parlente, dan semuanya. Intinya, membuat para ladys di kampusnya membuka mata lebar-lebar. Menyadarkan diri bahwa tidak mungkin bersaing dengan gadis itu. Para lelaki muda ikutan cari-cari perhatiannya. 
         Kini ia menuai hasil tanamannya. Dulu, ketika ayah di posisikan sebagai saksi, katanya teman-teman di kampus bertingkah seperti melihat hantu di siang bolong saja. Tetapi kesan itu menguap seketika seiring dengan kasus yang menimpa ayah berjalan lemot. Berbeda dengan sekarang; menjadi tersangka, bahkan dengan resmi ayah telah mengundurkan diri dari jabatannya sebagai mentri. Menanggalkan pula  jabatan sebagai sekretaris dewan pembina partai menaungi karir politiknya.
         Itu yang membuat Vena tidak bisa membayangkan reaksi seluruh civitas akademi kampus hukumnya. Ejekan, tatapan sinis, gosip di belakangnya, sumpah serapah, dan semacamnya itu yang di hindarinya. Kekayaan yang dipamerkannya tidak lagi mampu membungkam mulut-mulut haus tersebut. Tapi, sebagai saudara yang lahir lebih muda satu menit, aku hanya ingin mengucapkan selamat menikmati. Bukannya aku tidak merasa terintimadasi dengan apa yang menimpa keluargaku saat ini. Salah sama sekali. 
        Aku hanya was-was dengan gejolak hati ibu. Seperti Vena, ia menyiksa dirinya sendiri dengan terus memeras air mata. Namun, untungnya saat ini ia sudah mulai bisa mengendalikan emosinya. Sejauh ini, ia hanya bisa mengikuti perkembangan penyidikan KPK atas polah suaminya via media massa. Ya, ayahku itu. Tentunya di barengi dengan doa semoga perkara cepat dituntaskan dengan segera. Aku tahu, sebagai seorang istri ibu jelas tidak mau suaminya harus dibui. Tapi mau bagaimana lagi jika memang itu adalah bentuk konsekuensi kelakuan lelaki pendamping hidupnya. Selama fakta belum terungkap, ibu tetap berprasangka baik pada ayahku. 
         Sepertinya ibu lebih tabah daripada putrinya sendiri. Wanita yang telah melahirkanku sejak dua puluh lima tahun itu "memasang" sumbatan di telinganya atas setiap gunjingan tetangga dan warga publik secara keseluruhan. Rutinitas arisannya ia bekukan sementara. Lembaga sosial yang ditanganinya juga beralih tampuk kendali untuk beberapa waktu. Ibu mengatakan, saat ini sedang fokus mendampingi ayah selama masa pemeriksaan dan penyidikan. Itulah gunanya seorang istri, kuyakini hal tersebut. Menguatkan ketika suami lemah, memotivasi ketika suami kehilangan daya. Namun ingat, bukan berarti membenarkan masalah yang jelas-jelas menyimpang dari norma hukum dan agama. Dengan seratus persen keyakinanku padanya, ibu pasti paham semua hal itu. Bagaimana porsi dan posisinya sebagai istri dan bagaimana kedudukannya sebagai makhluk Allah untuk mengajarkan keharusan berkata jujur. 
        Sementara, Veno, aku sendiri berjalan mengikuti arus. Terpukul, jelas. Ketika ibu menguatkan ayah, aku menguatkan ibu. Karena hubunganku dengan ayah tidak terlalu baik. Semoga dengan ini ayah bisa memaklumi bahwa aku ikut merasakan apa yang tengah dihadapinya. Lagi pula, ia pasti tahu tidak akan meminta lebih kepadaku. Hanya sebagai anak, dengan kelebihan dan kekurangan sebaik mungkin untuk berbakti. 
          Bedanya dengan Vena, aku bersedia dan siap menghadapi rekan-rekan di kampus hijau dengan hati terbuka. Meski nyata-nyata ketika kumelintas, mereka menatap seolah-olah aku adalah seorang alien. Tatapan nanar dan menyudutkan. Sikap intimidasi dan cenderung pada pengasingan. Kecuali beberapa rekan yang benar-benar mengenaliku. Yang tahu bahwa selama ini aku bahkan jarang 'merengek' pada kedua orang tuaku. Untuk semua hal, biaya kuliah, keperluan harian dan tetek bengek lainnya.

Catatatan fiktif kosong  atas masalah negeri. Mencoba memosisikan diri dari sudut pandang berbeda. Semoga bermanfaat untuk bangsa.... 
           
Kamis, 06 Desember 2012 0 Messages

TAKDIR WOQ

      Muka Woq kusut dan hidungnya turun naik. Xam pula tak sabar mau bertualang segera. Memang itu yang kusuka. Lebih baik tahu cepat daripada berlama-lama membiarkan kesempatan begitu saja. 
      "Kalau beruntung, kita akan makan besar malam ini. Tapi untuk memastikan itu, perlu penjajakan terlebih dahulu. Sebenarnya sih tidak usahlah melakukan itu. Mending langsung kesana saja, bagaimana?"
       "Tapi..." Woq masih ragu-ragu untuk ikut.
     Tidak perlu bicara lagi untuk mendorongnya memilih, karena Xam telah melakukannya untukku, "Ikut atau pulang, terserah saja!"
       Aku mendahului mengepakkan sayap dan menjauh. Xam mengekor di belakangku. Masih dengan perasaan penasaran dan jiwa menjelajahnya cukup tertantang sepertinya. Ia ingin membuktikan pada dirinya sendiri bahwa kini saatnya mencari sesuatu yang baru. Bukan mengeram di sarang seumur hidup.
       Kami terbang lebih jauh lagi. Ketika ku lihat ke belakang, Woq mulai mengepak pelan, semakin cepat dan bergabung denganku dan Xam. Akhirnya. 
..........
        Woq ngeri melihat satu dua bangsa kami terkapar mati di pukul oleh raksasa yang tengah duduk. "Kita tidak akan seperti itukan, Blom?" Xam agak cemas menanyakannya. "Kenapa mereka seperti menjaga jarak dengan raksasa tersebut. Bukankah itu justru akan mengundang perhatian makhluk bertubuh besar itu?"
        "Tenang saja, kita akan lebih beruntung dari mereka," kataku menenangkan. Woq di sampingku menelan ludah kering. Keringat dingin mulai timbul dari pori-pori super kecilnya. 
         "Makhluk itu menggunakan semacam cairan anti bangsa kita. Makanya nyamuk lainnya tidak berani mengambil jarak terlalu dekat. Mereka juga bodoh dengan kenekatannya. Itulah akibatnya jika kita bertindak tanpa berpikir lebih dahulu."
          "Kalau berpikir terus-terusan, kapan mau beraksi?" Xam bertanya lagi. 
          "Bukti sudah di depan mata. Atau kau mau tamat seperti mereka, Xam?"
          Xam menggeleng. Woq bungkam dan seolah ingin mengatakan dirinya akan pulang saja. Ia punya ibu untuk di pikirkan. Tidak apa di bilang pengecut oleh kedua sahabatnya tersebut. 
          "Kawan-kawan...." ucap Woq terbata.
         "Sstttt....." perintahku. "Kalian sudah lihat sendiri kan. Saat ini kita tak bisa berbuat lebih. Cairan itu masih akan bereaksi paling tidak sampai lewat tengah malam. Dan sedikit kemungkinan akan hilang menjelang subuh nanti. Saat itulah kita baru mencari makanan. Siap?"
         Itu artinya kami harus beranjak segera dari tempat pengintaian di dinding. Woq mendahulu melakukan itu. Aku menyusul setelahnya. Xam seolah berat meninggalkan makanan dihadapannya meskipun ia tahu resiko apa yang akan menghadang jika ia gegabah. "Blom, tunggu sebentar. Apakah kau mendengar sesuatu. Kedengarannya tidak bersumber dari raksasa itu."
         Memastikan apa yang didengarnya itu benar-benar ada, aku hinggap kembali. "Dengar itu?" kata Xam. Aku mengangguk. 
         "Dari kamar sebelah," balasku. 
         "Apakah disana juga ada makhluk raksasa seperti itu?"
         "Boleh jadi. Mau langsung ke TKP?"
         Xam pergi tanpa sepatah katapun. Tidak ku kira ia begitu bersemangat. Tahu dari dulu, sejak lama aku sudah mengajaknya melakukan ini. 
         "Kawan-kawan..."
         Woq tidak ada kosa kata lain apa selain mengatakan itu. Suara terdengar gelisah dan was-was. Begitulah kalau kita terlalu takut. Kami berbuat sesuai keinginan kami. Pergi ke kamar sebelah. Semoga keberuntungan tengah menunggu disana. Dan aku yakin Woq akan menyesal tidak ikut sama. 
         "Teman-teman, tolong...." 
         Lolongan Woq beralih pada tingkat memelas. Untuk apa memedulikannya, toh ia bisa pulang sendiri. "Pergi saja, sana!" bentak Xam. Kami menghilang di kegelapan kamar sebelah. 
...........
         "Apa ku bilang," Xam membanggakan hasil petualangan perdananya. Pantas memang ku acungi jempol. Insting berburunya luar biasa peka. Kalau begini, ia bakal mendapat santapan hebat tiap malam. Ku katakan itu padanya. Dan kawanku itu nyengir puas. 
           Rumah itu senyap. Sesekali terdengar gerakan raksasa yang terlelap. Kami pulang dengan perut terisi penuh. Aku yakin, Woq akan mengatakan sangat menyesal pulang terlalu awal tadi. Mudah-mudah ia bisa mengambil pelajaran akibat perbuatan tergesa-gesanya. 
           Kow, ibunya Woq menangis histeris ketika kami datang di Kota Nyamuk. Heran saja, apa yang membuatnya menangis seperti itu. Aku dan Xam langsung di serang dengan pertanyaan, "Apa yang kalian lakukan pada Woq?"
           Kami berdua hanya saling pandang. Tidak ada gunanya berdalih akan kepergian kami bertiga tadi. Pasti semuanya telah mengetahui. Yang membuat kami bingung adalah seharusnya Woq sudah ada disini. Ia telah memisahkan diri sejak beberapa jam yang lalu. 
            "Woq sudah mati di mangsa oleh seekor cicak. Kami menemukan itu saat mencari kalian."
           Ibuku menunjuk pada setungkai kaki nyamuk tanpa tubuh di atas daun. Jelas itu milik kawan kami. Sebuah gelang kecil terikat pada benda tersebut. 
            Aku tidak tahu harus berkata apa. Semua terjadi atas usulku dan Xam hanya mengikuti. Kejadiannya pasti ketika Woq meminta tolong tadi. Ah, ya ampun. Kalau saja aku mendengarnya meminta bantuan. Nyatanya kuanggap itu hanya bentuk kelemahan. Woq, maaf kan aku. 
            Sama halnya dengan Xam. Kawanku satunya itu terus-terusan menyalah diri sendiri. Seandainya saja ia tidak berkeras untuk berlama-lama disana. Tentu Woq tidak mengalami ini. 
         Tangisan Kow bukanlah menyalahkan kami sepenuhnya. Kami tahu hal itu. Bagi bangsa nyamuk, kematian ketika mencari makanan adalah takdir yang tidak boleh di ratapi. Lantaran untuk itulah kami hidup. Mengembara kemana saja demi menyedot darah raksasa. Cuma, penyesalan Kow terletak pada rasa kasihan pada keturunannya, Woq. Ya, Woq terlalu muda untuk bertualang mencari makanannya sendiri ke luar Kota Nyamuk. Sedikit banyak, kami tetap berada pada pihak terdakwa meskipun tiada seorang pun yang menyalahkan. Beberapa mengatakan kami cukup berani. 
          Kami sebangsa nyamuk memiliki waktu tinggal di dunia ini sangat singkat. Sebentar juga akan mati setelah sebelumnya menelurkan banyak zuriat kelak. Seperti Kow, ia akan bertelur sebentar lagi. Woq-Woq lainnya akan lahir. Dan melanjutkan petualangan bangsa nyamuk. Demikianlah terus menerus selagi bangsa raksasa itu tidak mau membersihkan diri dan lingkungannya. Itu yang kami sukai. 
           Aku dan Xam berpisah untuk menuju rumah masing-masing. Setelah ini kami akan berpikir ulang sebelum bertindak. Sebelum saling menjauh, Xam mengingatkan hal itu. Namun aku begitu juga Xam tengah berpikir kira-kira kapan waktu yang tepat untuk pergi kesana lagi. Resiko tetap ada. Dan pukulan raksasa itu secara mutlak merupakan ancaman terbesar kelangsungan hidup kami. Kami tertakdir seperti itu, maka tiada pilihan selain menjalaninya.
         
Selasa, 04 Desember 2012 0 Messages

Ibu Tangan Besi?



            Patut ku catat dengan tinta emas. Jika pak Hendro meminta kami menitipkan sesuatu untuk disimpan di museum daerah, aku akan menyerahkan ini. Andai saja. Nyatanya guru kami yang belum juga menikah itu tidak pernah hirau. Apakah kami mengerjakan tugas rumah atau tidak. Jadi, catatan ini sementara ku simpan di tempat yang aman saja.
         “Pai, duduk yang benar. Jangan tengkurap seperti itu!” komentar ibu cantikku. Aku menurut saja, kecuali jika ingin mendengar saran-saran terbaiknya lainnya. Bagaimana mungkin aku bisa menulis dalam posisi duduk seperti ini. Namun ku paksakan terus mencatat.
       Untuk yang ke…ah, anggap saja pertama, ayah, ibu, aku, dan kedua saudara kandungku menonton tv bersama.
            Itu kalimat terakhir yang ku tuliskan. Jam menunjukkan sembilan kurang dua puluh lima menit. Sebenarnya aku sudah ingin pergi ke kamar saja. Tetapi saat ini, yang memegang kendali adalah ibu. Tidak ada yang boleh pergi tidur sebelum pukul sembilan. “Lebih baik ketiduran disini,” tegasnya.
Di luar hujan deras mengguyur disertai desauan angin kencang. Malam minggu yang benar-benar kelabu. Terutama buat Siska yang terus menerus memelototi jam dinding. Gerutu kecilnya demikian pula. Izinnya untuk ke kamar segera, tertolak ibu mentah-mentah. Padahal jemarinya sudah gatal untuk memainkan smartphone kesayangannya. Aku tahu itu.
Aldo, Kakak tertuaku sama sekali tidak peduli dengan keadaan sekitarnya. Alasan kenapa ia bergabung di ruang keluarga adalah karena tidak bisa keluar rumah. Sama sekali tidak ada hubungannya dengan peraturan yang ibu buat khusus untuk malam ini. Tingkahnya yang paling banyak mengundang celoteh ibu. Remote control tidak lepas dari tangannya. Ia memindahkan channel TVsesuka hati. Itu yang membuat ibu geram dan naik pitam.
Sedangkan lelaki berkumis dan kepalanya hampir kehilangan rambut duduk di sebelah ibu. Itu ayahku. Memang pantas ia mendapatkan ibuku yang cantik. Muka tirus, hidung bangir meskipun bibirnya agak lebar. Menjadikan wajahnya tampak selalu segar. Berbeda dengan ayah yang hidungnya sedikit besar. Rahangnya keras dan tulang pipinya menonjol. Pembawaannya berwibawa jadinya. Dibandingkan dengan kak Aldo dan Siska, aku memiliki kombinasi hidung besar dan mulut lebar.
Ayah terangguk-angguk. Sesekali kepalanya tersandar di bahu ibu. Ibu menggeser kepala ayah dengan tangannya. Lalu ayah terjaga. Begitu seterusnya. Posisinya sebagai kepala keluarga sepertinya tidak terlalu berfungsi malam ini. Dan jujur, seperti hari-hari sebelumnya juga sih. Mungkin karena mulut ayah lebih kecil dari ibu, makanya selalu kalah kalau berdebat.
Sembilan kurang satu menit. Siska bangkit dari dudukannya. Cekungan sofa tampak dalam lantaran ia membuat dirinya terperuk disana. Wajahnya ku lihat girang seketika. Dari sebelumnya yang penuh dongkol.
“Siska!” bentak ibu tiba-tiba. “Satu menit lagi!” tegasnya kemudian.
Siska bergeming. Terus berlari-lari kecil menuju kamarnya sendiri. Ku dengar dentuman pintu dibanting perlahan. “Terima kasih, nak,” giliran ibu yang agak berteriak. Menandakan peraturannya telah pun usai. Ibu membangunkan ayah dan menyuruhnya tidur di kamar saja. Ayah membuka mata dengan malas. Tanpa banyak omong, orang tuaku itu menuju kamar mereka.
“Dan kau Pai, lekas tidur. Tidak baik anak kecil menonton hingga larut.”
Ayah dan ibu hilang di balik pintu kamarnya. Aku kembali menambahkan di catatanku, berhasil. Ku bergegas pergi meninggalkan kak Aldo sendirian. Sepertinya ia sama sekali tidak berniat untuk tidur awal malam ini. Matanya terus saja mengawasi hujan diluar yang mulai reda. Ketika aku membaringkan diri di atas kasur, terdengar garasi di buka.
Sepeda motor meraung nyaring setelahnya. Garasi di tutup dan kakak tertuaku itu langsung tancap gas. Langkah kaki berlari terdengar pula dari dalam rumah. Pintu depan dibuka, “Aldo…” suara ibu mengecil di ujungnya. Marah ibu tidak kesampaian.
Aku menarik selimut hingga menutupi seluruh tubuh. Terasa lebih hangat dari sebelumnya. Paling tidak sesuatu yang ‘lebih baik’ terjadi malam ini.
Minggu, 02 Desember 2012 0 Messages

Pencapaian Baru

      Persis sama dengan yang kurasakan ketika membaca cerpenku muncul di annida-online.com, tepat setahun yang lalu. Senang berbaur dengan rasa syukur atas karunia Allah SWT. Hari ini secara offline, cerita pendekku berjudul Sang Pencerita di muat di koran lokal Kalimantan Barat, Pontianak Post (edisi Minggu, 02 Desember 2012). 
      Tak tahu mau bilang apa. Yang pasti ALHAMDULILLAH atas kemudahan dalam menulis dan mengirimkannya kepada redaksi. Kalian tahu, ini telah kunanti selama tujuh minggu lamanya. Pertama kali mengirim pada alamat email redaksi. Tunggu punya tunggu sampai pekan ke empat, baru sadar ternyata pada kolom apresiasi yang memuat kiriman tulisan, tertera alamat email yang berbeda. Langsung di edit tulisan sebelumnya, dan di kirim ke alamat tadi. Satu minggu setelah pengiriman ternyata belum mendapatkan hasil. Dan akhirnya pada minggu kedua, ketika ku buka site pontianakpost.com, aku hampir tidak percaya.
         
       
Sabtu, 01 Desember 2012 0 Messages

Dora The Adventurer

           Dora sekarang tidak tahu harus melakukan apa. Usianya telah pun beranjak remaja. Anak-anak yang dihiburnya dulu juga telah bertambah usianya. Tidak lagi mau bekerja sama apabila ia mengucapkan, "mau kah kalian membantuku?" Dan tidak mau menunjukkan ketika ditanyanya, "apakah kalian melihat pelangi? Kalian mau lihat isi ranselku? Katakan ransel!" Serta enggan untuk ikut bersorak bila misi telah selesai, "i did it, i did it. We did it, we did it." Bahkan Boo sekarang telah menjadi orang tua bagi si monyet kecil lainnya. 
           "Hello, Dora! Apakah sama sekali tidak ingin mengubah potongan rambutmu?"
           Dora menggeleng keras. Hanya itulah tanda terakhir dari kesuksesannya beberapa dekade lalu. Dan kini semuanya telah usai dan musnah. Dora mulai menangis. "Jangan begitu," tukasku. 
           Tapi gadis berponi dengan rambut sebahu itu bergeming seolah aku tidak ada disini. "Bagaimana dengan Diego dan Alicia?" tanyaku coba mengajaknya berbicara. 
           "Soe, mereka sibuk dengan kegiatan mereka sendiri. Sekarang keduanya tengah menggarap program National Geographic-nya. Menggantikan pasangan suami istri yang dari Australia itu."
            Aku penasaran, "apa itu artinya kamu tidak mendapat tawaran apapun setelah usiamu mencapai lima belas tahun ini. Bagaimana dengan program penjelajahan kawula muda?"
           Untuk kedua kalinya Dora menggeleng. Dipikirannya, dunia nampaknya berhenti seketika. Padahal tidak demikian. Waktu akan terus bergulir. Itu adalah putaran masa yang tidak bisa diubah oleh siapapan kecuali Yang Menciptakan waktu itu sendiri. 
            "Dora," ku berucap lagi. Gadis itu mendongak ke arahku sembari menyeka matanya yang tampak merah. 
             "Jika penjelajahan tidak lagi sesuai dengan usiamu, bagaimana dengan petualangan?"
             Baru kali ini aku melihat jidat Dora berkedut. Tokoh animasi dihadapanku itu ternyata punya rasa bingung juga. "Maksudmu, Soe?" tanyanya heran. 
           "Aku punya sebuah kapal di tepi dermaga. Kukira itu lebih dari cukup untuk kita bertualang ke seluruh penjuru dunia. Apa pendapatmu?"
            "Kapal? Kita?"
            "Namanya bukan lagi Dora the Explorer, tapi Dora the Adventurer! Menarik, bukan. Tapi tenang saja, ini akan tetap menjadi acaramu. Aku perlu banyak belajar darimu tentang mengelilingi semua tempat dan menyelesaikan misi."
             "Oh, Soe...terima kasih, tapi"
             "Tak perlu terpesona dan terperangah seperti itu, Dora."
         "Bukan, bukan maksudku terpukau Soe. Hanya saja, lebih tepatnya petualangan apa nantinya program kita ini?"
         Aku juga bingung sebenarnya. "Teman-teman, maukah kalian membantu kami?"

Adoeh! iseng-iseng saat tetangga sebelah memutar CD Dora. 

 
;