Senin, 30 September 2013 0 Messages

Deg-degan Menanti Maknyah?

Ih....kedengarannya gak enak sekali. Eitss, sampai disini, temans Sentras tak perlu senyum dan so'udzon dulu lah. OK!

Maknyah itu janda cerai. Mmmmm (dah mule tu ). Emangnya kenapa dengan janda cerai? Maknyah tetangga sebelah rumah. Tetapi nginapnya dia di rumahnya yang seberang sungai. Tiap pagi wanita itu singgah dulu ke disini. Membawa jualan; sayur2an dan kue mueh. Tumben hari ini siang, dan itulah yang ku tunggu. Bukan Maknyah nye. Serahlah mo Maknyah, neknyah, atau paknyah ke yang datang. Yang penting kue, itu ha!

(Koq emosinya ninggi, ya?)

Tak juga. Soalnya, pagi ini aku gak sempat ke warung Mak long yang di Tumok. Biasanya, disanalah aku membeli tambul. Berhubung setelah shalat subuh tadi perut kurang bersahabat, jadilah pulang menjadi alternatif. Itu dia sebabnya.

= Catatan gak ada kerjaan di awal Oktober 2013. 5:43 dari tempat tidur berteman sekantong kue dan segelas Kapal Api White Coffee Grande =
Jumat, 27 September 2013 0 Messages

Mocai Menghilang


Runi gak pernah membayangkan hari-hari kedepan. Tanpa Mocai, oh sungguh terasa ada yang hilang. Tiada lagi yang mengeong, mengelus kaki saat berjalan, dan  terpenting, gerombolan tikus bakal berpesta di rumah. Membayangkannya, menjadikan gadis itu semakin terperuk dalam kesedihan. Tiba-tiba, dari pelupuk matanya, menganak sungai aliran bening. Telat menyeka, jatuh begitu saja di jilbab ungunya. "Mocai," ucapnya lirih.

Hening, sepi, seolah kehidupan telah lenyap. Runi mencoba berpikir positif diantara dugaan-dugaan mengerikan yang menimpa kucingnya itu. Tapi sungguh sulit nian. Berkelebat bayangan Mocai mengeong untuk terakhir kalinya, sebelum menjemput maut di ujung pisau. Uh...tidakkkk! Mocai, dimana kamu.

Harus ada yang dikasih tahu tentang ini. Meski belum tentu mengembalikan Mocai secara utuh, paling tidak menghibur dirinya dengan berbagi. Runi, dari kamar menuju ruang tamu. Di meja, tergeletak Handphone dan buku catatan hariannya. Bisa-bisanya dua benda penting itu ada disana. Kalau orang tak bertanggungjawab merasa memilikinya bagaimana?

Memilih menu kontak dan sebuah nama kemudian, lewat HP Runi menunggu sejenak hingga ujung sambungan berbalas. "Assalamu'alaikum....." Begitulah selanjutnya. Runi mengulangi kronologi terakhir dia melihat Mocai sampai pada detik dimana binatang kaki empat itu raib tanpa jejak. Sesekali di sekanya matanya. Urusan Mocai, melebihi urusan yang lebih besar. Skripsi yang tak kunjung selesai. Nasib.

Dan, "wa'alaikum salam." Keluh kesah selesai. Untungnya Runi mendapatkan sedikit pencerahan dari sepupunya tadi. Bersabar dan berdoa, itulah petuahnya. Semoga Mocai kembali ke rumah dengan selamat. Mencari kucing yang seperti Mocai itu tidaklah mudah. Kucing itu istimewa diantara yang lainnya. Karena? Runi enggan memberitahukannya. Itu rahasia dirinya sendiri.

Kemana sebenarnya Mocai?
........
Runi berjalan ke teras depan dengan lunglai. Membuka pintu dengan sepenuh tenaga tersisa. Perihal kehilangan Mocai telah menyedot energinya begitu banyak. Runi duduk setelah itu di salah satu kursi. Pandangannya menjelajah halaman yang dijejali rumput mulai memanjang serta bunga yang bisa dihitung jari. Dari dulu, ia memang tidak suka menanam bunga-bungaan. Dari sana, beralih ke kanan kiri pada rumah tetangga. Berharap Mocai tengah bermain "petak umpat" dengannya. Enggan menampakkan diri saja saat ini. Semoga.

Semua prasangka bernilai nol. Runi membetulkan jilbabnya sambil mendesah pelan. Hmmmm...
Oh, apa itu? ada yang terlintas dari jelajah matanya. Diantara rerumputan, terdapat seonggok benda hitam. Tidak terlalu besar, namun pas untuk ukuran jasad Mocai. Runi berlari sejadi-jadinya. Sepertinya, kalau ada lautan diantara dirinya dengan benda aneh itu, pun akan diarunginya dengan semangat empat lima. Jangan, bukan, itu bukan Mocai! Langkahnya semakin cepat dan berhenti tepat di depan Mocai yang diam. Meringkuk tanpa nafas. Innalillahi ...... Mocaiiiiiiiiiiiiii ( Macam di film2 be, kameranya di atas, Runi menatap langit sambil berteriak histeris )

"Yo, ngape be, ni?" Pak Hamzah yang baru saja pulang dari Depag langsung terkaget-kaget. Tentu saja mendapati putrinya tiba-tiba berteriak tidak karuan. Dan Runi menyadari realita. Mimpi. Ternyata, keletihan telah membuatnya tertidur di kursi tamu. Mimpi? Hah? Kadang-kadang mimpi juga bisa menjadi petunjuk. Apa ini berlaku pada Mocai.

Sementara pak Hamzah masuk ke kamar tanpa jawaban putrinya, Runi bergegas menuju teras. Hatinya mengatakan mimpi tidak akan jadi kenyataan. Dengan deg-degan dia turun hingga ke taman. Di tempat ia menemukan Mocai dalam mimpinya, adalah tempat pertama yang disambanginya. Mocai tidak ada! Syukur Alhamdulillah.....

"Meooooooooong,"

Runi berbalik arah. "Moooocaaaai..." ( bayangkan adegan pertemuan mengharukan itu diperlambat ). Mereka berpelukan. "Dari mana saja kamu?" Tentu saja tidak bisa menjawab. Mocai kan kucing. "Meoooong."

= Tuanku tengah berada di dapur ketika sebuah benda bergetar hebat dekatku. Padahal aku kan lagi enak-enaknya santai. Siang-siang gini enaknya tidur-tiduran gitu lo. Dan uh, lagi-lagi ke benda itu, menakutkanku. Aku berlari sekencangnya. Beruntung pintu depan terbuka, kesanalah arah tujuanku. Benda itu masih bergetar saat aku berada di teras, seolah menguntitku. Maka, aku pun tidak mau dalam bahaya. Pergi menjauhi rumah. Rupanya semangatku itu yang justru membahayakan. Saat merasa aman, aku baru tersadar, "dimana aku?"

Tahu-tahu aku sudah berada di tempat asing. Apalagi yang bisa kulakukan selain mencari jalan pulang. Banyak jalan menikung menyulitkanku. Masuk keluar dari tikungan satu ke tikungan yang lain. Rumah tuanku tidak juga kunjung ketemu.

"Meoooong," suara lain di suatu rumah. Mengajakku berkenalan. Aku tidak terlalu tertarik sebenarnya. Satu-satunya yang membuatku mendekatinya adalah karena ia tengah makan. Dan aku lapar. Jadilah kami berkenalan berdasarkan kepentingan. Tanpa basa-basi, aku meninggalkan kenalan baruku itu. Melanjutkan pencarian rumah tuanku lagi. Akhirnya, pencarian berbuah juga. Di kejauhan, ku lihat seorang gadis muda berjilbab ungu memangu di taman. Ya, aku kenal persis dengannya. Dia itu ...... ah, kami berpelukan =

6:20
Masih dari Tempat Tidur bersama secangkir Kapal Api Grande dan sekantong kue lagi.
Kamis, 26 September 2013 0 Messages

Hujan Mengejutkan

Jam berapa?

Saat tiba-tiba dibangunkan oleh hujan yang mengejutkan, aku bertanya-tanya, jam berapa sekarang ini? Seolah itu penting. Alasannya, paling tidak akan menjadi bahan perbincangan keesokan harinya. Namun, mendapati HP lagi off dan malas mengaktifkannya, sepertinya bertanya kepada seseorang esok juga merupakan bahan perbincangan, bukan?

Hujan yang mengejutkan lambat laun menyusupkan rasa ngeri. Intensitasnya yang lebat tampak tengah melempari atap rumah kami tanpa ampun. Otakku jadi berpikir yang tidak-tidak. Badai, topan, dan yang paling ringan adalah atap bocor. Aku membayangkan, rumah kami yang kondisinya memprihatinkan ini, tercabut lalu terbawa angin. Bersyukur, itu hanya sesaat. Kemudian berpindah pada atap daun di bagian dapur, aku mengira akan terangkat semuanya. Ah, hanya khayalan yang tidak masuk akal. Dan terakhir, kekhawatiranku pada Sentras tercinta. Menguap seiring keyakinan bahwa tidak akan terjadi apa-apa padanya. Kecuali air merembes melalui plafon lewat atap seng yang bocor. He...he..

Semua kegusaranku menghilang bersamaan dengan aku memasuki alam mimpi lagi. Untungnya itu semua tidak terbawa-bawa sampai ke sana.

5:49

Dari tempat tidur. Ditemani secangkir Kapal Api Grande White Coffe (berlari ke dapur, baru ingat tengah menjerang air) dan sekantong kue. Mempertimbangkan untuk tidak melanjutkan tidur. He...he...
Selasa, 24 September 2013 0 Messages

Rahasia Soe

"Kamu ini keras kepala sekali ya. Aduh, atau jangan-jangan sudah jadi manusia benaran. Ayah, dimana ayah?"

Lile melemparkan tas tangannya ke sofa begitu saja, lalu berlalu cepat. Tadi malam saja sudah hampir membuatnya pingsan. Membahas ini lagi? Oh, sorry jack. Kalau Soe masih enggan mengubah keputusannya, ia peduli apa. Gadis itu menekan tombol di balik lukisan. Dinding mundur perlahan, kemudian menyamping. Satu demi satu lampu menyala sepanjang lorong. Itu adalah jalan menuju ruang kontrol.

Soe menghela nafas. Di rumah ini, pikirnya, tidak ada yang benar-benar mengerti dirinya. Bukan, dirinyalah yang punya masalah. Mereka semuanya benar.

"Kalau ada telepon, katakan aku menghilang." Lile keluar lagi untuk berpesan. Tak perlu jawaban. Tubuhnya menghilang secepat kemunculannya.

Seorang wanita yang mereka sepakati memanggilnya ibu, bergabung. Duduk dengan anggun bak nyonya rumah sejati, yang penuh sopan santun serta ramah. Memerhatikan lekat-lekat ke arah Soe. Soe, merasa bersalah mendapat perlakuan seperti itu. Lebih baik ia menghindar.

"Tunggu, Soe," tukas Marlina perlahan saat Soe hendak bangkit.

Ketika tatapan mereka bertemu, Marlina mendapati bara dibalik mata Soe. Penolakan menerima nasihat atau semacamnya. Ia tahu, tidak ada gunanya mengulangi petuah-petuah tadi malam di ruang utama. Keputusan Soe final. Mereka berdua sama-sama tahu apa konsekuensinya.

Soe duduk kembali dengan terpaksa. Menatap ke lantai dimana kakinya tidak diam.

"Kita tahu semuanya sulit, bukan? Bagimu dan bagi kita semuanya. Ibu tidak pernah menyalahkan apa yang kau pertahankan. Dan sekali lagi, ibu berjanji mendukung sepenuhnya."

Tiba-tiba kilatan dimata Soe hilang. Melunak dan menerima kehadiran Marlina, ibunya.

Seperti bisikan, Soe mengatakan, "terima kasih."

Keheningan hadir sejenak diantara kebungkaman mereka. Menimbang-nimbang untuk memulai. Marlina tahu kapan seharusnya diam. Dan ia benar. Soe, ketika punya kesempatan, pemuda itu akan mengatakan yang sebenarnya.

"Namanya Arunia," ucap Soe singkat.
......................

Next......Dr. Mock Series


Minggu, 22 September 2013 0 Messages

Alamak, Remote di Bajak Nenek!

Alamak, remote sudah dibajak "NENEK"

Artinya sejak sinetron Gajahmada nampil, di temani Damar Wulan pada chanel sebelah, sampai Raden Kian Santang kelar, aku gak bisa menguasai TV. Untung-untung, nenek sudah terkuap-kuap saat memaksakan diri memelototi Take Me Out Indonesia. 

Baru diatas jam itu, aku bisa bernafas lega. Kelegaanku sebenarnya masih menyisakan perasaan dongkol. Tadi setelah shalat Isya, aku berharap bisa menekan chanel no 7, metro TV. Mendulang motivasi dan pengembangan kepribadian bersama bapak Mario Teguh. Apa boleh buat, nenek sudah nongkrong disana. Dan aku mundur setelah memelas tapi ditolak. Pak Mario, ketemu di dunia maya saja, ya.

Istilah periklanan menyebut jam-jam segini dengan prime time. Harga iklan yang ditampilkan jelas jauh lebih tinggi dari waktu lainnya. Namun bukan itu yang ingin kubahas. Yang kusesalkan adalah, kenapa sinetron itu gak ada habis-habisnya sih. Bicara sedikit, kelahi. Hidup-mati-hidup lagi. Penjara-bebas-penjara lagi. Berputar-putar disitu saja alur ceritanya. Tanpa arah. Herannya, nenek koq suka ya?

Pada kesempatan lain di beberapa pekan yang lalu, nenek mau mengalah sedikit. Nah, dalam peluang emas itu, aku berharap nenek kepincut dengan program yang amat sangat ingin kutonton. Pak Mario dengan senyum memukaunya, menghipnotis para audiens di studio. Aku yakin yang dirumah juga demikian. Saran-saran membangunnya mampu menggerakkan jiwa untuk menjadi pribadi yang unggul. Ku lirik ke arah nenek sekilas, beliau terkesima.

Haruskan aku mengatakan wowwwww!!! Nenek meresapi setiap kata pak Mario tanpa sisa. Pandangannya lurus, pikirannya konsentrasi, dan mukanya tegang. Wah-wah, ini baru nenekku. Meski kita orang kampung, nek, tapi jangan kampungan.

Hingga tibalah detik yang membuat aku terjungkal. Pertanyaan nenek yang spontan membuatku terbelalak dan ingin ngakak. Ternyata aku salah seratus persen. Apa yang tampak tidak selalu sama dengan kenyataan sesungguhnya. "Ape be yang die omongkan?"

Guabraaakkk.... Sejak saat itu, nenek jera.

Aku berpikir sejenak. Memang tidak ada yang salah dengan nenek. Begitu pula pak Mario Teguh. Apalagi diriku. Rupanya ada media komunikasi yang tidak berjalan dengan seharusnya. Lihat saja, pak Mario berbicara menggunakan bahasa, yang yah, kita anak kuliahan mungkin gak kesulitan menerjemahkannya. Tetapi tidak bagi nenekku. Dikiranya orang di TV itu tengah berbicara bahasa langit. Kronologi, diskriminasi, kontroversi, dan yang semacam itu. Bahasa-bahasa tersebut tentu saja tak pernah nenek temukan di sekolah rakyat dulu. Ah, setiap generasi mungkin ada bahasa tersendiri.

Aku manggut-manggut. Oh, pantas saja nenek suka nonton sinetron. Bahasanya mudah dimengerti. Tak pedulilah ceritanya kesana kemari. Yang penting nyambung.

Itu bukan berarti setiap malam senin aku menyerah membujuk nenek. Cuma kuharap nenek pikun dengan kejadian waktu itu. Ya nek ya......nenek baik deh.

===Fiksi semata. Kesamaan cerita dan tokoh hanya kebetulan belaka===
Jumat, 20 September 2013 0 Messages

CINTA SUCI ABAH

CINTA SUCI ABAH

"Anak-anakku yang ganteng dan cantik. Abah ni heran, tetangga udah pada ribut mau ngejodohin Abah dengan si anu yang depan gang. Apa Abah sudah kelihatan cukup tua, ya. Padahal, belum juga menginjak Sweet 28. Bagaimana menurut kalian?"

Si Abah memandang ketujuh anaknya satu persatu. 

"Kalau menurut saya nih, bah," si Along angkat bicara. "Itu artinya tetangga peduli sama Abah. Sampai-sampai masalah pendamping pun mereka perhatiin. Tapi berkenaan setuju atau tidak, itu urusan lain. Mending Abah minta petunjuk saja sama Allah. Insya Allah ada jalannya."

Ke enam anak Abah lainnya sepertinya setuju-setuju saja tuh. Kecuali, yang nomor tiga. "Kalau Ude lain, bah. Memang perjodohan gak dilarang sama sekali dalam agama kita, cuma, ini yang penting ni. Apa abah ada pilihan lain?"

Abah menghela nafas berat dan terdiam untuk sesaat. Ia mengingat perbincangannya di warung kopi Acoi dengan kawan lama. "Kau ini banyak nampik!" begitu kata teman Abah yang masih hangat dalam memori otaknya.

Dengan hati-hati abah menjawab, "ya." Diam lagi.

"Namanya Zahrana. Seorang dosen."

=== LO, KOQ NYAMBUNG KE FILMNYA CINTA SUCI ZAHRANA. GIMANA INI? GAK BENAR YANG NULIS NIH......PEACE===
Selasa, 17 September 2013 0 Messages

Gak No Wahid, Minimal Beda lah

Siapa yang gak mau jadi yang pertama?

Tentunya kita semua ingin, bukan. Cuma, ada saat-saat dimana kita BELUM bisa menjadi yang utama dan harus memaksimalkan potensi sumber daya yang ada. Dalam kontek persaingan bisnis misalnya. Seandainya saat ini usaha kita belum bisa berperan sebagai pemimpin pasar, paling tidak berusahalah untuk beda. Demikian kira-kira petuah para punggawa bisnis yang sering kita temukan dalam buku-buku sukses berwirausaha.


Mmm....teringat tentang itu, pikiranku terlempar pada masa-masa sekolah dulu. Yah, tepatnya sekitar sepuluh tahun silam. Kala itu, aku sesungguhnya dan mau tidak mau harus puas duduk diperingkat lima atau enam. Begitu seterusnya dari kelas satu sampai tiga SMK. Sayangnya, seolah kompetisi menjadi barang yang diremehkan. Ditambah lagi, tidak adanya motivasi eks dan int untuk menjadi yang nomor wahid. Dan demikianlah.

Meski seperti itu, kontek "gak bisa yang utama, paling tidak beda" itu rupanya telah ada dalam diriku. Bahasa Inggris. Sang juara kelas dan empat orang pintar tiga orang diatasku bertekuk lutut dalam pelajaran bahasa asing itu. Sampai terkadang aku ingin bungkam saat sang guru melontarkan pertanyaan pada seisi kelas. Masalahnya aku tahu jawabannya. Sengaja diam memberikan kesempatan pada teman-teman yang lain. Nihil. Mau tidak mau, guru pun seolah telah bersekongkol denganku dalam diam, maka akulah yang musti menjawab.

Pernah suatu hari, sepeda motor yang kugunakan mogok. Konsekuensinya, aku kehilangan mata pelajaran Bahasa Inggris. Ketika datang ke sekolah, kelas telah usai. Sempat-sempatnya seorang teman berceloteh kepadaku, "bapak itu ngajarnya gak semangat, gak ada kamu."

Satu yang ingin kutekankan disini adalah, bukan tentang ceritaku sepuluh tahun yang lalu diatas. Melainkan, setiap kita harus bisa menemukan keunggulan diri kita pribadi. Jangan harap menjadi sukses besar kalau kita tetap berharap bisa menjadi seperti orang lain. I am my self. Keunikan ada dalam jasad kita. Ayo, temukannya!
Jumat, 13 September 2013 0 Messages

Miss Galau 2013

Warga desa Pelangi juga ikut menolak keras lho pergelaran ajang Miss World di Indonesia. Tapi tidak untuk
yang satu ini. Saat wartawan lokal mewawancarai salah satu peserta, jawaban yang didapatnya sangat keras, "jelas saja beda mas. Kalau disana itu buka ini buka itu. Kita disini buka itu saja." Itu? Itu yang mana maksudnya nih. Gak nyambung. 

Memang gak pernah nyambung. Ide itu menjalar bak virus. Galau merebak lebih cepat dari aliran listrik. Kayak corong-corong mulut ibu-ibu ketika bergosip ria. Oleh karena itu, pantas memang diadakan Miss Galau 2013 edisi perdana. Edisi percobaan. Barangkali ada desa lain yang ingin melakukan hal serupa. Jadi desa Pelangi dalam hal ini pemegang trade mark. Artinya desa mana saja hendak mengadakan Miss galau, mustilah meminta persetujuan plus membayar 'fee' pada desa pelangi. Sejauh itu pemikirannya. Luar biasa ide bisnisnya. 

Barulah terkuak arti "itu" yang disebutkan tadi. Itu bermaksud, peserta terbuka untuk umum. Tak pedulilah anak remaja, ibu-ibu sampai nenek-nenek gaul pun bisa bergabung. Dan konsekuensi dari terbukanya tadi, karakteristik peserta mencengangkan panitia. "Ini ajang apa sih? Arisan atau bagaimana?" salah satu panitia geleng-geleng kepala. 

Antusias wanita desa pelangi untuk menjadi yang tergalau menjadi-jadi. Terjaring lebih dari lima puluh kandidat yang terdaftar. Tapi dengan amat sangat terpaksa, sepuluh diantaranya digugurkan tanpa belas kasihan. Inikan ajang "miss," kok mereka yang "miss palsu" ikut-ikutan. Mending ke laut aja dah. '-'
Berkurang lagi jumlahnya ketika seorang nenek menyatakan mundur secara suka rela. Ia dapat mimpi dibentak almarhum suaminya karena ikut acara itu. Kasihan, tapi panitia tak ada satupun yang menjatuhkan air mata. Gila!

Dari total tiga puluh sembilan yang bertahan itulah, panitia melakukan seleksi selama tiga minggu. Mengamati secara diam-diam, siapa-siapa saja yang galau benar-benar dan yang bohong-bohongan. Ketahuan? langsung dicoret namanya. Kalau di ajang miss sana itu istilahnya karantina dan ikut berbagai kegiatan kali ya. Dan cara ini very-very efektif. Lebih dari lima puluh persen tersingkir secara otomatis. Sisanya bertahan hingga puncak. Pertanyaannya, berapa orangkah yang bertahan kalau begitu? Mulai berhitung, kan?

Dua belas (koreksinya belakangan. Soalnya saya lagi malas ngitung). 

Dua belas yang tersisa berhasil naik kepanggung. Dekorasi bangunan itu jauh dari elegan. Seadanya, ya. Ah, namanya juga acara dadakan dan suka-suka. Paling benar adalah kurangnya dana. Mengongkosi tiga dewan juri yang sok glamor saja hampir bangkrut. Belum lagi konsumsi panitia dan hadiah bagi pemenang. Dalam diskusi antar panitia, tersinggung juga masalah, "tobat mau ngadain ini lagi. Tak ada sponsor yang mau."

"Ehem..." juri pertama mempersiapkan diri memberikan pertanyaan. Wanita itu terkenal sebagai calon anggota legislatif dapil berapa kali. Pokoknya, fotonya akhir-akhir ini menyebar banyak di desa pelangi. "Menurut teman-teman sekalian, apa itu galau?" Teman? bijak sekali kata yang dipilihnya. Maklum caleg gitu loh! Soalnya peserta bervariasi umurnya. Disebut adik, ntar yang tua tersungging. Di bilang ibu, eh yang muda malah tergiling.

Marfuah : "Mmm...galau itu....mm..galau itu....." 
Waduh, banyak titik-titiknya. Marfuah mundur dengan muka merah padam. Berbisik kesamping, "apa sih galau?"

Widuri : "Menurut aku, galau itu keadaan dimana kita merasa...gak ada yang benar. Bisa disebabkan oleh hal-hal yang terjadi sama kita. Misalnya diputusin pacar, jerawat lagi tumbuh, dosen ngasih nilai pelit. Misalnya lagi...."
Si caleg wanita menyetop paksa. 

Mira, Ima, dan tiga wanita lainnya (kecapekan cari nama) mengikuti jejak teman satu gengnya, Marfuah. Banyak mmm....dan engg....nya. Pasti mereka memikirkan hal yang sama. Kenapa gak belajar dirumah, apa itu galau. Aduh, mereka semestinya sadar dirilah. Galau itu kata khusus anak muda. Mereka kan angkatan enampuluhan, kecuali Mira yang anak generasi sekarang. 

Si caleg wanita mulai gusar. Bedaknya hampir luntur dan senyum pura-puranya mulai pudar. Untungnya sebelum berangkat tadi, ia menekan dirinya sendiri agar tetap menjaga bibir simetris. Kiri-kanannya. Ini demi masa depan. Ingat, ia penyokong dana utama acara ini. Harapannya, pundi-pundi suara akan mengalir deras dari desa pelangi ini. 

Lima orang sisanya berhasil mengekori Widuri lepas dari eliminasi. Rata-rata mereka semuanya remaja usia sekolah menengah atas hingga kuliahan semester bawah, selain Siti yang ibu rumah tangga ajaib. 

Juri kedua adalah lelaki dengan kepala hampir selicin batu. Tinggal beberapa jumput rambut di pinggir. Yang membawanya masuk dalam tim juri adalah statusnya sebagai kepala desa. Debat kusir para panitia terjadi dalam penunjukkan sang kepala desa tersebut. Dan inilah hasilnya. Dengan amat sangat terpaksa dan dibuat enak-enak saja, ia ada disitu. 

Sok berwibawa, ia bertanya kepada semua peserta, "apa yang paling membuat kalian galau? Uhuk...uhuk...maaf. Lagi batuk."

Ya tahulah sedang batuk, pikir salah satu peserta. Masa bersin. 

Sista : "Pacarku" (Setiap hari dalam tiga minggu terakhir di FB nya, ia terus menerus meratapi pacarnya)
Widuri : "Cinta sebelah tangan" (Terpesona pada setiap cowok ganteng. Padahal cermin hampir retak saat ia berkaca. Jodohkan tidak tergantung rupa. Katanya cinta itu buta, ya? pikirnya)
Siti : "Kehabisan duit" (Mikir kiriman suaminya dari malaysia belum datang)
Dian : "Cinta sih" (Nasibnya kurang lebih dengan Sista)
Cinta : "Terlalu banyak. Sulit diterjemahkan. Salah satunya sih ..." (Padahal ia tidak benar-benar tahu apa yang menyebabkannya galau. Sepertinya apa saja bisa membuatnya galau). 
Lissa : "Yang membuatku galau adalah aku sulit mencintai. Banyak yang mengejar, tapi tak satupun yang cocok denganku" (Sok cantik )

Tiga harus tersisih di sesi ini. Anggota juri bingung mau memilih siapa saja. Soalnya kalau dipikir-pikir semuanya gak ada yang menjanjikan menyandang gelar Miss Galau 2013. Akhirnya Siti, Lissa, dan Widuri lolos ke tahap selanjutnya. Yang lain mengisak diam. Mungkin begini rasanya tereliminasi di X-Factor Indonesia. 

Juri ketiga wanita muda. Satu-satunya alasan masuk akal ia dipilih panitia adalah karena berhasil masuk tiga puluh besar audisi dangdut di sebuah televisi swasta. "Bagaimana kalian menghilangkan galau?"

Ini ajang apa sih tujuan dan manfaat kedepannya. Kalau duta anti narkoba misalkan ya, nanti mereka akan bersosialisasi tentang bahaya narkoba. Atau duta pariwisata, mereka yang terpilih bakal mempromosikan tempat-tempat eksotis di daerahnya. Begitu seharusnya. Lah ini? Miss galau, apakah akan mensosialisasikan pentingnya galau dalam kehidupan kita. Mungkinkah demikian? Bodo amat!

Lissa : "Kalau aku jadi Miss Galau 2013, caraku menghilangkan galau adalah dengan melakukan apa yang kusukai." (Udah mikirnya jadi Miss Galau 2013 nih orang).
Widuri : "Aku kan suka main game tuh. Jadi lama-lama deh didepan komputer. Mau gempa atau apa, aku gak peduli. Yang penting gak galau gitu. (Jangan-jangan ada gempa dalam dirinya kalau tidak terpilih nanti).

Dan yang paling bijak jawabannya adalah ...
Siti : "Saya sih berencana menutup akun FB saja setelah ini. Saya terus saja menuliskan masalah demi masalah disana. Gak ada yang tak masuk dalam status. Dari bangun tidur sampai tidur lagi. Bukannya solusi yang didapat, eh masalah itu malah melebar. Begitulah yang kutemukan pada teman-teman muda FB lainnya. Status mereka cuma dua. Lagi senang-senangnya dan lagi susah-susahnya. Seolah masalah cuma mereka yang punya. (Dewan juri tersentuh meski kurang sependapat).

Saat yang ditunggu-tunggu tiba juga. Detik mendebarkan penuh penasaran. Tiga peserta telahpun berdiri berbanjar, ditemani seorang moderator yang terus saja memuji setiap jawaban mereka tadi. Gak peduli bagus maupun jelek. Seolah mulutnya cuma bisa mengucapkan, "wah hebat sekali jawabannya. Silakan mundur kebelakang." 

Bapak kepala desa membuka amplop dan siap-siap menyebutkan satu nama. Wanita yang berhak menggondol gelar Miss Galau 2013. "Dia adalah ........" kalau di TV itu akan di shoot wajah peserta satu persatu. Menonjolkan ketegangan antara mereka. Terreeeng-terreeeeng-terreeeeng. "Selamat kepada Widuri." 

= Namanya juga Miss Galau 2013. Mengatasi galau ya pergi ke galau yang lain. Galau ya galau aja. Untung saja penulisnya gak ikut galau. Kalau galau, bakal galau deh yang baca. He..he..hanya fiksi ya. Semoga terhibur =







0 Messages

The Monkey Hunters

Serunya sore ini begitu heboh. Bermula ketika anak-anak berlarian sambil berteriak kegirangan. Menunjuk-nunjuk pada sebuah objek bergerak bernama, "kera....kera....."

Aku yang tengah membaca buku dan bermaksud lelap sejenak, menjadi pikun akan tujuan. Tanpa komando apapun, aku bangkit. Rasanya pengin ikut berteriak juga sama anak-anak. Mmm....

Kera berlari sekencang angin. Melabuhkan diri pada pepohonan di tepi sungai. Cukup menyulitkan buat kami melihatnya, kecuali mengintip-intip dengan seksama. "Itu...." teriak salah satu bocah. Semua mata mengarah kesana. Pepohonan bergoyang ketika si kera melompat ke dahan yang lain.

Suasana perburuan semakin menggila. Jumlah monkey hunters bertambah ramai. Di kejauhan, tampak lelaki hampir bisa dibilang berumur digandengi remaja muda bergegas menghampiri. Lelaki tersebut membawa satu-satunya senjata yang barangkali bakal ditakuti binatang berbulu itu. Kami terus mengawasi setiap gerakannya, sementara ia tetap berpindah-pindah.

Dusss....senapan angin mengena. Kena dedaunan. Itu jadi lelucon kami semua. Si kera terus saja bergerak agresif namun terkepung Lelaki tadi menarik senapannya berkali-kali. Duss....dan dusss.... mengena sasaran pada tembakan ketiga. Rupanya kera itu kebal juga. Ada darah menyembul diantara bulu kelabunya. Gesitnya tak berkurang. Kesana-kemari ia tetap mencoba melepaskan diri. Seolah-olah tengah menanti sebuah keberuntungan.

Kami lengah meski terus mengamati. Si kera berhasil berlari ke rerumputan masih di bibir sungai, berlari lagi sampai menemukan kerangka pintu tanpa daun. Satu-satunya peluang menyelamatkan diri.

Disini lebih lucu lagi. Tiga orang penghuni rumah berhamburan saat kedatangan tamu tak diundang dengan tiba-tiba. Kami ngakak bareng-bareng. Apa mungkin kera juga begitu? "Hallo, permisi ibu-ibu."

Pemburu utama masuk ke dalam rumah menenteng senapan. Duss...mengenai pinggang dan darah keluar lagi dari tubuh kera. Dasar keras kepala. Binatang itu belum lumpuh juga tuh. Berhasil menyelinap dan berlindung. Kami memanjangkan leher, mencari-cari.

Tidak lama berselang. "Dibawah!" teriak ibu pemilik rumah. Entah bagaimana caranya, si kera bisa merangkak ke bawah rumah dan berlari menuju arah barat. Arah dimana ia mulai datang. Sayangnya, nasib memang tidak selalu baik. Ia salah perhitungan ketika tubuhnya mulai letih dan sakit. Merasa tidak mampu lagi, ia akhirnya berhenti tepat dibawah rumah yang lumayan gelap. Oh, namanya juga pemburu. Pasti penasaran sampai buruannya ketangkap. Perlahan tetapi pasti, binatang yang tak berdaya itu bisa juga dikarungkan.

Ia berakhir ditangan seorang pembeli. Bagaimana nasibnya kini? Aku cuma bisanya mengangkat bahu. Satu hal yang kupastikan, remaja muda yang menjualnya mendapatkan uang 40 ribu rupiah. Memprihatinkan!


Kamis, 12 September 2013 0 Messages

Zona Hijau

Sebuh email dari orang asing membuat Dubby bergegas ke ruang bosnya. Ini harus diberitahukan segera, pikirnya. Namun langkahnya tersekat di depan pintu kala mendapati atasannya tengah menerima tamu. Orang yang sampai sekarang tidak disukai. Dulu pernah sebenahnya. Ah cerita lama, batinnya berucap. 
"Saya harus pergi," Darki bangkit langsung menyalami lelaki di depannya. 
Lelaki yang dipanggil bos oleh mereka semuanya melakukan hal serupa. Tetapi tetap dalam posisi duduk di kursi empuknya.

Dua pasang mata saling tembak di ambang pintu. Dubby melemparkan tatapan bertahan, sementara Darki kelihatan menantang. Selalu saja seperti itu. Mereka tidak pernah akur lagi sejak, hadirnya orang ketiga yang kini menjadi istri Darki. Masa lalu terlanjur terjadi, cuma mereka berdua saja enggan berbaikan. Suatu saat ini harus dibicarakan secara serius. Itulah yang terlintas di benak si bos ketika menyaksikan adegan menegangkan antarbawahannya. 

Darki berlalu dengan cepat dan menghilang dibalik lorong yang berbelok. 

"Mau apa dia kesini?" 
Pertanyaan Dubby lebih kepada kesal sebenarnya. Tidak perlu jawaban bosnya. 
Bosnya menjawab dengan pengertian penuh, "hanya ngobrol."

Tak mungkin. Dubby kenal sekali dengan sifat Darki. Lelaki itu oportunis. Dan yang terpenting, dia tidak suka ngobrol. Kecuali memerintah seenaknya pada anak buahnya. Itu saja sudah mewakili keganjilannya muncul pagi ini. 

"Lalu apa yang membuatmu begitu terdesak hingga lupa mengetuk pintu tadi, Dub?"

Nama kecil yang selalu digunakan bos menyapa sekretarisnya itu. Dubby bermimpi itu tidak hanya terjadi dalam struktur organisasi. Lebih dari itu. Wanita itu menginginkan yang sulit terjangkau, tapi tidak mustahil, menjadi pendamping Gurdy seutuhnya dalam ikatan pernikahan. Bosnya itu.

Hampir lupa. Dubby mengatakan, "ya, sebuah email baru saja masuk. Orang asing dan belum terdaftar sebagai member."

Gurdy meluncur cepat ke email perusahaan dan langsung membaca pesan dari X-Ray, nama si pengirim. 

Ia mengerutkan keningnya, kemudian memundurkan kursi. Menjauhi meja. "Oke," katanya sembari menghadap Dubby disampingnya. "Kupikirkan nanti. Terima kasih."

Hanya itu yang diterima Dubby. Ucapan serupa pernah didengarnya jutaan kali selama ia bergabung dengan perusahaan. Entah kenapa, belakangan ini ia menginginkan ungkapan berbeda. Seperti ..... Ah, Dubby justru menjawab, "k". Ia berbalik seratus delapan puluh derajat menuju tempat pertama kemunculannya. 

"Dub..." seru Gurdy yang menyentakkan Dubby serta menghentikan langkahnya. Dug!
"Ada yang tidak beres?"

Apa yang musti dijawabnya. 

Asal keluar dari mulutnya, "Aku cuma tidak ingin Darki menanganinya."

Tidak ada jawaban, memang Dubby hanya memberi saran. Gurdy jelas-jelas merespon dan berupaya memikirkannya kelak. 

...............

Diluar hujan dengan derasnya. Seharusnya itu menyejukkan ruangan secara otomatis. Tapi tidak! Di ruangan itu, tiga kepala tengah bersitegang. Diskusi singkat dan panas telah dimulai sejak setengah jam yang lalu. Namun, belum ada kata sepakat. Satu orang ngotot. Dan satunya lagi merasa itu haknya. Orang ketiga mencoba sedikit memaksakan kehendak, karena dia si bos. 

Darki menghempaskan tangannya ke meja sambil bangkit, "terserah!". Bantingan pintu keras menandakan kepergiannya. Ia keluar ruangan. 

Begitulah akhirnya. Keputusan telah diambil. Zona hijau yang bersinyal dari Kalimantan Barat paling utara dalam penguasaan dan koordinasi kandidat lainnya yang ada disitu. Adan. 

Terkadang keputusan itu harus diambil dengan membuat seseorang sakit hati. Tapi tidak bagi Dubby. Ketika menyelesaikan urusan surat menyurat resmi tentang keputusan final, hatinya bahagia. Ada rasa kepuasan disana ketika Darki kalah. Balas dendam? Mm...barangkali. 

Zona hijau itu berasal dari Kabupaten Sambas. Banyak sampah botol plastik bergelimpangan dipasar-pasar. Sayangnya pemulung belum masuk ke kawasan ini, seperti kota besar di Kalbar lainnya. Pontianak misalnya. Melalui situs http//pemulung.co.id, aku menyarankan agar mereka memasukkan beberapa anggotanya untuk membersihkan kabupaten Terigas ini. Termasuk peluang bersaingnya juga belum ada. Saat aku menekan 'kirim', yah semuanya terjadi begitu saja. (Just Fiction)

= Selayang pandang =
Ide ini melintas saat aku menyeberangi sungai Sekura rute (PP Tanjung Harapan - Sekura). Di kolong seteher banyak botol-botol bekas. Menjadikan pemandangan kurang enak. Pernah beberapa waktu lalu diadakan kegiatan bersih-bersih. Yah, tahu sendirilah, itu cuma sehari. Sementara manusia membuang sampah itu tiap hari. Bahkan tiap saat. Perbandingan yang sempurna, bukan?




0 Messages

Ibu Menggoreng Telinga

Ibu menggoreng ........... ( 7 huruf )

Jawabnye, mudah jak.

Itu kejadinnya sekitar 20 tahun yang lalu. Tono, bocah kreatif itu menggemparkan kelas sore kami. Kelas tiga yang dua kelas memang terdiskriminasi, harus masuk siang. Lantaran 4 dusun menyerbu satu sekolah yang cuman 6 lokal. Bagaimana coba?

Bu Tia, guru kami kala itu tengah memberikan pelajaran yang sampai sekarang gak aku sukai, Bahasa Indonesia. Tugas kali itu adalah melengkapi kalimat. Cukup simpel.

"Tono," kata Bu Tia yang hampir membuat teman sebangkuku itu jatuh pingsan. Aku sih santai-santai saja. Karena kata ikan telah ku tulis sebagai jawaban.

Tono kelabakan bukan main. Aku gak sempat melirik jawaban di buku kumalnya. Tapi tak disangka dan tak di duga, ia menjawab dengan ganasnya, "Ibu menggoreng telinga."

Bu Tia meledak. Tawanya, maksudku. Kami mengikuti serempak. Kelas menjadi ramai. Tono, Tono, sepertinya bakat komedian menyusup dalam dirinya.


DON'T TRY THIS AT HOME. 
Selasa, 10 September 2013 0 Messages

Redefinisi Cita-cita

Most of us tidak tahu mau jadi apa sesungguhnya. Jangan salahkan diri kita, karena sejak kecil memang tidak pernah diajari bercita-cita sesuai bakat. Paling-paling ketika ditanya, "mau jadi apa?". Otomatis kita (kecil) bakal menyebutkan profesi yang sering kita jumpai atau terlihat di televisi. "Polisi, dokter, guru, dan cari sendiri selebihnya", Kan? 

Bahkan disaat ijazah pendidikan tinggi sudah ada di tangan, kita masih mengambang dalam lautan kebingungan. Mau dibawa kemana hubungan kita? Bukan, mau kemana diri kita? 

Untungnya nih, meski cukup terlambat namun belum terlalu terlambat untuk meralat ulang cita-cita kita. Langkah pertama kenali bakat kita, lanjutkan dengan kiat-kiat harian mengarah kesana. 

Kalau aku sih, suatu hari pengennya jalan-jalan ke toko buku terkenal di seluruh dunia sembari menyaksikan orang-orang pada berebut novelku. He...he...jauh amat masih ya? Ah, namanya juga impian. Dan satu lagi, di samping itu, aku juga ingin tetap menjadi pengusaha (bikin percetakan) dan usaha lainnya dimasa depan. Ini penting. Kita selaku generasi muda pada umumnya, dan muslim pada khususnya harus menjadi kaya, berprofesi sebagai pengusaha. Kalau ingin mengembalikan tampuk perekonomian kembali ke tangan kita.  
Senin, 09 September 2013 0 Messages

Memanggil Cinta

Angin menyeruak masuk melalui celah dinding kayu yang berongga. Tanpa diundang, namun cukup menyenangkan. Mengusir gerah tadi siang yang memanggang. Di kamar sempit seukuran empat langkah kaki orang dewasa ini, aku bergadang didepan monitor. Mousepointer mengajakku bermain-main, tuts pula menggoda untuk dihentakkan. Itulah sebabnya aku terpaku disini sekarang. Pertanyaannya selanjutnya adalah, ide apa yang menarik?

Pencarian itu justru berakhir pada mimpi beberapa malam terakhir. Tentang seorang dibalik hijab raksasa. Setiap kali saat aku hendak menyibaknya, terjaga pula. Selalu seperti itu. Uh. Dan sekarang aku memikirkannya seperti hari-hari sebelumnya. Bodohnya aku, seharusnya itu bisa bahan tulisan, kan?. Nyatanya jemariku kaku. Aku malah memilih menghindari kesumpekan setelahnya. Beranjak dari kursi kayu reot yang berderit saat kubangkit, lalu menuju jendela yang lagi-lagi terbuat kayu. Ku menyebut rumah ini bangunan eksotik yang pernah ada. Hah, terlalu berlebihan mungkin. 

Angin menyerbu saat kubuka jendela perlahan. Engselnya protes lantaran karat yang ada disana. Bergeming, yang kupedulikan hanyalah batuk ibu dari kamar sebelah. Kering, seolah itu suatu lumrah. Ibu menolak saat kuajak untuk berobat. Biasa, orang tua.

Binatang malam berpesta dibalik rindangnya hutan tak jauh dari tempatku berdiri. Jangkrik bernyanyi merdu, burung hantu membuat kuduk merinding, sesekali pula terdengar sesuatu merangsek dengan gesit. Saat ku mendongak keatas, rembulan mengambang tanpa malu. Cahayanya ke bumi disela oleh pohon akasia. Itu membuatku, lega. Entah bagaimana, bulan yang bersinar manja, kini tiba-tiba menggurat sesosok kaum hawa. Membelakangi dengan jilbabnya berkibar pongah. Aku tersentak untuk sesaat. Menggosok mata, meyakinkan itu hanya ilusi semata. Dan tepat, tak lebih dari khayalan belaka. Tetap saja mengganggu benak dan pikiranku. Apa ini suatu kebetulan ataukah sekedar obsesi yang berlebihan? 

Bukan! Ini adalah, "cinta...." aku bergumam pelan.

..........
Gadis itu meletakkan bukunya sesaat. Beranjak dari kasur dan sedikit berlari menghampiri pintu "Ayah mem........" Begitu pintu terkuak, tidak ada ayahnya disana. Ia mengernyitkan jidatnya lantaran merasa heran. Jelas-jelas seseorang tadi memanggilnya. Meski suaranya jauh beda dengan milik sang ayah. Merasa kesal sendiri, ditutupnya pintu kembali sekenanya. Dan belum mencapai kasur lagi, kini benar-benar ada yang memanggilnya. Itu ayahnya.

Ayahnya menyembulkan kepala dari balik pintu, "Suchiro datang, Cin."

Tunangannya itu menuntut penjelasan pastinya. Perihal rencana turnya yang sengaja dirahasiakan, tapi bocor juga. Cintya menganggap ini adalah jalan-jalan sendiriannya untuk terakhir kali. Sebelum ia berstatus istri orang. Ke negeri yang belum pernah dikunjunginya sama sekali. Bahkan tidak pernah berniat kesana sejauh ini, kecuali ada yang harus dilakukannya. Amanah sang almarhum ibu. 

"Baik, ayah. Terima kasih."
..............



Kamis, 05 September 2013 0 Messages

Hand Made VS Kompu Made


Lakak jua nih pic. Demi itu, hujan siang ini semestinya menyenangkan. Memang menyenangkan, tetapi kali ini lebih memilih berteman dengan si kompu menyelesaikan pic diatas. Penasaran dan tanggung saja dibuatnya. Soalnya, ditinggalkan istirahat lunch aja udah hampir kelar. Dan inilah hasilnya. Jelek bagusnya tergantung yang ngeliat sih. Bagi amatiran jelas mereka bakal terkagum-kagum (sok PD), dan profesional pasti memiliki pandangan tersendiri. Juga pastinya banyak yang akan dikomentarinya (Sudah bisa ditebak).

Yah, namanya juga menyalurkan hobi sampingan. Siapa tahu ada yang minat dan minta dibuatin avatarnya kayak gitu. Bisa jadi peluang bisnis tuh. Kan di brosurku include item 'jasa desain'. Sambil promosilah katakan. 

Saat mengentri ini, hari masih saja menangis. Musim hujan mulai masuk di awal bulan sembilan ini. Kasihan orang-orang di kampung yang kerjaannya menyadap karet. Sering tutup "kantor dinas"nya. Gak boleh begitu juga berpikirnya sih, urusan rezeki kan Allah yang ngatur. Saat dia menurunkan hujan yang beruntun kayak gini, ya selalu ada celah lain buat hambanya menjemput rezeki yang tertulis disana. 



Rabu, 04 September 2013 0 Messages

Mesin Pompa Air

Kota kecil, Sambas mandi hujan mulai pukul dua lewat. Dan masih menyisakan gerimis kasar ketika azan isya bergema. Meski demikian, kegusaranku tentang kekurangan air belum jua hilang. Paling tidak sampai matahari menyudahi tugasnya menyinari belahan bumi dimana aku bernaung (Matahari terhijab hujan)

Seharusnya, kan??? Ya, syukurnya rumah sewaku ini berada tepat dibibir sungai. Jadi tidak mengenal istilah kemarau selama pasang-surut masih berlangsung. Satu-satunya yang ingin kudengar sepuluh jam terakhir, sampai menjelang magrib tadi, adalah suara mesin pompa air. Itu dia masalahnya. Kabar buruk datang dari alat itu semenjak pagi. Saat kontak dengan listrik kuhubungkan, mesin itu meraung sebentar, lalu menunjukkan tidak ada lagi kehidupan. Uh...

Aku tidak mau ambil pusing sebab itu harus ditangani nanti. Fokusku adalah pergi "ngantor". Tepat, sepulang istirahat siang, langit menjadi mendung. Angin membawa berita air dari langit. Dan akupun senang bukan main. Hujan, siang hari. Kombinasi luar biasa untuk tidur siang. Disamping itu, solusi mesin pompa air yang macet pun tidak lama lagi akan teratasi. 

Empat lewat baru terjaga. Kedatangan Ashar telah sejam yang lalu. Kalau tidak dipaksakan, godaan materas empuk tidak bisa ditolak. Makanya aku segera bangkit menuju belakang. Menunaikan kewajiban  shalat. Sementara hujan masih membasahi kota bermoto Terigas ini (apa kepanjangannya,ya?)

"Ini ha," 
Pak Ngah menunjukkan benda kotak hitam di atas mesin pompa air. Karena khawatir hari semakin gelap, aku rela-relain deh membelah hujan. Lebih dari itu, sebenarnya ngeri saat melihat bak pada kosong semua. Mau ke kamar kecil saja malas. Tak mandi hari sore ini barangkali bisa dimaklumi sebab dingin. He...he... 

Itulah untungnya punya tetangga semi profesional teknisi permesinan dan sejenisnya, disamping usaha utamanya sebagai pengusaha air galon dan gas elpiji. Ingat urusan bertetangga adalah ibarat cermin. Baik buruknya kita akan dibalas dengan hal serupa oleh mereka. Meski aku bukanlah jenis tetangga yang baik-baik amat, tapi aku tidak ingin menjadi tetangga yang jahat. 

Akhirnya teeetttt. Pasca pemasangan alat yang kubeli dari pasar plus penggantian kabel listrik dengan yang baru, mesin itu berjalan lagi. Lega rasanya bisa melihat air keluar dari pipa paralon ukuran 3/4. 

Terkadang manfaat hal-hal kecil terlupakan sampai kita tersentak sadar bahwa tanpa itu kita bakal kesulitan. Kan?



  

Senin, 02 September 2013 0 Messages

Tebar Pesona, Ups Tebar Pamflet Sebenarnya

Langkah pertama "menaklukkan kampus" dengan menebar pesona. Maksudku sebenarnya adalah menyebarkan pamplet di Politeknik Negeri Sambas (sebelumnya Politeknik Terpikat Sambas). Asli panas luar dalam dibuatnya. Meski berbekal pengalaman kurang lebih setahun setengah bekerja di Pontianak, masih saja sulit menebus kepercayaan diri. Untungnya aku berhasil. 'Panas' itu berhenti ketika seorang kenalan datang menyapa dan tanpa malu menawarkan bantuan. Luar biasanya lagi, ia terus terang agar aku beraktifitas seperti ini meminta izin minimal dengan satpam dahulu. Sebelum sesuatu yang tidak ingini terjadi. Misalnya ditanya, "sedang apa?" Mmmm...betul juga. BTW itu artinya aku tidak sendirian. Terlepas dari ungakapannya yang mengatakan ini adalah teknik kreatif dalam berpromosi, aku cukup puas telah mengalahkan diri sendiri. 

Sasaran tembak selanjutnya adalah kampus tetangga POLNES yaitu Sekolah Tinggi Agama Islam Sultan Syafiuddin Sambas. Nanti, saat mahasiswa baru masuk di beberapa hari setelah pertengahan bulan. Metode yang ingin dicoba sepertinya mirip. Tapi masih ada beberapa hari untuk berfikir, unsur kreatif apalagi yang hendak di include kan. Testimoni, sebenarnya salah satu poin bagus dalam sebuah pamflet. Sayangnya, untuk mahasiswa STAIS sendiri belum banyak yang berinteraksi denganku.  

Dua diatas, agar membawa calon konsumen yang berjumlah kira-kira seribu orang dari dua kampus tersebut ke tempatku. Berhubung belum bisa hijrah ke benar-benar depan kampus mereka, semoga cara ini lebih efektif. Kata orang, sabar. Ya, sabar dengan memaksimalkan sumberdaya yang ada. 
 
;