Tawa kami
terhenti sebaik saja mak su kembali datang dengan tiba-tiba. Terengah-engah
mengatur nafasnya. Berkali-kali menelan ludahnya yang mengering. Dilanjutkan
dengan mengangkat bajunya sedikit keatas, mengelap keringat. .Tidak salah jika
di terka, ia pasti berlari-lari menuju rumah kami setelah kepulangannya tadi. Mukanya
menegang dan jelas sekali kepanikan juga mengikutinya.
Kak Mok
memecah keheranan kami dengan menyodorkan segelas air putih pada mak su. Hatiku
bertanya, “kapan kak Mok ke dapur?”. Bukankah dia baru saja tergabung dalam
kumpulan keluarga kaget. Dan sekarang dia menjadi penenang mak su.
Bagai
berabad-abad tidak meneguk air, mak su langsung menyambar sodoran dari kak Mok.
Dalam sekejap isi gelas kaca tersebut menjadi kosong. Dan memberikannya kembali
kepada kak Mok.
“Ada apa, Jah?” Mak
bertanya tak sabar. Menjadi wakil diantara aku, ayah dan kak Mok yang semuanya
merasa penasaran. Mak su yang bernama Jijah adalah adik bungsu dari ibu. Usu
panggilan untuk putri atau putra bungsu dalam sebuah keluarga dalam budaya
melayu. Karena adik ibu adalah perempuan, maka kami memanggilnya dengan sebutan
mak su.
“Mak
tergelincir. Sekarang di lagi di rumah pak long Dar” Mak su menjelaskan
terbata-bata. Jika dipaksa berbicara lebih lanjut, mungkin aliran air akan menyeruak
dari kedua belah matanya.
“Bagaimana
bisa?” Ayah melanjutkan pertanyaan mak. Tapi mak su yang ditanya bukannya
langsung menjawab, tetapi malah melemparkan tatapan tajam menghujam mataku.
Jelas itu tatapan menyalahkan. Entah apa yang dipikirkannya. Sepertinya aku
yang menyebabkan nek wan tertimpa musibah.
**********
Keadaan
kampung memang pekat apabila malam tiba. Listrik masuk baru sekadar pancangan
tiang-tiang besinya. Kata pak kades, kemungkinan kampung kami mulai bercahaya
dimalam hari menjelang akhir tahun ini. Bukan hanya aku, warga sekampung dan
termasuk pak kades sendiri sangat tidak yakin akan hal itu. Semuanya hanya bisa
menunggu sejauh ini.
Warga kampung
masih menggunakan pelita yang terbuat dari aluminum bekas minuman atau dari
botol kaca bekas. Dibuat sedemikian rupa sehingga ada corong kecil untuk sumbu
menyembul dan didalamnya menampung minyak tanah. Itu digunakan sebagai
penerangan dirumah dan biasanya disimpan di tengah-tengah ruangan. Satu dua pelita sudah cukup untuk setiap rumah.
Desain rumah warga yang rata-rata tidak mempunya banyak sekat kecuali batas
kamar, menjadikan penggunaan sedikit pelita lebih efisien. Dan apabila hendak
tidur, biasanya pelita tersebut tetap disimpan dilantai, namun diwadahi dengan
piring beling berisi air. Sebagai antisipasi jika tertabrak kucing gila.
Sedangkan lampu strongkeng hanya akan digunakan ketika acara keluarga, seperti
pernikahan.
Lain hal lagi
dengan infrastruktur jalan. Tak ada satupun warga yang berani untuk menebak
kira-kira kapan jalan dikampung akan diaspal. Jika musim kemarau tiba, jalanan
berdebu bukan main. Tapi ya, orang kampung sudah imun terhadap dampak yang yang
mungkin bisa ditimbulkannya kemudian. Penggunaan masker hanya diketahui dan
wajib dilakukan oleh warga kota.
Di musim hujan
seperti sekarang ini, jalanan licin. Jika tidak hati-hati, terjerembab adalah
hal yang lumrah. Lebih parah lagi jika pasca hujan sekitar setengah jam. Jalan
tanah lengket dan memintal ban sepeda ayah Badul jika memaksa untuk
menjajakinya.
**********
Pak long Dar yang
merangkap tukang urut sekaligus dukun kampung menjadi tempat nek wan
mengeluhkan rasa sakitnya. Nek wan meringis ketika pergelangan kakinya disentuh
sedikit saja. Tapi yang dilakukan pak long
Dar justru sebaliknya. Ia menekan kuat-kuat sendi yang dianggapnya “tersalah”
dan memutar-mutar kecil pergelangan kaki nek wan. Teriakan sesaat pun terdengar
sebagai sambutan kedatangan kami sekeluarga.
Kami menemukan
seluruh anggota pak long Dar lengkap kecuali mak long tentunya. Melingkari
satu-satunya sumber cahaya yang ada di ruangan itu. Tapi lebih tepatnya
menonton nek wan yang tengah kesakitan kakinya.
Pak long yang
bernama asli Musdar adalah anak sulung nek wan yang juga merupakan saudara
kandung mak. Sekarang memiliki satu zuriat bernama Rika. Umurnya enam tahun
lebih tua dari kak Mok yang kelas tiga sekolah madrasah. Seolah ada tembok
penghalang, kami tidak pernah akrab dengannya lagi sejak beberapa tahun lalu.
Entah mengapa. Dan malam ini, ia beserta suami kecuali anaknya yang baru kelas
dua SD ikut melemparkan tatapan sinis ke arahku.
“Ini mutlak
kesalahan Zuki!” Pak long Dar berterus terang dan sangat kasar terdengar.
Menyalahkanku seperti yang mak su lakukan tadi. Mak, ayah dan kak Mok bahkan
diriku sendiri menjadi heran.
“Apa
hubungannya?” batinku membantah
Nek wan dan mak
su serta Fauzi sepupuku yang masih dalam gendongan tadi pulang ketika hujan belum reda
sepenuhnya. Gerimis-gerimis kasar masih menerobos diantara mereka. Payung
dirumah menjadi sandera. Mak meminjamkannya setelah tidak berhasil membujuk
untuk menginap saja dirumah malam ini. Bisa dibayangkan, sebuah payung untuk
melindungi dua anak manusia yang tidak lagi kanak-kanak kecuali Fauzi, dari
tetesan air langit.
“Lha, kenapa
Marzuki yang disalahkan, bang?” Mak membelaku. Dan tentu saja itu bukan
pembelaan biasa seperti seorang ibu terhadap anaknya yang dipersalahkan begitu
saja, tetapi lebih kepada untuk mencari hubungan yang logis antara keberadaan
ku dirumah dengan nek wan yang tergelincir tepat di depan rumah pak long Dar.
Yang pasti aku
tengah menjadi tersangka dipersidangan keluarga. Pak long Dar sebagai ketua
hakim dan mak su Jah bertindak sebagai Jaksa Penuntut Umum merangkap saksi. Dan
korban sendiri yaitu nek wan tak berucap sepatah katapun selain meringis
kesakitan. Dan aku yakin, nek wan sama sekali tidak akan menyalahkanku dalam
hal ini.
“Tadi sebelum
kami pulang, Marzuki mengajak kami makan dan kami menolak. Kami menjamah nasi
yang ada dipiringnya. Tapi, tak lama kemudian Marzuki mengajak makan lagi. Lalu
kami pun menjamah nasinya lagi. Itu terjadi hingga tiga kali. Dan untuk ke
empat kalinya, kami tidak peduli. Dan sekarang mak menjadi kemponan nasinya Marzuki. Aku tahu ia mengolok dan sambil
tertawa-tawa pula.”
Ucapan mak su
sepanas timah yang keluar dari cerobong pistol di film-film barat dan sepanjang
pidato pak Harto yang ku saksikan lewat layar kaca hitam putih di rumah Badul
siang kemarin. Konyol dan menyudutkan. Bukan
pidatonya tentunya, tetapi pendapat mak su barusan.
Hatiku
tersenyum getir. Ternyata semuanya hanya gara-gara lima kata yang masih mentradisi, jamah. Untuk
poin yang terakhir dari ucapan mak su benar, aku mengolok tradisi itu. Dan
dihubungkan dengan tragedi ini adalah sesuatu yang harus diluruskan. Kata itu
tidak lagi masuk dalam kamus kehidupanku. Beruntung aku mendapatkan pencerahan
dari guru-guru di madrasah tingkat pertama tempatku menuntut ilmu. Terutama bu
Sa’diah. Dalam pelajaran Aqidah Akhlaq beliau pernah menyinggung akan hal ini.
Seingat ku ketika kami memasuki bab iman kepada Qada’dan Qadar.
“Ujian dan
cobaan itu semuanya datang dari Allah SWT dan sama sekali tidak ada kaitannya
penolakan kita yang berujung pada menyentuh makanan apabila seseorang menawari.
Kebiasaan jamah hanyalah sebuah tradisi yang seharusnya sedikit demi sedikit
kita hilangkan dari masyarakat kita. Di dalamnya mengandung unsur kemusyrikan.
Karena apa? Karena kita menganggap apa yang terjadi pada diri kita adalah
sesuatu yang dilakukan oleh makhluk. Makanan, misalnya.”
Kalimat itu
masih terngiang jelas di telingaku walaupun telah berumur setahun lebih
lamanya. Ku simpan dalam hati terdalam dan berharap sedikit demi sedikit bisa
mengaplikasikannya pada diriku sendiri dan orang-orang terdekatku. Dan sampai
sekarang cukup berhasil. Paling tidak, mak dan ayah tidak melakukan hal itu
lagi. Tapi tidak tahu jika mereka berada di luar rumah. Dan sangat aku yakini,
kak Mok sendiri sudah jauh lebih faham mengenai hal ini daripadaku.
“Pak long. Itu
tidak ada dalam agama kita!” Aku mencoba melakukan pembelaan pertama. Harapanku
adalah dengan menegaskan bahwa agama tidak mengajarkan bahkan melarang hal itu,
semua yang hadir diruangan itu paham. Tentu saja selain anggota keluargaku.
“Tahu apa kau
tentang agama hah?” Pak Long Dar mulai meninggikan tensi suaranya.
“Sudah…” Nek wan
menyela dan mencoba menenangkan amarah pak long Dar.
Pak long Dar
sama sekali tidak peduli dengan teguran maknya. Dipikirannya hanyalah agar
jangan sampai siapapun menyepelekan tradisi ini.
“Saya ini
telah banyak makan asam garam dari kau yang masih ingusan. Baru saja sekolah di
madrasah kau sudah berlagak sok tahu. Kau tahu luka di betis Rika gara-gara apa?
Betul karena tertebas parang pak long di ladang. Tapi sebelumnya bukankah kau menawarinya
buah jambu dan ia tidak menjamahnya?”
Pak long melanjutkan
rentetan kata demi kata hingga mengungkit-ungkit peristiwa lima tahun yang lalu. Kala itu aku tengah
menaiki pohon jambu yang ada dibelakang rumah. Di bawah, kak Rika berjalan hendak
menuju ladang. Aku menawarinya buah jambu. Tetapi ia menolak dan menyentuh
batang pohon saja. Sebagai pengganti karena tidak memakan buahnya.
Menurut cerita
yang kudengar dari tempat kejadian, pak long Dar tengah memangkas ilalang yang
mulai meninggi. Memunggungi sehingga tak disadari anak tunggalnya menerobos
dari belakang. Tak ayal lagi, insiden itu pun terjadi begitu saja. Dan satu hal
yang baru sekarang aku ketahui adalah akulah penyebabnya. Entah bagaimana kak
Rika menjelaskan pada pak Long atau mungkin dia sendiri yang menyimpulkan dari
cerita anaknya.
Semua mulut
terkatup rapat kecuali pak long Dar yang mulai ancang-ancang untuk melanjutkan
murkanya.
“Dan….” Pak
Long diam sebentar. Tampak seperti menyusun kata-kata yang meringankan batinnya
dari kesedihan.
“Dan yang
menimpa mak long kau. Hari itu ia tidak sarapan. Aku memaksanya dan ia menolak.
Entah bagaimana ia lantas lupa menjamah nasi yang ada diatas meja. Buru-buru ia
berjalan kaki menuju sungai bersama mak mu. Mungkin takut ketinggalan motor air
untuk pergi kepasar di kecamatan. Apa yang terjadi? Perahu motor karam ketika
baru melewati dua kampung sebelah. Nahasnya, Zainab satu-satunya korban yang
tenggelam dan ditemukan sudah tidak bernyawa dua jam kemudian.”
Pak long
menyeka air yang membasahi matanya. Ada
tanda kerinduan kepada istrinya disana. Tapi dibalik air mata itu, masih ada
kejengkelan yang amat sangat. Mungkin terhadap ku atau terhadap nasib itu
sendiri.
Tak ada yang
berani membantah. Perawakan pak long yang keras kepala dan sangar menambah
keengganan kedua orang tuaku untuk membantah lebih lanjut. Mengalah adalah
pilihan bijak. Jika dipaksakan, pasti perdebatan kusir akan memecah diantara
rintik-rintik yang mulai berkurang. Akibat terburuk adalah retaknya hubungan
keluarga.
Aku sendiri
telah terperuk ke dalam lubang terdalam. Dipojokkan dan dianggap membangkang
tradisi sekaligus orang yang lebih tua. Perspektif agama tidak berlaku dalam
hal ini. Aku hanya bisa mendesah dan memandangi nek wan yang kukira berucap
lewat tatapan sayang kepadaku.
“Nek wan tidak
apa-apa ki” Itulah arti tatapan yang aku simpulkan.
**********
Seperti
kebanyakan warga kampung di sini, anak bungsu yang sudah berkeluarga biasanya
akan tinggal di rumah pusaka dengan orang tua. Begitu juga dengan mak su Jah
dan Fauzi, anak tunggalnya. Sedangkan nek aki sudah lama meninggal. Bahkan
sebelum aku sempat mengenali wajahnya.
Kurang lebih
tiga puluh menit dibutuhkan untuk mencapai rumah nek wan jika berjalan kaki
dengan cepat. Tetapi jika kondisi hujan, bisa mencapai hampir satu jam. Rumah
itu tidak lagi sebagus ia dibangun dulu. Sudah banyak lubang-lubang yang
menjadi rumah kumbang. Di banyak tiang, anai-anai sudah pun bertebaran
bersarang. Bila di pukul-pukul sedikit, butiran-butiran kecil warna putih
kekuningan pun berhamburan. Dan lantainya mulai berdecit setiap kali dipijaki.
Nek wan
berusia tujuh puluh lebih, mungkin. Dulu, pernah ku tanya berapa sesungguhnya
usianya. Nek wan hanya memperkirakan. Sepertinya orang-orang tua di kampung
tidak terlalu memperhatikan sudah berapa lama mereka hidup diatas bumi apalagi
harus mencatatnya. Tidak seperti kebanyakan orang kota yang terlalu melebih-lebihkan,
memperingati dan banyak yang merayakan jatah hidup yang sebenarnya semakin
berkurang.
Tentu saja nek
wan tidak akan pernah memarahiku dan juga kak Mok. Aku adalah salah satu cucu
kesayangannya. Nek wan punya standar tersendiri terhadap ke empat cucunya. Dan
mungkin aku lebih istimewa di hatinya meskipun ada Fauzi yang selalu di asuhnya
setiap hari. Boleh jadi karena aku cucu laki-laki pertama atau mungkin karena
kelahiranku terjadi dirumahnya. Sedangkan Fauzi baru ada setahun terakhir.
Paling tidak
seminggu dua kali aku berkunjung ke rumah nek wan. Lebih rapat lagi ketika Sekolah
Dasar karena rumahnya berdempet dengan gedung pendidikan itu. Lauk yang aku
cari-cari setiap makan dirumahnya adalah sambal sereh. Batang sereh muda
dipotong kecil-kecil lalu ditumbuk halus dengan cabe rawit. Selanjutnya timbah
dengan terasi yang telah dibakar. Pedas, wangi dan enak tentunya. Di lengkapi dengan
gulai daun ubi bersantan yang dimasak ditungku dengan kayu bakar. Tak lupa ikan
asin.
Tapi semenjak
aku masuk madrasah. Dua kali seminggu kerumah nek wan adalah jadwal terapat
yang mampu ku jaga. Jika memang tidak sempat, dua minggu sekali. Letak rumah
dan madrasah berjarak empat kilo meter. Tiga kilo meter diantaranya dimana
harus melewati jalan tanah selebar dua meter diantara kebun-kebun karet.
Sisanya baru menapaki jalan aspal. Jangan pikir aku berangkat menggunakan
kendaraan. Satu-satunya kendaraan di kampung kami hanya dimiliki oleh ayah
Badul yang merupakan juragan karet. Hal itulah menyebabkan kecapaian yang luar
biasa pada bulan-bulan pertama pulang pergi ke madrasah.
**********
Tak
banyak yang bisa aku perbuat. Kembali menyangkal akan membuat segalanya semakin
keruh. Dan pasti itu arti tatapan ayah tadi kepadaku. Menunduk adalah
pilihanku. Bendera putih telah berkibar sebagai lambang aku telah menyerah. Dan
kemenangan ada dipihak pak long Dar beserta keluarga dan mak su Jah sendiri.
“Seberapa
parah bang?” Mak mencoba mencairkan suasana.
“Insya Allah
esok lusa akan sembuh. Aku telah mengolesinya dengan minyak cap gunung.”
“Mak,
sebaiknya menginap disini saja.” Pinta mak kemudian. Dan nek wan pun
mengiyakan. Karena ia menyadari tentu tidak akan bisa berjalan jauh untuk
pulang ke rumahnya. Apalagi malam sudah hampir pukul sepuluh. Dan sejak satu
jam yang lalu adalah batas waktu larut bagi warga kampung untuk beraktifitas.
Tak ada yang
kami bicarakan dalam perjalanan pulang dari rumah pak long. Tak ada pula kesan
menyalahkan kepadaku. Semuanya bisu dan memang menganggap hal ini adalah
perkara yang tidak perlu dibesar-besarkan. Semuanya telah berlalu dan nek wan
akan sembuh dan bisa berjalan seperti sedia kala.
Setibanya
dirumah, tiba-tiba mak yang tengah mengandung tujuh bulan berpesan singkat
kepadaku.
“Jangan
ulangi.” Setelah itu mak dan ayah pun beranjak menuju kamarnya. Begitu juga
dengan kak Mok. Dan tinggal aku sendiri yang masih setia duduk diruang tengah.
Pikiranku berbagi. Antara harus tidur segera atau menyelesaikan tugas sekolah
yang seharusnya kukerjakan tadi.
Aku
membayangkan, jika dirumah ini ada televisi. Tentu aku akan punya pilihan yang
ketiga. Aku membayangkan Badul sekarang pasti tengah menonton saluran TVRI.
Ternyata aku
benar-benar masih punya pilihan ketiga. Setelah di jadikan tersangka dan
berujung pada terdakwa oleh pak long Dar menjadikan perutku terasa lapar
kembali. Ku beranjak ke dapur dan mendapati di dalam panci masih ada nasi lemak
buatan mak tadi pagi. Setelah mencium baunya, aku yakin nasi itu tidak basi. Di
atas meja ku mendapati air kopi yang masih tersisa di dalam kaleng. Jika orang
barat menyebutnya supper, itulah
menuku malam ini.
**********
Hampir
mendekati sebulan, kaki nek wan makin tampak melebam kehitam-hitaman membentuk
sesempurna sebuah lingkaran. Lebih seperti tanda lahir diarea mata kaki.
Perbedaannya hanya pada rasa nyut-nyut yang dirasakan makin sakit oleh nek wan.
Bukan
dalam jumlah hitungan lagi berapa kali pak long Dar bolak balik dari rumah
ibunya ke rumah dirinya sendiri dan sebaliknya. Ia penasaran bercampur kesal.
Itu tidak seperti yang diucapkannya kepada mak dulu bahwa nek wan akan
baik-baik saja.
Berbagai
jampi-jampi dan ramuan yang dibuatnya sendiri telah dicoba. Pernah ia juga
mengatakan bahwa ada gangguan orang halus. Tentu saja aku tidak percaya. Dan
ketidakpercayaan itu sama sekali tidak berani aku ungkapkan dihadapannya. Jelas
aku masih ingat apa yang terjadi malam itu.
“Mak
terkena orang halus” Pak long Dar menyatakan sebab penyakit nek wan yang tidak
kunjung sembuh pada sebuah rapat keluarga yang tidak disengaja di rumah nek wan
sendiri. Waktu itu mak hanya melakukan kegiatan rutinnya semenjak nek wan sakit
yaitu berkunjung ke rumahnya paling tidak dua hari sekali.
Berkumpul
lengkap tiga saudara anak-anak nek wan dan itu sangat jarang terjadi.
Sepertinya sakitnya nek wan menjadi berkah tersendiri bagi keluarga besar
tersebut.
“Kurang
satu” Hati nek wan berucap melihat semuanya berkumpul di ruang tengah. Musdar,
Lela, dan Jijah. Ingatannya melayang pada puluhan tahun silam. Meskipun tidak
sesegar dulu, tapi ia masih mampu membayangkan anak-anaknya sering berkelahi
pada urusan makan. Baik pagi, siang maupun malam. Bila suaminya pulang dari
pasar dan membeli rambutan, maka ialah yang menjadi juru bagi diantara
anak-anaknya. Satu ikat dibagi tiga. Tentu saja ia dan suaminya lebih memilih
mengalah demi anak-anaknya. Dan jika ada satu dua buah tersisa, maka status
anak bungsu sangat menguntungkan.
Jauh
kebelakang ia menarik ingatannya lagi, pada sosok anaknya yang nomor dua dan
besar kemungkinan akan dipanggil pak ggah. Anaknya meninggal berumur dua tahun
lebih. Dan tidak sempat untuk berebut makanan dengan saudaranya yang lain.
Anaknya yang bernama Rusli tiba-tiba kejang-kejang ketika tengah demam. Tak
banyak yang ia dan suaminya lakukan, kecuali membelikannya obat penurun panas.
Tapi tidak juga mempan.
Ia
kemudian melumuri asam jawa yang sudah diberi air keseluruh tubuh anaknya.
Kunyit mentah dikunyahnya sendiri lalu disemburkan ke kening anaknya menjadi
langkah selanjutnya. Tapi tidak sedikitpun ada perubahan. Tak ketinggalan,
pengobatan alternatif dukun ahli sekampung pun dicoba beriringan dengan
usahanya tadi.
Tapi
sekarang ia tahu sedikit bahwa anaknya waktu itu menderita demam berdarah. Ia tahu
dari tenaga penyuluh kesehatan yang diutus oleh pemerintah pada desa-desa
tertinggal.. Ia menyesali karena tidak mencoba cara yang lainnya seperti yang
diungkap oleh tenaga ahli tersebut, yaitu membawanya kerumah sakit. Ia mengaku
sebenarnya ada terbersit maksud itu, tapi jarak yang memerlukan waktu seharian
penuh untuk menuju rumah sakit membuatnya berpikir dua kali. Tak lepas,
keuangan keluarga menjadi faktor utama menggagalnya niat itu.
“Abang
sudah mengatasinya?” Mak su Jah penasaran
“Sudah
saya pindahkan ke badan kambing.” Jelas pak long
“Kenapa
ke kambing. Simpan saja di pohon kayu.” Meskipun mak tidak percaya lagi hal
seperti itu, tetapi bukan bijak untuk memprotes apa yang diperbuat oleh
saudaranya itu. Lagipula ia tidak banyak melakukan apa-apa untuk menyembuhkan
ibunya selain bertanya kabar dan memijitinya ketika berkunjung.
“Ia
akan kembali mengganggu manusia. Jika ditubuh binatang, ia akan terperangkap
disana.” Jawaban tidak masuk akal pak long terlontar.
“Kasihan
dengan kambing.” Tukas mak kemudian
“Lebih
kasihan kambing daripada mak sendiri!” Suara mak su sedikit kesal.
**********
Penghakimanku
malam itu ternyata kembali ditinjau ketika penyakit nek wan semakin parah.
Beban dipersalahkan kembali membebani pundakku. Persis seperti malam itu.
Tatapan kejam dan sinis dari keluarga pak long dan mak su menjadi hal yang sangat
aku takutkan. Bukan takut karena tatapan itu terlihat garang, tapi aku takut
pada nasib silaturahim keluarga. Setiap kali aku mencoba menghubungkannya lagi
dengan beribu ucapan meminta maaf, setiap kali itu pula aku dicemooh.
Rasa
bersalah mulai bertunas dihatiku ketika melihat kondisi yang tidak semakin
membaik. Kadang-kadang sangat merasa pantas untuk dipersalahkan. Namun kadang
aku tersadar kembali bahwa tidak ada hubungan antara gurauan ku malam itu
dengan perihal nek wan. Aku semakin khawatir, apakah aku juga mulai percaya
akan hal itu?
Daripada
aku berkutat dengan pikiranku yang semakin ngawur, aku berjalan menuju rumah nek
wan. Karena aku sekolah siang, maka pagi hari adalah waktu yang tepat. Aku
yakin nek wan tengah sendirian dirumah sementara mak su pasti pergi ke ladang.
Dan itu akan memudahkanku bercakap-cakap dengannya nanti. Menanyakan kabar dan
memijiti mungkin bagian kaki dan anggota tubuh lainnya seperti yang dilakukan
mak.
Kudapati
nek wan tengah terbaring diruang tengah. Lebih tepatnya tergeletak. Ku buka
jendela mengusir pengap. Meskipun ini bukan kunjungan pertamaku semenjak nek wan
sama sekali tidak bisa berjalan, tapi kondisi nek wan kutemukan sedikit
berbeda. Mukanya terlihat tidak seimbang. Dan tangan kirinya menyusut. Namun
matanya terpejam.
Ku
mencoba menyadarkannya akan kedatanganku.
“Nek…”
Sapaku pelan
Tak
ada jawaban sama sekali. Aku khawatir apakah ini akhir hidupnya. Ku lihat
dadanya masih bergerak turun naik. Aku lega. Ku pikir nek wan hanya tidur
pulas.
Aku
merasa akan sia-sia jika pulang tanpa membangunkannya dan bercakap-cakap
dengannya. Padahal aku sudah membawa bubur nasi dari rumah. Jika kutinggalkan
disampingnya saja, pasti akan menjadi dingin dan rasanya tidak seenak sewaktu
agak panas.
“Nek…”
Kali ini aku membangunkannya dengan mengguncang sedikit bahunya. Dan
alhamdulillah tubuhnya bereaksi dan melencengkan pikiranku tadi.
“Masya
Allah, Nek!”
Nek
Wan hanya mampu berkedip. Susah payah ia
mengucapkan kata-kata. Suaranya sengau dan jauh dari bisa ditangkap maksudnya.
Mukanya sebelah kiri melorot. Ku lihat tangannya yang menyusut tadi semakin
terkulai. Dan yang tidak aku sadari ternyata kaki kirinya juga tampak mengecil
seperti tanpa tulang. Ia memaksakan diri untuk bergerak lebih, tapi aku
melihatnya semakin kasihan. Tangan kanannya menghempas-hempas ke lantai. Hanya
itu yang mampu dilakukannya disamping matanya yang mencurahkan air mata.
Aku
semakin panik. Tak tahu apa yang harus aku lakukan. Meninggalkannya sendirian
disini dan menemui mak su Jah diladang salah satu kemungkinannya. Tapi aku sama
sekali tidak tega meninggalkannya sendirian seperti ini. Ku keluar rumah dan
berharap bertemu seseorang yang bisa membantu untuk melakukan sesuatu. Tapi
sepi yang kutemukan kecuali anak-anak kecil bertelanjang kaki pulang sekolah
dengan seragam sangat kumal.
Orang-orang
dewasa jam-jam begini pasti tengah menggarap mata pencahariannya. Berladang dan
menyadap karet. Ada
juga yang mencari kayu bakar. Aku kembali masuk dan melihat nek wan masih dalam
keadaan sama. Keputusasaan tersirat diwajahnya. Hanya itu perberbedaannya.
Aku
tidak tahan dan linglung. Menangis adalah hal yang pertama aku lakukan
untuknya. Sama sekali lupa dengan prinsipku bahwa laki-laki pantang menangis. Tapi
kali ini paling tidak aku menunjukkan kepadanya bahwa aku juga merasakan apa
yang ia rasa. Ia pasrah tidak mampu bergerak banyak, sedangkan aku pasrah tidak
mampu berbuat banyak. Ia marah tidak mampu membangunkan tubuhnya, aku bahkan
marah pada diriku sendiri tidak mampu memilih apakah akan meninggalkannya
sendirian atau menemaninya disini. Pilihan kedua secara tidak sadar telah aku
ambil.
Terdengar
sesuatu bergerak-gerak dari kunci kayu di dapur. Seseorang berusaha untuk masuk
dengan menyodok-nyodok kuncinya. Bersegera aku berlari. Memegang kunci kayu
yang terbuat dari sisa potongan papan itu kemudian meluruskannya. Sosok mak su
berdiri diluar.
**********
“Nek
wan terkena strok” Bu Eti, tenaga kesehatan itu memaparkan kondisi nek wan
beserta dengan ciri-ciri dan gejalanya.
“Sering
kesemutan atau tiba-tiba merasa pusing” Bu Eti menambahkan.
“Dan kaki nek wan
yang hitam lebam itu akibat dari pembekuan darah. Kemungkinan terjadi salah
penanganan pada kaki Nek Wan sewaktu ia tergelincir dulu” Bu Eti belum berhenti
berujar.
Mata
mak su dan mak tertuju pada pak long. Tak alpa juga mata warga yang ikut
mengerumuni nek wan yang terkulai lemah di pembaringan. Pak long menjadi serba
salah dipandangi banyak mata. Tapi beruntung tidak ada yang mengungkit penyelamatan
pertama pak long terhadap nek wan malam itu.
Lebih-lebih
mak su. Ia merasa dibohongi dengan ucapan pak long beberapa waktu lalu. Dan ia
menyimpulkan, bahwa ini tidak ada hubungannya sama sekali dengan makhluk halus.
“Jadi,
bagaimana menangani mak, bu?” Cepat-cepat pak long Dar bertanya. Lebih terkesan
agar tidak ada suara yang menyalahkan dirinya.
“Penyakit
ini bisa disembuhkan dengan terapi. Tetapi perlu fasilitas yang menunjang dan
waktu cukup lama. Fasilitas itu hanya ada dikota-kota besar. Untuk penyakit
ini, penderitanya sulit bahkan tidak akan senormal seperti sedia kala. Apalagi
nek wan sudah tidak lagi muda. Kemungkinan itu setebal kulit ari.” Bu Eti
mempertegas ucapannya.
Sama
sekali tidak ada yang ditutup-tutupi oleh wanita berpendidikan itu. Disitulah
letak kesalahannya. Membesarkan hati pasien dengan memberi motivasi untuk
segera sembuh adalah etika profesional yang melekat padanya. Bukannya malah membuat
pasien merasa tidak punya kesempatan. Dan sekarang, keputusasaan tidak menggelayuti
wajah nek wan seperti yang kusaksikan tempo hari, melainkan semua anak cucunya,
termasuk aku.
Satu-satunya
yang membuatku lega dari ucapan bu Eti adalah tentang asal muasal penyakit nek wan.
Aku bebas. Rasa bersalah yang sempat hinggap menguap begitu saja. Aku menang
meskipun hanya aku sendiri yang merasakannya. Hatiku berteriak dan puas.
“Semua
ini salah Marzuki!”
Suara
kak Rika tiba-tiba melengking menembusi dinding-dinding papan yang berlubang,
tidak hanya mengejutkan semua jasad yang ada diruangan itu, bahkan kumbang yang
tengah tertidur dilubangnya pun ikut merasa cemas dan keluar dengan suara
berdengung-dengung dari kepakan sayapnya. Dan mataku terbelalak sebesar mulutku
yang menganga.
Marzoeki, ST 1961
“Sepertinya
sangat sibuk profesor ganteng. Apakah aku mengganggumu jika mengingatkan bahwa
pagi ini ada janji dengan mahasiswamu?”
“Tidak
honey. Maksudku terima kasih telah
mengingatkanku. Aku tengah menterjemah tulisan ini kedalam Ejaan Yang
Disempurnakan. Agar mahasiswa kelas sastra Bahasa Indonesia ku bisa membacanya.
Ini adalah harta karun. Catatan lima
puluh tahun silam mungkin bisa dijadikan aset museum. Aku menemukannya sebelum
rumah di kampung di robohkan kemarin. Tak sengaja ketika membongkar-bongkar
tumpukan buku-buku lama.”
Ayeesha
yang bisa berbahasa Indonesia
itu membaca tulisan yang diketik oleh Prof. Karli. Secepat kilat dan
mengangguk-angguk pelan.
“Kenapa
tulisan Marzoeki di bawah ini masih menggunakan huruf o dan e sedangkan dalam
tiap pragraf diganti dengan huruf u?” Ayeesha mengkritisi terjemahanku.
“Istri
cerdas. Aku sengaja.” Jawab prof. Karli singkat.
“Dan
kau akan menjelaskannya pada mereka nanti, sementara aku kebingungan apa
maksudnya, bukan? Lalu apa kepanjangan dari ST itu?”
“Itu
nama kampungku. Sange Tebat.” Lagi, jawaban prof. Karli pendek.
“Apakah
ini masih berlaku pada masyarakat disana?”
“Aku
yakin masih ada. Dan terakhir kedatanganku kemarin untuk menuntaskan perkara
harta warisan, aku masih menemukan hal-hal serupa. Sama saat aku meninggalkan Indonesia
puluhan tahun lalu. Sepertinya hal itu sulit untuk dihilangkan.”
Ayeesha
diam.
“Begitulah
jika budaya lebih didahulukan daripada agama. Perlu sosok seperti Marzoeki,
maksudku abangmu untuk memberikan pencerahan.”
“Well.
Aku setuju. Tetapi sampai akhir hayatnya ia tidak pernah bercerita tentang hal
ini padaku. Begitu pula dengan ibu, ayah dan kakak tertuaku.”
“Aku
hanya berpesan agar kau harus berhati-hati dalam menjelaskan kepada mahasiswa
mu kelak. Tentu saja akan ada sudut pandang berbeda. Kau hanya ingin
membandingkan harta karun berupa tulisan dalam bahasa Indonesia beberapa waktu
silam dengan yang telah disempurnakan saat ini. Tapi aku tidak yakin jika
mahasiswamu tidak akan berpendapat tentang budaya yang tersirat didalamnya.”
Ayeesha
benar. Tapi sebagai profesor di Universitas Nasional Australia, ia akan bertindak
profesional. Tidak akan menghindari kemungkinan terjadinya berbagai prospektif.
Lebih baik lagi jika ada yang bertanya tentang budaya itu dengan unsur agama
yang dianut oleh masyarakat disana. Ini kesempatan untuk menjelaskan tentang
agamaku kepada mereka. Semoga ini bisa menjadi ladang amal ibadah.
* Nek wan : Nenek
Nek aki : Kakek
Kemponan
: kecelakaan disebabkan karena tidak menjamah makanan/minuman jika
ditawari