Percuma saja mengejarnya. Toh yang dipanggil "mama" hanya mematung seolah indera pendengarannya tidak lagi berfungsi. Siapa aku jika harus memaksakan diri untuk menjelaskan lebih jauh. Ku pikir-pikir tidak ada sebenarnya yang perlu dijelas secara rinci. Kami hanya kawan lama. Titik. Tak lebih. Meskipun dulu pernah punya rasa yang sama. Cinta.
Namun sesuatu yang sulit untuk kunafikan adalah intonasi gadis itu. Panggilannya terdengar menyalahkan daripada menyapa. Dan pemergiannya meninggalkan kami berdua jelas suatu ketidaksetujuan. Jayanti Rahman, apa yang kamu maksudkan dari itu semua. Apakah kamu marah ketika aku hanya ingin bertemu teman lama. Kecuali Laras memberitahukan banyak tentang ku kepadamu. Tapi aku tidak yakin itu. Buktinya, pertama kali pertemuan kita dalam konsultasi skripsi Rabu kemarin, kamu biasa-biasa saja.
Membuyarkan lamunan serta kebisuanku, Laras berucap, "Hello..."
Aku terkejut.
"Lupakan. Biasa, anak-anak."
Dengan gamblangnya Laras menyuruhku melupakan kejadian barusan. Sulit dinalar memang. Bahkan terdengar sangat datar.
"Kau harus jelaskan semuanya padanya kelak!"
"Jelaskan. Apa maksudmu, Dan. Tidak ada yang perlu dijelaskan kepadanya. Anak-anak tidak akan mengerti."
"Dia bukan lagi anak-anak." Suara ku meninggi.
"Maaf," kataku kemudian.
"Mungkin ini bukan urusanku. Tapi aku hanya tidak ingin J salah faham atas apa yang dilihatnya." ku menambahkan.
"Tidak. Dia tidak salah faham. Dia hanya menyimpulkan." Laras menindih jari jemariku dengan telapak tangannya yang mulai sedikit keriput. Matanya lekat ke mataku.
Ku tarik lenganku. Dan ia mendesah.
"Apa maksudmu?" Tanyaku kembali.
"Kami akan bercerai."
Panasnya mentari siang itu begitu menyengat kulit. Tetapi ucapan Laras lebih panas lagi bahkan seperti aliran listrik yang merambat ke gendang telingaku. Aku ternganga.
Namun sesuatu yang sulit untuk kunafikan adalah intonasi gadis itu. Panggilannya terdengar menyalahkan daripada menyapa. Dan pemergiannya meninggalkan kami berdua jelas suatu ketidaksetujuan. Jayanti Rahman, apa yang kamu maksudkan dari itu semua. Apakah kamu marah ketika aku hanya ingin bertemu teman lama. Kecuali Laras memberitahukan banyak tentang ku kepadamu. Tapi aku tidak yakin itu. Buktinya, pertama kali pertemuan kita dalam konsultasi skripsi Rabu kemarin, kamu biasa-biasa saja.
Membuyarkan lamunan serta kebisuanku, Laras berucap, "Hello..."
Aku terkejut.
"Lupakan. Biasa, anak-anak."
Dengan gamblangnya Laras menyuruhku melupakan kejadian barusan. Sulit dinalar memang. Bahkan terdengar sangat datar.
"Kau harus jelaskan semuanya padanya kelak!"
"Jelaskan. Apa maksudmu, Dan. Tidak ada yang perlu dijelaskan kepadanya. Anak-anak tidak akan mengerti."
"Dia bukan lagi anak-anak." Suara ku meninggi.
"Maaf," kataku kemudian.
"Mungkin ini bukan urusanku. Tapi aku hanya tidak ingin J salah faham atas apa yang dilihatnya." ku menambahkan.
"Tidak. Dia tidak salah faham. Dia hanya menyimpulkan." Laras menindih jari jemariku dengan telapak tangannya yang mulai sedikit keriput. Matanya lekat ke mataku.
Ku tarik lenganku. Dan ia mendesah.
"Apa maksudmu?" Tanyaku kembali.
"Kami akan bercerai."
Panasnya mentari siang itu begitu menyengat kulit. Tetapi ucapan Laras lebih panas lagi bahkan seperti aliran listrik yang merambat ke gendang telingaku. Aku ternganga.
...................
Wanita itu berjalan dengan was-was. Matanya mengawasi setiap pasang mata yang mungkin saja memperhatikannya. Dia bertingkah sewajar mungkin. Sehingga sekelilingnya berhasil dikelabuhi. Namun dia tidak mempertimbangkan sepasang mata dari kejauhan. Dipandanganku, dia jelas sekali mengambil beberapa buah komik dan dimasukkannya kemudian kebalik bajunya.
Aku menghampirinya.
"Suka baca komik?" Sapaku.
Bukan main terkejutnya dia. Kelabakan. "i..iya." Jawabnya gugup.
"Bukan begini caranya. Apakah kamu pernah berpikir, bagaimana seandainya tertangkap basah?"
"Apa maksud bapak?" Dia menyangkal.
"Aku tahu apa disebalik bajumu. Bisa saja aku memberitahu mbak-mbak itu bahwa seseorang mencuri di Gramedia ini." Kataku.
"Mencuri?" Gadis belia itu berkilah dan memandang ke berbagai arah. Sepertinya mencari seseorang.
"Tapi aku tidak akan melakukan itu jika kamu segera mengembalikan ketempatnya semula." Ku memintanya.
Dengan raut kepergok dia melintasiku. Menuju rak dimana dia menyelinapkan komik tadi.
Kembali terkejut dirinya ketika mendengar suaraku dari arah punggungnya. Aku sengaja mengekorinya untuk memastikan apakah dia akan benar-benar mengembalikan komik tersebut.
"Jika kau mau, aku bisa membelikanmu." Kataku.
Matanya melotot kearahku.
"Dika." Panggilnya kemudian kepada sosok lelaki yang juga belia yang tenyata datang menghampiri kami.
Gadis itu menerobos dicelah antara tubuhku dan rak. Aku tergeser ke sisi. Aku membuka kedua tanganku dan mengangkatnya sepinggang. Aku mendesah.
Next, Insya Allah ------>