Menginjak usia yang empat puluh hari ini, Kartini tetap mengenakan kebaya, sanggul, dan konde. Hanya saja ketiga benda tersebut berwujud lain dengan kebanyakan. Kebayanya adalah baju training lelong yang kebesaran, sanggulnya berupa baju kaos sebuah partai yang gambarnya hampir pudar, dipasang di kepala dengan ikatan sedemikian rupa menyerupai ninja, serta konde yang dipakainya adalah topi camping yang sobek di bagian depan. Tidak ada acara mematut diri di depan kaca untuk memastikan penampilannya "wah". Karena apa? Karena itu dilakukannya hampir setiap haris sejak dua tahun terakhir.
Kartini, nama pemberian ibunya itu sederhana. Sesederhana rupa fisiknya. Terlahir dengan muka yang tak bisa dibilang cantik. Menarik? Ya, kalau dari sudut pandang Suedi, suaminya yang berpaut lebih tua lima belas tahun darinya. Namun, wanita itu peduli apa. Kalau berbicara fitrah, ia telah menjalankan tugasnya dengan sempurna. Istri dan ibu yang sempurna. Bila dipikir-pikir, apalagi yang lebih hebat dari itu.
Doni, anak lelakinya telah mandiri dengan merantau ke negeri tetangga hampir setahun lalu. Berbekal ijazah SMP, pemuda belia itu bahkan telah menabung untuk membeli simbol kesuksesan di kampung. Sepeda motor keluaran terkini. Tak pedulillah cara kredit atau kontan. Yang terpenting, dengan menyimpan satu kaki panjang tersebut dirumah, menandakan bentuk kongkrit perbaikan ekonomi keluarga. Selain itu, Doni juga telah mampu membelikannya Handphone. Itu gunanya punya anak. Sedikit banyak bisa membahagiakan orang tua.
Jana pula, anak perempuannya, kakaknya Doni, bulan depan akan melepas status lajang. Awalnya Kartini kaget mendapati putrinya harus menikah di usia masuk dua puluh, tapi ia lega lantaran usianya lebih muda dua tahun sewaktu menikah dulu. Dan mesti menunggu dua kali lebaran baru mendapat tanda mengandung anak pertama. Ya, Jana itu.
Kartini memasang kaki sepeda onta peninggalan suaminya. Sebenarnya kata peninggalan tidaklah tepat. Suedi masih ada di depan mata. Hanya hidup segan mati tak mau. Padahal baru lima puluh lima tahun, lelaki itu kelihatan jauh lebih renta. Sering batuk-batuk yang sesekali berdarah. Pengobatan yang diladeni hanyalah berkisar suntikan dari mantri. Suaminya itu cukup pengertian kok, tahu diri tidak bisa bekerja lagi, ia dengan senang hati menjemput kedatangan malaikat maut kapan saja. Bukannya sudah siap, cuma biaya terlalu mahal. Demikian kilahnya pada Kartini saat istrinya membujuk berobat ke rumah sakit. Menggunakan atau pinjam uang tabungan Doni dulu.
Lima ikat kayu bakar telahpun bertengger mantap di sepedanya. Kartini tidak membuang waktu untuk beranjak dari rumahnya menuju kediaman bu Lena. Lima ikat sebelumnya telah di kirimkannya kemarin. Meski tidak tamat SMP, Kartini tahu pendapatan yang didapat. Lima puluh ribu akan diterimanya dari bu Lena hari ini.
"Terima kasih bu."
Kartini memasukkan selembar kertas berwarna biru ke dalam saku training. Menyeka peluh sekenanya di jidat. Dan menjadikan topi sebagai kipas. "Saya yang harusnya berterima kasih sama ibu."
"Oh ya, bu Tini. Sekalian saja, saya mengundang ibu beserta keluarga untuk hadir dipernikahan Syahda minggu depan."
Meski acara yang pastinya meriah itu akan digelar tujuh hari dari sekarang, tetapi Kartini sudah melihat kerangka Tarup* berdiri kokoh sepanjang tujuh keping papan.
"Insya Allah, bu."
.................
Esok paginya, tahu-tahu Kartini ada diruangan formal sendirian. Katanya menunggu sebentar, tetapi kegiatan itu membuatnya jengah. Jadilah sebagai kompromi, Kartini membiarkan matanya menjelajah ke setiap sudut. Dan terhenti pada sebuah gambar. Oh, pikirnya. Memang sudah lama sekali tidak melihatnya. Sesosok pahlawan wanita mampang di dinding ruang tersebut diantara deretan presiden RI dan pahlawan kemerdekaan lainnya. Tak lain dan tak bukan adalah R.A Kartini. Kata ibunya dulu, namanya sengaja mengambil dari pelopor wanita Indonesia itu agar dirinya kelak juga setangguh R.A Kartini.
Kenyataan berbicara terbalik. Jelas ia lebih tangguh dari yang pernah dibayangkan ibunya. Kartini merangkap ibu dan kepala keluarga sekarang. Itulah mengapa dia ada disini.
Seorang perempuan pertengahan empat puluh masuk dengan manis. Mengumbar senyum memikat sehingga Kartini terpaksa membalasnya dengan senang hati. "Selamat pagi, ibu. Silakan duduk."
Padahal Kartini sudah duduk dari tadi. "Pagi bu guru. Saya Kartini ibunya Tomi," ucap Kartini mantap sembari mengikut perintah sang guru anaknya.
Tomi, kalau dikatakan 'kecelakan', ya tidak salah sih. Suedi dan dirinya mengira Madin, anak ketiga yang telah wafat, adalah zuriat terakhir yang bisa mereka lahirkan. Rupanya salah. Suatu pagi pada lima tahun setelahnya ketika Kartini tidak lagi mengamalkan pil kontrasepsi dan merasa dirinya tidak mampu lagi mengandung, wanita itu muntah-muntah. Dikira masuk angin saja, eh rupanya jabang bayi Tomi menendang-nendang rahimnya. Barangkali itu pertanda putra bungsunya sekarang ini agak 'nakal'.
"Jadi begini bu Kartini. Tapi maaf sebelumnya," ia berhenti sejenak. "Tomi, kami kira sudah melampaui batas. Semua guru mengeluh dengan sikapnya yang memberontak terang-terangan. Belum lagi para siswi yang tidak jarang menangis atas kejahilannya. Sedangkan siswa pula, menjadikan Tomi sebagai anak yang patut diajak berkelahi," wanita itu mendesah berat. Berharap ucapannya tidak terlalu menyinggung meski apa yang dikatakannya tidak ada yang ditutupi.
Kartini heran. Kok bisa-bisanya Tomi dipandang seperti itu. Oleh guru yang seharusnya membimbingnya lagi! Bukankah anaknya itu dirumah biasa-biasa saja. Dalam artian tidak seliar yang dikatakan oleh guru berjilbab dihadapannya. "Wah saya sangat terkejut bu. Dan kalau boleh berkata jujur, saya sangat tidak percaya. Tomi, anak saya itu anak baik, bu. Sumpah."
"Itu kenyataan, ibu. Pertemuan ini bukan diputuskan dalam waktu singkat. Kami, para dewan guru telah mendiskusikan panjang lebar masalah Tomi itu. Kalau di sekolah lain, barangkali anak seperti Tomi itu sudah di keluarkan. Hanya saja kami menunda. Dengan peringatan-peringatan keras kepadanya, kami berharap ia sadar. Dan nyatanya...."
Kartini tercengang. "Jadi maksud ibu guru, kedatangan saya kesini hanya untuk mendengar bahwa sekolah mendepak Tomi? Oh, sekolah macam apa ini. Dulu, jaman kami bu," Nafas Kartini mulai memburu. "Anak-anak nakal juga banyak. Malah yang lebih nakal dari Tomi sekalipun. Tetapi guru tidak pernah berpikir akan mengeluarkan kami dari sekolah. Paling-paling disuruh menyikat WC. Itu saja."
"Tetap saja lain, bu. Apa yang Tomi lakukan bukan hanya dapat merugikan dirinya sendiri, tetapi juga berdampak pada sekolah secara keseluruhan. Maka sekolah akan menskor Tomi selama seminggu sebagai percobaan."
"Sko..r. Apa itu?"
Kartini segera menerjemah sendiri arti kata Skor. Mungkin di keluarkan.
Baiklah!" kata Kartini kasar dan langsung berdiri. "Tomi anak baik dan sekolah ini saja yang yang tidak bisa mendidiknya dengan baik. Aku, Kartini, biar aku sendiri yang mendidik Tomi." Kata-kata itu meluncur begitu saja penuh dengan emosi. Rasa-rasanya ia pernah membaca atau mendengar apa yang dikatannya tadi. Tapi dimana ya? Ah, sudahlah. Sekarang sekolah bahkan tidak lagi peduli dengan anaknya. Tomi, Tomi. Malang benar engkau nak. Tapi ibu berjanji akan mengajarimu dengan benar!
Kartini lupa bahwa Tomi sekarang duduk di kelas VII, bukan anak SD lagi.
Ketika Kartini membuka pintu, Tomi menunduk lesu disana. Aduh anakku, mari kita pergi saja dari sini.
Sementara bu guru yang sekaligus berpangkat kepala sekolah itu hanya bisa menggeleng pelan.
...............
Setelah azan dan shalat subuh.
Sebelum berangkat menuju hutan, Kartini memerintahkan Tomi untuk mengumpulkan semua buku pelajarannya. Sesuai ucapannya pada guru Tomi, ia sendiri yang akan mengajar Tomi. Mungkinkah itu? Tanda tanya besar dan rasa malu berkelebat saat menyadari dirinya pun tidak kelar SMP. Nasi sudah jadi bubur, Kartini akan mencoba sebisanya. Paling tidak sebagai pengawas saja ketika anaknya membaca dan mengerjakan latihan.
Tomi mengangguk dengan mata terpejam. Lagi, rasa kasihan menyelinap dibenak Kartini bila teringat apa perbuatan sekolah pada dirinya. Anak sebaik itu, kenapa mesti mendapat hukuman seberat ini?
Masih sepeda onta itu juga yang meringankan bawaan Kartini dari hutan. Setengah karung lima puluh kilogram yang berisi pakis segar baik-baik diikatnya di boncengan. Dan pakis-pakis itu juga sudah dibagi untuk dijual seharga seribu lima ratus per ikatnya.
Pintu dapurlah yang menjadi gerbang utama setiap kali sampai ke rumah. Di situ, ia dengan mudah meraih gelas dan air putih. Menyiram tenggorokannya sambil melemaskan engsel-engsel tubuh. Tak beda dengan hari itu juga. Hanya saja ada yang aneh dari biasanya. Ada asap menyembul dari kamar Tomi. Kebakaran? Ha...kebakaran!
Cepat-cepat Kartini berdiri. Mengisi ember dengan air sebagai tindakan pertama pada kejadian. Cepat, sigap, tanggap. Hal semacam itu sempat dipelajarinya sewaktu pramuka di masa SD. Secara tidak langsung diterapkannya dalam kehidupan berumah tangga saat ini. Seperti pertama kali melihat suaminya tidak lagi bisa menafkahi keluarga. Maka langkah pertama yang diambilnya adalah mengambil peran. Membajakan ototnya sendiri. Apapun pekerjaan akan dilakukan, asal halal.
Bruuk...
Pintu kamar terbuka secara paksa yang memang hanya berkunci sepotong papan kecil yang dipaku di tengahnya. Tomi terkesiap, Kartini lebih terkesiap lagi. Kata-kata yang didengarnya dari sekolah kemarin pagi seolah terulang kembali. Yang intinya menyudutkan Tomi. Tidak beruntungnya, itu semuanya terbukti di depan mata. Tomi, anaknya liar dibelakangnya.
"Ibu...." ucap Tomi tertahan.
Kartini mendekat. Merenggut rokok yang menyelip di jemari anaknya. Lalu melemparkannya keluar lewat jendela. Ingin rasanya Kartini menempeleng saja si bungsu tersebut. Mukanya memerah memendam marah.
"Ada apa, Tini?" Suara lain terdengar dari kamar seberang. Itu Suedi.
Tidak mau masalah ini semakin melebar, Kartini memincing Tomi. Matanya terbelalak. "Sudah berapa lama?"
Tomi jelas tidak bisa mengingat atau tidak mencoba untuk mengingat. Soalnya, kalau ia berkata jujur, maka ibunya akan lebih naik pitam. "Dari kelas lima SD," jawabnya dalam hati.
"Bulan ini, bu," Tomi berbohong.
Kartini tidak bodoh untuk melihat kebenaran ucapan anaknya. Pasti Tomi telah lama mulai mengisap benda lintingan tersebut. Tampak pada caranya menyesap serta memegang rokoknya tadi. Yang dikesalkannya adalah kenapa tidak sedari awal ini diketahuinya.
Oya, semua perhatiannya terbagi sejak ia melakoni kerja diluar rumah. Perhatian pada Tomi menjadi kurang. Begitu juga dengan Doni dan Jana. Jana? Jangan-jangan? Tidak! Ia tidak boleh berpikir yang bukan-bukan.
Tapi terasa semuanya kini tampak saling berkaitan. Dulu, Karlan calon menantunya menolak untuk segera ke pelaminan bersama Jana. Belum cukup uang alasannya. Lalu sebulan kemudian, menyatakan bersedia untuk menuju kesana. Jika tidak kenapa-napa, kenapa musti bersegera.
Ya Allah. Apa yang sebenarnya terjadi. Jana akan dimintanya berterus terang kelak. Sekarang urusannya dengan Tomi. Anak yang diharapkannya paling tidak bisa mencapai bangku SMA. Dan yang terjadi malah...
"Ibu marah atau memukulimu pun tidak akan ada gunanya. Ibu benar-benar kecewa. Sebaiknya ibu menarik kata-kata kemarin pada gurumu nanti. Mereka benar, ibu yang salah." Kartini terhenyak. Dadanya sesak dan tubuhnya seolah mau rebah seandainya tidak ditopang dinding kayu rumahnya. Kesempurnaan yang dibanggakannya dulu, berkecai pelan-pelan.
"Maafkan Tomi, bu..." Kesan kekanak-kanakannya muncul lagi. Kasihan dan kesal berbaur di benak Kartini.
"Kalau tentang memaafkan, seorang ibu pasti memaafkan. Tapi bukan itu masalahnya. Kecewa. Kamu tahu Tomi. Ibu kecewa."
Keheningan seketika itu pecah lagi oleh suara lain. Ya, Suedi di kamar sebelah. "Tini, kamu belum jawab. Ada apa?"
"Tidak ada apa-apa, bang." Jawabnya datar.
"Oke, kita buat kesepakatan. Dan hanya ini yang bisa buat ibu kembali percaya padamu," Kartini menelan ludahnya. "Kalau kau ingin tetap sekolah, bersekolah yang benar. Jangan memperpanjang kesan buruk seluruh pihak sekolah padamu. Itu pilihan pertama. Kedua," kali ini Kartini menghentikan aliran bening yang menyerempet dari celah matanya dengan tangannya.
"Yang kedua, kau mengikut ibu saja berjualan pakis, mengumpulkan kayu di hutan lalu menjualnya, mengambil upah menebas rumput, dan banyak kali membantu acara pernikahan warga. Sebenarnya pilihannya ada tiga, hanya umurmu masih belum bisa. Tujuh belas baru bisa membuat KTP dan melapor menjadi TKI."
Harap-harap cemas Kartini agar Tomi tidak memilih yang kedua.
................
Jaman Kartini muda dulu, yang namanya acara pernikahan adalah sesuatu yang sakral. Itu adalah pesta memeriahkan bertemunya dua makhluk dalam rangka membangun mahligai rumah tangga. Tidak sembarangan membangun, dasarnya adalah cinta. Dibalik itu, prosesi menuju kesana juga terbilang suci. Tidak ada yang namanya pacaran terang-terangan, meski intip malu-malu itu juga ada. Sang lelaki dengan sopan dan berbudi mendatangi rumah calon mertua. Meminta dengan hormat anak perempuannya. Dan tak lama kemudian, tikar pun digelar.
Kartini benar-benar merasa gagal saat mendengar pengakuan Jana. Tidak menyalahkan putrinya itu sepenuhnya atas apa yang terlanjur terjadi, melainkan diri sendiri. Pendidikan agama lingkup keluarga selama ini dinomorduakan. Pengetahuan kesitu seumpama air mengalir. Tahu, cukup. Tak tahu, mana peduli.
..............
Ia berdiri di depan kaca yang melekat pada tubuh lemari tua. Mengesampingkan keberadaan suaminya yang menatapnya lekat tanpa bicara. Kartini pun tidak hendak bicara dengan suaminya kala itu. Satu-satunya orang yang ingin diajaknya bicara hanyalah ibunya. Benar sekali, menyarankan agar ibunya memberinya nama dengan nama selain Kartini.
..............
Waktu bergulir mengikut kodratnya. Selama nyawa dan esok masih ada, Kartini akan berbuat apa yang mesti dibuat. Menambal kebocoran-kebocoran dalam perahu rumah tangganya. Melayani suaminya yang semakin pucat, menimang cucunya yang lahir enam bulan setelah pernikahan dengan perasaan pelangi. Tanpa menyalahkan kelahirannya sedikitpun. Yang berdosa adalah kedua orang tuanya. Mendoakan keluarga Jana menjadi SAMARA, walau ia sendiri tidak yakin apakah bakal terkabul. Hanya terus berdoa saja. Setiap orang, termasuk dirinya bukanlah makhluk suci. Kecuali sang nabi tentunya.
Selain itu, Kartini juga lebih sering bolak-balik bank untuk menyimpan uang kiriman dari Doni. Kadang-kadang juga mengurangi jumlah tabungan untuk biaya berobat suaminya. Dan yang bisa membuat Kartini sedikit tersenyum adalah Tomi. Si bungsu sejauh ini menepati janjinya untuk belajar dengan baik. Nilainya memang belum bisa dibanggakan, yang penting semangat belajarnya dulu.
Esok paginya, tahu-tahu Kartini ada diruangan formal sendirian. Katanya menunggu sebentar, tetapi kegiatan itu membuatnya jengah. Jadilah sebagai kompromi, Kartini membiarkan matanya menjelajah ke setiap sudut. Dan terhenti pada sebuah gambar. Oh, pikirnya. Memang sudah lama sekali tidak melihatnya. Sesosok pahlawan wanita mampang di dinding ruang tersebut diantara deretan presiden RI dan pahlawan kemerdekaan lainnya. Tak lain dan tak bukan adalah R.A Kartini. Kata ibunya dulu, namanya sengaja mengambil dari pelopor wanita Indonesia itu agar dirinya kelak juga setangguh R.A Kartini.
Kenyataan berbicara terbalik. Jelas ia lebih tangguh dari yang pernah dibayangkan ibunya. Kartini merangkap ibu dan kepala keluarga sekarang. Itulah mengapa dia ada disini.
Seorang perempuan pertengahan empat puluh masuk dengan manis. Mengumbar senyum memikat sehingga Kartini terpaksa membalasnya dengan senang hati. "Selamat pagi, ibu. Silakan duduk."
Padahal Kartini sudah duduk dari tadi. "Pagi bu guru. Saya Kartini ibunya Tomi," ucap Kartini mantap sembari mengikut perintah sang guru anaknya.
Tomi, kalau dikatakan 'kecelakan', ya tidak salah sih. Suedi dan dirinya mengira Madin, anak ketiga yang telah wafat, adalah zuriat terakhir yang bisa mereka lahirkan. Rupanya salah. Suatu pagi pada lima tahun setelahnya ketika Kartini tidak lagi mengamalkan pil kontrasepsi dan merasa dirinya tidak mampu lagi mengandung, wanita itu muntah-muntah. Dikira masuk angin saja, eh rupanya jabang bayi Tomi menendang-nendang rahimnya. Barangkali itu pertanda putra bungsunya sekarang ini agak 'nakal'.
"Jadi begini bu Kartini. Tapi maaf sebelumnya," ia berhenti sejenak. "Tomi, kami kira sudah melampaui batas. Semua guru mengeluh dengan sikapnya yang memberontak terang-terangan. Belum lagi para siswi yang tidak jarang menangis atas kejahilannya. Sedangkan siswa pula, menjadikan Tomi sebagai anak yang patut diajak berkelahi," wanita itu mendesah berat. Berharap ucapannya tidak terlalu menyinggung meski apa yang dikatakannya tidak ada yang ditutupi.
Kartini heran. Kok bisa-bisanya Tomi dipandang seperti itu. Oleh guru yang seharusnya membimbingnya lagi! Bukankah anaknya itu dirumah biasa-biasa saja. Dalam artian tidak seliar yang dikatakan oleh guru berjilbab dihadapannya. "Wah saya sangat terkejut bu. Dan kalau boleh berkata jujur, saya sangat tidak percaya. Tomi, anak saya itu anak baik, bu. Sumpah."
"Itu kenyataan, ibu. Pertemuan ini bukan diputuskan dalam waktu singkat. Kami, para dewan guru telah mendiskusikan panjang lebar masalah Tomi itu. Kalau di sekolah lain, barangkali anak seperti Tomi itu sudah di keluarkan. Hanya saja kami menunda. Dengan peringatan-peringatan keras kepadanya, kami berharap ia sadar. Dan nyatanya...."
Kartini tercengang. "Jadi maksud ibu guru, kedatangan saya kesini hanya untuk mendengar bahwa sekolah mendepak Tomi? Oh, sekolah macam apa ini. Dulu, jaman kami bu," Nafas Kartini mulai memburu. "Anak-anak nakal juga banyak. Malah yang lebih nakal dari Tomi sekalipun. Tetapi guru tidak pernah berpikir akan mengeluarkan kami dari sekolah. Paling-paling disuruh menyikat WC. Itu saja."
"Tetap saja lain, bu. Apa yang Tomi lakukan bukan hanya dapat merugikan dirinya sendiri, tetapi juga berdampak pada sekolah secara keseluruhan. Maka sekolah akan menskor Tomi selama seminggu sebagai percobaan."
"Sko..r. Apa itu?"
Kartini segera menerjemah sendiri arti kata Skor. Mungkin di keluarkan.
Baiklah!" kata Kartini kasar dan langsung berdiri. "Tomi anak baik dan sekolah ini saja yang yang tidak bisa mendidiknya dengan baik. Aku, Kartini, biar aku sendiri yang mendidik Tomi." Kata-kata itu meluncur begitu saja penuh dengan emosi. Rasa-rasanya ia pernah membaca atau mendengar apa yang dikatannya tadi. Tapi dimana ya? Ah, sudahlah. Sekarang sekolah bahkan tidak lagi peduli dengan anaknya. Tomi, Tomi. Malang benar engkau nak. Tapi ibu berjanji akan mengajarimu dengan benar!
Kartini lupa bahwa Tomi sekarang duduk di kelas VII, bukan anak SD lagi.
Ketika Kartini membuka pintu, Tomi menunduk lesu disana. Aduh anakku, mari kita pergi saja dari sini.
Sementara bu guru yang sekaligus berpangkat kepala sekolah itu hanya bisa menggeleng pelan.
...............
Setelah azan dan shalat subuh.
Sebelum berangkat menuju hutan, Kartini memerintahkan Tomi untuk mengumpulkan semua buku pelajarannya. Sesuai ucapannya pada guru Tomi, ia sendiri yang akan mengajar Tomi. Mungkinkah itu? Tanda tanya besar dan rasa malu berkelebat saat menyadari dirinya pun tidak kelar SMP. Nasi sudah jadi bubur, Kartini akan mencoba sebisanya. Paling tidak sebagai pengawas saja ketika anaknya membaca dan mengerjakan latihan.
Tomi mengangguk dengan mata terpejam. Lagi, rasa kasihan menyelinap dibenak Kartini bila teringat apa perbuatan sekolah pada dirinya. Anak sebaik itu, kenapa mesti mendapat hukuman seberat ini?
Masih sepeda onta itu juga yang meringankan bawaan Kartini dari hutan. Setengah karung lima puluh kilogram yang berisi pakis segar baik-baik diikatnya di boncengan. Dan pakis-pakis itu juga sudah dibagi untuk dijual seharga seribu lima ratus per ikatnya.
Pintu dapurlah yang menjadi gerbang utama setiap kali sampai ke rumah. Di situ, ia dengan mudah meraih gelas dan air putih. Menyiram tenggorokannya sambil melemaskan engsel-engsel tubuh. Tak beda dengan hari itu juga. Hanya saja ada yang aneh dari biasanya. Ada asap menyembul dari kamar Tomi. Kebakaran? Ha...kebakaran!
Cepat-cepat Kartini berdiri. Mengisi ember dengan air sebagai tindakan pertama pada kejadian. Cepat, sigap, tanggap. Hal semacam itu sempat dipelajarinya sewaktu pramuka di masa SD. Secara tidak langsung diterapkannya dalam kehidupan berumah tangga saat ini. Seperti pertama kali melihat suaminya tidak lagi bisa menafkahi keluarga. Maka langkah pertama yang diambilnya adalah mengambil peran. Membajakan ototnya sendiri. Apapun pekerjaan akan dilakukan, asal halal.
Bruuk...
Pintu kamar terbuka secara paksa yang memang hanya berkunci sepotong papan kecil yang dipaku di tengahnya. Tomi terkesiap, Kartini lebih terkesiap lagi. Kata-kata yang didengarnya dari sekolah kemarin pagi seolah terulang kembali. Yang intinya menyudutkan Tomi. Tidak beruntungnya, itu semuanya terbukti di depan mata. Tomi, anaknya liar dibelakangnya.
"Ibu...." ucap Tomi tertahan.
Kartini mendekat. Merenggut rokok yang menyelip di jemari anaknya. Lalu melemparkannya keluar lewat jendela. Ingin rasanya Kartini menempeleng saja si bungsu tersebut. Mukanya memerah memendam marah.
"Ada apa, Tini?" Suara lain terdengar dari kamar seberang. Itu Suedi.
Tidak mau masalah ini semakin melebar, Kartini memincing Tomi. Matanya terbelalak. "Sudah berapa lama?"
Tomi jelas tidak bisa mengingat atau tidak mencoba untuk mengingat. Soalnya, kalau ia berkata jujur, maka ibunya akan lebih naik pitam. "Dari kelas lima SD," jawabnya dalam hati.
"Bulan ini, bu," Tomi berbohong.
Kartini tidak bodoh untuk melihat kebenaran ucapan anaknya. Pasti Tomi telah lama mulai mengisap benda lintingan tersebut. Tampak pada caranya menyesap serta memegang rokoknya tadi. Yang dikesalkannya adalah kenapa tidak sedari awal ini diketahuinya.
Oya, semua perhatiannya terbagi sejak ia melakoni kerja diluar rumah. Perhatian pada Tomi menjadi kurang. Begitu juga dengan Doni dan Jana. Jana? Jangan-jangan? Tidak! Ia tidak boleh berpikir yang bukan-bukan.
Tapi terasa semuanya kini tampak saling berkaitan. Dulu, Karlan calon menantunya menolak untuk segera ke pelaminan bersama Jana. Belum cukup uang alasannya. Lalu sebulan kemudian, menyatakan bersedia untuk menuju kesana. Jika tidak kenapa-napa, kenapa musti bersegera.
Ya Allah. Apa yang sebenarnya terjadi. Jana akan dimintanya berterus terang kelak. Sekarang urusannya dengan Tomi. Anak yang diharapkannya paling tidak bisa mencapai bangku SMA. Dan yang terjadi malah...
"Ibu marah atau memukulimu pun tidak akan ada gunanya. Ibu benar-benar kecewa. Sebaiknya ibu menarik kata-kata kemarin pada gurumu nanti. Mereka benar, ibu yang salah." Kartini terhenyak. Dadanya sesak dan tubuhnya seolah mau rebah seandainya tidak ditopang dinding kayu rumahnya. Kesempurnaan yang dibanggakannya dulu, berkecai pelan-pelan.
"Maafkan Tomi, bu..." Kesan kekanak-kanakannya muncul lagi. Kasihan dan kesal berbaur di benak Kartini.
"Kalau tentang memaafkan, seorang ibu pasti memaafkan. Tapi bukan itu masalahnya. Kecewa. Kamu tahu Tomi. Ibu kecewa."
Keheningan seketika itu pecah lagi oleh suara lain. Ya, Suedi di kamar sebelah. "Tini, kamu belum jawab. Ada apa?"
"Tidak ada apa-apa, bang." Jawabnya datar.
"Oke, kita buat kesepakatan. Dan hanya ini yang bisa buat ibu kembali percaya padamu," Kartini menelan ludahnya. "Kalau kau ingin tetap sekolah, bersekolah yang benar. Jangan memperpanjang kesan buruk seluruh pihak sekolah padamu. Itu pilihan pertama. Kedua," kali ini Kartini menghentikan aliran bening yang menyerempet dari celah matanya dengan tangannya.
"Yang kedua, kau mengikut ibu saja berjualan pakis, mengumpulkan kayu di hutan lalu menjualnya, mengambil upah menebas rumput, dan banyak kali membantu acara pernikahan warga. Sebenarnya pilihannya ada tiga, hanya umurmu masih belum bisa. Tujuh belas baru bisa membuat KTP dan melapor menjadi TKI."
Harap-harap cemas Kartini agar Tomi tidak memilih yang kedua.
................
Jaman Kartini muda dulu, yang namanya acara pernikahan adalah sesuatu yang sakral. Itu adalah pesta memeriahkan bertemunya dua makhluk dalam rangka membangun mahligai rumah tangga. Tidak sembarangan membangun, dasarnya adalah cinta. Dibalik itu, prosesi menuju kesana juga terbilang suci. Tidak ada yang namanya pacaran terang-terangan, meski intip malu-malu itu juga ada. Sang lelaki dengan sopan dan berbudi mendatangi rumah calon mertua. Meminta dengan hormat anak perempuannya. Dan tak lama kemudian, tikar pun digelar.
Kartini benar-benar merasa gagal saat mendengar pengakuan Jana. Tidak menyalahkan putrinya itu sepenuhnya atas apa yang terlanjur terjadi, melainkan diri sendiri. Pendidikan agama lingkup keluarga selama ini dinomorduakan. Pengetahuan kesitu seumpama air mengalir. Tahu, cukup. Tak tahu, mana peduli.
..............
Ia berdiri di depan kaca yang melekat pada tubuh lemari tua. Mengesampingkan keberadaan suaminya yang menatapnya lekat tanpa bicara. Kartini pun tidak hendak bicara dengan suaminya kala itu. Satu-satunya orang yang ingin diajaknya bicara hanyalah ibunya. Benar sekali, menyarankan agar ibunya memberinya nama dengan nama selain Kartini.
..............
Waktu bergulir mengikut kodratnya. Selama nyawa dan esok masih ada, Kartini akan berbuat apa yang mesti dibuat. Menambal kebocoran-kebocoran dalam perahu rumah tangganya. Melayani suaminya yang semakin pucat, menimang cucunya yang lahir enam bulan setelah pernikahan dengan perasaan pelangi. Tanpa menyalahkan kelahirannya sedikitpun. Yang berdosa adalah kedua orang tuanya. Mendoakan keluarga Jana menjadi SAMARA, walau ia sendiri tidak yakin apakah bakal terkabul. Hanya terus berdoa saja. Setiap orang, termasuk dirinya bukanlah makhluk suci. Kecuali sang nabi tentunya.
Selain itu, Kartini juga lebih sering bolak-balik bank untuk menyimpan uang kiriman dari Doni. Kadang-kadang juga mengurangi jumlah tabungan untuk biaya berobat suaminya. Dan yang bisa membuat Kartini sedikit tersenyum adalah Tomi. Si bungsu sejauh ini menepati janjinya untuk belajar dengan baik. Nilainya memang belum bisa dibanggakan, yang penting semangat belajarnya dulu.