Kamis, 27 Februari 2014 0 Messages

Bekerja Sambil Studi (BSS)

SEBELUM IDE KADALURSA, SAYA INGIN MENULISKAN INI

..........
Saya sangat apresiasi mahasiswa yang ingin bekerja sambil kuliah.

Seperti kabar dua hari belakangan terakhir ini. Dan saya ingin memberinya nilai 200%. Seratus untuk niatnya yang luar biasa, sisanya jika niat itu terlaksana.

Yah, banyak keuntungan yang bisa didapat. Diantaranya; mengenal dunia kerja lebih dini dan menempa diri. Selain itu, juga menumbuhkan manajemen serta kedisiplinan waktu. Tapi perlu diingat, bekerja sambil studi juga memiliki beberapa yang musti diwaspadai. Waktu yang tidak terorganisir dengan baik, mengancam durasi dan frekuensi studi itu sendiri. Itu salah satu contohnya.

Ada dua pilihan yang bisa diambil ketika memutuskan untuk bekerja sambil kuliah:
1. Bekerja pada diri sendiri. Yap, membuka usaha pribadi. Catatan penting: Membuka usaha sendiri tidak hanya sampai pada menentukan usaha apa yang hendak di rintis. Karena bisnis lebih dari "ada uang ada barang".

Bukan! Bisnis pribadi setidaknya meliputi bagaimana menemukan konsumen, mempertahankannya hingga ke tingkat pelanggan, lalu mempertahankan pelanggan, dan setelah itu menangani komplain serta ketidakpuasan pelanggan. Pelanggan yang merasa puas dengan produk dan jasa kita pun belumlah cukup. Kita selaku penjual, harus bisa memberikan nilai tambah. Ingat! Kompetitor mengawasi dari jarak jauh.

2. Bekerja pada orang lain alias karyawan. Yang ini tidaklah mudah, meski kita kebanyakan menyukai yang satu ini. Resiko kecil dan tinggal masukan lamaran. Kesulitannya terletak pada menemukan pekerjaan itu sendiri. Setelah diterima, kita bekerja menjadi sorotan.

Kebanyakan mata majikan lebih tajam melihat kesalahan kita, dan pandangannnya kabur pada hal-hal betul selama kita bekerja. Memang tidak semuanya begitu. Intinya, siap-siap dimarahi oleh atasan. Sudah lumrah, sebaik apapun kita bekerja, pasti suatu saat kita melakukan kesalahan. Oleh itu, berhati-hatilah!
.............

Hampir lewat. Membuka bisnis pribadi pastinya memiliki nilai plus. Jangan bicarakan penghasilan diawal-awal, syukur-syukur bisa lebih untuk mengganjal perut sehari-hari.

Wah, aku jadi ingat. Suatu hari di suatu waktu, saat dompet benar-benar kempes. Tersisa cuma seratus lima puluh ribu. Seratus dua puluh ribu untuk bayar listrik dan sisanya uang makan selama seminggu untuk dua kepala, kira-kira. Saat itulah, betapa seribu rupiah amat sangat berharga. Bahkan uang recehpun begitu memikat.
Was-was dan khawatir melanda. Bagaimana kalau motor bocor atau ada keperluan mendadak lainnya. Kepala hampir meledak.

=SEMENTARA KITA HARUS SELALU TERSENYEMUM MENYAMBUT PELANGGAN=

Itu semua diatas, media, terutama buat diri pribadi, agar bisa menghargai uang. Bagaimana mencari dan menggunakannya dengan bijak.

Makanya, kalau ada uang receh atau seribuan berserakan di lantai, kumpulkan! Jika kita tidak menggunakannya, tabunglah untuk bersedekah kepada orang lain.

OK
Rabu, 26 Februari 2014 0 Messages

Wanita Paruh Baya

Kampung geger. Desas desus mengabarkan seorang wanita paruh baya pembawa perkara. Bisa-bisa bencana bakal segera tiba.

Seonggok tubuh terdiam di bawah anak tangga, sebuah rumah tua. Oh, mungkin ini orang itu, pikirku.

......
Wanita paruh baya
Duduk merana dan nelangsa
Tak peduli dengan masa
Pun masa tak bersahabat lagi dengannya
......

Aku menghampirinya diam-diam. Tak ingin menganggu lamunannya. Namun, kehadiranku terhidu jua. wanita itu terkejut, panik, dan hendak melarikan diri.

......
Jangan takut wahai wanita paruh baya
Aku sekedar ingin bertanya
Ada apa gerangan,
Sampai engkau dihinakan?
......

Ia mulai tenang. Kembali duduk di tempat semula. Tanpa sepatah kata pula, pandangannya menyapu langit mendung.

Sementara itu aku terus menunggu, menunggu, dan menunggu lagi. Aku hampir memecah sunyi, tetapi ia mendahului...

.......
Nak, apakah setetes cinta yang tersisa
bisa membawaku masuk ke syurga?
.......

Aku terkesima. Apa maksudnya? Setetes cinta dan syurga. Apakah ia pasrah dengan derita?

.......
Ku tak menyalahkan mereka, nak
Karena aku berpangkat durjana
Ku tak mengiba pada mereka, nak
Aku hanya ingin bersua
.......

Bersua? apakah wanita itu punya keluarga di kampung ini? Siapakah gerangan? Berkelebat pertanyaan menghujani sanubariku.

Dari tas kotor yang setia menemaninya, ia mengeluarkan selembar foto. Lekat-lekat ia memandanginya. Mendekapnya tak lama kemudian. Ia terpejam. Pelupuk matanya mengalirkan anak sungai.

Wanita dihadapanku membuka matanya lagi. Segera menyusupkan foto itu kembali ke dalam tas. Kepalanya menoleh, untuk pertama kalinya, pandangan kami benar-benar beradu. Siapa sesungguhnya wanita ini?

Seolah bisa membaca pikiranku, ia berkata....

.......
Aku bukanlah siapa-siapa, nak
Niatku hendak berjumpa
Walau ia tak terima
Tapi kuharap ia paham aku mengakui dosa
.......

"Kalau begitu, bisakah saya membantu anda?" tawarku.
Secercah harapan kutangkap dari raut mukanya, "benarkah, nak? Sebenarnya saya tengah...."

Kata-katanya langsung terputus. Dari kejauhan, tampak orang-orang bergerombolan. Berteriak-teriak pedas "Usir pelacur itu, usir dia."
Ia bangkit bergegas dengan penuh ketakutan.
"Nyonya...." panggilku. Berharap ia menoleh. Sebaliknya, ia semakin melaju. Jilbabnya meliuk-liuk tak tentu rupa.

"Hentikan!" balas kuberteriak menghadang. Apa daya, aku cuma seorang. Manusia-manusia berhati bara bergeming, menabrakku tanpa ampun. Aku terpental.

Aku sekarang benar-benar menyaksikan keganasan. Seonggok batu jalanan membuat wanita paruh baya itu terjungkal. Lantas sayup-sayup kudengar ia bertakbir.

Manusia-manusia itu membentuk lingkaran. Mencibir penuh kepuasan. "Rasakan!-Syukurin!-Nahas kamu!"

Menggunakan tenaga tersisa, aku membelah barisan. Kulihat wanita itu tergolek kaku. Tak ada lagi desahan, tiada pula ketakutan. Ia selamat dari amukan. Ada genangan merah dibawah kepalanya.

Tanganku lancang. Meraba isi tas yang tak lagi bertuan. Ini......?
Aku terduduk dengan hati membuncah. Air mata tumpah seketika.
Dan manusia-manusia itu malah meninggalkanku sendirian.

.......
Wahai wanita paruh baya, aku ingin bertanya,
siapakah sebenarnya yang durjana
Kamu ataukah mereka?

Wahai wanita paruh baya, aku ingin bertanya,
apakah kamu telah mendapatkan syurga
atas setetes cinta yang kau punya?

Wahai wanita paruh baya, aku ingin bertanya,
kenapa masa benar-benar tega tak beriku jeda
walau sekedar memanggilmu mama?
.........

Setelah desa tak menerima, entah dibelantara mana ku semayamkan jasad mama. Pun aku tak ingin datang kesini lagi. Cukuplah, pabila aku mengenangnya, foto ini menjadi perantara.

Dalam dua-tiga langkah meninggalkan nisan tak bernama, hatiku berucap, "aku memaafkanmu mama."


=Wanita Paruh Baya=
By: Soe
0 Messages

Lelaki Pengembara

Angin mengganas menampar wajahku
Menarik-narik rambut serta pakaian lusuh yang kukenakan
Mengingatkan lagi, sepertinya waktu itu kian dekat

"Mataku nanar menatap lembah hijau dikejauhan. Aku yang berdiri tegap, mulai goyah perlahan-lahan. Ransel yang kupanggul terhempas di rerumputan. Tak lama kemudian, aku berlutut dengan kepala tertunduk"

Kalau lah memang......
Ah, pun tak ada yang akan merasa kehilangan, tuk apa aku bimbang
Ah, pun tiada cinta, tuk apa aku nestapa

Tapi kembaraku belum sampai
Disana, ada yang mesti kutunaikan
Dan jika semua usai, ku pasrah di ujung jalan

==Lelaki Pengembara==
Tak tau lah ye, namanya puisi atau apa. Tergantung yang baca ajak.


Redaksi Berbeda dibawah ini:

 Sang bayu telak memukul mukaku
merenggut baju kumal dan mengibarkan setiap helai rambutku
Hatiku mendesak tanya, apakah saatnya segera tiba?

"Bola mataku menajam. Menjelajahi setiap jengkal pepohonan dan hijaunya bentangan alam. Diri yang terpaku diam, mulai gentar sedikit demi sedikit. Tas punggung berdebum tanpa ampun, pada rerumputan yang kupijak. Tak lama berselang, aku lunglai. Lutut menghujam tanah, kepala tertunduk kalah"

Jika itu benar adanya.....
Aku tak perlu bimbang
Jika itu benar adanya.....
Aku tak perlu nestapa
Karena aku ibarat tiada, demikian pula dengan cerita cinta

Namun, perjalananku terus berlanjut
Baru jeda ketika gejolak semuanya sirna
Dan kala itu, langkahku menyusur kemana angin membawa
Jumat, 21 Februari 2014 0 Messages

WASIAT NEK AKI

"Soe, aki mu ade yang nak diomongkan dengan kau."
ilustrasi

Singkat, padat, dan jelas. Pesan singkat apak juga menyiratkan menyuruhku pulang segera. Meski tidak menyebutkan kondisi nek aki bagaimana, tapi tampaknya semakin mengkhawatirkan. Malam ini adalah yang kelima nek aki dirumah sakitkan. Tak ada penyebab istimewa, usialah yang menggerogoti kehidupannya. Apakah ini tandanya......? Tidak! Ya Allah, sodah nak capat gilak. Aku maseh nak same-same dengan aki-ku. 

Makanya jam tiga dini hari ini aku mencegat bis Pontianak menuju Sambas. Kabut asap tipis masih menyelimuti kota khatulistiwa. Bakal terus berlanjut selama hujan belum juga bertandang. Bis muncul tak lama kemudian. Aku naik, lalu memilih duduk di pinggir jendela bis. Melorotkan badan dan menyambung tidur. Tersadar ketika suara azan subuh keluar dari corong-corong speaker masjid yang kami lewati.
...........

"Awok."
Aku bangkit. Apak dan umak menyeruak masuk sebaik saja ganggang pintu kutarik. "Ape kate nek aki mu?" pertanyaan serentak dari kedua orang tuaku itu. Apa hendak dikata. Kami telah membuat perjanjian. Agar wasiat nek aki tak dibongkar selama ia masih hidup. Tetap tersimpan di benakku. Aku menggeleng, "kate nek aki, usah dolok padahkan."
............
Dua hari sekembalinya dari RS. Pagi ini nek aki lebih tampak segar. Aku pamit mencium punggung tangannya. Beralih pada Apak dan umak yang turut mengantar di depan rumah. Ya, aku melanjutkan menuntut ilmu Ekonomi lagi. Meski jujur, minatku tidaklah muluk di bidang ini.

Seperti biasa, petuah Apak dan Umak mengiringi langkah pertamaku, "hati-hati. Jua batol-batol kuliah ye."
"Ye."
Sementara nek aki diam. Matanya, entah bagaimana seolah menyiratkan ucapan perpisahan. Kutepis sekuat mungkin. Sayang, nuraniku tetap mengatakan hal serupa. Walau dikejauhan, kudapati nek aki menyeka matanya sebelum masuk ke rumah.
..........
Pun aku belum sempat mendudukkan diri di kos saat kabar itu datang. Nek aki meninggal beberapa menit yang lalu, kata apak dari ujung sambungan. Tanganku bergetar dan HP hampir saja lepas.
..........
Tak mungkin mengendarai Fizer tuk pulang ke Sambas malam itu juga. Selain kondisinya kian renta, pikiranku pula tidak tenang. Daripada sesuatu yang tak diinginkan berlaku, pilihan terakhir adalah memesan taxi, meski merogok kantong lebih dalam. Semoga perjalanan lancar dan besoknya sempat mengiringi pemergian nek aki ke tempat pembaringan terakhirnya.

Sepuluh malam taxi baru berangkat. Aku masih punya waktu untuk menyelesaikan wasiat nek aki. Sekarang baru mendekati delapan malam.

Kubuka si oren, meluncur ke dunia maya kemudian. Secepat itu pula, ingatanku meluncur pada kata-kata nek aki di kamar VIP RS beberapa hari silam. "nekaki@gmail.com. Passwordnye, nekaki."

Nek aki minta, kalau dia sudah meninggal nanti, agar aku mengupdate status Facebooknye. Atau dengan kata lain, akun jejaring sosial itu menjadi satu-satunya warisan yang beliau tinggalkan. Mengingat tak ada harta warisan lain  yang hendak dibagikan. "Ye, ki," kataku hari itu.

Kepada dua ratusan pertemanan nek aki di Facebook, aku menuliskan, "Innalillahi wainna ilaihi roji'un. Telah meninggal dunia nek aki pada hari Jum'at pukul 19.30 Wib. Kalau ada salah dan hutang pada teman-teman sekalian mohon dimaafkan dan menghubungi ahli waris yang ditinggalkan. SOE."
...........
= Hanya fiksi =























0 Messages

Konsumen Tengah Malam

Bahasa kerennya Insomnia. Dua belas kurang lima, mataku terasa berat tapi tetap saja tak hendak lelap. Bolak-balik diatas kasur pun hasilnya nihil. Apa hendak dikata, oren memanggil dalam kebisuan. 

Keluar kamar bersama si Oren, langsung meluncur ke dunia maya. Lalu tuntaskan tulisan yang tertunda di blog pribadi. Dalam tengah kesibukan, di luar angin malam mendesau pelan. Wuuu........sssss

Wah, sepertinya hujan akan turun. Angin masuk lewat ventilasi, bisa buatku merinding sesaat. Brruuummm...ciiiiittt. Sebuah sepeda motor tiba-tiba berhenti di depan Sentras. Aku melongokkan kepala. Melihat dari balik kaca. Dan dari penampilannya, ku tangkap ia seorang mahasiswi.

Tok-tok-tok
Ku buka daun pintu. Menyapanya sesaat kemudian, "ada apa ya?"
Gadis itu bungkam. Malah menyodorkan flashdisk dari saku jaketnya.
"Oh," aku sok faham. Menghidupkan si kompu, menyalakan printer. Lalu, "yang mana ya?" tanyaku setelah flashdisk terbuka di layar.

Ia masih bungkam. Telunjuknya menunjuk ke arah layar. Tepat diatas sebuah file berjudul....berjudul....entahlah, apa juga judulnya.

Dingin juga gadis ini, pikirku. Tak ada senyum dan kata-kata. Berkerudung putih berbalut jaket hitam dan celana longgar hitam.

Baiklah. Printer, lakukan tugasmu segera! Ciiit,treeet,ciiit,treeet. "lima ribu."
Ia mengulurkan sejumlah uang yang kusebut. Berdiri dan melangkah sambil menenteng plastik hitam berisi hasil print-an. Sementara uang tadi, aku selipkan di saku celana.

Brummm-brummm-brumm... sepi, senyap, sunyi
Aneh. Tak ada tanda-tanda kendaraan beroda dua itu berjalan, tahu-tahu sudah tidak ada di tempat. Kupastikan dengan menghampiri pintu yang masih terbuka. Memang, tidak ada siapapun di ruas jalan.

Segera ku tutup pintu rapat-rapat. Menguncinya dengan empat putaran. Di luar, angin mendesau pelan. Wuuu......ssss. Kuraba saku celana, lima ribu ikut raib.
..........
Di kamar gelap aku terjaga dengan telapak kaki dingin. Ah, untungnya cuma mimpi.
..........
Selasa, 04 Februari 2014 0 Messages

Di Tengah Membuat Nasi Goreng

Delapan kurang. 

Asap mengepul dari celah-celah nasi dan kanteri. Terasi dan bawang goreng pula memunculkan aroma menggoda tersendiri. Terakhir, tambahan penyedap rasa dan garam secukupnya, sedia memanjakan lidah. Diaduk-aduk sampai semuanya menyatu dengan sempurna. 

Tok-tok-tok, "assalamu'alaikum..."

Aku melepaskan spatula, melongok ke ruang tengah. Tepat, nasi goreng selesai dibuat dan pelanggan pun datang.

"Oh, wa'alaikumsalam warohmatullah. Masuk pak." Masih dari dapur, aku mengebaskan telapak tangan dimana ada sedikit nasi masih menempel. Mematikan kompor, beranjak menghampiri mereka kemudian.

"Jadi........" Bla-bla-bla. Ditengah kesibukan dengan mereka berdua, datang seorang siswi SMAN 1 Sambas.

"Ngeprint bang," katanya ceria.
"Yep."

Meski pelajar itu telah lama pergi, dua bapak-bapak masih di Sentras. Malam semakin merangsek larut. Tapi apa benar 9 sudah layak dibilang larut? Entahlah. Sementara di sebelah rumah, permainan badminton tengah di gelar.

Selesai tak selesai, baru menghadapi nasi goreng spesial buatan sendiri jam setengah sepuluh. Segelas susu hangat menemani di samping. Uhaaa....BTW, alhamdulillah.

Ada saat-saat dimana kita harus agak kerja keras, kerja keras, dan harus kerja keras untuk kesuksesan.

WISMILAK (Wish Me Luck) 
Senin, 03 Februari 2014 0 Messages

Aksi si Api

Dua malam terakhir di rumah kontrakan.

Asap tiba-tiba muncul. Dari ruang tengah, merangsek ke kamar. Telingaku menangkap suara gemerisik, tapi entah dari mana. Mengerutkan jidat sejenak, namun Naruto: Back to Ninja
mengalihkan perhatianku secepatnya.

Dari heran meningkat bingung. Asap semakin merebak. Kini giliran hidung menghidu sesuatu terbakar. Apa yang terbakar?, pikirku. Sebelum beranjak masuk kamar, aku cuma menjerang air. Menjerang air? menjerang air?!

Memastikan keadaan, aku bangkit bergegas. Di dapur, kudapati  api berkobar tepat dibawah kompor gas. Belum terlalu besar, tapi sudah melahap sedikitnya alas plastik dan meja kayu dibawahnya. Beruntung, panci bocor yang kugunakan buat menjerang air bermanfaat. Tetesan air menjadikan lembab dan menahan api bergerak kemana-mana. Sementara pemantik kompor telah leleh terkena panas.

Ingat petuah kakak, "kalau kompor gas keluar api, tutup dengan kain basah." Aku membasahi serbet sejadi-jadinya. Namun usaha itu sia-sia. Saat ditimpakan diatas api, api enggan mengalah. Mencoba mengangkat kompor, justru api semakin membara. Gas masih keluar dari tembaga yang terhubung dengan selang gas.

"Aku panik. Kulepas sambungan langsung ke gas. Api menyembur dari benda itu ke arahku. Duarrrrrrr! Aku berteriak dengan sekujur tubuh berapi. Berlari, belum mencapai pintu depan, aku terkapar. Orang-orang berdatangan dan mendobrak pintu saat mendengar ledakan. Sebelum hilang kesadaran, terakhir kudengar orang-orang menyebut namaku. Sementara api semakin ganas melahap dinding kayu di dapur. Secepat kilat, merambat ke atap daun sagu."

Menggeleng pelan, aku memberanikan diri. Khayalanku itu tentu saja menakutkan. Lebih menakutkan lagi ketika harus menanggung ganti rugi. Untuk membeli rumah dan urusan pindah saja, perlu uang tidak sedikit. Jika ditambah lagi dengan ganti rugi, uhhh darimana menggali uang?

Aku pasrah. Seandainya imajinasiku menjadi nyata, paling tidak aku sudah berusaha, pikirku. Dan sebaliknya, kemungkinan berhasil juga besar. Memberanikan diri melepas selang pada tabung gas. Api lenyap, dan aku lega bukan main. Alhamdulillah. Allah Maha Baik. Sangat mudah seandainya malam itu tertakdir rumah kontrakan ludes. Segalanya berjalan atas kehendak-Nya.

Aku gemetaran. Menjauhkan tabung gas pada kompor, meski itu tidak ada gunanya sama sekali. Hanya reflek akibat ketakutan. Bahkan ketika menuliskan ini, sesak nafas rasanya ketika mengenang ulang.

 
;