Senin, 28 April 2014 0 Messages

Ia yang Malang

Setelah tiga bulan berjumpa, ternyata aku belumlah banyak mengenalnya. Hari ini, dengan bangga ia menunjukkan hasil jarahanan. Polahnya semakin menjadi-jadi saat aku berkedut jidat. "Hey, apa itu?"

Larinya menuju dapur. Tetap dengan seekor binatang melekat di gigi tajamnya. Binatang kecil yang malang, berdarah-darah pula. Untungnya, tak perlu lagi merasakan sakit. Lantaran nyawa telah melayang sejak tadi.

Aku mengikuti ia ke dapur. Tapi justru ia turun lagi ke tanah. Meletakkan binatang malang itu di atas rumput tebal. Rerumputan pun tak mau tinggal diam. Jahil mencolek tubuh si kucing. Kucing kegelian.

Merasa terganggu, ia meloncat-loncat. Barangkali, pikirnya, rerumputan tengah mengajaknya bermain colek-colek. Si tikus masih tergolek.

Tiba-tiba datang kucing kuning. Matanya nanar, jelas-jelas menunjukkan perlawanan. Mengincar hasil jerih payah orang lain. Mana ia peduli. Yang ia tahu hanyalah, cacing dalam perutnya meronta-ronta. Kalau memang ada.

Ngrrrr.....Ia memulai aksinya. Si kucing pekerja keras tidak menyerah begitu saja. Ia balik membalas, "ngrrrrrr..."

Pergulatan tak bisa terelak lagi. Kucing betina VS kucing jantan. Meski terlihat garang, si betina bertekuk lutut. Mengalah dengan terpaksa. Salahnya sendiri, terlalu menimang-nimang si tikus. Jadinya....rejeki milik si kucing kuning.

Kini, kucing yang malang.

Cing, nih kue. Silakan dimakan ya....
Rabu, 23 April 2014 0 Messages

RATAPAN VIOLA (2)

Bukannya menyesali kepergian ayah, yang mengherankanku adalah, sampai ajal pun ia kukuh dengan pendapatnya. Saat kumintai penjelasan, ayah selalu saja menepis. Ada yang mengendap dan terpendam jauh di lubuk hatinya. Bahkan detik ini, aku tidak tahu apa itu. Bertanya pada ibu pun sama. Seolah mereka bersekongkol menghijabi sebuah kenyataan dariku.

Aku masih setia menunggu mama Vio menjawab pertanyaanku. Berselang beberapa detik, belum ada tanda-tanda wanita itu angkat bicara. Matanya menerawang jauh, jauh sekali. Seperti menyibak adegan demi adegan di waktu lampau.

Kreeekk...."Soe, cepat desak mama Vio agar bicara."

Aku membetulkan dudukan. Suara dari headset mengingatkanku tengah memandu talkshow spesial "BERSAMA MAMA VIO". Aku mengangguk kecil hampir samar.

"Mama Vio, maaf."
Tampak kaget wanita itu. Kesadarannya langsung pulih. Ia berucap maaf pula.

"Biar saya ulangi lagi pertanyaannya, mama. Adakah hal lain di dunia yang mama inginkan atau belum tercapai hingga saat ini?"

Dengan pasti, kulihat mama Vio menjawab, "ada!"
...............

Sejak tumbuh sebagai bocah remaja, aku suka menggambar. Ketika teman sekelas sukanya menggambar gunung, pepohonan dan bunga-bunga, aku justru meniru gambar kartun di tas-tas mereka. Angka delapan memang tak lepas terukir manis di buku gambarkan. Hampir setiap lembarannya.

Beranjak Sekolah menengah pertama, cerita pendek remaja serta komik petualangan menjadi makanan harianku. Rupanya disanalah mulai tampak bakatku yang sesungguhnya.

"Soe, besar nanti mau jadi apa?" Suatu waktu ayah bertanya sembari membelai rambutku yang keriting dan sering gatal-gatal.

"Soe ingin pandai menggambar, pandai menulis, ingin sering muncul di tipi."

Ayah mendadak gelisah. "Kalau guru bagaimana, atau dokter, atau polisi."  Ayah jelas-jelas berupaya membelokkan impian masa kecilku.

Aku menggaruk-garuk kepala.

Di sekolah menengah atas, kepiawaian menulisku kian menanjak. Pers sekolah menjadi tempatku bernaung. Bakatku tersalurkan. Sesekali, cerpen yang kubesut termuat di koran lokal. Tapi entah berapa banyak yang tertampang di bulentin sekolah. Dari menulis cerita, aku merambah dunia jurnalisme tahap pemula.

Semakin menjadi-jadi apabila memakan bangku perkuliahan. Pers mahasiswa yang skalanya lebih besar, semakin menantang kebolehanku. Awalnya menjadi kader, meningkat menjadi kepala divisi, hingga menapaki puncak sebagai editor. Tak jarang juga mengisi waktu luang sebagai presenter di radio kampus.

Lambat laun, aku semakin pasti. Jurnalisme dan kepenulisan, merupakan setengah dari diriku. Tak terpisahkan.

"Ayah tidak setuju!"

Ayah berang mendapatiku mengikuti audisi pencarian Anchor News sebuah televisi Nasional milik swasta.

"Kenapa ayah? Adakah yang salah dengan pembaca berita?"

Langkah awal menuju kesana tentunya tidaklah mudah. Peserta harus menjadi wartawan dahulu. Kalau beruntung dan meyakinkan, baru menginjakkan kaki di studio yang ekstra mewah. Tak menutup kemungkinan, setiap harinya, selalu saja ada wajahmu di televisi.

Ayah masih tidak memberikan alasan. Darah tinggi yang menyerang, menghabiskan sisa umurnya. Bersamaan dengan itu pula, alasan yang kutagih ikut terkubur bersama dirinya.

Kenapa ayah?

Kenapa?
Selasa, 22 April 2014 0 Messages

K' Ana

Wanita itu bersimpuh di hujung shalat subuhnya. Terpekur di sudut mushalla RSUD, ia menadahkan tangan dengan penuh kerendahan hati. Berharap buah hatinya segera pulih, lalu ia bisa beraktivitas sebagaimana biasanya.

Sungguh, air mata yang mengucur tak lagi Ana hiraukan. Khusyuknya dalam memohon kemurahan dan kasih sayang Allah, menjadikan ia lupa dimana sesungguhnya berada. Baru, saat seorang wanita masuk dan menuju lemari letak mukena, Ana tersadar. Wanita itu mengusap air matanya dan kemudian beranjak. Sisa-sisa tangis masih tampak jelas dari raut wajahnya.

"K' Ana, hari ini Towi ndak sekolah."
"Iya."

Pesan singkat yang masuk barusan tak lebih sekedar angin lalu. Ana dengan letih dan kepasrahan serta gontai, melangkahkan kaki menuju ruang kelas III.

Bari, anaknya masih tidur. Dekat situ, ada ibunya yang tengah berjaga.
"Ibu shalat saja dulu," pinta Ana dengan suara hampir seperti bisikan. Takut membangunkan Bari yang semalaman, boleh dibilang tidak bisa lelap. Baru menjelang fajarlah, putra semata wayangnya itu bisa memejamkan mata.

Ibunya Ana bangkit tanpa mengiyakan.

Ana menancapkan telapak tangannya pada jidat Bari. Panas.

Tit..tit...tit....
"K' Ana, Bila katanya masuk siang hari ini."

Ana diam, tak bisa langsung membalas pesan singkat kedua yang masuk beberapa detik lalu. Ia malah membetulkan kain yang menyelimuti Bari. Ia terduduk di tikar plastik yang dibawanya dari rumah. Barulah membuka ulang pesan singkat tadi.

"Maaf bu Diah, Bari lagi demam. Jadi, hari ini saya tidak bisa mengantar anak-anak ke sekolah."

Ah, sudahlah. Rejeki tak kemana-mana, pikirnya.

Dua tahun belakangan ini, Ana dengan berat hati mengambil profesi sebagai tukang ojek anak sekolah. Buah dari menebalkan muka, mulai dari menawarkan diri pada tetangga sampai menerima kata-kata yang memojokkan, "itu pekerjaan laki-laki."

Hari-hari dalam beberapa bulan pertama, pelanggannya cuma satu dua orang. Dengan dibayar lima puluh ribu perbulan dari satu siswa, semangat Ana masih saja membaja. Hei, jika tidak demikian, siapa lagi yang menafkahi ibunya yang renta dan Bari. Suami yang diandalkannya, telah berpulang. Kerja kerasnya tampak sekarang. Belasan anak sudah menjadi pelanggan tetap yang mesti diantar jemput setiap hari dalam sepekan.

Tit...tit...tit....
"Ya, ndak apa-apa K' Ana. Semoga Bari cepat sembuh ya."
"Terima kasih."
..............

"Pemirsa, kemeriahan hari Kartini bergema dimana-mana di seluruh Indonesia. Mau tahu kemeriahannya seperti apa, berikut liputannya...."

Ana mengintip dari ruang para perawat. Berita di TV menyuguhkan anak-anak TK berlenggak-lenggok di podium. Semuanya menggunakan pakaian tradisional. Tak lama setelah itu, berpindah ke acara penerimaan hadiah. Seorang bocah perempuan dan laki-laki seusia Bari, senyum sumringah dan malu-malu menerima piala. Sorak sorai dan tepuk tangan orang tua peserta, menambah-nambah semaraknya keadaan.

Lalu, liputan berpindah ke tempat lain, untuk acara serupa pula. Namun, Ana tidak punya waktu untuk menyaksikannya lebih lama.
...............

Berlebihankah jika kita mengatakan, "Ana adalah seorang Kartini yang sesungguhnya di masa sekarang ini?"
................

K' Ana yang sebenarnya memang ada, dengan profesi serupa pula. Pertama kali mengetahuinya, aku terkagum-kagum. Namun, cerita selain itu, cuma fiksi belaka. 
Senin, 21 April 2014 0 Messages

RATAPAN VIOLA

"Mama Vio, anda masih di dalam?"
Viola menyeka matanya yang lembab dengan sapu tangan biru muda. Kekhawatirannya nihil saat ia menatap diri pada kaca dihadapannya. Beruntung, bedak yang digunakannya tidak luntur sama sekali. Artinya, tangisnya tadi, hanya dia dan Rabb yang tahu. Menggunakan kata itu? Ah, pantaskah ia?
"Baik sebentar lagi," suaranya serak.
Wanita berumur pertengahan kepala enam itu meraih cepat tas tangannya. Mematut diri lagi, sebelum akhirnya menarik kenop pintu. Ia mendapati seorang kru wanita menantinya dengan sabar disana.
Viola mendahului, "sekarang?"
"Ya."
..............
"Mama Vio, siapa didunia ini tidak kenal anda. Seorang wanita yang pantang menyerah. Meniti karir bahkan dari titik minus sekian. He..he.. semoga tidak berlebihan, ya. Tetapi, sebenarnya yang ingin saya tanyakan adalah, disaat anda mendapatkan segala ditangan anda, apakah masih ada sesuatu yang ingin diraih setelah ini?"
Pertanyaan sang presenter bak cambuk bagi Viola. Menggetarkan jiwa dan menimbulkan halilintar di benaknya. Selama ini, pertanyaan itu cuma sebatas bisikan-bisikan disaat ia keletihan pasca beraktivitas seharian. Ketika semua kekayaannya terasa semu belaka.
Kini, didepan kamera yang menayangkan dirinya secara live ke seluruh penjuru Indonesia, satu pertanyaan yang selama ini dihindari untuk mengemuka, terlontar jua.
Jawaban apa yang mesti ia berikan?
Viola bisu sejenak.
Viola bungkam lagi beberapa detik.
Dan viola menerawang ke masa silam.
Dunia terbalik, tahu-tahu ia sudah ada dihadapan seorang lelaki yang menggendong bayi, buah dari pernikahannya.
.............
Wow-wow-wow....apa yang terjadi pada Viola sesungguhnya..?????
Kamis, 17 April 2014 0 Messages

Pesan

Tak-tak-tak. Langkah kaki terdengar menaiki anak tangga.
Aku jeda sejenak. Menurunkan kuas lalu berpaling ke pintu kamar. Tepat, dalam hitungan ketiga dalam hati setelah itu, Vali, istriku muncul. "Assalamu'alaikum, bang ada tamu dibawah."
Ajaib. Siang bolong tamu bertandang. "Siapa Val?" tanyaku sembari mengernyitkan jidat.
Vali mengangkat bahu. "Segera turun ya."
Tanpa menunggu balasan dariku, Vali langsung hilang. Tak-tak-tak. Kali ini langkah kaki terdengar menuruni anak tangga.
Aku meletakkan kuas ke atas meja. Mengelapkan tangan yang penuh cat pada kaos oblong yang kukenakan. Tak ayal lagi, bercak warna-warni membentuk ornamen yang artistik dan futuristik. Yang kukhawatirkan bukan tentang nasib pakaian, tetapi nasibku sendiri. Kalau sampai Vali lihat, agaknya alasan apa yang mesti kubuat. Kalau dipikir-pikir, untuk apa berdalih segala. Toh aku benar-benar lupa. He..kebiasaan sebenarnya.
Aku bangkit. Berjingkat-jingkat menghindari kanvas-kanvas, kayu-kayu, dan peralatan lukis yang berserakan di lantai. Ganggang pintu kutarik pelan. Dengan tiada rasa penasaran, aku turun.
Dan langkahku terhenti. Lelaki yang tadinya duduk di sofa, kini berdiri saat melihatku. Tampak selepas dari perjalanan jauh. Raut wajahnya? Entah apa artinya itu. Sulit aku mendefinisikannya. Kelegaan juga kebencian. Ada keterkejutan, juga kesedihan.
Siapa dia?
"Soe, maaf mengganggu anda."
Bahkan dia tahu namaku! Barangkali dulu aku pernah mengenalnya, dan sekarang aku tidak ingat sama sekali.
"Ya, tidak apa-apa.Silakan duduk."
==Bersambung==
Senin, 07 April 2014 0 Messages

Soe Di Suatu Pagi

"Pen, dimana pen saya?"
Soe membuka laci meja dan mendorongnya paksa ke posisi semula. Mengangkat buku-buku yang berserakan, kumcer, serta beberapa buah novel tak berkulit lagi di lantai. Menghempaskan sekenanya. Botol-botol bekas disisihkan ke dinding, pakaian yang bergumpal dipinggirkan juga. Namun, "pen, dimana pen saya?!"
"Oh ya."
Ini bukanlah mendapatkan benda yang dicarinya. Pemuda itu malah menyinggahi dapur dalam hitungan beberapa langkah. Berjongkok, mengintip ceret air yang, barangkali sudah dicuci di rak terbawah. Beruntung sekali, benar adanya. Ia mengambil benda bertangan tersebut, lalu menuangkan air mineral ke dalamnya. Gluk....gluk...gluk... Menekan dan memutar kenop kompor gas, api biru muncul kemudian mengamuk. Ceret terpanggang manis diatasnya.
Soe mencari-cari gelas. Gelas, dimanakah kamu? Kali ini ia ingat. Rupanya masih bertahan di meja ruang depan. Bekas nyantai sore kemarin. Soe menjemputnya dengan gembira seolah menemukan benda berharga. Menghantarnya ke tempat cucian piring. Ia memicingkan mata mendapati banyak piring-piring serta perabot lainnya berserakan, kotor. Juga menuntut dibersihkan. SEGERA!
Santai saja. Gelas pun telah kinclong ketika ceret berbunyi, "ussshhh.....". Asap keluar dari corong dan tutupnya yang terangkat-angkat. Mematikan kompor, Soe memasukkan kopi dan gula ke gelasnya, kemudian menuangkan air panas diatasnya.
Tanyanya pada diri sendiri belum terjawab juga. "Pen, dimana pen saya?"
Soe duduk, menyeruput kopi panasnya dipagi itu dengan mantap. Aroma kopi menyesakkan indera penciumannya, membuat ia hampir tidur lagi. Jangan, jangan, dan jangan lagi!. Memaksakan niat tetap terjaga.
Saat kelar, waktunya mandi. Baru melanjutkan menulis fiksi kembali bersama si oren. Di kamar, Soe jongkok mencari-cari handuk diantara gunungan pakaian, sebuah benda tiba-tiba meluncur dari jepitan daun telingannya. Pen berharga seribuan yang dicari-carinya sejak tadi.
"Pen?" Soe mengedutkan jidatnya. Tak mau susah memikirkan kenapa itu bisa terjadi, jemarinya malah lihai menjejaki sang handuk. Entah kenapa kini berubah status menjadi misterius. "Handuk misterius, dimana handuk misterius?"
Minggu, 06 April 2014 0 Messages

This is The End of Soe-Sab

“Kau tahu, aku seperti terbang melangit. Mengitari pegunungan, lalu melesat lebih tinggi lagi. Namun, tanpa sadar, ternyata sebelah sayapku tiba-tiba patah. Aku khawatir, was-was, resah bercampur gelisah. Pasrah. Jelas, kulihat nasib tengah mentertawakanku.
Tidak ada yang bisa aku lakukan selain membiarkan itu berjalan apa adanya. Setiap kali aku coba mengepakkan sayap, setiap kali pula aku gagal. Jarak tubuhku dengan bumi semakin terpangkas. Di udara, aku menggapai-gapai, tetapi usahaku sia-sia belaka. Sebelum akhirnya aku terjatuh, berdebum di hutan rimba. Apa selanjutnya?”
……..
Aku menutup buku harianku. Hari kedua sejak mengetahui rahasia itu, masih saja membuat diriku benar-benar runtuh. Sabira, merubah menjadi asing dalam sekejap. Mengenalnya, ah itu ternyata ilusi semata. Ibaratnya mimpi yang berakhir saat suara azan memecah keheningan subuh hari.
Aku yakin, Sabira merasakan ketidaknyamanan yang sama.
Kami hanya berpura tidak terjadi apa-apa ketika keluar kamar. Dengan ibu, Sabira bahkan kelihatannya mulai semakin akrab. Aku mengamati bagaimana ibu mengajarinya memasak. Memperkenalkan rempah-rempah, mencoba resep masakan. Keduanya tertawa renyah. Tetapi aku tidak bisa ikut bergabung.
“Kenapa berdiri saja disitu?”
Suatu kali aku kepergok ibu. “Tidak apa-apa,” jawabku menetralisir keadaan. Sabira melirik kearahku, mencoba untuk melempar senyum. Belum sempurna, aku memalingkan muka.
………..
“Aku tahu yang kulakukan ini tidak memperbaiki keadaan. Ego yang terlalu kuturutkan. Sungguh, memaafkan Sabira telah kulakukan pada hari itu juga. Melupakan? Aku coba, tetapi nyatanya statusku bukanlah seorang malaikat. Jujur, aku ingin segalanya kembali seperti beberapa hari lalu.”
…………
Meski masih ada ganjalan, kututup buku harian dengan sesuatu yang baru. Tepat di samping, Sabira pulas membelakangiku. Bukannya ia marah, akulah tokoh kunci perbaikan hubungan kami berdua. Kutarik nafas dalam-dalam, lalu kuhempaskan lewat mulut. Dengan lembut, kuelus mahkota kebesaran Sabira. Ia tetap pulas.
………....................................................
Ketegangan kami masih berlanjut memasuki hari kedua. Sapa-sapa hanya berupa basa-basi. Aku telah berusaha untuk mengembalikan keadaan seperti semula. Yang ada, Soe malah kian menjauh. Bukannya mengesampingkan, aku hanya ingin menunggu waktu yang tepat untuk berbuat lebih.
Tidak ada gunanya memaksakan jika perasaan Soe masih panas. Makanya aku berupaya saja mengenal ibu mertuaku lebih jauh. Aku minta diajari memasak. Terutama lauk kegemaran Soe.
“Soe itu Sab, makan lauk apa aja mau.”
Kami cekikikan bersamaan. Syukurlah, ucapku dalam hati. Ibu mertua juga menguji pengetahuanku tentang rempah-remah. Oho, rupanya aku harus belajar lebih banyak. Aku bahkan tidak tahu membedakan antara lengkuas dengan jahe. Lucu, ya.
“Kenapa berdiri saja disitu?”
Ibu mertua mendapati putra tunggalnya, sekaligus suamiku kini, terjegat di muka pintu pembatas ruang tengah dengan dapur. Soe tertawa canggung. Saat aku mencoba mengajaknya senyum, ia menepis. Aku kecewa. Kapan ini akan berakhir?
…………..
Soe masih sibuk dengan pen dan buku hariannya. Buku yang tak berani aku buka sekalipun sampai detik ini. Itu privasinya pribadi. Aku masuk kamar dan langsung berbaring. Tidak ada tanda-tanda ia akan mengajak bicara padahal esok sudah masuk hari ketiga. Mengambil posisi membelakangi, mungkin itu lebih disukai Soe saat ini. Aku pura-pura tertidur lelap. Tak lama, sebuah telapak tangan hinggap dikepalaku. Membelai dengan lembut berulang-ulang. Aku tetap pura-pura tidak sadar.
................................................................................
‪#‎anggapsajasudahselesai‬. Soe masih perlu sebuah pembuktian. Dan bukti itu baru bisa tampak, ketika Sabira punya kesempatan untuk menunjukkannya secara tampak dan tegas.
Rabu, 02 April 2014 0 Messages

Dibalik Surat Terakhir Fai

"Kendati jasad telah rebah dalam dekapan tanah, ijinkan mataku tetap bisa menatapmu"
.......
Berselang beberapa hari dari rumah sakit, gadis itu tiba-tiba menjelma menjadi bidadari. Sabira, sesosok yang seolah sengaja dikirimkan Rabb menjadi pendamping hidupku. Karena, selama ini aku bahkan tidak pernah bermimpi sekalipun untuk berumah tangga. Paling tidak, sejak kecelakaan yang merenggut indera penglihatanku lima tahun silam.
Ia muncul sebagai saudara pendonor sepasang bola mata. Akupun menyambutnya dengan penuh kehangatan, berterima kasih banyak-banyak. Kulihat, ia sungguh tampak amat bahagia. Itu jelas dari rautnya mengkisahkan kelegaan dari rindu yang mendalam. Apa artinya itu? Tentu saja, ia sangat mencitai saudara yang telah meninggalkannya.
Hari-hari selanjutnya kami isi dengan berkunjung ke makam saudara yang dimaksud, sesekali. Sabira juga sering membaca tulisan fiksi yang kuhasilkan lewat bantuan adik selama aku tidak bisa melihat. Ia tertawa, aku tertawa. Ia diam, aku mencari jawab. Tapi ada satu hal yang belum kuketahui sampai detik ini, seberkas cahaya pekat ada disana. Sabira, menutupnya dalam-dalam.
"Sab, ada yang ingin kamu katakan?"
Sabira menutup kepanikannya dengan mengalihkan pembicaraan. Dengan kata lain, ia memilih bungkam.
Tanda tanyaku menguap seiring berjalannya waktu. Bahkan kami telah berbincang jauh. Tentang masa depan.
...........
Hari H sesak dengan kehadiran sanak keluarga, dan sahabat karib. Kami berada di singgahsana pelaminan. Tal bosan-bosannya senyum bahagia yang kami lontarkan pada setiap tamu yang datang. Kecuali, pada seorang wanita paruh baya yang datang sendirian. Ia masih punya hubungan jauh dengan Sabira. Setelah salaman, ia langsung memeluk Sabira seperti anaknya sendiri. Orang tua Sabira ikut mengeluarkan air mata. Mempelaiku itu pun sama.
Dan saat menyalami tanganku, wanita itu justru lekat menghujam mataku. Ada sesuatu yang ditemukannya dalam diriku. Atau aku pernah mengenalinya sebelum ini?
Ia berlalu sebelum aku sempat bertanya kepadanya. Tamu semakin ramai berdatangan, tetapi aku tidak lagi menyaksikan wanita itu disana. Kemana ia menghilang?
..........................................
Mungkinkah, sesuatu yang bermula buruk, bakal berujung manis?
Soe tersentak membaca tulisan di kertas kecil itu. Aku memutuskan memberitahukan kepadanya, meski itu adalah pilihan paling berat yang pernah aku buat.
..........
Aku mendapat kabar dari ibunya Fai, bahwa mata anaknya itu telah ada yang siap menampung. Seorang lelaki yang masih muda, buta akibat kecelakaan lalu lintas lima tahun yang lalu. Tak terlintas sekalipun di benakku untuk mengetahui latar belakangnya lebih jauh, aku hanya ingin melihat mata Fai hidup kembali. Kembali berwarna, bisa menatapku lagi.
Soe, begitu namanya. Aku datang kerumahnya. Berbohong, mengaku sebagai adik perempuannya Fai. Entahnya, beruntung Soe tidak menyelidik lebih lanjut tentang perkara itu. Ada yang lebih menarik menjadi perhatiannya, diriku. Seolah aku ini mutiara yang hilang dalam hidupnya.
Ingat!, aku juga punya kepentingan terhadap dirinya.
Pertemanan palsu kami, khusus bagi diriku, karena aku hanya ingin menemui Fai dalam dirinya, terus berjalan hari demi hari. Suatu waktu, Soe mengutarakan niat yang menggubah statusku.
"Sab, maukah kau menikah denganku?"
Aku kelu. Sungguh! Saat itu, yang tampak di depanku hanyalah Fai. Bukan Soe. Pantaskah aku dimaafkan untuk yang satu ini?!
Dan keadaan semakin sulit. Kedua orang tuaku mau diajak bersekongkol. Jujur, mereka tidak merestui kebohongan ini. Hingga akhirnya, penyesalan demi penyesalan datang silih berganti. Saat aku coba mencintai Soe sebagai penebus kesalahan, Fai muncul menengahi.
Puncak penderitaanku adalah pada hari yang seharusnya paling bahagia dalam hidupku. Bu Sana, ibunya Fai hadir dalam pesta pernikahan kami. Ia merangkulku erat-erat sampai aku sukar bernafas. Kemudian, untuk pertama kalinya, ia terkejut mendapati Fai ada disampingku. Ia makin terenyuh.
Itu hanya dalam hitungan detik. Bu Sana menghilang dari kerumunan. Dan kudapati Soe mencari-cari wanita itu.
.........
Ku serahkan surat terakhir Fai itu pada Soe, hanya ingin ia tahu bahwa kini aku mulai mencintainya.
 
;