Masih
sulit memercainya bahwa ide ini keluar dari kepalanya si Abun. Begitu jenius
meskipun sedikit abnormal. Tak masalah sama sekali, justru itu penemuan yang
patut dihargai. Dimana-mana, sesuatu yang ‘wah’ hampir semuanya berasal dari
ketidaknormalan. Jika tidak, dari yang sederhana. Bukan biasa-biasa, maksudku.
Abun
datang dengan marah-marah. “Dikiranya ini main-main apa?” tukasnya emosional.
Aku bergeming dan konsentrasi dengan dunia maya. “Sudah menikah kok mau masuk De Bujangers. Beranak satu
lagi,” lanjut lelaki empat puluh tahun itu.
Aku
membetulkan dudukan dan kacamata, “itulah tugasmu selaku pendiri. Untuk
menjelaskan bahwa komunitas ini bukan biro jodoh atau semacam itu. Ini adalah komunitas
para lelaki ‘tua’ untuk saling bantu membantu menjemput jodoh. Bukan begitu?”
ucapku mengulangi visi Abun dulu.
“Yang
paling parah, ia ingin mencari istri yang ketiga. Bengak gak tu!”
Temanku
itu mendekat. Meraih kursi lalu duduk disampingku. “Kayaknya perlu ditekankan
penjelasan itu di blog kita,” kata temanku itu menunjuk-nunjuk ke layar komputer.
“Yang
bergabung semakin banyak,” aku mengabarkan perihal traffic site kami. Paling tidak sudah ada lebih dari lima puluh orang
yang bergabung dalam waktu dua bulan. Peningkatannya di page facebook lebih drastis lagi. Ternyata banyak yang senasib
dengan kami. Abun tepatnya.
Itu
akan terus bertambah setiap harinya. Aku yakin. “Siap-siap jadi terkenal, bro,”
kataku kemudian.
“Jelas,”
tanggapnya singkat.
“Sebentar-sebentar.”
Abun menyerobot key board dari
tanganku. Jelas aku tahu apa yang ingin dibukanya.
“O..ow, aku harus balas ini
segera,” katanya sembari mengetik beberapa kata.
Masa
remaja kurang bahagia!
Tugasku tak lebih sebagai
operator. Itu memang pilihan yang kuambil untuk mengembangkan komunitas ini.
Mempromosikan De’ Bujangers lewat dunia maya. Sedangkan Abun sendiri, selaku
pencetus berhak untuk menjadi ketua. Dan bertatap langsung dengan calon anggota
baru. Kalau kebetulan berdomisili di daerah ini juga. Seperti yang tadi itu.
Sayang saja, pengalaman pertama tidak terlalu bagus. Tapi itu akan menjadi
permulaan yang baik.
…………..
Ku
dapati Abun melongo di kamarnya. Tubuhnya meringkuk dibalik selimut tipis. Agak
jorok sih sebenarnya, tapi mau apa lagi. Calon orang terkenal harus di beri
dukungan disaat-saat kritis dalam hidupnya. Itulah gunanya kawan. Seperti saat
ini. Ku yakin, pertemuan kemarin adalah penyebabnya.
“Ia
kecewa, Ban,” tukas Abun lesu.
Ah,
siapasih sebenarnya yang kecewa. Cewek itu atau Abun sendiri sampai demam
seperti ini. Sudah berkali ku katakan agar menjadi apa adanya saja. Tidak perlu
lah menggunakan gambar orang lain di profile facebook segala. Ini jadinya. Tentunya membahas itu lagi sekarang kurang
tepat waktunya.
“Siapa
namanya?” ku coba mengurai pertemuannya dengan si cewek kenalannya via facebook
itu.
“Usianya
tiga puluh. Sebenarnya tampangnya tak bagus-bagus amat. Namanya Liya.” Abun
menarik selimutnya lebih tinggi.
Aku
mengangkat hidung sedikit. Semoga filter
didalam benar-benar menyaring debu yang masuk. Dan mengurangi bau apek juga
pastinya. Selain itu, jujur aku jengkel dengan sifatnya kekanak-kanakan seperti
ini. Meskipun perihal mencari pasangan hidup ini sangat berat buat Abun. Namun,
jangan sampai segininya kali.
Sering
ia bercerita tentang rasa irinya ketika melihat teman-teman seusinya
jalan-jalan bareng istri dan anak-anaknya. Hatinya kecut setiap kali bertatap
muka. Satu pertanyaan yang paling dibencinya adalah, “kapan menikah?”. Aku
mengerti perasaan kawanku itu. Karena kami kurang lebih sama. Namun, aku lebih
muda tentunya, lima belas tahun. Dan
juga ada beda lainnya, meskipun sama-sama belum menikah. Aku hanya tinggal
menunggu si dia menyelesaikan studinya. Jadi, tak perlu mencari yang lain lagi.
Tak
kuasa membujuknya, kedatanganku hanya ingin menyampaikan bahwa seseorang hendak
bertemu dengan pendiri De’ Bujangers. Tak jelas tujuannya, mungkin hendak
menjadi anggota baru. Soalnya lewat sms saja. Tugas Abun lah itu menerimanya.
Semoga kali ini berjalan lancar.
“Pukul
berapa?” tanya Abun lemas.
“Setengah
dua.”
……………
Kami
telah saling kenal, bahkan sejak masih sama-sama ingusan. Ia sering membelaku
ketika berkelahi. Ia juga tak jarang membantu mengerjakan tugas sekolah.
Seandainya waktu itu aku sudah mengenal kata malu, tentu aku menolak
mentah-mentah segala bentuk pertolongannya. Merendahkan martabat sebagai bocah laki-laki
yang bisanya berlindung dibalik punggung seorang anak perempuan.
Kini,
Khodijah sudah sangat, sangat berbeda. Kepalanya sudahpun berbalut jilbab.
Otomatis, pakaiannya menyesuaikan. Panjang dan menutupi tubuhnya yang sempurna.
Menjadikan muka tirus dan hidung bangirnya semakin sepadan dengan wajah ayunya.
Metamorfosis tidak hanya bentuk fisiknya saja, perilakunya juga. Ia selalu
menjaga jarak antara kami. Bukan mukhrim, alasannya. Meskipun begitu, tak
sedikitpun kehangatan persahabatan berkurang, ku rasa. Aku mencoba memahami
sebagai teman dan sebagai satu sisi lain lagi.
Sempat
ku tanya, apakah ia masih single sekarang?
Ku tahu itu tidak pas ditelinganya. Raut mukanya menunjukkan ketidaksetujuan
tentang istilah tersebut. Sebab persisnya, aku bingung. Ternyata Khadijah telah
mengetahui banyak hal dari kota. Tentang Islam serta bagaimana menjalankan
Islam itu sendiri. Aku kagum dibuatnya. Satu-satunya kata yang menggambarkan
setiap kali bersua dengannya adalah minder.
“Kita
tidak boleh seperti itu, Iban,” katanya menjelaskan.
“Apa
yang kita lakukan adalah bagian dari proses perbaikan. Minder hanya layak
ditujukan kepada Allah sang pencipta. Makhluknya tak ada yang lebih,” tambahnya
lagi.
Ia
menghubungi kemarin, mengatakan bahwa bulan depan prosesi studinya di kota selesai.
Pada bulan yang sama juga akan diwisuda. Tiba saatnya. Siapa yang tidak senang.
Orang tua pun telah merestui. Aku, tentu saja pewaris tunggal pabrik padi ayah.
Tidak perlu tunggang langgang kesana kemari mencari kerja. Ayah pun tidak
keberatan, kelak aku mengoperasikan usaha perkebunannya juga. Ditambah, aku
sering membantunya. Sekedar belajar dan mencari pengalaman. Sementara, Ibu
bahkan sangat senang bermenantukan Khadijah.
Di
sela-sela kesibukan itulah aku membantu teman berumurku, Abun. Abun pasti
senang mendengar kabar ini. Tangan kanannya sendiri telah sukses menemukan cintanya.
Bangga pastinya dia. Mungkin sedikit terkejut mengenai Khadijah, tapi itu tidak
masalah sama sekali.
…………….
Hidup
terkadang benar-benar menyiksa. Karena kita tidak bisa memilih sesuka hati.
Tapi harus dengan usaha yang mapan, baru apa yang diinginkan akan termakbul. Semakin
kasihan aku pada Abun. Apa mungkin sosok yang ditemuinya tadi lelaki yang ingin
beristri lagi? Semoga tidak.
“Bengong,
bun!”
Dia
marah jika dipanggil abang hanya lantaran pautan usia. Sebut nama saja,
tegasnya suatu waktu dulu. Aku menarik kursi, lalu bergabung dengannya. Jarang
alias ini untuk pertama kalinya, secara resmi ia memintaku datang. Katanya, ada
sesuatu ingin disampaikannya. Kebetulan sekali, aku juga ingin berbicara
dengannya.
Tatapannya
sekilas ke arahku. Abun tak tertarik menjawab lekas. Matanya menyapu lalu
lalang pengendara. Pikirannya seolah terbawa merayap juga. Untung mukanya tidak
ikut-ikutan. Ya, sore ini kami mangkal di kantin di tepi jalan. Coffee street
istilahnya.
“Orang
itu tidak datang. Tapi, bukan itu yang ingin ku katakan,” perhatiannya kini
mengarah kepadaku. Ia menghela nafas berat. Seberat perihal yang ingin
disampaikannya sepertinya. Aku bungkam.
“Menurutmu
Khadijah bagaimana? Maksudku, apakah aku tidak terlalu tua untuknya. Kemarin,
ibunya mengatakan gadis itu akan wisuda bulan depan. Artinya kan, tidak salah
kalau aku mencoba keberuntungan. Kau tahu, sebenarnya selama ini aku menyisakan
ruang di hatiku untuk gadis itu.”
Gelas
berisi kopi panas, batal ku seruput. Aku mengembalikan pada tatakannnya. Ia
disana sebisu diriku sekarang. Kepulan asapnya ku harap mampu memberi saran
terbaik. Kata apa yang harus ku ucapkan setelah ini. Kata-kata seolah sirna
dari kepalaku. Apalagi harus merangkainya menjadi sebuah kalimat. Ternyata
Abun…?
Sulit
membayangkan jika aku berterus terang sekarang. Abun tidak pura-pura. Seingatku
baru kali inilah Abun benar-benar serius. Tak pernah ia seperti ini. Apalagi
menyangkut seorang wanita. Aku masih belum memberikan tanggapan. Abun menunggu
dengan jengah.
“Begini,”
aku memulai dengan gugup.
Apa
yang terjadi terjadilah setelah ini. Di satu sisi, tidak bisa aku membohongi
diri yang juga berharap pada Khadijah. Di sisi lainnya, aku enggan ku
kehilangan teman seperti Abun. Jalan tengahnya adalah lelaki itu mengurungkan
niatnya pada Khadijah setelah penuturanku. Tapi itu kecil kemungkinannya.
Meski nanti akan menghadapi
kondisi terburuk lalu pulih kembali, namun itu akan berlainan sama sekali.
Ketika tunggul sudah ada, payah untuk menjadikannya seperti semula.
Aku
mulai menata kata-kata lagi, “Khadijah orangnya baik. Ku pikir jodoh tidak
pernah mempermasalahkan tentang seberapa jauh jarak usia. Hanya saja….”
“Hanya
saja apa?” pangkasnya.
“Sudah
dipikir masak-masak?”
Sadar
dengan sesadar-sadarnya, aku tidak seharusnya mengatakan tadi. Tapi entah
bagaimana kata-kata itu meluncur begitu saja. Dengan demikian aku telah menabuh
genderang perang dari belakang temanku. Aku, aku mungkin juga telah menikam
jantungnya dengan tidak berkata jujur.
“Aku
mengerti maksudmu, ban. Terima kasih.”
Muka
suram itu berseri seketika. Bumbung harapan menjadikannya seolah hidup kembali.
Abun menjabat tanganku erat. Justru kengerian merayap di seluruh tubuhku.
Membayangkannya hancur berkecai-kecai nanti. Sempatku berpikir meralat semuanya
sekarang. Namun, hati kecilku terus menyayangkan. “biar waktu yang
menyelesaikannya, dia pasti mengerti nantinya,” begitu tukasnya.
Kopi
terasa dingin dan rasanya menjadi hambar. Sore mulai mengubur diri di ufuk
barat. Jagadnya pelan-pelan berubah mega oranye kemerahan sekarang. Abun telah
lama meninggalkanku sendirian disini. Kumandang azan menghentak lamunanku.
Mengingatkan saatnya harus beranjak.
…………..
Dua
hari aku disibukkan membantu ayah di perkebunan yang kebetulan letaknya jauh
dari kampung. Mau tidak mau, kami harus menginap. Ini pengalaman penting, ban.
Begitu kata ayah menekankan pentingnya aku ikut dengannya waktu itu. Buruh di
perkebunan menuntut kenaikan gaji. Hal-hal seperti ini mungkin akan terulang
dimasa depan. Demikian tambah ayah lagi. Maka, dalam dua hari yang lalu aku
telah belajar bagaimana bernegosiasi dengan para pekerja yang ikut
mengembangkan perkebunan orang tuaku.
Abun tidak mengangkat teleponnya dan
sms ku pun nihil balasan. Ku pergi ke rumahnya. “Ia pergi kemarin. Tak tahu
kemana,” kata ibunya yang telah renta.
Hanya itulah satu-satunya informasi
tentang menghilangnya Abun. Tapi dibalik itu semua, jelas aku tahu sebab
pemergiannya yang tanpa kabar. Pergi adalah pelampiasan amarahnya. Pengkhianatan
dari kawan sendiri lebih sakit, bukan? Abun
telah mendengarnya.
Khitbah,
istilah yang sering disebutkan oleh Khadijah saja belum. Berita di kampung
menyebarnya bahkan lebih cepat dari aliran listrik. Kabar burung mengatakan,
sepulang Khadijah nantinya akan langsung menuju ke pelaminan. Banyak warga yang
menyayangkan. Terlalu dini, katanya. Yang semakin mereka herankan adalah kenapa
harus aku. Bukankah pemuda kota lebih banyak yang lebih. Lebih keren, misalnya.
Namun, aku yakin gadis itu enggan membuat telinganya pekak dengan isu murahan
tersebut kelak.
Yang
terpenting sekarang adalah Abun. Minta maaf adalah hal pertama yang ingin ku
utarakan padanya. Meskipun memaafkan jauh berbeda dengan melupakan. Seperti
kata hatiku beberapa hari yang lalu, semoga ia maklum.
Menepikan
Abun sejenak, aku mengkonfirmasi permintaan pertemanan dari banyak orang. Juga membalas
pesan-pesan di blog. Ada diantara mereka yang meminta penjelasan bagaimana
detilnya komunitas ini. Apakah semacam agen, begitu. Ku jelaskan sekenanya
rencana De’ Bujangers kedepannya. Seperti akan melakukan pelatihan pengembangan
kepribadian, menginformasikan lowongan pekerjaan, dan yang serupa dengan itu
pokoknya. Intinya, komunitas ini adalah bentuk penanggulangan dari
hambatan-hambatan yang memperlancar menjemput jodoh.
Ada
pula yang bertanya tentang muka. Kurang ganteng dan sebagaimana. Aku tersenyum
sendiri sebelum menjawabnya. Untuk urusan yang satu itu, kami bahkan tidak
memikirkan untuk membuka jasa operasi plastik. Selain melanggar aturan Tuhan,
tentu biayanya tidak sedikit. Aku tidak bisa memberikan jawaban yang memuaskan
pada si penanya. Di balasnya dengan, “komunitas macam apa ini! Katanya,
katanya, katanya dan bla-bla-bla.” Sebagian lagi mengatakan bahwa komunitas dan
blog ini adalah yang paling tersinting yang pernah di temuinya. Itu urusannya.
Urusanku sekarang adalah Abun. Sebenarnya tadi
berhasil sejenak tidak menghiraukan tentang dia, kini kepalaku berdenyut dan
rasa bersalah kembali menghinggapi.
Pintu base kamp sekaligus kamarku diketuk dari
luar. Aku penasaran. Satu-satunya orang yang melakukan itu adalah Abun. Benar,
sosoknya muncul dari balik pintu seketika. Aku siap menghadapi ini.
“Kau tahu, ban. Berita itu
hampir membuatku bunuh diri. Lebih baik terjun saja dari jembatan, pikirku
kemarin,” tukasnya terdengar lirih. Mukanya berubah sedih.
Sementara aku mulai menjadi
tegang. Kami memang sering saling umpat, tapi tidak pernah bersitegang seperti
ini. Kalau hampir, termasuk sering.
“Kejam. Kau benar-benar
kejam, ban. Seandainya berkata jujur sore itu, mungkin tidak akan terlalu
menyakitkan seperti ini,” tambahnya lagi. Matanya mulai berkaca-kaca.
Aku tidak tahu harus
mengucapkan apa. Persis waktu sore itu. Kepalaku menunduk. Baru hendak berucap,
tiba-tiba tawa Abun pecah. Terpingkal dan lama seperti itu hingga air matanya
jadi keluar. Ia menepuk pundakku. Heran jadinya.
“Sebaiknya aku ikut audisi
pencarian aktor,” ucapnya masih menyisakan tawa.
Aku masih terdiam bingung.
“Ban, kau kira tadi itu
benar-benar. Tentu saja tidak oh Iban si anak kacamata tebal.”
Otakku berjalan tidak
terlalu cepat. Sulit menyesuaikan keadaan. Dari tegang menjadi sesantai seperti
ini.
“Mana mungkin aku melarikan
diri dari kampung hanya gara-gara temanku ini akan menikahi gadis yang ku
taksir,” Abun menunjukkan jemarinya ke dadaku. “Kau ingat, sudah berapa kali
aku ditolak para ladies? Tak satupun
yang membuatku kecut. Termasuk yang kemarin itu. Ku tahu kau mengira aku demam
lantaran cintaku terbuang, kan?”
Aku mengangguk
“Salah,” Abun menyeka air
matanya untuk terakhir kalinya.
Aku tetap tanpa suara.
“Ternyata orang yang tidak
datang hari itu adalah seorang perempuan. Heran, kan? Aku juga heran. Aku tahu
karena dia datang di hari kau pergi ke perkebunan. Kau tahu maksudnya? Ya itu,
ingin bergabung dengan de’ bujangers.”
“Tunggu-tunggu,” aku
memotong penjelasan Abun. “Dan kau menolak keikutsertaannya. Karena kau akan
datang melamarnya keesokan harinya.”
Kita tidak pernah tahu apa
yang terjadi setelah ini. Karena hidup memang misteri. Hak kita adalah
menjalankan peran dengan sebaik-baiknya. Hasil, Allah juga yang menentukan. Semuanya
terjadi begitu aneh dan cepat.
…………..
“Jadi?”
Aku meminta keputusan
terakhir sang deklarator. Mati atau maju terus? Meskipun kepastian jawaban itu
sudah ada di kepalaku. Aku yakin, pendapat Abun juga sama. Apa lagi yang kami
harapkan. Status kami tidak lagi lajang. Menikah dalam satu atap. Aku dan
Khadijah di sebelah kanan. Abun dan istrinya, Atiqah tiga puluh dua tahun, di
sebelah kiri. Itu sebuah pencapaian baru dalam tradisi di kampung kami. Itu sebulan
yang lalu.
Abun meng-klik tanda ‘x’
pada sudut kanan. Aku tahu jawabannya. Setelah ini, de’ bujangers hanyalah kenangan
paling lucu dan gila dalam hidup kami masing-masing. Sebagai penutup sejarah,
aku mengabarkan bahwa mulai saat ini de’ bujangers tinggal sebuah nama.
Permohonan maaf juga ku tuliskan dengan sekhidmat mungkin. Ku harap mereka akan
menyesal mendengarnya.
Tak lama berselang, sebuah
email masuk. “Aduh, bagaimana mungkin ini bisa terjadi. Padahal aku baru
bergabung.”
Aku dan Abun serentak
mengangkat bahu.