Minggu, 28 April 2013 0 Messages

Kartini

Menginjak usia yang empat puluh hari ini, Kartini tetap mengenakan kebaya, sanggul, dan konde. Hanya saja ketiga benda tersebut berwujud lain dengan kebanyakan. Kebayanya adalah baju training lelong yang kebesaran, sanggulnya berupa baju kaos sebuah partai yang gambarnya hampir pudar, dipasang di kepala dengan ikatan sedemikian rupa menyerupai ninja, serta konde yang dipakainya adalah topi camping yang sobek di bagian depan. Tidak ada acara mematut diri di depan kaca untuk memastikan penampilannya "wah". Karena apa? Karena itu dilakukannya hampir setiap haris sejak dua tahun terakhir. 

Kartini, nama pemberian ibunya itu sederhana. Sesederhana rupa fisiknya. Terlahir dengan muka yang tak bisa dibilang cantik. Menarik? Ya, kalau dari sudut pandang Suedi, suaminya yang berpaut lebih tua lima belas tahun darinya. Namun, wanita itu peduli apa. Kalau berbicara fitrah, ia telah menjalankan tugasnya dengan sempurna. Istri dan ibu yang sempurna. Bila dipikir-pikir, apalagi yang lebih hebat dari itu. 

Doni, anak lelakinya telah mandiri dengan merantau ke negeri tetangga hampir setahun lalu. Berbekal ijazah SMP, pemuda belia itu bahkan telah menabung untuk membeli simbol kesuksesan di kampung. Sepeda motor keluaran terkini. Tak pedulillah cara kredit atau kontan. Yang terpenting, dengan menyimpan satu kaki panjang tersebut dirumah, menandakan bentuk kongkrit perbaikan ekonomi keluarga. Selain itu, Doni juga telah mampu membelikannya Handphone. Itu gunanya punya anak. Sedikit banyak bisa membahagiakan orang tua. 

Jana pula, anak perempuannya, kakaknya Doni, bulan depan akan melepas status lajang. Awalnya Kartini kaget mendapati putrinya harus menikah di usia masuk dua puluh, tapi ia lega lantaran usianya lebih muda dua tahun sewaktu menikah dulu. Dan mesti menunggu dua kali lebaran baru mendapat tanda mengandung anak pertama. Ya, Jana itu. 

Kartini memasang kaki sepeda onta peninggalan suaminya. Sebenarnya kata peninggalan tidaklah tepat. Suedi masih ada di depan mata. Hanya hidup segan mati tak mau. Padahal baru lima puluh lima tahun, lelaki itu kelihatan jauh lebih renta. Sering batuk-batuk yang sesekali berdarah. Pengobatan yang diladeni hanyalah berkisar suntikan dari mantri. Suaminya itu cukup pengertian kok, tahu diri tidak bisa bekerja lagi, ia dengan senang hati menjemput kedatangan malaikat maut kapan saja. Bukannya sudah siap, cuma biaya  terlalu mahal. Demikian kilahnya pada Kartini saat istrinya membujuk berobat ke rumah sakit. Menggunakan atau pinjam uang tabungan Doni dulu.

Lima ikat kayu bakar telahpun bertengger mantap di sepedanya. Kartini tidak membuang waktu untuk beranjak dari rumahnya menuju kediaman bu Lena. Lima ikat sebelumnya telah di kirimkannya kemarin. Meski tidak tamat SMP, Kartini tahu pendapatan yang didapat. Lima puluh ribu akan diterimanya dari bu Lena hari ini.  

"Terima kasih bu."

Kartini memasukkan selembar kertas berwarna biru ke dalam saku training. Menyeka peluh sekenanya di jidat. Dan menjadikan topi sebagai kipas. "Saya yang harusnya berterima kasih sama ibu." 

"Oh ya, bu Tini. Sekalian saja, saya mengundang ibu beserta keluarga untuk hadir dipernikahan Syahda minggu depan." 

Meski acara yang pastinya meriah itu akan digelar tujuh hari dari sekarang, tetapi Kartini sudah melihat kerangka Tarup* berdiri kokoh sepanjang tujuh keping papan. 

"Insya Allah, bu."
.................
Esok paginya, tahu-tahu Kartini ada diruangan formal sendirian. Katanya menunggu sebentar, tetapi kegiatan itu membuatnya jengah. Jadilah sebagai kompromi, Kartini membiarkan matanya menjelajah ke setiap sudut. Dan terhenti pada sebuah gambar. Oh, pikirnya. Memang sudah lama sekali tidak melihatnya. Sesosok pahlawan wanita mampang di dinding ruang tersebut diantara deretan presiden RI dan pahlawan kemerdekaan lainnya. Tak lain dan tak bukan adalah R.A Kartini. Kata ibunya dulu, namanya sengaja mengambil dari pelopor wanita Indonesia itu agar dirinya kelak juga setangguh R.A Kartini.

Kenyataan berbicara terbalik. Jelas ia lebih tangguh dari yang pernah dibayangkan ibunya. Kartini merangkap ibu dan kepala keluarga sekarang. Itulah mengapa dia ada disini.

Seorang perempuan pertengahan empat puluh masuk dengan manis. Mengumbar senyum memikat sehingga Kartini terpaksa membalasnya dengan senang hati. "Selamat pagi, ibu. Silakan duduk."

Padahal Kartini sudah duduk dari tadi. "Pagi bu guru. Saya Kartini ibunya Tomi," ucap Kartini mantap sembari mengikut perintah sang guru anaknya.

Tomi, kalau dikatakan 'kecelakan', ya tidak salah sih. Suedi dan dirinya mengira Madin, anak ketiga yang telah wafat, adalah zuriat terakhir yang bisa mereka lahirkan. Rupanya salah. Suatu pagi pada lima tahun setelahnya ketika Kartini tidak lagi mengamalkan pil kontrasepsi dan merasa dirinya tidak mampu lagi mengandung, wanita itu muntah-muntah. Dikira masuk angin saja, eh rupanya jabang bayi Tomi menendang-nendang rahimnya. Barangkali itu pertanda putra bungsunya sekarang ini agak 'nakal'.

"Jadi begini bu Kartini. Tapi maaf sebelumnya," ia berhenti sejenak. "Tomi, kami kira sudah melampaui batas. Semua guru mengeluh dengan sikapnya yang memberontak terang-terangan. Belum lagi para siswi yang tidak jarang menangis atas kejahilannya. Sedangkan siswa pula, menjadikan Tomi sebagai anak yang patut diajak berkelahi," wanita itu mendesah berat. Berharap ucapannya tidak terlalu menyinggung meski apa yang dikatakannya tidak ada yang ditutupi.

Kartini heran. Kok bisa-bisanya Tomi dipandang seperti itu. Oleh guru yang seharusnya membimbingnya lagi! Bukankah anaknya itu dirumah biasa-biasa saja. Dalam artian tidak seliar yang dikatakan oleh guru berjilbab dihadapannya. "Wah saya sangat terkejut bu. Dan kalau boleh berkata jujur, saya sangat tidak percaya. Tomi, anak saya itu anak baik, bu. Sumpah."

"Itu kenyataan, ibu. Pertemuan ini bukan diputuskan dalam waktu singkat. Kami, para dewan guru telah mendiskusikan panjang lebar masalah Tomi itu. Kalau di sekolah lain, barangkali anak seperti Tomi itu sudah di keluarkan. Hanya saja kami menunda. Dengan peringatan-peringatan keras kepadanya, kami berharap ia sadar. Dan nyatanya...."

Kartini tercengang. "Jadi maksud ibu guru, kedatangan saya kesini hanya untuk mendengar bahwa sekolah mendepak Tomi? Oh, sekolah macam apa ini. Dulu, jaman kami bu," Nafas Kartini mulai memburu. "Anak-anak nakal juga banyak. Malah yang lebih nakal dari Tomi sekalipun. Tetapi guru tidak pernah berpikir akan mengeluarkan kami dari sekolah. Paling-paling disuruh menyikat WC. Itu saja."

"Tetap saja lain, bu. Apa yang Tomi lakukan bukan hanya dapat merugikan dirinya sendiri, tetapi juga berdampak pada sekolah secara keseluruhan. Maka sekolah akan menskor Tomi selama seminggu sebagai percobaan."

"Sko..r. Apa itu?"
Kartini segera menerjemah sendiri arti kata Skor. Mungkin di keluarkan.
Baiklah!" kata Kartini kasar dan langsung berdiri. "Tomi anak baik dan sekolah ini saja yang yang tidak bisa mendidiknya dengan baik. Aku, Kartini, biar aku sendiri yang mendidik Tomi." Kata-kata itu meluncur begitu saja penuh dengan emosi. Rasa-rasanya ia pernah membaca atau mendengar apa yang dikatannya tadi. Tapi dimana ya? Ah, sudahlah. Sekarang sekolah bahkan tidak lagi peduli dengan anaknya. Tomi, Tomi. Malang benar engkau nak. Tapi ibu berjanji akan mengajarimu dengan benar!

Kartini lupa bahwa Tomi sekarang duduk di kelas VII, bukan anak SD lagi.

Ketika Kartini membuka pintu, Tomi menunduk lesu disana. Aduh anakku, mari kita pergi saja dari sini.
Sementara bu guru yang sekaligus berpangkat kepala sekolah itu hanya bisa menggeleng pelan.

...............
Setelah azan dan shalat subuh.

Sebelum berangkat menuju hutan, Kartini memerintahkan Tomi untuk mengumpulkan semua buku pelajarannya. Sesuai ucapannya pada guru Tomi, ia sendiri yang akan mengajar Tomi. Mungkinkah itu? Tanda tanya besar dan rasa malu berkelebat saat menyadari dirinya pun tidak kelar SMP. Nasi sudah jadi bubur, Kartini akan mencoba sebisanya. Paling tidak sebagai pengawas saja ketika anaknya membaca dan mengerjakan latihan.

Tomi mengangguk dengan mata terpejam. Lagi, rasa kasihan menyelinap dibenak Kartini bila teringat apa perbuatan sekolah pada dirinya. Anak sebaik itu, kenapa mesti mendapat hukuman seberat ini?

Masih sepeda onta itu juga yang meringankan bawaan Kartini dari hutan. Setengah karung lima puluh kilogram yang berisi pakis segar baik-baik diikatnya di boncengan. Dan pakis-pakis itu juga sudah dibagi untuk dijual seharga seribu lima ratus per ikatnya.

Pintu dapurlah yang menjadi gerbang utama setiap kali sampai ke rumah. Di situ, ia dengan mudah meraih gelas dan air putih. Menyiram tenggorokannya sambil melemaskan engsel-engsel tubuh. Tak beda dengan hari itu juga. Hanya saja ada yang aneh dari biasanya. Ada asap menyembul dari kamar Tomi. Kebakaran? Ha...kebakaran!

Cepat-cepat Kartini berdiri. Mengisi ember dengan air sebagai tindakan pertama pada kejadian. Cepat, sigap, tanggap. Hal semacam itu sempat dipelajarinya sewaktu pramuka di masa SD. Secara tidak langsung diterapkannya dalam kehidupan berumah tangga saat ini. Seperti pertama kali melihat suaminya tidak lagi bisa menafkahi keluarga. Maka langkah pertama yang diambilnya adalah mengambil peran. Membajakan ototnya sendiri. Apapun pekerjaan akan dilakukan, asal halal.

Bruuk...

Pintu kamar terbuka secara paksa yang memang hanya berkunci sepotong papan kecil yang dipaku di tengahnya. Tomi terkesiap, Kartini lebih terkesiap lagi. Kata-kata yang didengarnya dari sekolah kemarin pagi seolah terulang kembali. Yang intinya menyudutkan Tomi. Tidak beruntungnya, itu semuanya terbukti di depan mata. Tomi, anaknya liar dibelakangnya.

"Ibu...." ucap Tomi tertahan.

Kartini mendekat. Merenggut rokok yang menyelip di jemari anaknya. Lalu melemparkannya keluar lewat jendela. Ingin rasanya Kartini menempeleng saja si bungsu tersebut. Mukanya memerah memendam marah.

"Ada apa, Tini?" Suara lain terdengar dari kamar seberang. Itu Suedi.

Tidak mau masalah ini semakin melebar, Kartini memincing Tomi. Matanya terbelalak. "Sudah berapa lama?"

Tomi jelas tidak bisa mengingat atau tidak mencoba untuk mengingat. Soalnya, kalau ia berkata jujur, maka ibunya akan lebih naik pitam. "Dari kelas lima SD," jawabnya dalam hati.

"Bulan ini, bu," Tomi berbohong.

Kartini tidak bodoh untuk melihat kebenaran ucapan anaknya. Pasti Tomi telah lama mulai mengisap benda lintingan tersebut. Tampak pada caranya menyesap serta memegang rokoknya tadi. Yang dikesalkannya adalah kenapa tidak sedari awal ini diketahuinya.

Oya, semua perhatiannya terbagi sejak ia melakoni kerja diluar rumah. Perhatian pada Tomi menjadi kurang. Begitu juga dengan Doni dan Jana. Jana? Jangan-jangan? Tidak! Ia tidak boleh berpikir yang bukan-bukan.

Tapi terasa semuanya kini tampak saling berkaitan. Dulu, Karlan calon menantunya menolak untuk segera ke pelaminan bersama Jana. Belum cukup uang alasannya. Lalu sebulan kemudian, menyatakan bersedia untuk menuju kesana. Jika tidak kenapa-napa, kenapa musti bersegera.

Ya Allah. Apa yang sebenarnya terjadi. Jana akan dimintanya berterus terang kelak. Sekarang urusannya dengan Tomi. Anak yang diharapkannya paling tidak bisa mencapai bangku SMA. Dan yang terjadi malah...

"Ibu marah atau memukulimu pun tidak akan ada gunanya. Ibu benar-benar kecewa. Sebaiknya ibu menarik kata-kata kemarin pada gurumu nanti. Mereka benar, ibu yang salah." Kartini terhenyak. Dadanya sesak dan tubuhnya seolah mau rebah seandainya tidak ditopang dinding kayu rumahnya. Kesempurnaan yang dibanggakannya dulu, berkecai pelan-pelan.

"Maafkan Tomi, bu..." Kesan kekanak-kanakannya muncul lagi. Kasihan dan kesal berbaur di benak Kartini.

"Kalau tentang memaafkan, seorang ibu pasti memaafkan. Tapi bukan itu masalahnya. Kecewa. Kamu tahu Tomi. Ibu kecewa."

Keheningan seketika itu pecah lagi oleh suara lain. Ya, Suedi di kamar sebelah. "Tini, kamu belum jawab. Ada apa?"

"Tidak ada apa-apa, bang." Jawabnya datar.

"Oke, kita buat kesepakatan. Dan hanya ini yang bisa buat ibu kembali percaya padamu," Kartini menelan ludahnya. "Kalau kau ingin tetap sekolah, bersekolah yang benar. Jangan memperpanjang kesan buruk seluruh pihak sekolah padamu. Itu pilihan pertama. Kedua," kali ini Kartini menghentikan aliran bening yang menyerempet dari celah matanya dengan tangannya.

"Yang kedua, kau mengikut ibu saja berjualan pakis, mengumpulkan kayu di hutan lalu menjualnya, mengambil upah menebas rumput, dan banyak kali membantu acara pernikahan warga. Sebenarnya pilihannya ada tiga, hanya umurmu masih belum bisa. Tujuh belas baru bisa membuat KTP dan melapor menjadi TKI."

Harap-harap cemas Kartini agar Tomi tidak memilih yang kedua.

................
Jaman Kartini muda dulu, yang namanya acara pernikahan adalah sesuatu yang sakral. Itu adalah pesta memeriahkan bertemunya dua makhluk dalam rangka membangun mahligai rumah tangga. Tidak sembarangan membangun, dasarnya adalah cinta. Dibalik itu, prosesi menuju kesana juga terbilang suci. Tidak ada yang namanya pacaran terang-terangan, meski intip malu-malu itu juga ada. Sang lelaki dengan sopan dan berbudi mendatangi rumah calon mertua. Meminta dengan hormat anak perempuannya. Dan tak lama kemudian, tikar pun digelar.

Kartini benar-benar merasa gagal saat mendengar pengakuan Jana. Tidak menyalahkan putrinya itu sepenuhnya atas apa yang terlanjur terjadi, melainkan diri sendiri. Pendidikan agama lingkup keluarga selama ini dinomorduakan. Pengetahuan kesitu seumpama air mengalir. Tahu, cukup. Tak tahu, mana peduli.
..............
Ia berdiri di depan kaca yang melekat pada tubuh lemari tua. Mengesampingkan keberadaan suaminya yang menatapnya lekat tanpa bicara. Kartini pun tidak hendak bicara dengan suaminya kala itu. Satu-satunya orang yang ingin diajaknya bicara hanyalah ibunya. Benar sekali, menyarankan agar ibunya memberinya nama dengan nama selain Kartini.
..............
Waktu bergulir mengikut kodratnya. Selama nyawa dan esok masih ada, Kartini akan berbuat apa yang mesti dibuat. Menambal kebocoran-kebocoran dalam perahu rumah tangganya. Melayani suaminya yang semakin pucat, menimang cucunya yang lahir enam bulan setelah pernikahan dengan perasaan pelangi. Tanpa menyalahkan kelahirannya sedikitpun. Yang berdosa adalah kedua orang tuanya. Mendoakan keluarga Jana menjadi SAMARA, walau ia sendiri tidak yakin apakah bakal terkabul. Hanya terus berdoa saja. Setiap orang, termasuk dirinya bukanlah makhluk suci. Kecuali sang nabi tentunya.

Selain itu, Kartini juga lebih sering bolak-balik bank untuk menyimpan uang kiriman dari Doni. Kadang-kadang juga mengurangi jumlah tabungan untuk biaya berobat suaminya. Dan yang bisa membuat Kartini sedikit tersenyum adalah Tomi. Si bungsu sejauh ini menepati janjinya untuk belajar dengan baik. Nilainya memang belum bisa dibanggakan, yang penting semangat belajarnya dulu.






Sabtu, 27 April 2013 0 Messages

Komentar, Selalu Saja Lebih Mudah

Menjadi komentator memang selamanya mudah. Tinggal ceplas-ceplos mengurai sebanyak mungkin kekurangan bila perlu. Dan menambah-nambah sedikit kelebihannya. Sayangnya, siapapun bisa untuk segala apapun. 

Salah satunya tentang sebuah buku fiksi lima ratusan halaman yang telah ku tuntaskan secara random. Menyesakkan gaya bicaranya dan tidak ada surprise di ujung cerita. Alurnya mengalir namun janggal. Beberapa karakter tokoh kebanyakan samar dan membingungkan. Salah satu sebagai contoh, tokoh si nenek berusia tujuh puluh tahun, terlalu gaul dan bicaranya pakai 'aku' saat bicara dengan orang lain. Lebih aneh lagi ketika ia menggunakan kata 'aku' juga ketika berinteraksi dengan anaknya sendiri. 

Itu sekilas pendapat yang ku simpulkan. Heran saja, padahal buku penulis tersebut cukup bertebaran di perpustakaan. Oleh karena itu, aku jadi penasaran dengan karya lainnya tersebut. Apakah sama gaya bertuturnya. 

Ada lagi buku lainnya dari pengarang berbeda. Salah satu novelnya telah diangkat ke layar lebar. Disana aku juga mendapati suguhan yang, katakanlah sedikit mengecewakan. Terlalu mendayu-dayu dan puitis. Kalau ini juga dipaksakan menyelesaikannya secara acak, maka sampai menyambut senin tidak ada bacaan fiksi lagi. Lihat saja nanti. 

BTW, tetap saja mereka lebih hebat dariku. Apa yang dituliskan mereka masing-masing telah pun menjalar dari Sabang sampai Marauke, barangkali. Coba dibandingkan dengan diri sendiri? Bahkan menulis cerpen saja harus menguras tenaga ekstra. 

Dan diantara itu semua, aku yakin kesuksesan perlu tahapan. Demikian pula dalam bidang kepenulisan. Menulis sedikit tapi intens lebih baik daripada menulis banyak tapi berjarak dalam waktu yang lama. 
Jumat, 26 April 2013 0 Messages

Saran Yang Mengancam

Ku sebut saja Saran Yang Mengancam.

Itu terlontar dari mulut sang adik kepada kakak lelakinya tadi pagi. Sungguh bertolak belakang dengan acara perpisahan antar saudara pada umumnya. Ya, tentang ini memang jauh, sangat jauh berbeda. 

Seharusnya si kakak menetap dengan manis dan baik-baik saja. Toh, sadar kondisi diri seperti apa. Namun, justru kaki dan mulutnya gatal untuk sekedar terkurung di rumah adik perempuannya itu. Menjadikan yang sakit semakin sakit. Sekali datang paling lama tujuh malam atau kurang. Setelah itu minta diantar lagi ke terminal untuk balik ke kampung. Eh, tak lama berselang, datang lagi ke sini. Dan itu terus berulang. Mungkin lebih dari lima kali. Itu yang membuat jengah sang adik. Lantas dengan tiada ekspresi bersalah menyarankan agar tidak kesini lagi. Lelaki itu cuma bisa menjawab "ya" dengan pasrah. 

Semuanya kusaksikan dengan mata kepala sendiri. 

Memang tiada harmonisasi antara keduanya. Bahkan sejak lama. Kedatangan lelaki itu adalah untuk yang pertama kalinya sejak hampir tiga tahun terakhir. Bisa dibayangkan seperti apa. Keadaan terpaksalah sepertinya yang memaksanya menjejakkan kaki lagi ke rumah itu. Jangan heran kalau tidak ada sambutan hangat atau pura-pura menyambut hangat. Hambarnya sikap tuan rumah tanpa ditutup-tutupi. 

Lelaki itu terseok-seok setiap kali melangkah. Tubuh bagian kanannya lumpuh setelah disinggahi strok beberapa bulan silam. Tepatnya ketika ia bekerja di negeri seberang, Malaysia Timur. Beruntung dipulangkan dengan pesangon untuk sekedar berobat. Waktu itu ia hanya bisa tergeletak minta dilayani. Salah satu masa tersulit bagi dia dan orang terdekatnya. Tidak ada istri, karena memang tidak menikah, orang tua angkatpun telah puluhan tahun almarhum. Orang tua kandung sampai sekarang tetap saja menjadi tanda tanya. Meski untuk mengetahui kuburannya dimana, kalau ada yang tahu. 

Kurang dari setengah jam yang kami habiskan di jalan. Beliau turun dari jok belakang, lalu ku lepaskan kaitan helm dibawah dagunya. Aku hanya bisa mengantar sampai terminal bis karena harus bekerja. Keponakannya yang biasa mengantar kesana kesal bukan main untuk kali ini. Aku maklum sangat akan hal itu. Terakhir ia melakukannya dengan geregetan luar biasa. Mesti beradu mulut sebentar sebelum mengalah setelahnya. Dan sekarang minta sekali lagi. Oh, tidak untuk "sekali lagi!". Ah, aku hanya menebak.  

Aku menolak permintaannya untuk diantar lebih jauh. Ia menepuk-nepuk pahanya. Mengatakan dengan gagu  ia punya uang untuk membayar. Aduh, apa maksudnya. Aku mengingatkan diri, "sungguh terlalu jika harus meminta bayaran darinya." Tidak! Tidak sama sekali. Keenggananku bukan pada uang. 

Dan ia pun berucap terima kasih. Berlalu dengan kaki ceker ayam. Sendal jepitnya ketinggalan di rumah tadi..... 




Senin, 22 April 2013 0 Messages

PENDATANG HARAM

Mengutip istilah yang akrab sekali dengan nasib sebagian Tenaga Kerja kita, Pendatang Haram! Tentu dia pendatang haram. Siapa yang mengundangnya untuk datang kesini. Lebih-lebih dengan empat anak sekaligus. Oh, tidak. Bukannya datang, tapi dia justru melahirkan ke empat anaknya disini. Sulit dimaafkan kalau begitu. Pihak keimigrasian akan....ah, tidak perlu melibatkan pihak keimigrasian segala. Kali ini aku akan main hakim sendiri. 

Dimana rasa kasihan itu? Sudah lenyapkah?

Perburuan berlanjut. Ibunya lari kelabakan. Bersembunyi dibalik dinding plastik yang ku jungkir balikkan. Sementara keempat anaknya yang tanpa daya telah ku keluarkan dari tempatnya tadi. Tinggal ibunya yang masih belum ketemu. 

Ku keluarkan printer hitam merek Canon IP 1800 tersebut. Heran, bagaimana sang induk tidak kelihatan. Atau ia memang tipe tikus yang sering bermain akrobat. Empat anak tikus yang masih merah berguling-guling di lantai. Jelas aku kasihan, kalau kau ingin tahu. Tapi, tidak mungkin kan aku berbicara baik-baik dengan sang induk, lalu menyarankan agar hijrah saja dari sini. Dari kiosku, maksudku. Meski jelas-jelas ia berniat bermukim di sana dengan memasukkan selembar kertas tak terpakai sebagai selimut. 

Bolak-balik aku melihat isi dalam printer. Antar celah-celahnya juga tidak lepas. Tetap nihil. Kemana menghilangnya tikus itu? Dan ketika ku tuangkan untuk sekali lagi, dengan sigap si tikus meloncat. Tak menghiraukan zuriatnya, ia bergegas menyelamatkan nyawa sendiri. Pertama berlari ke arah barah, mundur lagi tak lama kemudian ke arah selatan. 

Kini nasib sang anak bagaimana? Tidak ada jawaban menyenangkan pasti. Apa kalian akan memaksa aku merawat anak tikus layaknya binatang piaraan lainnya. No way lah yaw. Maka tikus-tikus kecil itu kubawa dengan selembar kertas. Meletakkannya di tempat pembakaran sampai. Tiada niat sama sekali untuk membakarnya. Paling tidak ketika nyawanya masih ada. Berharap kucing yang manis, sayangnya disini tidak ada kucing manis, kucing jelek pun tiada, akan lewat dan berminat. Maka dengan senang hati aku akan membiarkan rantai makanan berjalan normal. Pemangsa bertemu mangsa. 

Hmmm....rupanya tidak seperti yang ku harapkan. Seorang tetangga menawarkan solusi tak terduga saat kuceritakan perihal pendatang haram tadi. Ia dengan tanpa malu-malu menunjukkan minatnya. Bukan pada sang induk tikus, tapi anaknya tikus. Seperti yang ku tunjukkan, ia mengais-ngais di tempat pembakaran. Memang aku tidak tega melihat makhluk tadi kepanasan mentari pagi menjelang siang. Oleh karena itu, sosok mereka ku tutupi dengan sampah dari kertas dan plastik. Akhirnya DAPAT!

Rantai makanan itu tetap berjalan sebagaimana mestinya. Akan tetapi, empat tikus itu harus mendekam di dalam perutnya seekor Tokek rakus. Yang kata sang pemilik, tiga ekor anak tikus pun sanggup di lahapnya dalam satu waktu. 

Selasa, 16 April 2013 0 Messages

Blakbari, Mom's Message


Pak Paiman bangga mendapati dirinya cepat belajar dari sang cucu, Garda. Bagaimana caranya memanggil,
apa yang musti ditekan untuk kirim dan buka sms. Semuanya mudah, pikirnya. Terlebih bila ingin mengecek pulsa dan bonus. Menyimpan nomor baru juga tak luput yang dipelajarinya dari siswa kelas 5 SD tersebut. 

Blakbari, demikian ia dan istrinya menyebutnya. Alat komunikasi tersebut disimpan dengan apik di tempat yang lebih tinggi. Di pak-pak rumah yang apabila mengambilnya harus menggunakan kursi. Tidak ada pilihan lain. Soalnya, sinyal itu mengambang diatas kita, jelasnya sok tahu pada istrinya yang aktif bertanya. Hebatnya lagi, wanita itu mengangguk kuat sok paham. 

Makanya, sesuai kesepakatan dan supaya tidak ribet, kursi plastik sementara semi permanen sengaja diletakkan disitu. Agar mereka berdua mudah untuk sesekali melihat aktivitas hape baru tersebut. Kan gawat tuh kalau-kalau anaknya, Maida di Malaysia sana nelpon. Makanya, dalam hitungan menit demi menit, rutinitias pak Paiman dan istrinya, Ainun, di rumah itu adalah mengunjungi blakbarinya. 

Tadi pagi itu blakbari-nya demam. Bagaimana tidak, berbicara dengan Maida yang kebetulan tidak kerja hari ini seolah tiada habis-habisnya. Kalau pun habis, pasti ada topik-topik tak penting lainnya untuk dibicarakan. Cuma Maida di seberang sana menyadari pertanyaan "tangah ngape ye?" sudah lebih dari sepuluh kali. Ia cekikikan. Saat pak Paiman tidak ada lagi yang mau dibicarakan, istrinya cepat sigap mengambil alih. Sebaliknya, ketika Ainun lupa apa yang hendak diucapkan, pak Aiman tahu apa yang belum disampaikannya. Begitu berulang-ulang hingga anaknya, Maida dengan terpaksa memutus sambungan. Ada sedikit kerjaan, dia beralasan. Semoga bukan tergolong anak durhaka.  
Bukannya kecewa, sepasang suami istri itu justru senang. Itu artinya, nanti Maida akan menghubungi mereka lagi. Bukannya demikian?

Pak Paiman membatalkan borongan menebas rumput khusus untuk hari ini. Ainun memilih tindakan sama, kantor kebun karetnya tutup dulu. Besok baru buka lagi. Sejam, dua jam, hingga sampai lima jam sekarang ini, kunjung mengunjungi itu terus berlangsung. Bosan? Tidak sama sekali. Pak Paiman merasa istrinya terlalu berlebihan. Masa mesti jenguk blakbari setiap detik. Ah, wanita memang sukanya begitu. Materialistis.
Sementara Ainun mengambil kesempatan ketika Pak Paiman berjalan ke belakang dan serambi. Sepersekian detik cepatnya ia menekan beberapa tombol. Layar blakbari terang seketika. Dan ia tidak bodoh untuk mengetahui seandainya ada panggilan maupun pesan masuk. Ia kan telah diajari oleh suami tercintanya. Hanya saja yang diherankannya adalah, kenapa pak Paiman tidak tahan berjauh-jauhan dengan si blakberi. Norak sekali lelaki itu. Ah, biasalah lelaki. Selalu saja merasa lebih tahu. 

Akhirnya mereka jengah dan letih juga. Bolak-balik dan turun naik kursi selama tiga jam dan sekarang masuk lima, mereka sadar betapa bodohnya mereka. Bukan diri mereka sendiri. Menurut pak Paiman, Ainun norak. Menurut Ainun, Paiman kampungan. Tanpa komando, mereka saling mentertawkan diri ketika keduanya bersamaan ingin naik keatas kursi. Ingin memastikan tidak ada panggilan yang terlewatkan. Maupun sms yang belum terbalas. 

Maida mengirimkan blakbari memalui agen penyalur TKI yang membawanya. Selama ini sangat sulit untuk menghubungi kedua orang tuanya. Dengan mengirimankan alat komunikasi itu ke kampung, pastinya kesulitan itu serta merta lenyap. Kalau dulu, gadis yang baru berumur delapan belas tahun itu harus me-call bibinya dulu jika ingin berbicara dengan orang tuanya. Lalu, ia mesti menunggu paling tidak setengah jam kemudian, baru bisa langsung berbicara. Jarak rumah yang agak berjauhan menjadi alasan utama. Dan sekarang, kapan saja ia menelepon, orang tuanya pasti bersegera mengangkatnya. Kecuali mereka lupa membawa blakbari bersama mereka. 

Dua hari  setelahnya, benda itu sampai.  Paiman meminta Garda untuk segera membeli kartu perdana di konter HP. Mereknya tak penting, kata Paiman sewaktu Garda bertanya mau beli kartu apa. Mana peduli, asal bisa berbicara dengan Maida itu yang terpenting. 
.............
Itu malam jum'at. Tiba-tiba blakbari teriak nyaring pukul delapan lewat tiga belas. Ainun baru saja selesai dengan Yasinannya. Paiman pun baru datang dan duduk setelah tahlilan dari rumah tetangga. Ainun berdiri dan berlari-lari kecil. Tapi Paiman lebih dekat untuk menggapainya duluan. Pesan singkat dari nomor belum dinamai.
Paiman kyusuk membacanya. Keringat dingin menyembul dari pori-porinya. Melihat itu, Ainun yang tidak bisa membaca bertanya-tanya dalam hati. Ada apa gerangan? "Ada apa?," tanyanya tak tahan.
Sepelan mungkin Paiman menjawab. Nadanya bergetar, suka dan merinding. Bagaimana mungkin orang yang telah meninggal bisa mengirimkan pesan. "Dari ummak!"
"Ummak, ummak sape?" Ainun terbawa emosi. Suaranya pun pelan-pelan saja.
Paiman menggeleng. Ia pun heran.
.............
Maida rencananya membujurkan badan lebih awal. Jam di dinding menujukkan hampir pukul setengah sembilan waktu setempat, Miri, salah satu wilayah di Malaysia Timur. Bila dikonversi ke waktu di kampungnya, sungguh itu baru pukul delapan tiga puluh. Namun, pekerjaan seharian hari ini membuatnya letih bukan main. Banyak berkutat pada pencatatan kayu masuk dan keluar, yang mentah dan setelah diolah, harus dilakukan dengan teliti. Kalau tidak, sang supervisor tidak segan-segan menyemburnya dengan kata-kata "manis." Uh, gaya saja, padahal lelaki itu juga seorang TKI.

Ayu Ting-ting berdendang merdu lewat MP3.
"Kemana...kemana....kemana....Ku...." Terhenti
Berganti. Kini Opick yang bersuara, "Bila waktu tlah terhenti...."
Ortu? pikir Maida. Malam-malam begini? Ada apa gerangan? (Sok bahasa Indonesia yang baik dan benar!)
"Wa'alaikumsalam, yah. Ade ape?"
Da, hebat inyan Hape yang kawu kirimkan tok i. Ade ke, nekwanmu be minta isikan pulsa lima puluh ribu. Jak mule-mule kamek heran, tang bisse urang dah mati kirim SMS. Kakye nje umakmu agek, die takut kanak pagiyek, isikan dah be bang! katenye. 

Maida terbelalak. "Nek wan?" tanyanya heran.
"Ade SMS masok baro kini tok. Tok yo SMS i, Tolong isikan mama pulsa lima puluh ribu. sekarang penting. Ke nomor ntah berape, lupa. Kakye agek, katenye biar die yang ngubungek kalak. Jadinye umakmu makin ketakutan.

Rasa kantuk Maida hilang seketika. Satu pintanya semoga kedua orang tuanya tidak termakan sms palsu tersebut. "Sodah nak di isikan, yah. Iye urang nipu ye."

Lama tidak ada jawaban. Maida hanya menduga-duga apa yang terjadi disana. Ayah dan ibunya saling pandang. Ternganga. Dan betul.
"Dah jamman kamek isikan naknye lima puluh ribu"

Kini, giliran Maida yang ternganga.

0 Messages

Ibu Menggoreng Telinga


Ide tulisan terkadang ‘mampir’ saat berkendara. Seperti hari itu, kupacu sepeda motor dalam rangka sekembalinya ke kota Sambas dari kampung halaman. Terpaut ingatan pada IBU MENGGORENG TELINGA  membuatku nyengir sendiri.

Sabar! Sebelum ke sana, aku ingin mendeskripsikan sedikit tentang kampungku. Tepatnya, kala aku duduk di bangku SD.

Masih ingatkan program pemerintah masa presiden Soeharto, IDT atau singkatan dari Impres Desa Tertinggal. Jujur, kata itu terdengar indah dan asing di telingaku. Kerap bertemu dengannya di pelajaran IPS kelas IV keatas, namun entah apa maksudnya. Boleh jadi, saat kami diminta membawa mangkuk dan gelas ke sekolah, makan bubur nasi-kacang serta kue-mueh, semua itu adalah salah satu aplikasi dari peningkatan gizi buat desa tertinggal. Mengingatinya, sangat miris dan kasihan, kan? Tapi di usia pendidikan dasar, yang tahu hanyalah “mumpung makan gratis.”

Kalau sekarang, IDT buatku tak lebih dari sebutan orang kota terhadap warga desa pedalaman.

Empat dusun belajar di satu sekolah yang terdiri dari enam lokal. Belum lagi kondisi fisik gedung yang cukup memprihatinkan. Disana kami tidak perlu bingung tentang sepatu, karena pakai ceker ayam pun oke. Disana kami tidak perlu bicara tentang kebersihan lebih, karena seragam kumal pun oke. Dan yang paling seru, ketika pesawat terbang lewat menjelajahi langit diatas kami, semuanya turun ke halaman. Tak alpa pula para gurunya. Mendongak ke atas seraya meringis. Selepasnya bersin bersahut-sahutan. Seru, bukan? Ah, yang demikian itu sekitar tahun 1991 – 1997, mengukur masa pendidikan dasarku.

Oleh karena murid melebihi kapasitas lokal yang tersedia, kelas III yang dua kelas itu menjadi korban diskriminasi. Walau saat itu aku belum mengenal kata diskriminasi. Atau sama sekali tidak ada perasaan di anak tirikan dan yang semacam itu. Lantaran begitulah adanya sejak beberapa generasi diatasku. 

Kembali ke netbook!

Bu Mutia lengkapnya, tapi kami memanggilnya Bu Tia. Sore itu kami belajar Bahasa Indonesia, lebih spesifik lagi membuat kalimat. Beberapa kata guru kami itu tuliskan di papan tulis. Mungkin sepuluh buah. Tugas kami adalah membuatnya jadi sebuah kalimat di buku masing-masing. Kami diam dalam bisik-bisik tetangga. Tengok kanan kiri sesuka hati. Sementara bu Tia pergi ke ruang guru. Yah, barangkali sekedar meluruskan kaki. 

Tiba saatnya. Aku mengira kami disuruh mengumpulkan ke depan. Rupanya salah. Bu Tia secara acak menyuruh kami membacakan hasil kerjaan. Tono, kawanku yang bertubuh jelas lebih bongsor dariku dapat jatah itu. Membuat kalimat dari kata MENGGORENG. 

"Hartono, buat kalimat dengan kata menggoreng," perintah bu Tia. 
Tono, kawan sebangkuku yang kelabakan itu cepat-cepat membuka bukunya. Menggoreng. Entah apa sebenarnya yang ditulisnya. Aku tak yakin apa yang keluar dari mulutnya itu adalah yang dituliskannya. 
"Ibu menggoreng...." Katanya terputus.
Bu Tia menunggu, demikian pula kami yang lain. 
"Menggoreng apa?" Tanya bu Tia coba tuk membantu Tono. 
"Ibu menggoreng telinga."
Itu saja. Aku lupa, apakah hari itu riuh rendah suara kami. Atau karena belum benar-benar mengerti tentang kalimat yang benar dan salah. Namun, ku yakin tidak demikian halnya dengan bu Tia. Dia barangkali "ngakak" dalam hatinya. Tapi ia hanya tersenyum dan membetulkan. Mengganti kata "telinga" dengan "ikan".

Ha..ha... kalau dipikir-pikir kawan, memang apa yang salah ya dengan "menggoreng telinga". Telinga kambing misalnya, kan juga bisa di goreng. Sayangnya saja, Tono tidak pernah melihat orang benar-benar menggoreng telinga kambing. Jadinya......senyam senyum sendiri mengingatinya.

Senin, 08 April 2013 0 Messages

Perseteruan Diatas Angin

Batman masih meraja diatas. Kekehnya terdengar angkuh dan menjadi-jadi saat sayapnya mengibar bebas. Gagah perkasa. 
Ditengah menikmati rasa pongahnya itulah, tiba-tiba ia mendapati ada yang bertandang rupanya. Tiada diundang. Itu kelancangan namanya. Kekehnya berubah jadi seringai seketika. 
"Halo, Captain America." Nadanya jelas merendahkan. "Sebelum lebih jauh, alangkah baiknya jika aku membuka dengan peringatan, ok? Semoga kehadiranmu disini tidak menjadi penyesalan kelak."
"Wah-wah, tuan Batman, apa yang engkau pikirkan? Apa setiap orang kau anggap sebagai musuh. Kalau demikian, semua akan menjauhimu."
Batman bukanlah tipikal yang suka basa-basi. Seharusnya tadi, ia menyambut tamunya ini dengan satu serangan keras. Captain America pastinya selalu mengingat kejadian itu nantinya. "Terserah! Siap?"
Captain America justru kebingungan setelahnya, belum apa-apa, satu dentuman keras menerjangnya. Ia terjungkal dan hampir terkapar. Untungnya, latihan bertahun-tahun membuatnya siap dengan situasi seperti saat ini. 

"Oh, belum menyerah rupanya?" 
Serangan kedua jauh lebih dahsyat dari sebelumnya. Kali ini, entah alasan apa, Captain America menjadi ciut. Langkahnya mundur perlahan. 
Awalnya, Batman menduga ini strategi darurat sang Captain America. Mundur lalu menyerang. Uh, ternyata hanya bukti bahwa ia adalah seorang pecundang. Payah!

Dossss! "Lama tidak bertemu Batman. Bagaimana kabarnya?"
Batman masih bisa mendengar sapaan yang kurang ajar tersebut. Tubuhnya kehilangan keseimbangan untuk beberapa saat. Sebelum akhirnya, kembali seperti sedia kala. "Oh, baik-baik saja bajingan Red Bull. Apakah itu taktik pemenangan terbarumu, hah? Menyerang dari belakang. Benar-benar tidak jantan. 
"He..he.., siapa yang lebih pantas berbicara tentang etika. Ini hukum rimba, sobat bertopeng. Siapa kuat, dialah berkuasa."
"Kurang ajar!"

Dua banteng merah bertanduk itu tidak menyia-nyiakan kondisi hati panas Batman. Saat sosok replika kelelawar itu menyerah ganas, banteng itu menuju daerah yang lebih rendah. Bentuk penyelamatan diri. Melihat itu, Batman mendengus. 
Buarrrr...Serangan perdana Red Bull menjadikan Batman kocar-kacir. Sayapnya sobek sedikit. Kekhawatiran mulai menyusup dihatinya. Bukannya apa, CatWomen sekarang tengah cuti. Siapa yang bakalan menjahitnya kostumnya kalau begitu. "Ah, masa bodoh. Rasakan ini...." 
Red Bull yang mengira telah diatas angin terkesiap. Tanduknya tergores dan retak akibat serangan Batman tak terduga. Ia menjadi lemah.  
Tidak membiarkan kesempatan lepas begitu saja, Batman menghujamkan serangan selanjutnya. Tak ayal lagi, kali ini tanduk Red Bull terpisah dari tempatnya. Patah. Jalannya menjadi linglung dan tidak tentu arah. Mana barat, mana timur. Mana atas, mana bawah. Dan akhirnya, hilang dari peradaban. 

Riuh rendah, uforia kesenangan membahana dibawah sana. 

Ia tahu bahwa dirinya adalah penantang yang ketiga kalinya. Banyak orang berpikir, "siapa yang tidak terkalahkan itu artinya ia begitu tangguh." Tidak-tidak. Ia sama sekali tidak setuju dengan pendapat keramaian tersebut. Justru menurutnya, Batman yang tak terkalahkan itu, upss, yang belum terkalahkan itu hanyalah belum bertemu lawan sepadan. Untuk itulah ia disini. 
"Oh, ternyata masih ada yang belum sadar siapa yang dihadapinya." Nafas Batman sekuat tenaga disembunyikannya agar tidak tampak terengah-engah. 
Sialnya, itu tidak berhasil. "Atur saja nafasmu dulu kawan. Saya paling benci jika menghabisi lawan yang tidak berdaya. Ibaratnya, mencuci tangan yang masih bersih. Begitu."
Bukannya mereda, tarikan nafas Batman malah semakin memburu. "Ya, saya setuju. Dan ...." Serangan tak terduga melenceng dari seharusnya. Batman mengeram marah atas kegagalannya melumpuhkan pendatang baru. 
"Jujur, aku terkejut. Tapi, itu sajakah kemampuan yang kau miliki?"
"Jangan pernah merendahkanku wahai Jepang. Ayo, majulah kalau berani!" Batman hilang kesabaran. 
Hanya dengan satu kali sabetan samurainya, sayap Batman tinggal separuh. Tidak perlu waktu lama bagi Batman untuk menyadari bahwa kini saatnya. Harinya berakhir ditangan si Jepang. Menghinakan!" 
Dalam hitungan beberapa detik berikutnya, Batman lenyap. Jatuh kealiran sungai yang menderas dibawah sana. Jepang dengan entengnya mengangkat bahu. 

"Selamat."
"Terima kasih."
"Sulit?"
"Lebih sulit naik ke atas sini."
"Ku kira juga begitu."
"Mau coba juga, Barca?"
"Ini hari perdanaku. Apa tidak ada waktu untuk bersenang-senang?"
"Bagaimana kalau besok?"
"Boleh juga."
Keduanya tampak bersahabat sekali. Padahal esok, mereka bakal saling menjatuhkan. Dalam diam, benak mereka sejatinya saling merendahkan. Dalam diam pula, sejatinya mereka berpikir tentang kemenangan. 
.......
Esoknya

Cuaca tidak sebagus kemarin. Angin mendesau liar. Awan terbawa perlahan, menggumpal di cakrawala.  Menyela sinar surya sore sampai ke bumi dengan sempurna. Tidak ada yang sesal dengan peristiwa alam tersebut. Bahkan mereka mendambakannya sejak lama. Wahai hujan, turunlah dengan lebat.

Ah, ada juga yang bengal. Berusaha melawan angin yang perkasa diatas sana. Tidak apa, asal berani saja menanggung resiko. Kalau ada apa-apa, jangan salahkan angin. Ok?
Korea melihat ke seluruh penjuru mata angin. Tidak ada satupun yang bakal menandinginya sore ini. Sejauh mata memang, tetap dirinyalah satu-satunya. Plakk...Sentuhan lembut angin membuatnya berputar-putar tidak karuan. "Tolong-tolong," jeritnya histeris.
Siapa pula yang mau menolongnya. Diatas sana ia telah terbentang. Keras kepala memang. "Tolonglah, plisss"

"Aku hanyalah sebuah layang-layang. Sebuah mainan kalau kau tahu. Betul, yang keras kepala itu bukanlah diriku, tetapi orang yang memegang kendali atas diriku. Masa di waktu begini main layang-layang."

Apa boleh buat, layang-layang bergambar bendera korea itu menjingkrak naik dengan paksa. Berkali-kali tubuhnya terbawa arus angin yang kuat. Meski meninggi, caranya mengambang tidak stabil. Sementara dibawah menariknya dengan paksa, diatas pula mencoba merenggutnya dengan keras. Dan yang terjadi adalah terbang bebas. Layang-layang korea putus dan melayang terbawa angin.

Anak-anak yang menyaksikan itu berlari mengejar. Kemanapun berlabuhnya sang korea, disanalah mereka akan berebut.
.............
Aku cukup menjadi penonton saja. Jujur, aku tidak pandai meraut aur atau membuat layang-layang (uwaw). Apalagi memainkannya. Cukuplah berimajinasi saja. He..he..



Kamis, 04 April 2013 0 Messages

Cerita Ayam De' Nan

Mesin penetas telur itu lebih tinggi dari tubuhnya. Membuat bocah lelaki itu harus menjinjingkan kaki untuk
mengintip isi didalamnya. Melalui kaca transparan di bagian pintunya, dia melihat apa yang selama ini ditunggu-tunggunya. Ada rasa tersendiri saat mendengar cicit anak ayam yang baru saja menetas. 

"Balom pacah semuenye, mak" katanya tanpa menoleh kepada ibunya. Dia tetap memfokuskan pandangan pada puluhan ekor anak ayam yang riuh rendah. Menurutnya, anak-anak ayam tersebut tengah merayakan hari kelahirarn mereka. 

Memang, disana ada empat telur yang masih utuh. Belum ada tanda-tanda untuk retak, lalu menyembulkan anak ayam yang baru lagi. Kecil kemungkinan untuk mengharapkan hal tersebut. Sebaliknya, nasib ke empat telur itu bakalan dilempar begitu saja ke semak. Nanti. 

"Aoklah, biarkan ajak dolok. Bantar agek macah kallu." Suara ibunya hilang dibalik sekat dapur.
Kesempatan. Tak pelak lagi, dengan pelan-pelan dibukanya tutup mesin penetas telur yang tidak lagi terkunci, padahal stop kontaknya masih terhubung dengan listrik. 
"Citt....citt...." Diraihnya seekor anak ayam berbulu kuning cerah berbelang abu-abu sepanjang kepala hingga punggung. " Seringai bocah itu menjadi. Dilepaskannya yang tadi, diambilnya yang berwarna agak kehitaman Citt...citt...," berontak anak ayam tersebut merasa privasinya terganggu. 

Tiada bunyi langkah kaki sebelumnya, tahu-tahu ibu sudah ada dibelakangnya. "Ya Allah, De' Nan!"
Muka De'Nan memerah tertangkap basah. "De' Nan nak magangnya jak be," belanya. Hampir hujan diwajahnya. 

Lain pula dengan ia yang masih tidur pulas disana. Lelapnya terganggu oleh suara-suara aneh diluar, ia membuka mata sejenak. Namun itu hanya sekejap saja. Matanya kembali terpejam. Belum waktunya. 

.............
De' Nan datang dengan kardus yang jika diduduki pun muat menampung tubuhnya. Meski benda itu ringan, namun bocah itu tetap saja kewalahan membawanya. 

"Ha, latakkan sitok ajak," pinta ibu.
De' Nan menurut. Kardus itu menganga di lantai. Siap menampung penghuni yang akan dihijrahkan kedalamnya. 

"Citt...citt..." para anak ayam berebut untuk dijemput. Penasaran segera ingin mencicipi kediaman baru. Bukannya apa, tempatnya sebelumnya sesak dan ada hawa pengap dan hangat gitu. 

Kelar. Selanjutnya tinggal menentukan nasib empat telur yang gagal produksi. "yang itok mak?" tanya De' Nan sambil mengangkat salah satu telur ke depan muka ibunya. 

"A..De' Nan bawa talor semuenye ye ke belakang. Lemparkan dakat batang aur i."
"Indak. Goreng ajak be mak i?"
Ada-ada saja De' Nan ini, pikir ibunya. Siapa yang mau makan gorengan embrio ayam. Jijik wanita itu membayangkannya. 
"Dalamnya dah ade anak ayamnye ye, De' Nan. Tapi daan jadi..."
"Oh," De'Nan sok mengerti. "Cobe simpan sitok dolok, mak. Sape tau bantar agek macah."
"Sodah. Mak nak masokkan talor baru agek."

Ia merasa ada yang mengguncang tubuhnya. Matanya kini telah terjaga sempurna. Hanya saja, ia belum tahu bagaimana caranya melepaskan diri dari sini. Masih terperangkap. 

De'Nan mengambil ancang-ancang melakukan lemparan terbaiknya. Satu telur telah ada ditangannya. Tinggal mengayunkan, dan telur itu akan pecah berderai di rumpun aur. Praak, telur pertama dengan sempurna membentur batang aur yang tinggi menjulang. 
"Lemparan halilintar..."
Telur kedua berkecai, lalu mengeluarkan calon anak ayam yang tidak menjadi. 
Lemparan ketiga sedikit meleset meski De'Nan telah mengeluarkan jurus lain, lemparan badai. "Adoh lah," tukasnya kecewa. 

Makhluk itu akhirnya menemukan apa yang dicarinya. Tepat diatas kepalanya itulah pintu keluar. Kreek. Terdengar pelan retaknya. Ia tersenyum dengan caranya sendiri. 

Yang terakhir musti istimewa. Tak tanggung-tanggung, kali ini De'Nan akan memadukan dua jurus lemparan sebelumnya, lemparan halilintar dan lemparan badai. Kuda-kuda terpasang mantap. Ditariknya tangan kanan yang menggenggam telur ke belakang. "Jurus Hali..." Tak jadi. Seperti ada yang bergerak dalam genggamannya. Di pastikannya sebentar, tidak ada apa-apa. Diulanginya lagi, "jurus Halilintar dan Jurus Badai...." 
Kreeek. Bersamaan dengan itu, muncul seekor anak ayam berbulu hitam lebat dari cangkang telur. Dalam hitungan sepersekian detik, ia sempat mengedipkan mata kearah De'Nan. Namun, beribu kali sayang. Tubuh kecil itu terlanjur melaju tidak terbendung kemudian. Menuju ajalnya di pohon rindang berbuluh hijau. Teriaknya pertama kali melihat dunia, "Ciiii.......t." Buummm, senyap!

"Mak, oo mak. Anak ayamnye keluar." Teriak De'Nan sambil berlari menuju rumpun aur. Berharap makhluk kecil yang di lemparkannya tadi tidak kenapa-napa. Peluangnya, satu banding sembilan ratus sembilan puluh sembilan. 

"Ciit.." Suara itu lemah tak berdaya. Nasibnya malang sungguh. Belum sampai satu menit menatap dunia, ia harus hengkang ke alam lain lagi. Tubuhnya dirasakannya remuk. Salah satu kakinya bahkan tidak bisa di luruskan. Kepalanya tidak lagi dalam posisi normal, miring ke samping kanan. 

Tiba-tiba datang sentuhan hangat menyenangkan. Ia tahu dari siapa itu datangnya. Ya, dari manusia yang dengan entengnya membuat ia bebas melayang di udara, lalu membentur benda keras. 

Ciit...hanya itu yang bisa dikeluarkan dari mulutnya. Lemah. 

"Mak, maseh hidup."

Dengan hati-hati De'Nan meletakkan anak ayam malang itu di telapak tangannya. Niatnya sih ingin menunjukkan pada ibunya. Dia berlari-lari kecil kembali ke rumah. 
"Mak yo, liet yo. Maseh hidup."
"Oh, sagal lalu be i. Bantar agek dah nak mati ye, De'Nan. Alekan jak be."
De'Nan sedih bercampur menyesal. 
"Di potong jak mak i?"

Suara nyaring berasal dari pesawat televisi, "Capek deh!"
Ibu De'Nan hanya bisa meringis. 

Rabu, 03 April 2013 0 Messages

Tragedi Pagi

"Anak manis, apa yang kau lakukan disini?"

Dia menghampirinya setelah mematikan mesin kendaraan. Beruntung, sungguh beruntung sekali anak itu karena raganya tidak terlindas oleh kendaraan yang lalu lalang. "Oh, ada apa gerangan?" tanyanya beruntun.
Bungkam. Hanya air mata yang tertahan di pelupuk matanya sebagai jawaban. Yang entah berapa lama lagi ia sanggup menahannya sebelum tumpah ruah ke jalan aspal yang mulai panas. 

Sebelum akhirnya pecah juga tangis anak itu, "mati, aku ingin mati! hu...hu..."

Mati! aduh kenapa ingin mati pula. Bau saja masih seperti kencur. Anak kecil, dunia masih luas belum kau jelajahi. Andai saja mati yang kau inginkan itu seperti ikan goreng, aku akan membelikanmu saja di warung makan. Di restoran padang bila perlu. 
Dia meringis saat mengucapkan kata-kata itu dibenaknya. 

"Ok, baiklah. Tarik nafas perlahan, dan buang pelan-pelan." 
Anak itu terhipnotis hingga menurut saja. 
"Sekarang bagaimana, apakah kamu masih ingin mati?" tanyanya khawatir. Anggukan kecil yang dia dapatkan sebagai jawaban. 
Sementara itu, tak terhitung lagi banyaknya sepeda motor bersileweran diantara mereka. Sesekali truk dengan muatan batu kong juga melintas. Satu kesamaan diantaranya para pengemudi maupun penumpangnya adalah tatapan heran. Heran melihat pemuda itu berbicara pada anak itu di tengah jalan. 

Akhirnya mereka menepi juga. Dari situlah si pemuda berupaya mengorek sebab musabab anak itu ingin mengakhiri nyawanya secara tragis. Sungguh sadis, pikir pemuda tersebut. 
Tanyanya pelan sambil menepis debu jalan yang menempel pada anak malang tersebut, "memangnya kenapa kau ingin mati?" 
Ia sesenggukan, "ibu meninggalkanku..." katanya tidak berlanjut. 

Oh kasus yang sangat memprihatinkan rupanya terjadi juga dihadapannya kini. Dia sangka itu hanya terjadi diberita-berita dalam televisi. Seorang ibu yang tega menelantarkan darah dagingnya sendiri. Menitipkan penjagaan pada tong sampah atau menaruhnya di depan rumah warga. Kemana larinya rasa iba yang dikaruniakan Allah pada diri seorang wanita? Dunia eh dunia, semakin renta. 

Mencoba berempati, "saya turut prihatin. Apa kau tahu kemana ibumu pergi, nak?"
Ia membisu. 
Dia mencoba masuk ke relung hati sang anak dari sisi lain. "Bagaimana dengan ayahmu?" tanyanya kemudian. 
Ada jeda beberapa saat sebelum pertanyaan itu terjawab lesu, "ibu tidak pernah bilang siapa ayahku?"

Haruskah dia bilang "waw"? Cerita apa lagi ini? Seorang anak tidak lagi perlu mengetahui siapa ayah kandungnya sendiri. Paling tidak itulah versi si ibu anak dihadapannya. 

Saat dia menengadah ke langit, awan mulai berarak menjadi satu. Angin membawanya sebagai tanda fenomena alam bernama hujan. Barangkali, ya, hujan memang sudah tidak bertandang dengan lebat selama sebulan ini. Semoga saja. 

Kembali fokus ke lawan bicaranya, pemuda tersebut bertanya tanpa bosannya, "ini memang menyulitkan, tapi bisa kita mulai dari awal. Baiklah, dimana terakhir kali kamu melihat ibumu. Atau dimana ibumu meninggalkanmu?"
Anak itu menunjuk ke semak belukar tepat setelah bibir parit pembatas jalan. Dia mengernyit melihat itu. 
"Sana?"
"Setiap pagi, aku dan ibu biasanya jalan-jalan santai. Selalu seperti itu. Aku juga tidak pernah bertanya padanya siapa ayahku. Ku pikir, ibu juga tidak tahu. Kau mungkin mengiranya ia seorang betina jalang, namun bagiku ibu adalah segalanya." 

Anak itu berhenti sejenak.  

"Sampai tiba-tiba sebuah benda melaju tepat ketika kami hendak menyeberang. Tidak ada tanda-tanda benda itu berhenti, sementara kami terlanjur sudah di tengah. Dan...dan aku hanya memejamkan mata. Ibu berteriak histeris. Lalu senyap. Sungguh, aku tidak sanggup membuka mata. Yang berkelebat dibayanganku adalah tubuh ibu remuk bersimbah darah. Oh, ibu...hu..hu.."

Ia menyedot ingusnya dalam. 

"Lalu?" tanya pemuda itu lagi. 

"Tak ada yang bisa kulakukan selain membuka mata pelan-pelan. Yang pertama kulihat persis yang ku bayangkan, darah bersimbah dimana-mana. Hanya saja, jasad ibu tidak ada. Ku lihat manusia itu dengan angkuhnya memincing ibu diantara jemarinya. Ibu tergolek menatap ke arahku. Tatapannya kosong. Manusia itu secepat kilat melemparkan ibu ke semak itu...hu..hu..."

Tidak berperike....ah sial, dia menyesali apa yang didengarnya. Mendung kini tidak hanya dilangit tinggi, tetapi sudah datang di dua rongga matanya. 

Satu lagi tabrak lari yang tidak akan pernah masuk ke dalam warta para jurnalis. Tidak juga termuat dalam headline koran-koran, apalagi bakal menjadi topik hangat para petinggi negara yang tengah sibuk dengan urusannya sendiri. Karena, cerita ini hanyalah tentang seorang anak yang kehilangan ibunya. Ah, kasus seperti ini sudah terlalu banyak jumlahnya di dalam negeri. Kalah hangatnya dengan kasus korupsi.

"Ayo anak manis. Kita cari ibumu sampai ketemu."
"Ngeooong, ayo." katanya bersemangat berisi kebahagiaan.

Pencarian berbuah. Pemuda itu meninggalkan anak kucing tersebut dalam keadaan melingkar diatas pemakaman ibunya. 
Jam ditangan menyadarkannya sesadar-sadarnya. Lima menit lagi, dia harus sudah sampai di gerbang sekolah, kecuali ingin di tutupi pagar besi. Ujian Sekolah, bisakah ia menjawab semuanya soal-soal pagi ini. 
Brumm...brum....brumm.....brummm....kendaraan itu melesat. Seragam putih abu-abunya tertarik-tarik ke belakang. Rambutnya pun berkibar liar. 
Ngeek! 
Seekor katak tergiling oleh ban sepeda motor pemuda tersebut. Tidak ada waktu untuk seremoni berucap minta maaf. Di benaknya cuma ada jarum jam yang tetap berputar. 


Selasa, 02 April 2013 0 Messages

Perjodohan itu........

Selalu saja kaku kalau bicara tentang yang satu ini. Aku lebih senang memilih senyam-senyum dan diam.
Mengiyakan saja agar "lelucon" ini berhenti. Entahlah, ku kira setiap orang punya kriteria pendamping idaman masing-masing. Bedanya, ada yang digembar-gemborkan, yang lainnya pula di simpan apik di ranah pikiran. Nyatanya, aku yang kedua, kalau kalian ingin tahu.

Itu di siang yang terik dan kering kerontang. Niatan mereka terlontar yang dibalut dengan canda dan kelakar disana-sini. Namun, aku sadar sebuah esensi. He..he..begini terus akan tetap menjadi bulan-bulanan. 

Dan sore harinya.....
..........
Sekilas kujatuhkan pandangan pada dua orang yang mulai menghentikan kendaraannya. Tepat didepan bangunan dimana aku menjemput rezeki. Rupanya tidak juga bisa dibilang cantik luar biasa, hanya saja melihatnya, kau akan mendapati sosok yang menyenangkan. Demikianlah pendapatku, seandainya saja kala itu lembayung kekesalan tak menggelayut di wajahnya. Entah ada apa gerangan. Hingga aku tahu penyebabnya.
"Print, pak," katanya tak bernada sama sekali. Sedatar air sungai yang tengah pasang di depan rumah kami. 
Setelah memasukkan flashdisk yang disodorkannya tadi, aku bertanya tentang file yang hendak dicetak, "yang mana dek?"
"Mmm...turun lagi, turun lagi."
Pada akhinya ia mengatakan, "pengantar manajemen. Semuanya." Kali ini suaranya berintonasi keletihan. Paling tidak itu yang ku tangkap. Sementara temannya yang satunya ketika datang langsung terduduk di kursi. Tanpa dipersilakan. Dan ia mengikuti hal serupa kemudian. 

Trit, trit, trit ... 
Printer melaksanakan tugasnya dengan baik sejauh ini. Satu persatu kertas yang tadinya polos kini berganti coretan kata-kata rapi berwarna hitam. Tak perlu penanganan khusus lagi setelahnya, kecuali memastikan tinta keluar sempurna. 

"Ha, ya, kesini cepat. Mumpung kita lagi di tempat print nih. Kamu kan tahu ibu Salsa itu. Katanya, dia menunggu sampai pukul 11 siang ini."
Diam sejenak, kesempatan untuk ia mendengarkan lawan bicaranya di ujung sambungan. 
"Oke, cepat!"
Judes juga, pikirku. 

Selain memberikan pelayanan jasa yang terbaik, servis ekstra yang kuberikan adalah menawarkan persahabatan. Yah, paling tidak tempat mereka berkeluh kesah. Harapannya, meski masalah belum tentu terselesaikan secepat bim sala bim, namun biasanya itu akan sangat membantu. Mengeluarkan unek-unek dalam hati bisa menyegarkan otak. 
"Sibuk benar kelihatannya?" Aku mencoba mencari celah diantara kegusarannya. Tujuanku memang gadis yang itu. Bukan temannya yang diam seperti patung. 
"Biasalah pak, tugas kampus." jawabnya singkat kurang tanggap. 
Salah satu cara untuk menarik perhatian lawan bicara adalah, cari tahu namanya walau dia tidak mengatakannya. Diam-diam ku buka file yang tengah di print. Tugas Individu. Pengantar Manajemen. Dosen: Salsa Nugraha, SE, MBA. Disusun oleh Sarita Rahma. DAPAT!
Dengan senyum ramah, ku katakan, "begitulah kuliah, Ta." 
Hanya menebak. "Ta" rupanya panggilan akrab untuk dirinya. Ia terpancing untuk berbicara banyak. Menghentikan gerakan lincah tangannya pada tuts HP BBnya, ia mengarah kepadaku. 

Lagi, sementara itu, printer masih berjalan mulus. 

"Bukannya apa. Bu Salsa itu ya, pak, tugasnya segunung. Belum selesai ini, besoknya nyusul tugas lainnya. Mending nilai kita mudah. Ini, untung-untung dapat B+. Paling banyak B dan lebih banyak lagi C. Yang kurang beruntung dapat D dan harus ikut remedi."
"Killer juga dosen kalian itu, ya?" tanyaku lagi menggali lebih banyak. 
"Mmm...cantik sih cantik, pak. Tapi ...." terputus, ada usaha untuk menahan diri berbicara menjelek-jelekkan. Sepertinya tidak apa-apa kalau tanggapanku senyum lagi. Apa yang kudengar kali ini, sesuatu yang jarang kudapatkan. Aku baru tahu.
"Biasanya orang hamil suka marah-marah," tukasku lagi. 
Gadis itu mengernyitkan jidatnya. "Kok bapak tahu?"
"Salah satu beban pribadi seorang dosen wanita, kan. Kalau dia begitu killer atau suka marah-marah, ciri-ciri dari tengah hamil atau barangkali berkaitan dengan masalah rumah tangganya." Aku mengangkat batu sedikit menetralisir keadaan. 
"Mungkin saja, pak. Tapi, menurut kakak-kakak tingkat, ibu Salsa memang begitu dari dulunya. Lain lah kalau diluar kampus. Baiknya itu minta ampun."
............
Sore baru saja datang. Aku telahpun siap dengan sebuah laptop dan modem untuk online. Masuk ke blog pribadi. Menambah entrian tulisan yang beberapa hari ini vakum karya. Dan terasa semakin lengkap ketika ditemani oleh segelas kopi putih instan yang mengepulkan asapnya. Ah, ini persis seperti dulu. Hanya saja, disamping menulis sambil melihat aktivitas warga menjelang maghrib, tambahannya adalah aku tengah menunggu seseorang. 
Hari ini sengaja aku pulang lebih awal dari biasanya. Setelah dia mengirimkan pesan berisi akan pulang agak telat. Benar-benar pekerja keras, pikirku. Tiba-tiba kegetiran terbersit di celah-celah pemikiranku. Tidak bisa ditunda-tunda lagi, sebaiknya dibicarakan segera. Jujur, aku lebih suka pendamping yang tidak bekerja saja. Ketika aku pulang, ia ada disana menyambut kedatanganku. Betapa indahnya hidup kalau begitu. Ya, sebelum semuanya berjalan lebih jauh. 
...........
"Janganlah terlalu keras. Bukankah kita juga tahu rasanya mahasiswa itu seperti apa?" Aku menggodanya ketika dia mendesah lelah disampingku. 
Tatapnnya heran. "Maksudnya?"
"Lucu juga ya. Mendengar pendapat orang yang jauh berbeda dengan pendapat kita sendiri. Killer, tidak pengertian, pelit nilai, dan semacamnya. He..he.."
"Pasti mahasiswaku yang mengadu, kan?"
Aku ingin bicara agar jangan terlalu keras bekerja. Untuk apa bagi seorang istri, dalam hal karir begitu gemilang, namun rumah tangga terbengkalai. Sejauh ini, aku memang belum banyak mengenalnya. Tetapi sama sekali tidak menyesali perjodohan ini. Banyak hal yang mesti dibagi bersama dan mencari titik temu bersama pula. Bukankah rumah tangga itu dibina atas perbedaan dan saling melengkapi. Berikut dengan saling pengertian dan timbang rasa. 
Bukan sekarang saatnya. "Ya, begitulah..."
...........
Satu bulan setelah kedatangannya hari itu, Sarita Rahma datang kembali dengan temannya yang lain. Kepentingannya sama. Nge-print tugas kuliah individu. Masih Pengantar Manajemen. Masih diampu oleh dosen yang sama, Salsa Nugraha, SE, MBA. Bedanya, kali ini tugas tersebut sebagai tugas remedial. Dan kuharap printerku tidak tahu tentang ini. Bekerja saja dengan baik, ok. 
............
Dan sorenya......
Dan sorenya aku mendapat inspirasi untuk menulis tema tentang niatan perjodohan oleh mereka tersebut. Dengan seorang dosen yang tengah menunggu jodohnya, barangkali. Ha..ha...ha....







 
;