Jumat, 23 November 2012 0 Messages

De' Bujangers


            Masih sulit memercainya bahwa ide ini keluar dari kepalanya si Abun. Begitu jenius meskipun sedikit abnormal. Tak masalah sama sekali, justru itu penemuan yang patut dihargai. Dimana-mana, sesuatu yang ‘wah’ hampir semuanya berasal dari ketidaknormalan. Jika tidak, dari yang sederhana. Bukan biasa-biasa, maksudku.
            Abun datang dengan marah-marah. “Dikiranya ini main-main apa?” tukasnya emosional. Aku bergeming dan konsentrasi dengan dunia maya.         “Sudah menikah kok mau masuk De Bujangers. Beranak satu lagi,” lanjut lelaki empat puluh tahun itu.
            Aku membetulkan dudukan dan kacamata, “itulah tugasmu selaku pendiri. Untuk menjelaskan bahwa komunitas ini bukan biro jodoh atau semacam itu. Ini adalah komunitas para lelaki ‘tua’ untuk saling bantu membantu menjemput jodoh. Bukan begitu?” ucapku mengulangi visi Abun dulu.
            “Yang paling parah, ia ingin mencari istri yang ketiga. Bengak gak tu!”
            Temanku itu mendekat. Meraih kursi lalu duduk disampingku. “Kayaknya perlu ditekankan penjelasan itu di blog kita,” kata temanku itu  menunjuk-nunjuk ke layar komputer.
            “Yang bergabung semakin banyak,” aku mengabarkan perihal traffic site kami. Paling tidak sudah ada lebih dari lima puluh orang yang bergabung dalam waktu dua bulan. Peningkatannya di page facebook lebih drastis lagi. Ternyata banyak yang senasib dengan kami. Abun tepatnya.
            Itu akan terus bertambah setiap harinya. Aku yakin. “Siap-siap jadi terkenal, bro,” kataku kemudian.
            “Jelas,” tanggapnya singkat.
            “Sebentar-sebentar.” Abun menyerobot key board dari tanganku. Jelas aku tahu apa yang ingin dibukanya. 
“O..ow, aku harus balas ini segera,” katanya sembari mengetik beberapa kata.
            Masa remaja kurang bahagia!
Tugasku tak lebih sebagai operator. Itu memang pilihan yang kuambil untuk mengembangkan komunitas ini. Mempromosikan De’ Bujangers lewat dunia maya. Sedangkan Abun sendiri, selaku pencetus berhak untuk menjadi ketua. Dan bertatap langsung dengan calon anggota baru. Kalau kebetulan berdomisili di daerah ini juga. Seperti yang tadi itu. Sayang saja, pengalaman pertama tidak terlalu bagus. Tapi itu akan menjadi permulaan yang baik.
…………..
            Ku dapati Abun melongo di kamarnya. Tubuhnya meringkuk dibalik selimut tipis. Agak jorok sih sebenarnya, tapi mau apa lagi. Calon orang terkenal harus di beri dukungan disaat-saat kritis dalam hidupnya. Itulah gunanya kawan. Seperti saat ini. Ku yakin, pertemuan kemarin adalah penyebabnya.
            “Ia kecewa, Ban,” tukas Abun lesu.
            Ah, siapasih sebenarnya yang kecewa. Cewek itu atau Abun sendiri sampai demam seperti ini. Sudah berkali ku katakan agar menjadi apa adanya saja. Tidak perlu lah menggunakan gambar orang lain di profile facebook segala. Ini jadinya.         Tentunya membahas itu lagi sekarang kurang tepat waktunya.
            “Siapa namanya?” ku coba mengurai pertemuannya dengan si cewek kenalannya via facebook itu.
            “Usianya tiga puluh. Sebenarnya tampangnya tak bagus-bagus amat. Namanya Liya.” Abun menarik selimutnya lebih tinggi.
            Aku mengangkat hidung sedikit. Semoga filter didalam benar-benar menyaring debu yang masuk. Dan mengurangi bau apek juga pastinya. Selain itu, jujur aku jengkel dengan sifatnya kekanak-kanakan seperti ini. Meskipun perihal mencari pasangan hidup ini sangat berat buat Abun. Namun, jangan sampai segininya kali.
            Sering ia bercerita tentang rasa irinya ketika melihat teman-teman seusinya jalan-jalan bareng istri dan anak-anaknya. Hatinya kecut setiap kali bertatap muka. Satu pertanyaan yang paling dibencinya adalah, “kapan menikah?”. Aku mengerti perasaan kawanku itu. Karena kami kurang lebih sama. Namun, aku lebih muda tentunya, lima belas  tahun. Dan juga ada beda lainnya, meskipun sama-sama belum menikah. Aku hanya tinggal menunggu si dia menyelesaikan studinya. Jadi, tak perlu mencari yang lain lagi.
            Tak kuasa membujuknya, kedatanganku hanya ingin menyampaikan bahwa seseorang hendak bertemu dengan pendiri De’ Bujangers. Tak jelas tujuannya, mungkin hendak menjadi anggota baru. Soalnya lewat sms saja. Tugas Abun lah itu menerimanya. Semoga kali ini berjalan lancar.
            “Pukul berapa?” tanya Abun lemas.
            “Setengah dua.”
……………
            Kami telah saling kenal, bahkan sejak masih sama-sama ingusan. Ia sering membelaku ketika berkelahi. Ia juga tak jarang membantu mengerjakan tugas sekolah. Seandainya waktu itu aku sudah mengenal kata malu, tentu aku menolak mentah-mentah segala bentuk pertolongannya. Merendahkan martabat sebagai bocah laki-laki yang bisanya berlindung dibalik punggung seorang anak perempuan.
            Kini, Khodijah sudah sangat, sangat berbeda. Kepalanya sudahpun berbalut jilbab. Otomatis, pakaiannya menyesuaikan. Panjang dan menutupi tubuhnya yang sempurna. Menjadikan muka tirus dan hidung bangirnya semakin sepadan dengan wajah ayunya. Metamorfosis tidak hanya bentuk fisiknya saja, perilakunya juga. Ia selalu menjaga jarak antara kami. Bukan mukhrim, alasannya. Meskipun begitu, tak sedikitpun kehangatan persahabatan berkurang, ku rasa. Aku mencoba memahami sebagai teman dan sebagai satu sisi lain lagi.
            Sempat ku tanya, apakah ia masih single sekarang? Ku tahu itu tidak pas ditelinganya. Raut mukanya menunjukkan ketidaksetujuan tentang istilah tersebut. Sebab persisnya, aku bingung. Ternyata Khadijah telah mengetahui banyak hal dari kota. Tentang Islam serta bagaimana menjalankan Islam itu sendiri. Aku kagum dibuatnya. Satu-satunya kata yang menggambarkan setiap kali bersua dengannya adalah minder.
            “Kita tidak boleh seperti itu, Iban,” katanya menjelaskan.
            “Apa yang kita lakukan adalah bagian dari proses perbaikan. Minder hanya layak ditujukan kepada Allah sang pencipta. Makhluknya tak ada yang lebih,” tambahnya lagi.
            Ia menghubungi kemarin, mengatakan bahwa bulan depan prosesi studinya di kota selesai. Pada bulan yang sama juga akan diwisuda. Tiba saatnya. Siapa yang tidak senang. Orang tua pun telah merestui. Aku, tentu saja pewaris tunggal pabrik padi ayah. Tidak perlu tunggang langgang kesana kemari mencari kerja. Ayah pun tidak keberatan, kelak aku mengoperasikan usaha perkebunannya juga. Ditambah, aku sering membantunya. Sekedar belajar dan mencari pengalaman. Sementara, Ibu bahkan sangat senang bermenantukan Khadijah.
            Di sela-sela kesibukan itulah aku membantu teman berumurku, Abun. Abun pasti senang mendengar kabar ini. Tangan kanannya sendiri telah sukses menemukan cintanya. Bangga pastinya dia. Mungkin sedikit terkejut mengenai Khadijah, tapi itu tidak masalah sama sekali. 
            …………….
            Hidup terkadang benar-benar menyiksa. Karena kita tidak bisa memilih sesuka hati. Tapi harus dengan usaha yang mapan, baru apa yang diinginkan akan termakbul. Semakin kasihan aku pada Abun. Apa mungkin sosok yang ditemuinya tadi lelaki yang ingin beristri lagi? Semoga tidak.
            “Bengong, bun!”
            Dia marah jika dipanggil abang hanya lantaran pautan usia. Sebut nama saja, tegasnya suatu waktu dulu. Aku menarik kursi, lalu bergabung dengannya. Jarang alias ini untuk pertama kalinya, secara resmi ia memintaku datang. Katanya, ada sesuatu ingin disampaikannya. Kebetulan sekali, aku juga ingin berbicara dengannya.
            Tatapannya sekilas ke arahku. Abun tak tertarik menjawab lekas. Matanya menyapu lalu lalang pengendara. Pikirannya seolah terbawa merayap juga. Untung mukanya tidak ikut-ikutan. Ya, sore ini kami mangkal di kantin di tepi jalan. Coffee street istilahnya.
            “Orang itu tidak datang. Tapi, bukan itu yang ingin ku katakan,” perhatiannya kini mengarah kepadaku. Ia menghela nafas berat. Seberat perihal yang ingin disampaikannya sepertinya. Aku bungkam.
            “Menurutmu Khadijah bagaimana? Maksudku, apakah aku tidak terlalu tua untuknya. Kemarin, ibunya mengatakan gadis itu akan wisuda bulan depan. Artinya kan, tidak salah kalau aku mencoba keberuntungan. Kau tahu, sebenarnya selama ini aku menyisakan ruang di hatiku untuk gadis itu.”
            Gelas berisi kopi panas, batal ku seruput. Aku mengembalikan pada tatakannnya. Ia disana sebisu diriku sekarang. Kepulan asapnya ku harap mampu memberi saran terbaik. Kata apa yang harus ku ucapkan setelah ini. Kata-kata seolah sirna dari kepalaku. Apalagi harus merangkainya menjadi sebuah kalimat. Ternyata Abun…?
            Sulit membayangkan jika aku berterus terang sekarang. Abun tidak pura-pura. Seingatku baru kali inilah Abun benar-benar serius. Tak pernah ia seperti ini. Apalagi menyangkut seorang wanita. Aku masih belum memberikan tanggapan. Abun menunggu dengan jengah.
            “Begini,” aku memulai dengan gugup.
            Apa yang terjadi terjadilah setelah ini. Di satu sisi, tidak bisa aku membohongi diri yang juga berharap pada Khadijah. Di sisi lainnya, aku enggan ku kehilangan teman seperti Abun. Jalan tengahnya adalah lelaki itu mengurungkan niatnya pada Khadijah setelah penuturanku. Tapi itu kecil kemungkinannya.
Meski nanti akan menghadapi kondisi terburuk lalu pulih kembali, namun itu akan berlainan sama sekali. Ketika tunggul sudah ada, payah untuk menjadikannya seperti semula.
            Aku mulai menata kata-kata lagi, “Khadijah orangnya baik. Ku pikir jodoh tidak pernah mempermasalahkan tentang seberapa jauh jarak usia. Hanya saja….”
            “Hanya saja apa?” pangkasnya.
            “Sudah dipikir masak-masak?”
            Sadar dengan sesadar-sadarnya, aku tidak seharusnya mengatakan tadi. Tapi entah bagaimana kata-kata itu meluncur begitu saja. Dengan demikian aku telah menabuh genderang perang dari belakang temanku. Aku, aku mungkin juga telah menikam jantungnya dengan tidak berkata jujur.
            “Aku mengerti maksudmu, ban. Terima kasih.”
            Muka suram itu berseri seketika. Bumbung harapan menjadikannya seolah hidup kembali. Abun menjabat tanganku erat. Justru kengerian merayap di seluruh tubuhku. Membayangkannya hancur berkecai-kecai nanti. Sempatku berpikir meralat semuanya sekarang. Namun, hati kecilku terus menyayangkan. “biar waktu yang menyelesaikannya, dia pasti mengerti nantinya,” begitu tukasnya.
            Kopi terasa dingin dan rasanya menjadi hambar. Sore mulai mengubur diri di ufuk barat. Jagadnya pelan-pelan berubah mega oranye kemerahan sekarang. Abun telah lama meninggalkanku sendirian disini. Kumandang azan menghentak lamunanku. Mengingatkan saatnya harus beranjak.
…………..
            Dua hari aku disibukkan membantu ayah di perkebunan yang kebetulan letaknya jauh dari kampung. Mau tidak mau, kami harus menginap. Ini pengalaman penting, ban. Begitu kata ayah menekankan pentingnya aku ikut dengannya waktu itu. Buruh di perkebunan menuntut kenaikan gaji. Hal-hal seperti ini mungkin akan terulang dimasa depan. Demikian tambah ayah lagi. Maka, dalam dua hari yang lalu aku telah belajar bagaimana bernegosiasi dengan para pekerja yang ikut mengembangkan perkebunan orang tuaku.
            Abun tidak mengangkat teleponnya dan sms ku pun nihil balasan. Ku pergi ke rumahnya. “Ia pergi kemarin. Tak tahu kemana,” kata ibunya yang telah renta.  
Hanya itulah satu-satunya informasi tentang menghilangnya Abun. Tapi dibalik itu semua, jelas aku tahu sebab pemergiannya yang tanpa kabar. Pergi adalah pelampiasan amarahnya. Pengkhianatan dari kawan sendiri lebih sakit, bukan?  Abun telah mendengarnya.
            Khitbah, istilah yang sering disebutkan oleh Khadijah saja belum. Berita di kampung menyebarnya bahkan lebih cepat dari aliran listrik. Kabar burung mengatakan, sepulang Khadijah nantinya akan langsung menuju ke pelaminan. Banyak warga yang menyayangkan. Terlalu dini, katanya. Yang semakin mereka herankan adalah kenapa harus aku. Bukankah pemuda kota lebih banyak yang lebih. Lebih keren, misalnya. Namun, aku yakin gadis itu enggan membuat telinganya pekak dengan isu murahan tersebut kelak.
            Yang terpenting sekarang adalah Abun. Minta maaf adalah hal pertama yang ingin ku utarakan padanya. Meskipun memaafkan jauh berbeda dengan melupakan. Seperti kata hatiku beberapa hari yang lalu, semoga ia maklum.
            Menepikan Abun sejenak, aku mengkonfirmasi permintaan pertemanan dari banyak orang. Juga membalas pesan-pesan di blog. Ada diantara mereka yang meminta penjelasan bagaimana detilnya komunitas ini. Apakah semacam agen, begitu. Ku jelaskan sekenanya rencana De’ Bujangers kedepannya. Seperti akan melakukan pelatihan pengembangan kepribadian, menginformasikan lowongan  pekerjaan, dan yang serupa dengan itu pokoknya. Intinya, komunitas ini adalah bentuk penanggulangan dari hambatan-hambatan yang memperlancar menjemput jodoh.
            Ada pula yang bertanya tentang muka. Kurang ganteng dan sebagaimana. Aku tersenyum sendiri sebelum menjawabnya. Untuk urusan yang satu itu, kami bahkan tidak memikirkan untuk membuka jasa operasi plastik. Selain melanggar aturan Tuhan, tentu biayanya tidak sedikit. Aku tidak bisa memberikan jawaban yang memuaskan pada si penanya. Di balasnya dengan, “komunitas macam apa ini! Katanya, katanya, katanya dan bla-bla-bla.” Sebagian lagi mengatakan bahwa komunitas dan blog ini adalah yang paling tersinting yang pernah di temuinya. Itu urusannya.
 Urusanku sekarang adalah Abun. Sebenarnya tadi berhasil sejenak tidak menghiraukan tentang dia, kini kepalaku berdenyut dan rasa bersalah kembali menghinggapi.
Pintu  base kamp sekaligus kamarku diketuk dari luar. Aku penasaran. Satu-satunya orang yang melakukan itu adalah Abun. Benar, sosoknya muncul dari balik pintu seketika. Aku siap menghadapi ini.
“Kau tahu, ban. Berita itu hampir membuatku bunuh diri. Lebih baik terjun saja dari jembatan, pikirku kemarin,” tukasnya terdengar lirih. Mukanya berubah sedih.
Sementara aku mulai menjadi tegang. Kami memang sering saling umpat, tapi tidak pernah bersitegang seperti ini. Kalau hampir, termasuk sering.
“Kejam. Kau benar-benar kejam, ban. Seandainya berkata jujur sore itu, mungkin tidak akan terlalu menyakitkan seperti ini,” tambahnya lagi. Matanya mulai berkaca-kaca.
Aku tidak tahu harus mengucapkan apa. Persis waktu sore itu. Kepalaku menunduk. Baru hendak berucap, tiba-tiba tawa Abun pecah. Terpingkal dan lama seperti itu hingga air matanya jadi keluar. Ia menepuk pundakku. Heran jadinya.
“Sebaiknya aku ikut audisi pencarian aktor,” ucapnya masih menyisakan tawa.
Aku masih terdiam bingung.
“Ban, kau kira tadi itu benar-benar. Tentu saja tidak oh Iban si anak kacamata tebal.”
Otakku berjalan tidak terlalu cepat. Sulit menyesuaikan keadaan. Dari tegang menjadi sesantai seperti ini.
“Mana mungkin aku melarikan diri dari kampung hanya gara-gara temanku ini akan menikahi gadis yang ku taksir,” Abun menunjukkan jemarinya ke dadaku. “Kau ingat, sudah berapa kali aku ditolak para ladies? Tak satupun yang membuatku kecut. Termasuk yang kemarin itu. Ku tahu kau mengira aku demam lantaran cintaku terbuang, kan?”
Aku mengangguk
“Salah,” Abun menyeka air matanya untuk terakhir kalinya.
Aku tetap tanpa suara.
“Ternyata orang yang tidak datang hari itu adalah seorang perempuan. Heran, kan? Aku juga heran. Aku tahu karena dia datang di hari kau pergi ke perkebunan. Kau tahu maksudnya? Ya itu, ingin bergabung dengan de’ bujangers.”
“Tunggu-tunggu,” aku memotong penjelasan Abun. “Dan kau menolak keikutsertaannya. Karena kau akan datang melamarnya keesokan harinya.”
Kita tidak pernah tahu apa yang terjadi setelah ini. Karena hidup memang misteri. Hak kita adalah menjalankan peran dengan sebaik-baiknya. Hasil, Allah juga yang menentukan. Semuanya terjadi begitu aneh dan cepat.   
…………..
“Jadi?”
Aku meminta keputusan terakhir sang deklarator. Mati atau maju terus? Meskipun kepastian jawaban itu sudah ada di kepalaku. Aku yakin, pendapat Abun juga sama. Apa lagi yang kami harapkan. Status kami tidak lagi lajang. Menikah dalam satu atap. Aku dan Khadijah di sebelah kanan. Abun dan istrinya, Atiqah tiga puluh dua tahun, di sebelah kiri. Itu sebuah pencapaian baru dalam tradisi di kampung kami. Itu sebulan yang lalu.
Abun meng-klik tanda ‘x’ pada sudut kanan. Aku tahu jawabannya. Setelah ini, de’ bujangers hanyalah kenangan paling lucu dan gila dalam hidup kami masing-masing. Sebagai penutup sejarah, aku mengabarkan bahwa mulai saat ini de’ bujangers tinggal sebuah nama. Permohonan maaf juga ku tuliskan dengan sekhidmat mungkin. Ku harap mereka akan menyesal mendengarnya.
Tak lama berselang, sebuah email masuk. “Aduh, bagaimana mungkin ini bisa terjadi. Padahal aku baru bergabung.”
Aku dan Abun serentak mengangkat bahu. 
Selasa, 20 November 2012 0 Messages

TIDOER


Ketika terjaga, ku dapati tidak lagi berada di kamar di rumah kontrakan. Mungkin itulah sebabnya tidurku tidak punya mimpi. Bau obat-obatan menyeruak dan berjejalan di hidung. Ku lihat ibu meneteskan air mata. Dan ayah pula menyeka matanya sendiri. Muka adikku yang berdiri di sisi dinding mulai mendung. Ada apa gerangan? Aku tidak kenapa-napa atau barang kali sangat kenapa-napa. Hanya aku belum tahu saja.
Sakit kepala seperti kemarin itu sering kali melanda. Ini seingatku yang terparah. Sehingga aku bahkan tidak sadar ketika dipindahkan ke rumah sakit ini. Seorang perawat masuk dan memanggil ayah. Ayah keluar seketika. Ibu mengekor dari belakang. Aku tersenyum getir. Apakah ini benar-benar gawat?
Aku ingat sekarang, kemarin itu….
…………..
Kalian tahu, aku selalu senang kalau hujan di tengah hari. Itu artinya tidak pergi ke kios paling tidak sampai setelah ashar. Dan jika hujan berterusan, malam hari baru aku ke kios lagi. Mengunci gembok saja. Itu juga artinya, aku bisa tidur siang dengan nyaman.
            Perutku tidak lagi bernyanyi ria. Setelah diisi dengan menu super apa adanya. Ya, tak jauh-jauh dari menu hari-hari sebelumnya. (Lebih baik jadi rahasia saja, ya). Aku langsung menunaikan niatan tadi. Merebahkan diri di atas kasur di atas lantai. Cukup empuk meskipun tidak terlalu tebal. Selimut perlahan-lahan mengirimkan hawa panas ke seluruh tubuh. Dingin yang meraja tadi, mulai berkurang.
            Satu hampir lima belas menit. Setelah mendengarkan lagu dari HP sebentar, timbul minatku untuk membaca buku yang dipinjam kemarin di perpusda. Seandainya siang ini tidak hujan, sebenarnya aku ingin mengembalikannya saja. Namun terlanjur tidak ada yang dibaca beberapa hari ini, mau tidak mau. Tak ada rotan akar pun jadilah.
            Buku pertama dari Trilogi Golden Compass. Dibaca serius ternyata seru juga. Aku merasa tengah bertualang ke negeri lapland bersama si bocah Lyra dan daemonnya. Lembar demi lembar terlahap juga. Sembari menguap terus-terusan, ku pikir saatnya untuk tidur. Itu sudah pukul dua lewat hampir lima menit.
            Ku betulkan posisi dari tengkurap menjadi telentang. Ku naikkan lagi selimut semakin tinggi. Ku sisakan untuk mukaku saja. Selalu begitu sedari kecil dulu. Aku masih ingat kenapa itu bisa terjadi. Dan aku tidak ingin bercerita di sini, ok? 
            Alarm sudah di-stel. Pikiran ku biarkan menerawang. Tak ingin berpikir berat, karena pengalaman mengatakan; itu akan membuatku susah tidur. Memikirkan alur cerpen yang tengah ku tulis, misalnya. Tepat, yang seperti itu akan membuatku sakit kepala karena sukar terlelap. Dengan posisi mata tertutup, slide-slide entah tentang apa saja hilir mudik. Silih berganti dengan sketsa ceritanya sendiri. Ku biarkan tetap seperti itu. Hingga akhirnya, kesadaranku sudah diambang pintu. Aku berlayar ….
            “Bruaaak.”
            Aku terlonjak pelan. Spontan tubuhku bergerak. Tidak perlulah untuk melihat ke sosok penimbul suara tadi. Itu adalah adik laki-lakiku yang baru pulang dari sekolah. Ia datang lebih telat dari biasanya lantaran hujan sangat lebat. Berbeda denganku yang sekurus kacang, tubuhnya gemuk. Lantai kayu tak berhasil meredam langkah kakinya yang berat. Seolah paku-paku tercabut dari tempatnya. Aku kesal. Padahal ….
            Itu yang paling ku benci. Ketika tidur siangku diganggu begitu saja. Oleh siapa dan bagaimanapun caranya. Sulit bagiku untuk kembali terlelap. Seolah rasa kantuk sirna tak bersisa. Dengusan dalam benakku menjadi andalan. Pikiranku ikut bergabung. Semuanya jadi kacau. Percuma rasanya memejamkan mata. Yang ada hanyalah kepala mulai berdenyut-denyut.
            Ku raih HP di samping kasur. Dua dua puluh. “tiga puluh menit lagi,” kataku membatin spontan. Tiga puluh menit menjelang shalat ashar. Ku rapatkan mata kembali. Berharap kantuk tak berat hati kembali menyapa. Ku ingin tertidur meskipun sekedar sepuluh menit saja. Itu sudah cukup dan lebih baik daripada tidak tidur sama sekali.
            Sulitnya mengosongkan pikiran kembali. Ku paksakan dan akhirnya berhasil. Mataku mulai sendu. Dan aku senang. Namun, sebuah pesan singkat membuyarkan harapanku. Entah kenapa getaran HP terdengar begitu menggelegar. Mataku terbuka lesu. Tangan otomatis melakukan fungsinya. Membuka isi pesan tersebut. Seperti dugaanku, ada nomor HP yang pulsanya mesti di isi. Sudah resiko berprofesi sebagai penjual pulsa elektronik. Begini jadinya. Pesan itu berasal dari ayah.
            Perlu kurang dari satu menit untuk menyelesaikan urusan dengan pesan singkat tadi. Aku mencoba keberuntungan kembali. Membolak-balikkan badan sekenanya. Ke kiri lalu ke kanan. Ke kiri lagi dan ke kanan lagi. Tak ada yang betul rasanya. Sementara jam terus saja berjalan. Aku meringis kesal.
            Aku tahu tidak akan ada lagi acara tidur siang. Walau demikian, mataku tetap ku suruh untuk meram saja. Biar pendengaran yang menangkap apa yang terjadi di sekitar. Suara gitar adik laki-lakiku. Dan lari-lari bocah tetangga. “Lengkap sudah!”
            “Ih abang gendut,” si Ida masuk ke rumah dan ikut memainkan tali gitar. Aku tidak tahu persisnya seperti apa. Yang pasti hasilnya, “treeeng-treeeng-dan-treeeng.” Adikku marah pada Ida. Jelas ia anak yang bengal dan nakal. Ku garis bawahi itu. Merasa apa yang diinginkannya tidak terpenuhi, langkahnya beralih ke arah kamar. Dimana aku tengah berbaring. Dari dulu ia begitu terpesona dengan kasur ini. Dan kini tiba saatnya untuk melompat merasakan empuknya. Tak tanggung, ia berdiri di pinggir kepalaku. Melompat, seperti yang dimauinya.
            “Ida!” Tentu saja aku marah. Namun suara ku atur pelan. Karena rumah ida sangat berdempet dengan rumah kontrakan ini. Takut saja, orang tua atau saudaranya mendengar. Apalagi kami orang datang disini. Tidak enak saja, sebagai pendatang baru. Tapi, kelakuan Ida sudah keterlaluan. Ku pukul kakinya menggunakan tangan. Tidak sakit memang, tapi bisa menghentikannya. Matanya menjadi sasaran pelototan mataku. Ia bergeming. Berlari-lari keluar sambil bernyanyi. Seolah tidak terjadi apa-apa. Dan seperti itulah Ida. Aku dongkol jadinya.
Satu sisi, aku salut dengan bocah itu. Imunitasnya luar biasa. Tidurnya pukul sepuluh lewat. Dan paginya terjaga awal. Tidak pernah tidur siang dan selalu ceria pembawannya. Tadi saja ku dengar ia bermain di tengah hujan. Meski sendirian saja.
“Allahu akbar, Allahu Akbar, Allah…..” Akhirnya suara merdu Maher Zain dalam tembangnya always be there mengubur cita-citaku siang ini. Ku matikan alarm. Di kejauhan terdengar kumandang azan dari corong Masjid. Mulanya satu saja. Di sambut dengan kumandang lainnya. Dan lain lagi setelahnya. Ashar telah tiba. Saatnya untuk membangkitkan badan. Meski sukar, mengikhlaskan adalah pilihan terbaik, ku kira. Ku tarik nafas dalam. Duduk, lalu bangkit. Belum sempurna ku berdiri, kamar berputar dahsyat. Setelahnya, mungkin aku terjerembab dan tertidur.
………………
Aku masih terbaring di atas ranjang pesakitan. Dugaanku matahari baru saja naik, tetapi ternyata zuhur telah lewat. Saatnya untuk melaksanakan kewajiban, tukasku pada diri sendiri. Kini ibu yang mendahului masuk ruangan. Mukanya tampak lesu dan mayanya hilang entah kemana. Lalu ayah muncul kemudian. Dengan raut muka yang sama. Setelah shalat, stepertinya aku perlu tidur lebih lama untuk mendengar kabar yang mungkin menyakitkan. Ketika aku terjaga lagi, ku harap kabar itu terdengar biasa-biasa saja. Aku ingin bermimpi. Itu saja.

<< Tak lebih dari guratan fiksi semata. Terutama pada poin awal dan akhir. Setelah ini ku harap bisa tidur siang dengan nyenyak. Kalau tidak pun, kedongkolan ini sudahpun tersimpan disini. Jadi untuk apa dibesar-besarkan, kan? He..he..he… >>

Sabtu, 17 November 2012 0 Messages

Koepoe-koepoe

Kupu-kupu yang lucu
Kemana engkau terbang
Hilir mudik mencari 
Bunga yang kembang

        Itu tak masuk dalam kamusnya. Ia justru memilih menjelajahi ruangan dimana aku tengah bersimpuh. Ku perhatikan kemana saja ia merayap. Dan deru benda berputar ternyata mampu memikat dirinya. Dari balik celah yang sempit, di jejalkannya tubuh bersayapnya. Aku masih menatap lekat kearahnya, tanpa bisa berbuat lebih. 
         Dikiranya benda itu sesuatu yang enak untuk dicoba, mungkin. Salah besar! Semuanya tuntas ketika baling-baling tajam menghamtam sosoknya. Sayapnya tidak lagi dua, melainkan terpotong-potong kecil. Sementara tubuhnya lunglai tak bernyawa. Tergeletak di celah-celah besi dimana ia masuk tadi. 
        Kupu-kupu yang malang. Bukan! Sama sekali tidak tepat. Itu adalah cara mati yang telah Allah tentukan bagi binatang bersayap tersebut. Dari telur menjadi ulat yang menjijikkan kebanyakan orang. Dilanjutkan kepada masa kepompong hingga metamorfosis.  Jadilah ia binatang yang bisa terbang. Tak lagi dibenci orang, namun sebaliknya. Kecuali mereka yang benar-benar jahil...

Kamis, 08 November 2012 0 Messages

New One Next Year

    Persis, seperti dugaanku
    Akan begini akhirnya
    Hanya saja, waktunya datang terlalu cepat
    Ketika aku belum mempersiapkan semuanya
    Terlanjur
    Apapun, mau tidak mau musti dihadapi
    Siap tidak siap
    Meninggalkan jejak
    Kenangan dan kepahitan
    Sama menyakitkannya
            Kumenguatkan diri
            Hanya butuh beberapa waktu
            Untuk melupakannya
            Menjadikannya secuil sejarah
            Mungkin, suatu waktu nanti bisa diceritakan
            Baik dengan senyum ataupun kegetiran
            Yang pasti, tidak akan ada bedanya
                       Satu hal
                       Kenyataan itu ada dihadapan
                       Meratapi tidak akan mengubah keadaan
                       Biar mata tercungkil dari rongganya
                       Sia-sia belaka
      Aku punya jalan,
      demikian pula dia
      Kini, hanya mencoba berbaik sangka pada Sang Pencipta
      Ikhlaskan menerima
      Ku kira itu, itu sebaik-baiknya penghambaan
      Tak ingin lumpuh hanya karna seorang wanita
      Disini, ketika menuliskan ini
      Cita-cita semakin jelas saja
      Jangan sampai gugur dikarenakan penderitaan
      Melainkan sebagai penawar hati yang berduka
                Ku yakin tahun depan lebih cerah, Insya Allah
                Begitu juga dengan cintaku yang memudar kini
                Tergantikan
                Terangkat tabir misteri
                Seseorang yang jauh lebih baik
                Merengkuh kesuksesan dan cinta sejati
                Sekali lagi, aku yakin itu.
                Sama sewaktu menanti kelulusan memasuki perguruan tinggi, dulu
                          Insya Allah.....
            
   
Jumat, 02 November 2012 0 Messages

Misteri Tercabutnya Batang Asam


            Aku sekarang bisa mengangkat kepala lebih tinggi. Bukan hanya itu, kaki juga bisa sebenarnya. Meletakkannya diatas meja sambil menyandar pada punggung kursi empuk. Betapa enakknya ketika memerintah mereka yang sering menganggukan kepala dengan cepat. Ku harap lebih cepat pula kerja mereka. Jika tidak, lebih baik enyah saja dari hadapanku. Satu hal yang lebih penting dari ini semua adalah Mak. Mak tidak akan pernah lagi marah-marah kepadaku. Bukannya tidak pernah, hanya memang tidak sempat. Ia terlalu sibuk dengan mobil baru dan menghabiskan uang delapan digit didalam cek yang kuberikan. Hidup memang terasa begitu indah.
            Itu semua berawal dari sebuah impianku. Tentunya saat ini aku telah berhasil merintis, membangun dan mengembangkannya. Deep Sleeping Hall, itulah namanya. Awalnya aku dicemooh oleh siapapun yang kuberitahu tentang ide ini. Termasuk Mak. Lebih gilanya lagi, dikiranya aku telah gila. Dan sekarang mata mereka hampir keluar dari rongganya ketika mendapatiku benar-benar telah sukses sebagai pemilik gedung pencakar langit ini. Kurasa aku memang sedikit gila.
            Profesi sebagai pengangguran kelas kakap menyebabkanku banyak waktu luang untuk membaca. Juga mempraktekkan pastinya. Kata orang-orang yang mengaku bijak, bisnis dimulai dari apa-apa yang kita senangi. Sulit memang pada mulanya lantaran hobiku adalah tidur sepanjang hari. Tak lepas bermalas-malasan pula. Jenuh dan muak mengikuti keinginan mak untuk terus dan terus melayangkan lamaran ke banyak perusahaan. Bukannya apa, mereka selalu menekankan pentingnya pengalaman kerja. Itulah lingkaran setan sesungguhnya. Fresh graduate memang lihai dalam teori barangkali, namun disisi lain pengalaman sering kali tidak pernah didapat, kecuali dengan bekerja. Dan untuk bekerja harus masuk ke perusahaan.
            Disingkat De Es Ha, bisnisku ini bergerak dibidang jasa. Menyediakan tempat untuk pemuda pengangguran berduit, anak orang-orang kaya misalnya. Juga tempat tidur-tiduran dan bermalas-malasan sepanjang hari. Karena aku tahu, kebanyakan pemuda di negeri ini suka seperti itu. Sukanya menjadi kaya hanya dengan mengucapkan bim-sala-bim.
            Lamunanku tersentak lantaran pintu digedor dari luar. Entah sejak kapan dua tungkai kakiku ternyata telah ada diatas meja. Tak berniat sama sekali menurunkannya ketika mempersilahkan seseorang untuk masuk. Ku pikir itu hakku selaku bos disini. Siapa yang melarang coba? Di tempatmu, kamu bisa melakukan apa saja.
            “Masuk!” Perintahku ketus.
            Wanita paruh baya dengan rambut kusut masai. Mengenakan daster lusuh dan muka lusuh pula. Sepertinya aku mengenal wanita ini, pikirku. Tatapannya nanar ke arahku menandakan amarah tertahan. Berani sekali marah-marah di ruanganku. Memangnya pikirnya dia siapa?
            “Aku ni makmu!” teriak wanita itu sembari menyemburkan lahar panas dari mulutnya. Matanya berubah merah. Menyeramkan.
            “Mak?”
            “Dah jam tujuh ni, Dung. Pokok e jangan sampai wawancaramu di bank hari ini gagal!” wanita itu diam sejenak. “Awas kalau mak datang kau belum bangun juge!” ancamnya lagi.
            Uh…bisa aku tidur lagi? Lima menit pun jadilah.
………..
            Aku senang membaca novelnya S. Marga GD. Detektif dan partnernya yang selalu saja berhasil mengungkap teka teki kasus yang tengah mereka hadapi. Juga senang pemilihan setiap judul novelnya. Sering dan hampir semuanya sebenarnya di dahulu dengan kata ‘misteri’. Gaya tulisannya juga berbeda penulis tanah air pada kebanyakan. Mungkin lantaran nyonya bernama banyak disingkat itu sering menerjemahkan novel besutan Christy Agatha ke dalam bahasa Indonesia.
            Keseringan membaca itu pula menular pada keseharianku. Sedikit-sedikit, seolah selalu saja ada misteri dalam setiap kejadian. Seperti tiba-tiba mak mendapat telepon dari seorang laki-laki. Ku intip dari balik pintu ketika mak berbicara. Apakah ia jatuh cinta lagi? Boleh-boleh saja kalau demikian adanya. Toh ayah sudah sepuluh tahun dikebumikan.
            Waktu itu nada bicara mak jauh dari tersipu seperti yang ditunjukkan oleh seorang wanita yang lagi kasmaran. Jauh sama sekali. Lebih tepatnya biasa-biasa saja. Di balik pintu, aku masih mengintainya. Tak lama berbicara, HP pun beliau matikan. Penasaran menggerayangiku. Tanpa panjang lebar, ku minta penjelasan.
            “Salah sambong tu,” Tukasnya singkat.
            “Iye ke? Aku masih kurang percaya.
            “Iyelah, Dung.” Mak mulai panas.
            Lanjutnya lagi, “ia mo ngomong dengan Syahrini. Mane gak Syahrini ada disini. Kalau Sarimah ade lah.”
            Nama mak memang Sarimah.

            Setelah wawancara di bank, aku melarikan diri ke ‘markas besar’ daripada kenyang makan amukan mak. Disini tentunya lebih aman dan sepi. Aku bisa mengulang mimpi tadi subuh bila perlu. Atau, atau menyusun strategi praktis supaya Deep Sleeping Hall itu segera menjadi nyata. Kira-kira dimana aku akan membangunnya, ya? Di kampung ini jelas tidak masuk akal.
            Di…di…..? Terputus oleh kemunculan si telinga gajah yang masuk tanpa mengucapkan salam. “Saye ade berite bagos ni. Mo dengar tak, Dung?”
            Jujur, telinganya normal seperti milikku juga. Di panggil telinga gajah adalah lantaran informasi apapun seputar kampung seolah tak pernah lepas dari pendengarannya. Dari isu pemilihan kepala desa beserta calon-calon yang bakal berkompetisi, sampai pada rencana laki-laki lajang berumur yang akan membuat semacam klub para bujang. Dan kali ini aku penasaran, apakah berita yang dibawanya benar-benar bernilai.
            “So?” tanyaku sok keren.
            “Tadi pas aku lewat tu ye, nek Ripah marah besar. Bukan ke aku. Tapi menuduh semue orang yang lewat depan rumah e.”
            “Masalahnye?”
            “Batang asamnye tu ha. Di cabut orang. Padahal baru jak besar segini ni.” Jumadi mengangkat tangannya sepingang.
            “Dapat dak orangnye?”
            “Kate nek Ripah, orang itu kejam benar…gak. Tak pe lah kalau ditepi jalan atau di tengah jalan. Ni tidak. Di halaman rumanye sorang.” Jumadi menjelaskan lagi.
            Aku tak tertarik untuk bertanya lebih jauh. Lebih menarik jika kembali tenggelam ke urusanku sebelumnya. Aku berpaling dari Jumadi. Ia bergerak ke mukaku, “barang siape bise menemukan pelakunye, ade bayarannye.”
            Uang. Kita memang perlu uang untuk sekedar mengisi pulsa. Hitung-hitung sampingan daripada terus menggerogoti uang pensiun almarhum ayah. “Berape?” Aku mulai berminat lagi.
            “Pokoknye ade. Nek Ripah tak mo bilangnye berape.”
            “Markas besar” yang hanyalah posko siskamling seolah berubah menjadi kantor detektif. Dimana aku, Badung, sebagai Hakim dalam novel S.Mara GD dan Jumadi sebagai Ghazali. Dan saraf-saraf otakku pun mulai tersambung satu sama lain. Langkah pertama kali yang harus dilakukan adalah mendatangi TKP untuk membuat hipotesis dasar. Sempurna.

…………..
            “Wuihh..udah kerje dimane, Dung?”
            Pertanyaan nek Ripah seolah sindiran ditelingaku. Jelas-jelas kemarin ia berkunjung ke rumah dan berbincang banyak dengan mak. Tak luput pula perihal hari ini aku mengikuti sesi wawancara di bank. Atau lantaran tidak seperti biasanya, aku saat ini mengenakan kemeja panjang yang digulung sampai siku serta mengenakan celana kain. Boleh jadi. Tapi kan tidak secepat itu diterima kerjanya.
            “Nek…” Bla-bla-bla. Aku mulai mengecek kebenaran yang disampaikan oleh Jumadi. Sementara Jumadi benar-benar bertindak sebagai asisten luar biasa hebatnya. Duduk seperti patung di sampingku dengan buku saku dan pena di tangannya. Mungkin ia telah mencatat semua ucapanku. Juga bagaimana nek Ripah duduk menghadapi kami.
            Jidat nek Ripah yang secara alami berkerut, makin berkedut-kedut karena pertanyaan yang ku lontarkan. Susah payah ia membuka folder-folder memori di storage otaknya. “Oh iye, betol tu, Dung.” Katanya hampir membuatku lepas jantung.
            Cerocosnya berlanjut,”kurang asam benar gak budak tu yang tege-tegenye mencabut batang asam saye. Kalau dapat orangnye, ku buat sambal asam die tu.” Tangannya memperagakan mengulek sambal.
            “Kire-kire siape, nek?” Tanyaku lagi.
            “E…eh, manelah saye tau. Kalau tau tak perlu saye marah-marah macam ni. Ha, kita’ bedua nak ngape jak datang ke sini? Atau jangan-jangan kita’ yang cabut batang asam saye.”
            “Tadaklah, bukan kami, nek.” sergahku cepat. “Justru kami ni mo bantu nenek cari pelakunye. Gimane?”
                “Baguslah kalau macam tu.” Raut lega yang ditampilkan nek Ripah.
            Bukan itu jawaban yang ku inginkan tepatnya. Ku harap nek Ripah segera menyebutkan nominal upah yang akan diberikannya kepada kami jika berhasil. Dan aku yakin akan berhasil.
            Baiklah. Daripada mendesaknya yang akan membuatnya naik darah, aku mulai bekerja. “Kembali ke awal, nek. Kire-kire siapa yang nenek pikir melakukan ni?”
            “Kan udah saye katekan tadi, nenek tak tau!”
            “Kire-kire jak nek.”
………….
            Sela yang pertama kali menemukan batang asam muda itu yang sudah layu pagi itu. Artinya, kejadian pencabutan itu telah lebih dari dua puluh empat jam. Ia menemukannya di tepi jalan. Orang super jahil seperti apa yang sanggup melakukan ini. Tepatnya, apa motif utamanya. Balas dendam? Mungkin saja. Terlebih bocah yang sering di halau oleh nek Ripah bermain dihalamannya. Dapat satu.
            Namun dalam penyelidikan, kita harus bisa melihat apa yang kecil dan mungkin tidak terlihat. Dari pertemuan dengan nek Ripah siang tadi, kami mengetahui bahwa ternyata ia suka memelihara kucing. Sekedar mengusir sepi keseharian. Bukannya ia tidak memiliki anak, nek Ripah mengatakan ia di sia-siakan anak-anaknya. Berseberangan dengan pendapat kami, nenek itu keras kepala. Setiap lebaran Budi, anak lelakinya selalu datang. Selalu pula meminta agar maknya itu tinggal bersamanya. Nek Ripah menolak keras. Demikian pula dengan Mala, putri sekaligus si bungsu, seolah kehabisan kata untuk membujuk maknya pindah bersamanya. Jadi siapa yang harus disalahkan? Masalahnya nek Ripah ingin anaknya tinggal dikampung ini saja bersamanya. Lalu, mau makan apa mereka nanti semuanya. Mencari kerja dikampung ini sesulit menemukan jarum di dalam gudang jerami.
            Nek Ripah benci anjing. Itu memang suatu perilaku terpuji, pikirku. Dan kami pun bertanya orang-orang yang akhir-akhir ini berinteraksi dengannya. Ia menyebutkan Sumi, si tukang jamu sepeda. Memang disini tukang jamu sudah modern. Tak lagi menggendong, bahkan pakaiannya pun kadang seperti orang mau ke pasar. Leging, bu!
            Yang kedua, Sela. Itupun pada saat melaporkan batang asam muda pada nek Ripah. Jadi tak ada salahnya jika memasukkannya dalam kategori tersangka. Selanjutnya ia menyebutkan satu per satu anak-anak yang selalu bermain dihalamannya. Di bumbui dengan betapa bencinya ketika tidur siangnya terus diganggu oleh mereka itu. Tukang sayur pun tak lepas. Rutinitas harian lelaki legam berkumis itu menjajakan dagangannya di kampung. Ia warga kampung sebelah. Dan terakhir yang mampu disebutkannya adalah wanita berjilbab pink yang satu hari sebelum kejadian itu datang untuk minta sumbangan. Dalam hal beri memberi, nek Ripah bisa dibilang sedikit pelit, menurutku. Juga seperti saat itu, wanita yang jelas-jelas membaca proposal pembangunan mesjid palsu pulang dengan tangan hampa. Merengut-rengut tak jelas sepanjang jalan.
………….
            Aku dan Jumadi menggelar rapat tertutup dan sangat rahasia di markas besar. Agendanya menetapkan tersangka potensial dari beberapa orang yang disebutkan oleh nek Ripah. Motif utama pelaku tentunya. Kami menggugurkan satu per satu tersangka. Filterisasi selesai. Dan aku mengeraskan rahang. Sepertinya pekerjaan kedepannya sangat sulit. Satu-satunya nama yang muncul adalah wanita tak bernama. Bukan tak bernama, kami tak tahu namanya. Nek Ripah pun tak akan tahu siapa wanita peminta sumbangan waktu itu. Wanita itulah satu-satunya yang punya alasan untuk marah besar pada nek Ripah. Mencabut batang asam merupakan luahan amarahnya. Tentunya setelah nek Ripah menutup pintu depan.
            Mencari sosok tersebut bukanlah pekerjaan mudah. Biasanya mereka bergerombolan meskipun daerah opreasinya berbeda-beda. Sayangnya lagi, mereka bukanlah warga setempat. Kesulitan pertama yang harus diselesaikan. Kemudahannya adalah, peristiwa ini masih baru. Kemungkinan besar para peminta sumbangan tersebut masih beroperasi di daerah dekat-dekat sini.
            Kami memutuskan nek Ripah kembali untuk meminta informasi lebih ciri-ciri wanita berkerudung yang disebutkannya. Dikejauhan, aku melihat nek Ripah membawa galah untuk memukul seekor anjing. Ia berlari-lari kecil mengejar anjing tersebut. Kurang kerjaan sepertinya.
            “Assalamu’alaikum, nek.”
            Aku yang membonceng Jumadi memarkirkan motor sekenanya. Lalu kami pun menghampiri nek Ripah yang kebingungan atas kemunculan kami. “Mo ngape?” tanyanya judes.
            “Mak e nenek ni. Kite mo nolong, die marah-marah pula.” hatiku dongkol.  
            Aku dan Jumadi bungkam. Mengikuti nek Ripah yang melangkah menuju rumahnya. Ia berhenti sejenak, menancapkan galah seukuran tiga meter pada tanah becek. Tepat di dekat batang asam muda dulunya tumbuh.
            “Siape jak di kampong kite ni yang suke piare anjing. Kurap lagi tu.”
            Jelas itu bukan pertanyaan kepada kami berdua. Ucapannya lebih kepada kekesalan terhadap binatang berkaki empat yang terus mengincar jemuran kerupuk basahnya.
            “Kalau tak pakai galah ni, tak mo peggi anjing tu. Tau die. Uh, kurang ajar. Uhuk..uhuk..” Nek Ripah terus saja berkicau. 
            “Nek, mo nanya…” Aku mencoba memutus ucapan nek Ripah.
            “Tau ke kita’? su Milahmu tu pinjam galah ni macam tak mo balikkan. Berape hari ye. Due atau tige gitulah. Nenek ambek di rumahnye, baru tau die. Besumpah tak mau agek saye minjamkan galah tu ke die.”
            Apa? Ucapan nek Ripah mengangguku. Sedikit banyak juga melunturkan niat untuk bertanya wanita peminta sumbangan. Mungkinkah?
            “Nek, batang asam nenek dimana?” tanyaku meyakinkan.
            Ia linglung. “Oh batang asam? Di sini ha. Ia berjalan mendekati galah yang tertancap. Matanya membesar. “Mane, mane batang asamku? Asamku……”
………….
            Ini bukan mimpi. Bukan mimpi. Aku memastikannya dengan mencubit kulitku sendiri. Sakit. He..he...senangnya.
Aku masih diruanganku. Masih pula duduk di kursi empuk dengan kaki tersangga meja. Lekat memandangi bingkai foto keluarga, ayah, mak dan aku didinding. Ada seorang wanita lain disana. Siapa kah dia? Oh ya ampun. Mana mungkin aku tidak mengenali istriku sendiri. Purnama pujaan hati yang wajahnya seindah purnama. Rambutnya tergerai bergelombang. Aduhai. Tunggu-tunggu! Ada bayi ditangan istriku. Dia anakku? Ya, anakku yang pertama. Tapi siapa namanya? Terngiang-ngiang suara menyebutkan ‘Topan’. Betul, Topan namanya. Kini segalanya telah sempurna. Kesuksesan dan keluarga telah kumiliki semuanya.
Aku beranjak menuju dinding kaca. Dari sini bisa melihat pemandangan kota di bawah. Betapa sudah majunya kota ini. Gedung pencakar langit berdiri tegak seperti balok raksasa yang ditancapkan ke bumi.
Suara teriakan bersahut-sahutan di bawah. Manusia berlari tunggang langgang tak tentu arah. Menjerit-jerit. Bumi bergetar. Di ruanganku, bingkai foto terhempas ke lantai. Telepon di meja demikian pula.
Apa ini? Raksasa? Berperawakan nenek tua sambil menenteng pohon asam luar biasa besar. Di ayunkannya sembarangan. Meruntuhkan gedung-gedung diseberang sana. Aku gemetar. Bagaimana mungkin nek Ripah berubah menjadi monster seperti itu. Matanya melotot ke arahku berdiri. Ceringainya menyeramkan. Tamatlah. Ia berpaling menuju Deep Sleeping Hall ku. Tidak………….Ini mimpi. Pasti ini mimpi...
Aku terjaga. Muka mak menyeruak di balik pintu. “Bagos, tidok jak agek!”


<sudah sangat lama ingin menulis kejadian ini. Alhamdulillah meskipun hasilnya belum maksi, kelar juga. Have a nice reading>
 
;