Rabu, 22 Februari 2012 0 Messages

Panggung Cinta Bertopeng (Bagian 9)

   Percuma saja mengejarnya. Toh yang dipanggil "mama" hanya mematung seolah indera pendengarannya tidak  lagi berfungsi. Siapa aku jika harus memaksakan diri untuk menjelaskan lebih jauh. Ku pikir-pikir tidak ada sebenarnya yang perlu dijelas secara rinci. Kami hanya kawan lama. Titik. Tak lebih. Meskipun dulu pernah punya rasa yang sama. Cinta.
   Namun sesuatu yang sulit untuk kunafikan adalah intonasi gadis itu. Panggilannya terdengar menyalahkan daripada menyapa. Dan pemergiannya meninggalkan kami berdua jelas suatu ketidaksetujuan. Jayanti Rahman, apa yang kamu maksudkan dari itu semua. Apakah kamu marah ketika aku hanya ingin bertemu teman lama. Kecuali Laras memberitahukan banyak tentang ku kepadamu. Tapi aku tidak yakin itu. Buktinya, pertama kali pertemuan kita dalam konsultasi skripsi Rabu kemarin, kamu biasa-biasa saja.
   Membuyarkan lamunan serta kebisuanku, Laras berucap, "Hello..."
   Aku terkejut.
   "Lupakan. Biasa, anak-anak."
   Dengan gamblangnya Laras menyuruhku melupakan kejadian barusan. Sulit dinalar memang. Bahkan terdengar sangat datar.
   "Kau harus jelaskan semuanya padanya kelak!"
   "Jelaskan. Apa maksudmu, Dan. Tidak ada yang perlu dijelaskan kepadanya. Anak-anak tidak akan mengerti."
   "Dia bukan lagi anak-anak." Suara ku meninggi.
   "Maaf," kataku kemudian.
   "Mungkin ini bukan urusanku. Tapi aku hanya tidak ingin J salah faham atas apa yang dilihatnya." ku menambahkan.
   "Tidak. Dia tidak salah faham. Dia hanya menyimpulkan." Laras menindih jari jemariku dengan telapak tangannya yang mulai sedikit keriput. Matanya lekat ke mataku.
   Ku tarik lenganku. Dan ia mendesah.
   "Apa maksudmu?" Tanyaku kembali.
   "Kami akan bercerai."
   Panasnya mentari siang itu begitu menyengat kulit. Tetapi ucapan Laras lebih panas lagi bahkan seperti aliran listrik yang merambat ke gendang telingaku. Aku ternganga.
...................
 Wanita itu berjalan dengan was-was. Matanya mengawasi setiap pasang mata yang mungkin saja memperhatikannya. Dia bertingkah sewajar mungkin. Sehingga sekelilingnya berhasil dikelabuhi. Namun dia tidak mempertimbangkan sepasang mata dari kejauhan. Dipandanganku, dia jelas sekali mengambil beberapa buah komik dan dimasukkannya kemudian kebalik bajunya.
  Aku menghampirinya.
  "Suka baca komik?" Sapaku.
  Bukan main terkejutnya dia. Kelabakan. "i..iya." Jawabnya gugup. 
  "Bukan begini caranya. Apakah kamu pernah berpikir, bagaimana seandainya tertangkap basah?"
  "Apa maksud bapak?" Dia menyangkal.
  "Aku tahu apa disebalik bajumu. Bisa saja aku memberitahu mbak-mbak itu bahwa seseorang mencuri di Gramedia ini." Kataku.
  "Mencuri?" Gadis belia itu berkilah dan memandang ke berbagai arah. Sepertinya mencari seseorang.
 "Tapi aku tidak akan melakukan itu jika kamu segera mengembalikan ketempatnya semula." Ku memintanya.
Dengan raut kepergok dia melintasiku. Menuju rak dimana dia menyelinapkan komik tadi.
  Kembali terkejut dirinya ketika mendengar suaraku dari arah punggungnya. Aku sengaja mengekorinya untuk memastikan apakah dia akan benar-benar mengembalikan komik tersebut.
   "Jika kau mau, aku bisa membelikanmu." Kataku.
   Matanya melotot kearahku. 
   "Dika." Panggilnya kemudian kepada sosok lelaki yang juga belia yang tenyata datang menghampiri kami. 
  Gadis itu menerobos dicelah antara tubuhku dan rak. Aku tergeser ke sisi. Aku membuka kedua tanganku dan mengangkatnya sepinggang. Aku mendesah. 


Next,  Insya Allah ------>
   
     
   
Senin, 20 Februari 2012 0 Messages

Panggung Cinta Bertopeng (Bagian 8)

    "Dua puluh tiga tahun. Em..terasa begitu singkat bukan?"
    Pertemuan terakhir dengannya menyisakan luka menganga. Baru sembuh ketika ku bertemu dengan wanita sholeha bernama Maya. Seringai penyiksaan. Keputusannya memilih yang lain menghancurkanku. Sama sekali tidak mudah. Putus asa dan prahara cinta menghilangkan jati diriku. Kekacauan menjadi santapan dan aku kenyang dengan sebentuk kegalauan.
    Aku dan kematian hanya dipisahkan oleh satu kata. Harapan. Bersyukur, Allah menanamkan kata itu ke sanubariku. Dan aku menyimpulkan bahwa aku harus bertahan. Entah demi apa. Perlahan ku lalui badai dan ku menerobos pusaran angin yang bisa saja membawaku terbang ke angsa dan menjatuhkanku menjadi bangkai kemudian. Akhirnya aku berhasil.
    Sekarang, dihadapanku. Wanita itu yang tidak mungkin aku panggil gadis lagi. Wanita yang hampir membuatku sirna di telan bumi. Dengan entengnya menjamuku di meja makan siang. Tenaga apa yang menghilangkan kesadaranku hingga membuat kakiku terasa ringan untuk melangkah dan mengorbankan semata wayangku.
    "Dua puluh tiga tahun." Ulangku dan diam sesaat.
    Tidak mungkin aku marah-marah lagi mengenang kiamat itu. Sepertinya semua sudah tercurah dan aku sekarang tidak lagi punya sumpah serapah. Menghinanya, bangsat, penghianat, pembohong atau apapun.
    "Ya, sangat singkat. Terakhir kali kau melemparkanku ke jurang neraka."
    "Aku menyesal. Dan aku sangat minta maaf."
    Ternyata gayanya merayunya masih sama. Aku yakin lakon seperti ini juga yang digunakannya untuk mendekati Reynold. Dan aku tersisih.
    "Seperti katamu tadi. Dua puluh tiga tahun itu hanya masa lalu. Aku hampir tidak ingat lagi." Aku berpura-pura.
    Seorang waitress menghampiri dan mencatat menu yang Laras pesan. Kemudian pergi meninggalkan kami, terutama aku, yang masih kaku.
    "Tentu saja aku masih ingat menu kesukaanmu. Makanya aku memilih restoran ini?"
    Apa sebenarnya tujuan Laras ingin menemuiku. Mau balikan? Bagaimana dengan suaminya. Sudah meninggal. Tiba-tiba ia muncul kembali dalam hidupku setelah kepergian Maya. Seperti sebuah naskah film.
    Aku tidak mau basa basi terlalu lama meskipun batinku menjerit agar berlam-lama.
    "Bagaimana kabar Reynold?"
    Sepertinya tidak suka ku tanya tentang suaminya, Laras menjawab singkat, "Dia, em..baik-baik saja."
    "Syukurlah." Aku mengangguk pelan.
    "Anak?" Ku bertanya kemudian.
    "Dia gadis yang pintar dan cantik seperti ku. Ku pikir kalian sudah bertemu."
    Belum sempat aku berucap, Laras menyerobot, "Jayanti Rahman."
    "Sudah ku tebak ketika pertama kali berjumpa dengannya. Anak itu memang pintar."
    "Persis ibunya bukan?"
    Aku diam.
    "Kamu sama sekali tidak berubah, Dan. Apakah kamu benar-benar menderita elective mute?"
    "Boleh dikatan begitu jika mau."
    Sebuah suara membelah perbincangan kami. Suara yang pernah ku dengar dan kutahu pasti pemilik suara itu. Namun, kali ini nadanya tinggi. Jelas mengandung kejengkelan. "Mama?".

Insya Allah, Next------>
Jumat, 17 Februari 2012 0 Messages

Panggung Cinta Bertopeng (Bagian 7)

     Aku masih berkemul dengan selimut hangat ketika jam dinding hampir menunjukkan pukul tujuh. Dari arah dapur terdengar suara-suara berisik. Ku lihat Hani di ranjangnya. Masih pulas. Ia sangat tahu, sama sepertiku jika hari minggu adalah hari yang pas untuk bangun telat. Tadi, setelah shalat subuh bersamaan dengan turunnya hujan, aku menjelajah alam mimpi kembali.
    Tak ada yang perlu kulakukan dengan tergesa-gesa dihari ini. Tidak ada jadwal rapat maupun menghadiri undangan pernikahan dan sejenisnya. Benar-benar kesempatan langka untuk menghabiskan seharian dirumah bersama putriku. Bi Atin tentu juga takut dan pengertian untuk membangunkan kami berdua. Setibanya di rumah, ia langsung mengerjakan pekerjaannya. Tak perlu aku membukakannya pintu, karena dia memang memegang satu duplikat kunci.
    Pelan. Terdengar suara ketukan dari balik pintu. Pasti bi Atin pikirku.
    "Ada apa bi?" Tanyaku dengan suara yang masih parau. Kata pertama di hari ini.
    "Ada telepon?"
    Telepon. Begitu penting kah hingga mengganggu orang dipagi hari. Tak ada kerjaan tuh orang. Di hari libur lagi.
    "Dari siapa bi?" Aku masih malas untuk beranjak dari tempat tidur.
    "Aas atau siapa tadi ya. Kurang jelas. Sekarang dia tengah menunggu di seberang telepon."
    "Aas..?" Lama aku berpikir. Setahuku aku tidak pernah kenal dengan seseorang bernama Aas. Satu kilatan ingata  melintas. "Laras!"
    Secepat mungkin aku bangkit. Ku tahu bi Atin tidak lagi berdiri di belakang pintu. Belum sampai meraih ganggang pintu kamar, Hani merengek. Benar-benar pengertian pikirku.
    "Bi. Tolong urus Hani sebentar." ku mengeraskan suara agar sampai hingga kesudut dapur.
    Beberapa detik, muncul sosok wanita tua lima puluhan dari arah dapur.
    "Ya, hallo." Aku penasaran apakah perkiraanku benar. Bahwa diseberang sana itu teman sekaligus mantan ku semasa SMU.
    "Aku Laras."
    Dug. Jantungku berdetak lebih kencang. Beberapa pertanyaan kulontarkan pada diriku sendiri secara spontan sebelum berbicara lebih banyak. Nomor wahidnya adalah apakah ini menandakan aku masih mencintainya?. Kedua, bukankah ini penghianatan terhadap Maya yang dulu kukatakan bahwa dia adalah cinta sejatiku? dan yang terakhir, apa benar kesempatan yang ku bicarakan dengan Nas kemarin itu benar-benar akan terwujud?. Lalu untuk apa Laras menghubungiku jika dia sudah bahagia bersama Reynold. Jika ada kesempatan, aku pasti akan menanyakan itu.
    "Oh iya. E...e...Laras."
    "Tentu aku ingat. Sudah lama tidak bersua."
    "Apa? Siang ini."
    Jadwal untuk menghabiskan waktu seharian bersama Hani sepertinya harus ku atur ulang.
    "Oke."

Next ------->     Insya Allah
Selasa, 14 Februari 2012 0 Messages

Panggung Cinta Bertopeng (Bagian 6)

     Tinggal hitungan hari menunggu kelahirkan bayi kami. Aku dan Maya mempersiapkan segala sesuatunya. Mulai dari berbagai nama-nama islami yang diseleksi dari belasan buah buku sampai pada pakaian serta perlengkapan bayi lainnya.
     Sesuatu diluar nalar membingunkanku. Hal itu aku sesalkan hingga detik ini. Perubahan emosional yang sangat drastis dari diri Maya waktu itu. Sebagai upaya untuk menghibur diri, kuanggap itu sebagai suatu hal yang wajar bagi setiap wanita menjelang proses persalinan. Terlalu khawatir dan mungkin juga was-was. Tapi terkadang aku tidak tahan. Amarahnya sering menjadi-jadi dan tanpa alasan. Entah apa yang dipikirkannya. Bukan seharusnya mempersiapkan diri serta mentalnya untuk menghadapi jihad di hari H. Ia justru sering melampiaskan murkanya kepadaku.
     Itu semua bermula ketika Maya keluar rumah. Meskipun dalam usia kandungan hampir mencapai sembilan bulan, ia bersikukuh untuk menemui seseorang yang menghubunginya via HP. Aku melarangnya, tetapi ia tetap ngotot. "Ini sangat penting, mas!" Katanya kemudian.
     Aku mengalah dan bermaksud menjadi sopirnya saja kesana. Ia melarang keras. Seolah aku akan mengacaukan segala-galanya.
     "Ini urusan perempuan." Ia mencegahkan lewat kata-katanya.
     Lama aku menunggu, ternyata Maya tidak juga keluar rumah. Hatiku makin bertanya-tanya, apa sebenarnya yang tengah berlaku. Ku menanyakan perihal niatnya untuk keluar, tapi ia menampiknya dengan mengatakan dibatalkan. Lalu aku berangkat dan mengecup keningnya.
     Entah apa yang terjadi dirumah pagi itu. Kepulanganku dari kampus sore harinya disambut dengan berjuta bara. Untungnya bara itu tidak sampai membakar. Mulut Maya terkunci gembok. Andai saja aku bisa mencari kuncinya meskipun dilautan terdalam, akan aku lakukan. Asal Maya mau bicara. Tapi nihil, Maya membuang kuncinya ketempat yang tidak mungkin aku jangkau, ke masa lalu.
     "Ada apa mi." Ku melabuhkan tangan kepundaknya
     Ia menepis daratan tanganku dan sedikit menjauh dengan bisu dan tatapan nanar. Posisinya masih terduduk di sofa di ruang tamu.
     "Abi tahu ummi cukup khawatir menghadapi masa-masa persalinan. Tapi itu akan kita hadapi bersama-sama. Insya Allah."
     Maya yang lima belas tahun dibawahku tetap bungkam. Apakah gejolak masa-masa remaja masih melekat didalam dirinya. Padahal bukankah seharusnya ia sudah menjadi lebih dewasa. Dua puluh lima tahun bukan lagi saatnya untuk bertindak kekanak-kanakan dengan merajuk dan sebagainya. Apapun masalahnya, harus dibicarakan.
    "Mi, jika ada sesuatu yang salah dengan diri abi tolong katakan. Supaya abi bisa segera memperbaikinya."
Aku mencoba menembusi benteng kebisuannya. Tetapi tidak berhasil. Aku dan Maya diam untuk beberapa saat.
    Diluar rumah angin mulai menggerek awan yang sudah menjatuhkan butiran-butiran gerimis dicelah-celahnya. Langit menjadi mendung dan berangin pelan. Seharusnya itu mampu membuat hati Maya ikut dingin.
    "Dari sesuatu yang tidak pernah ummi lakukan dihari-hari sebelumnya. Beriya-iya ingin keluar sendirian padahal itu sangat ummi pantangi kecuali dengan mukhrim. Dan sekarang, kedatanganku disambut dengan kemurkaan. Apa sebenarnya mi? Apa yang menyebabkan rumah ini tidak lagi bagai di syurga?"
    Beningan kecil mulai muncul dari celah kedua mata Maya. Apakah kata-kataku sekasar itu hingga membuat Maya menangis. Tidak. Kata-kata dan intonasi suaraku tadi sudah yang teramat lembut bagi seseorang ketika marah. Pasti bukan itu.
    "Ummi hanya capek." jawaban pertamanya yang sama sekali tidak memuaskanku. Jawaban yang diperuntukkan sebagai pengalih perhatianku. Dan itu tidak berhasil. Ada sesuatu gejolak dihatinya yang ditampakkannya lewat bahasa tubuh. Satu hal yang berhasil Maya lakukan adalah merahasiakan apa yang mengganggu pikirannya.
    Aku mencoba untuk mengorek lebih jauh penjelasannya tadi. Tetapi niatku urung. Satu-satunya kebenaran yang kutemukan diwajahnya adalah dia benar-benar letih. Bukan karena bayi kami. Karena peristiwa tadi pagi.
    Hari-hari berikutnya kutemukan Maya menjadi sosok yang emosional bahkan pasca melahirkan Hani.
Senin, 13 Februari 2012 0 Messages

Panggung Cinta Bertopeng (Bagian 5)

    "Good Job, kawan. Selamat proposalmu diterima."
    "Alhamdulillah, ini semua tak lepas dari bantuan dari rekan-rekanku."
    Proposal penelitian daerah perbatan RI-Malaysia yang aku ajukan berhasil lolos. Dan proyek penelitian itu menjadi tanggungjawabku sekarang. Tentu ini akan menjadi tantangan tersendiri bagi karirku.
    "Apa langkahmu selanjutnya?"
    "Ini memang bukan penelitian untuk pertama kalinya mengenai daerah perbatasan. Namun, kami akan melebarkan sayap lebih luas dimana bukan hanya pada aspek ekonomi dan politik, tapi sosial, budaya dan lingkungan juga akan include di dalamnya."
   Aku diam sejenak. Menyeruput cappucino yang masih mengepul-ngepulkan asap kemudian menghilang. Sementara Nasution tengah sibuk memikirkan apa yang barusan didengarnya. Tangannya memainkan sendok didalam gelas berisi cairan pekat. Sesekali kepalanya turun naik.
  Ku melanjutkan ucapanku tentang rencana tim penelitian kami selanjutnya.
    "Dalam waktu dekat kami akan menggandeng World Wildlife Fund dan dua universitas dari Malaysia untuk menggelar workshop internasional dengan tema "Pembangunan Berbasis Lingkungan di Daerah Perbatasan Indonesia-Malaysia-Brunei, Kawasan Heart of Borneo: Sebuah Pendekatan Multi Disiplin." * Brunei juga termasuk negara yang terlibat disini. Karena negara tersebut juga berbatasan langsung dengan pulau kita."
    "Menarik." Jadi apa yang bisa kami lakukan dari pihak pemerintah daerah.
    "Aku kesal. Apa saja sih pekerjaan kalian disana. Aku meminta atas nama sahabat, warga dan akademisi agar kamu dan lembaga yang menaungimu segera berbuat sesuatu. Menonton tidak akan menyelesaikan masalah."
    "Tidak semudah itu kawan. Meskipun posisiku sekarang sebagai Kepala Badan Pengelolaan Kawasan Perbatasan Pedalaman dan Daerah Tertinggal, namun kita bekerja ada aturannya."
    "Selalu. Itulah senjata pamungkas kalian."
    Nas mendesah. Mungkin terlalu bingung untuk menjelaska padaku. Tepatnya memberikan pengertian. Ia tersenyum sinis sendiri.
   "Apakah makan siang ini hanya sebuah penghakiman buat diriku?" Kemudian Nas mencoba mengalihkan pembicaraan.
   "Aku menagihnya kembali lain kali selama kau duduk disana tanpa berbuat apa-apa."
   Nas menempelkan telapak tangan kanan diatas jidatnya. "Ya ampun." Tukasnya kemudian.
   "Kamu ingat Laras? Teman SMU." Ku memutar stir pembicaraan.
   "Laaras." Susah payah Nas mengingat sosok pemilik nama itu. Bayangan teman-teman wanita semasa SMU berkelebat di pikirannya.
   "Anggap saja mantan ku." Jujur aku tidak suka menggunakan kata "mantan". Tapi apa boleh buat. Itu akan memudahkan Nas untuk mengingat wanita itu.
    "O..iya. Baru aku ingat. Primadona SMU." Nas bersiul.
    "Tadi aku melihat wajahnya. Maksudku, mahasiswa bimbingan skripsiku memiliki wajah yang mirip dengannya. Bagai pinang tidak dibelah." Aku menjelaskan inti pertemuan kami sesungguhnya.
    "Sekalian saja dibelah sepuluh." Nas memunculkan tabiatnya yang suka usil terhadapku.
    Ia melanjutkan, "Apakah kamu berencana mencari pengganti Maya secepatnya?"
    "Enam bulan seharusnya cepat berlalu. Tetapi tidak sepeninggalannya. Aku terasa kewalahan menangani Hani sendirian. Meskipun akhirnya aku sudah sangat terbiasa. Tapi tetap saja tidak sama antara laki-laki dan perempuan. Perempuan itu punya sense yang cukup dalam. Sedangkan aku. Aku memang tidak menyukai anak-anak kecuali putriku sendiri. Itulah masalahnya. Berbeda dengan Maya, sebelum menikahpun ia sudah menunjukkan sifat keibuannya."
     "Aku mengerti perasaanmu. Kamu tentu sangat merindukan Maya kan, Dan?"
     Aku mengangguk.
     "Apakah kamu masih mencintai Laras?"
     "Gadis bernama J itu mengingatkanku padanya. Boleh jadi dia anaknya." Aku mengangkat gelas berisi minuman kecoklatan itu sebagai tegukan terakhir.
     "Apakah kamu masih mencintai Laras?" Takut-takut Nas bertanya lagi.
     "Tidak. Tetapi mungkin, jika ada kesempatan kedua."
     "Apakah kamu lupa bagaimana ia mencampakkanmu demi Reynold?"
     "Seandainya Maya ada disini. Tentu aku tidak akan pernah memikirkan ini lagi walaupun kesempatan kedua itu benar-benar ada. Maya bagai malaikat buatku. Melaluinya aku mendapat hidayah. Aku sangat bersyukur atas iman ini."

Next-------->  Insya Allah

* Referensi: Kompas.com

Minggu, 12 Februari 2012 0 Messages

Panggung Cinta Bertopeng (Bagian 4)

     "Hey J" Bu Lena menyapa gadis yang mengikuti belakangku
     Sapaan yang terdengar sangat akrab dari seorang dosen pada mahasiswanya. Tapi itu lumrah. Aku hanya tidak menyangka.
     "Ya, bu" Mahasiswi yang dipanggil J itu membalas malu-malu.
     "Silakan duduk. Saya tidak punya banyak waktu." Aku meminta.
     "Kamu beruntung pak Daniel." Lagi bu Lena sok ambil peduli terhadap ku. Tapi kata "beruntung" mengusik rasa penasaranku.
    "Beruntung?" Aku mengerutkan kening
    Bu Lena tiba-tiba gusar. Seperti ada yang salah dengan kata-katanya sendiri. Padahal yang menjadi sasaran ku adalah kata "beruntung". Tapi sepertinya bukan kata itu yang membuatnya gelisah. Sejenak ia terdiam. Mencari kata yang tepat untuk menjawab sekaligus menjelaskan apa yang kutanyakan.
    Terbata-bata ia mengatakan "J, J itu anak yang cerdas."
    "Well, semoga. Bukankah begitu J"
    Sekarang aku hanya tidak ingin berlama-lama dengan mahasiswi ini. Aku tahu dia sangat perlu berkonsultasi denganku sama perlunya aku ingin menghadiri pertemuan pagi ini.
     Mahasiswi tersebut langsung duduk di depan meja. Kami saling menghadap. Baru kali ini aku benar-benar melihat rupa wajahnya dengan seksama. Tak sadar aku terpaku. Wajah itu?.
     Lamunan ku buyar seketika ia memanggil namaku pelan. Ingatanku melampaui puluhan tahun silam. Tentang sesosok yang mirip gadis itu dan juga tentang harapan-harapan indah kala itu. Beruntung, ia berhasil menarikku kembali ke saat sekarang ini. Mengingatkanku untuk apa kami saling berhadapan.
    "Jayanti Rahman. Apa yang kau angkat lady" Ku baru tahu nama lengkapnya dari naskah skripsi yang disodorkannya kepadaku. Boleh jadi panggilan "J" diambil dari huruf depan namanya.
    Ia menjelaskan sekilas judul beserta tema penelitiannya. Mataku menjelajahi secara random dan membolak-balik tiap halaman. Sementara, penjelasannya tidak terlalu ku gubris. Sebenarnya aku hanya ingin mengetahui apakah ia benar-benar menguasai apa yang telah dituliskannya.
    Panjang lebar ia menjelaskan. Intinya telah ku dapat ketika membaca poin latar belakang.
    "Lalu apa yang kau temukan?"
    "Pergeseran itu terjadi pada dasawarsa terakhir. Hipotesis itu diterima. Tetapi, seperti yang saya tuliskan pada bab terakhir, bahwa ini belum bisa digeneralisir. Karena, persebaran media komunikasi di Indonesia masih belum merata. Meskipun sudah memasuki pelosok-pelosok negeri. Disini juga tertulis beberapa kendala yang dihadapi oleh perusahaan penyedia jasa telekomunikasi. Diluar perspektif biaya tentunya."
    Aku memuji naskah sekaligus isi skripsi ini. Aku sangat setuju dengan hipotesis yang menjadi dasar penelitian ini. Cukup bagus untuk mahasiswa S1. Aku tidak ingin membuatnya besar kepala dengan memujinya saat itu juga.
    "Baiklah J, saya perlu waktu lebih lama untuk mengoreksinya. Insya Allah pekan depan kita ketemu lagi. Saya pikir lebih baik pukul sepuluh saja."
    "Ya, Pak."
    J langsung keluar dari ruang jurusan. Meninggalkan aku dan bu Lena yang suka mencampuri urusan orang lain. Katanya berbela sungkawa atas meninggalnya Maya, tapi pada hari itu ia sama sekali tidak menunjukkan batang hidungnya.
    "Betul kata ibu, J anak yang pintar. Ups..sorry, cerdas" Aku menggaris bawahi "cerdas" secara tampak kepada rekan wanita seprofesiku.
    Ia hanya tersenyum puas. Dan aku tidak tahu apa arti senyumnya itu.


Next-------> Insya Allah

   
Sabtu, 11 Februari 2012 1 Messages

Panggung Cinta Bertopeng (Bagian 3)

     Tepat pukul delapan kurang tujuh menit aku sampai di kampus hijau. Setelah sebelumnya mengantarkan Hani bertemu dengan teman-temannya membuatku juga bahagia seperti apa yang dirasakan Hani. Yayasan Hidayah menjadi rumah kedua bagi Hani. Setelah bundanya tidak ada tentunya.
     Ku mencari celah kosong diantara jejeran motor dosen, staf dan karyawan kampus dan akhirnya dapat. Terkadang aku tersenyum mengingat statusku saat ini. Masih jelas teringat ketika ditempat ini, dikampus hijau ketika aku berstatus mahasiswa. Dan perubahan itu tidak banyak, selain pada diriku sendiri. Dari mahasiswa menjadi salah satu pengajar.
     Karir akademikku tampak ketika aku menjadi mahasiswa cum laude diangkatanku. Begitu lulus aku mengambil peluang untuk menjadi asisten dosen.
    "Dari sinilah awalnya." Begitu pak Hasan ketua jurusan Ilmu Ekonomi waktu itu mengapi-apikan batinku. Dan aku terbakar.
    Waktu bergerak tanpa ku ingat seberapa pantas hingga akhirnya aku mendapatkan beasiswa pasca sarjana di UNPAD dimana sebelumnya aku telah diterima sebagai pegawai negeri. Butuh satu tahun setengah bagiku untuk menyelesaikan studiku kala itu. Dan kembali lagi ke tempat dimana karirku berawal. Kota Khatulistiwa.
    ................
    Seorang mahasiswi menyerobot mendekatiku yang baru saja akan membuka pintu jurusan. Itu membuatku cukup terkejut.
    "Maaf pak." Mahasiswi itu berucap
    "Kamu yang nelpon tadi?" Aku menerka.
    "Ya, pak" Jawabnya kemudian
    "Tapi kamu tidak perlu terburu-buru jika mau. Sebenarnya saya harus melakukan pertemuan sebentar lagi."
     Aku melihat guratan muka memelas di gadis itu. Ku dengar pelan ia mendesah. Aku kasihan padanya. Diluar kesedihan karena harus ku tunda untuk ia berkonsultasi denganku atau ada sebab lain.
      "Baiklah. Tunggu diluar dulu. Sebentar lagi kupanggil. Ada yang harus kulakukan."
   Jelas mahasiswi itu girang. Ia tunjukkan lewat anggukannya yang spontan tanpa kata-kata. Aku meninggalkannya sendirian ketika keceriaan mulai menghiasi wajahnya. Didalam ruangan jurusan kutemukan satu-satunya dosen hanyalah bu Lena. Ku pikir dosen lainnya tengah mengajar atau mememang belum datang. 
      "Pagi bu." Sapaku kepada wanita paruh baya berkerudung itu.
      "Pagi pak." Balasnya kemudian. Dan senyap seketika.
      Aku langsung mengeluarkan laptop dari dalam ransel hitam ku. Lalu menghidupkannya. Aku memastikan   slide-slide merangkum semua yang ingin aku sampaikan dalam rapat nanti.
      "Susah ya pak?" Bu lena membuka bicara
      "Maksud ibu?" Aku mengalihkan pandangan kearahnya
      "Sendirian. Menjadi orang tua tunggal maksudku."
      Aku terdiam. Tidak menyangka akan membahas hal ini pagi-pagi begini. Aku tahu bu Lena hanya ingin menyampaikan rasa bela sungkawanya. Seharusnya aku bersyukur, terutama kepada rekan-rekan di kampus ini yang care dan perhatian kepadaku.
       Sepertinya bu Lena mempunyai pendapat sendiri atas diam mendadakku.
       "Maaf pak. Apakah itu menyinggung bapak?" Ia bertanya kemudian.
   "Oh, tidak bu. Sama sekali tidak. Pikiranku hanya tengah berbagi tadi. Maaf kurang konsen mendengarkan. Tentang itu ya. Saya sudah mulai beradaptasi koq bu. Saya tidak boleh harus berlama-lama berkabung. Itu tidak baik bagi diri dan semata wayangku, Hani. Kami harus lepas dari cobaan ini." Aku menjelaskan panjang lebar.
       "Ya, begitu seharusnya pak. Setiap masa itu ada pertemuan dan perpisahan. Masing-masing dari kita hanya menunggu kepan datangnya masa itu."
       "Betul bu." Tukas ku kemudian. 
       Bu Lena kemudian diam. Itu juga yang kuharapkan dari dirinya. Namun jika ingin berbicara, alangkah baiknya jika ia memilih topik yang berbeda. Aku melupakan diskusi singkat barusan. Ku rasa saatnya untuk memanggil mahasiswi yang kutinggalkan berdiri didepan pintu tadi. 
        Ku buka pintu dan menemui ia tengah duduk diselasar tepat didepan pintu. memunggungiku dan melihat taman. 
        "Kamu. Silakan masuk."
        Ia menoleh.
Next ---------->
"Special  Thanx for Qhu"  

     
 
;