Senin, 14 Januari 2013 0 Messages

Sekolah Greater, Kehilangan Murid Paling Jenius

Just illustration. Pic' Source from ranyagroup.com
       Tidak perlulah menyebutnya apa. Kalian bisa menyimpulkan sendiri bagaimana sifat pak Soe itu. Sampai detik ini, aku belum menemukan orang yang lebih menjengkelkan daripada dirinya. Tiga kata dariku; egois, keras kepala dan antipati.
      Nanti saja menjelaskan bagaimana kami bisa bertemu. Satu catatan penting disini, 'jangan menghukum jika beberapa tulisanku nanti terinfeksi virus galau'. Ingat, kita belum deal bapak tua.
     Aku hanya khawatir ini bentuk pengalihan issue. Maksudku, sinyalemen pak Soe untuk tidak melanjutkan tulisannya. Memang sering begitu sih. Awalnya, aku menyukai tulisan beliau. Tapi setelah beberapa entry yang tidak terselesaikan membuatku jengah mengikuti perkembangannya lagi. Ambil contoh, Panggung Cinta Bertopeng, Secangkir Kopi, dan Pedagang Pagi yang sampai detik ini tidak kunjung selesai. Ku yakin ia telah melupakannya. Eh, kenapa dituliskan disini ya. Kalau pak Soe tahu bagaimana? Ah, katakanlah sebuah kritikan yang membangun. Kalau dongkolpun, paling ia kelak murka padaku. Jadi, kalian tidak perlu takut.
        Sebelum kalian membaca tulisan perdanaku, berikut e-mail yang dikirim oleh pak Soe beberapa waktu lalu.
"Belum menemukan titik terang, detektif Dann dan Prita meninggalkan Sarrin dan Vanisha untuk sementara waktu. Beralih pada kasus terbaru yang sama tidak biasanya. Mereka sekarang berada di Greater, sebuah sekolah menengah terpadu swasta terkemuka. Lima lantai pertama untuk jenjang pendidikan menengah pertama. Lima lantai lainnya untuk jenjang menengah atas. Sekolah itu menampung anak-anak paling jenius di negeri ini. Kebanyakan dari mereka bersekolah dengan beasiswa penuh terutama yang berasal dari keluarga ekonomi rendah. Luas areanya mencapai tiga hektar. Berdiri dikawasan itu juga asrama siswa dan guru yang bangunannya harus dibilang lebih dari lumayan. Lengkap dengan fasilitas perpustakaan online, galeri ekstrakurikuler; sanggar seni dan budaya, lapangan dan gedung olahraga. Singkatnya, siswa dikarantina selama masa pendidikan. Kecuali musim liburan tentunya.

Prita membuka berkas yang dibawanya. "Nici, 14 tahun, juara umum setiap tahunnya. Berkali-kali menjuarai berbagai lomba Matematika tingkat sekolah, lokal maupun nasional. Dan awal bulan depan akan mengikuti olimpiade tingkat ASEAN di Bangkok. Kontrasnya, hobinya adalah menulis dan berhasil di muat dikoran kota. Mengukur usianya, ia piawai meramu tulisan bergenre remaja dan anak-anak. Satu-satu teman terbaiknya adalah notebook."

"Anak yang suka menarik diri, kalau begitu. Lalu, latar belakang keluarganya?" Tanya detektif Dann. 
 
"Ayahnya kuli di pelabuhan dan ibunya adalah ibu rumah tangga tulen."

Lelaki itu melonggarkan dasi dengan menarik-nariknya. "Bisa dikatakan bukan motif pemerasan. Kalaupun iya, pelakunya salah besar. Bukankah anak-anak wali kota dan beberapa duta besar juga bersekolah disini." 

"Tepat. Saya juga berpendapat demikian, sir. Hal yang paling mencolok dari Nici adalah otaknya. Mungkin ini bisa kita jadikan batu pertama penyelidikan." Semangat Prita mulai bertunas. 

Dann tersenyum pada Prita sebelum mengangkat alat komunikasinya lalu mendekatkan ke telinganya, "oke, terima kasih." 

"Informasi dari teman sekamarnya dan sekelasnya juga akan sangat bermanfaat. Jadi, jangan terlewatkan. Juga laptop Nici." 

Prita mengangguk dan menjauh meninggalkan detektif Dann. Dann kemudian bertanya kepada salah satu staf sekolah yang ada disana, "bisa saya bicara dengan penjaga gerbang sewaktu Nici pergi?"

"Perempuan?" 

"Ya, berumuran awal lima puluhan ku kira. Mengaku kerabat dari pihak ibunya. Berbadan bongsor dan tingginya diatas rata-rata bentuk fisik wanita. Suaranya juga terdengar aneh. Suratnya yang meyakinkanku hingga memanggil Nici menemuinya."


Dann mengerutkan jidat, "surat?"

"Surat keterangan dari rumah sakit yang menyatakan Salma, ibunya Nici sekarat di sana." Itu prosedurnya. Kalau tidak keadaan darurat, siswa disini dilarang berkeliaran diluar sana." 

Artinya Nici mengenal orang itu. Jika tidak, tidak mungkin ia masuk ke mobil dengan sukarela setelah menggesekkan kartu identitasnya pada mesin pencatat keluar-masuk. 



Sashi, sekuriti itu kembali menambahkan, "kami mulai khawatir ketika Nici tidak kembali dalam waktu dua jam kemudian. Itu adalah batas waktu keluar dari Greater. Kecuali ada pemberitahuan dari yang bersangkutan dengan bukti meyakinkan. Seperti pernyataan dari pihak ke tiga."

Lelaki itu menelan ludah sebentar. Lalu melanjutkan, "Staf bagian kedisiplinan sekolah mengecek langsung ke rumah sakit dan mendapati tidak ada pasien mereka bernama Salma. Bagian administrasi juga menyangkal telah mengeluarkan surat keterangan dengan tujuan ke sekolah Greater."
 ............
Dann dan Prita masih bertahan di ruangannya saat matahari telah tergelincir ke ufuk barat.  Dari situ mereka bisa menyaksikan cakrawala jingga begitu mempesona di balik pancangan balok-balok raksasa.

Diam mereka bukan kebisuan. Tapi mencerna dan menganalisis.

Detektif Dann membuka keheningan dengan mengatakan, "ini." Prita melihat dan mengambil apa yang disuguhkan atasannya. 

Gadis itu membaca dalam hatinya. Kalimat tanya pertama yang ingin diajukannya adalah 'kenapa bisa?' 

"Semakin menarik. Besar kemungkinan ia tahu dimana Sarrin dan Vanisha saat ini. Namun, kita harus melacak keberadaannya terlebih dahulu."

"Profesor Qiman...." 

        Penasaran nih. Terungkap ayah Sarrin ternyata seorang profesor. Profesor macam apa ya dirinya?


Cerbung 4 Dimensi


Minggu, 13 Januari 2013 0 Messages

Kritis! Terpaksa Memindahtangankan pada Pemuda Galau

     Oh, beribu maaf saya haturkan. Ini diluar dari dugaan kami semua. Berawal dari prosesi melahirkan Andira terbilang terlalu pagi, menjadikan keadaan lebih sulit. Daya tahan tubuhnya menurun drastis. Sekarang saja ia terbaring tidak sadarkan diri pasca operasi sesar. Namun, alhamdulillah anaknya lahir dengan selamat. Berbobot 1,8 kilogram dan harus di masukkan ke dalam tabung.
        Karenanya, sama sekali tidak memungkinkan untuk melanjutkan cerita Sarrin dan Vanisha beserta para detektif mereka saat ini. Lagipula Ahmad, pendengar setiaku, saat ini kelihatan jelas ikut khawatir atas keselamatan ibunya. Dan ia terus bertanya bisakah adiknya bermain bola jika dikurung di dalam kaca.
      Aku terburu-buru. Banyak hal yang harus aku lakukan. Menyelesaikan urusan administrasi, juga menghubungi suami Andira yang tengah bertugas diperbatasan Indonesia-Malaysia. Karlan namanya. Semoga titel tidak menghalanginya untuk datang segera ke sini. Selain itu, saudara Andira lainnya harus dikabari juga. Jika tidak, ayahnya ini yang akan menjadi sasaran kekesalan mereka.
          "Pak, perawat menanyakan anda. Katanya masalah administrasi."
         Sudah berapa kali ku bilang padamu Anna. Jangan menukar 'tentang' dengan 'masalah'. Jadinya hidup penuh masalah. Akan terdengar lebih enak jika engkau menuturkan, "Pak, perawat menanyakan anda. Katanya tentang urusan administrasi." Sekarang kita menghadapi masalah. Tapi layaknya benang yang kusut, harus diurai sedikit demi sedikit. Ya, ini berhubungan dengan bagaimana kita menyikapi dan menghadapi masalah tersebut. Oho, bukan waktunya berceramah sekarang.
           "Baiklah," kataku pada Anna. 
          Lihat sendiri, kan? Tapi tenang saja, aku masih punya kabar baik kok. Sampai masa kritis berlalu, aku akan menghubungi seorang rekan untuk mengisi kekosongan ini. Aku harap, bukan! Aku sangat yakin ia tidak kalah hebatnya dengan diriku. Beberapa sisi mungkin lebih. Janji, kalian akan menyukainya. 
        Tunggu sebentar.
       Sebaik saja pin itu dilekatkan pada dinding, dengan cepat keluar cahaya hijau sutra. Berbentuk batangan seperti tebasan pedang. Berputar-putar sejenak, lalu memunculkan sesosok wajah. Ah, ini dia. Wajah itu tengah kusut. Mmm...Selalu saja.
           "Assalamu'alaikum."
           Ia menjawab dengan lesu, "wa'alaikum salam."
       "Urus saja masalahmu segera, anak muda. Bangsa ini tidak perlu generasi yang lembek. Dan aku tidak akan bertanya ada apa denganmu."
    Tanpa diminta, ia menjawab, "virus GALAU tengah melanda. Para pakar belum menemukan vaksin yang tepat. Sebenarnya tinggal selangkah lagi aku akan jadi terkenal. Sayang, virus itu tidak memberiku kesempatan untuk bernafas. Dan ....." 
           "Kedengarannya mengharukan sekali. Semoga saja berhasil dengan vaksinmu nanti."
Ada jeda sejenak diantara kami. 
       "Baiklah, aku harus bergegas. Seperti biasa, tugasmu menggantikanku sampai aku menghubungi lagi. Lakukan yang terbaik. Sampai jumpa."
           Protes pemuda itu tidak kesampaian. Hubungan terputus sebaik saja aku mengambil pin dari dinding. Terkadang, sesuatu itu harus dipaksakan. Terlalu banyak argumen untuk tidak menyetujui. Setumpuk alasan untuk pembenaran. Tapi ingat, segunung sebab kenapa harus melakukan. 
       Sebagai kata perpisahan, aku hanya ingin mengucapkan sampai jumpa lagi. Dan do'anya jangan lupa. Ups, hampir lupa. Pemuda itu namanya Soe Junior.
         
Kamis, 10 Januari 2013 0 Messages

Berkenalan dan Cemas! Ah, Ceritanya Baru Mulai, Nak

         Well, wajah itu masih lekat ke arahku. Tak tahan rasanya untuk meninggalkannya dalam keadaan rasa ingin tahu yang luar biasa. Berhasilkah detektif Dann dan Prita menemukan lorong itu? Lalu, apakah bu Vanisha dan Sarrin kembali lagi ke dunianya? (lihat dua tulisan sebelumnya)
          "Kakek,  apakah di rumah ini juga ada lorong seperti itu?" Ahmad mulai bertanya. Ia adalah cucu yang paling kecil saat ini. Tidak pada bulan depan. 
        Padahal jam sudah menunjukkan hampir pukul delapan pagi. Saatnya untuk beraktivitas di kebun belakang. Mengerjakan apalah, menanam sayur mayur lagi atau sekedar mengumpulkan keong perusak tanaman. Asalkan tubuh ringkih ini digunakan dengan penuh manfaat. Mengkonversi sinar matahari pagi menjadi sebuah energi. Masa dan waktu tidak akan pernah kubiarkan untuk membelenggu untuk berkarya. 
       Ku jawab pertanyaan itu dengan menyeruput kopi terakhir. Bersamaan dengan itu, lenyap pula kepulan asapnya. Anna yang kebetulan lewat bertanya kepadaku, "mau tambah lagi kopinya, pak?" Aku menggeleng. Dan ia pun berlalu mengejar si tukang sayur berkendara sepeda motor. Selain takut ketinggalan, ia juga tidak mau lepas melihat calon suaminya. Ada-ada saja. 
        "Menurut Ahmad, apa yang akan terjadi selanjutnya?" Tanyaku ulang mengalihkan inti pertanyaan Ahmad.
        "emm, mungkin....."
..........
        "Mungkin," wanita itu meninggalkan lawan bicaranya lalu menyapa Sarrin dengan muka ceria. "Halo anak ganteng." Ia mendekapnya ringan dan beralih pada Vanisha kemudian. "Ini..." ucapnya tertahan. 
           Vanisha memotong, "saya Vanisha, ibunya Sarrin."
        "Saya Loubo. Wah, senang sekali bisa bertemu dengan anda." Wanita itu merapatkan tangannya pada tangan Vanisha. "Anda tampak lebih hebat dari yang diceritakan anak ini."
        Diceritakan? Seharusnya, pikir Vanisha, menggunakan istilah 'menggambarkan' lebih tepat. Bercerita hanya bagi orang-orang yang bisa bersuara. Atau mereka tidak memiliki kosa kata tersebut disini. 
         "Demikian juga saya Nona Loubo, tapi tempat apa ini sebenarnya? Kami tadinya hanya duduk-duduk di tempat tidur, namun tiba-tiba sebuah lorong menggiring ke sini. Jujur, aku takut."
        Sebuah suara lain terdengar kurang bersahabat. "Dilarang bertanya tempat apa ini. Itu syaratnya. Saya Anien." Seorang lelaki renta bergabung dan juga menghulurkan tangannya. "Asal anda tahu saja nyonya Vanisha, bahkan Sarrin juga sama denganmu. Maksudku, sama tidak tahunya." Sekuat tenaga ia menahan diri untuk tidak terbatuk. Nyatanya lepas juga.
         Vanisha menyambut Anien dengan menukaskan, "syarat yang aneh, tuan Anien."
        "Begitulah."
..............
       Sementara, tak lebih dari lima belas orang bergerilya dirumah bu Vanisha. Termasuk didalamnya detektif Dann, Prita dan si petugas forensik, Bayu. Kecuali mereka, anggota polisi lainnya memerika setiap sudut ruangan. Garasi, taman depan maupun belakang, dan lemari-lemari digeser dengan harapan suatu keajaiban muncul. Dinding pula diketuk-ketuk, namun tidak satupun yang mengindikasikan rongga disebaliknya.
       Mereka berkumpul di ruang tengah dengan muka kecewa. Prita yang tadinya sangat yakin akan memecahkan teka teki ini juga tampak kusut oleh perasaannya sendiri. Detektif Dann tidak begitu. Rasa optimis masih lekat pada dirinya meski saat ini hasilnya nihil. Sementara Bayu tetap kurang percaya dengan penuturan Prita bahwa dirumah itu ada ruang rahasia. Berpikirlah rasional. Untuk apa?
           "Kami sudah mencari di setiap sudut ruangan, nona Prita. Seperti yang anda lihat, tak satupun dari kami berhasil."
         Gadis itu mengangguk pelan. "Begitu pula dengan kami di kamarnya Sarrin. Tadinya ku kira akan menemukan pintu masuk ke bawah tanah di bawah tempat tidur bocah itu." Prita mengambil jeda sebentar. "Maaf telah mengganggu pekerjaan kalian."
...............
          Anna datang dengan muka cemas. Awalnya ku pikir sesuatu terjadi pada Ahmad. Rupanya ini lebih mengerikan. Air tuban, Andira, putriku sekaligus ibunya Ahmad telah pecah. Kok bisa? Kata dokter pribadinya, ia akan melahirkan paling tidak menjelang akhir bulan depan. Ah, manusia biasa saja salah walaupun dirinya seorang ahli.
          "Cepat Anna, panggil Barito. Siapkan mobil."
          "Baik pak."
          Aku mencuci tangan setelah bergelut dengan tanah basah.
        Ku dapati cucuku itu menangis merespon gelagat buru-buru kami. "Tidak apa-apa sayang," bujukku. "Kamu akan segera melihat adikmu. Ayo."
..............
         
         
          
        

   

0 Messages

Jeda. Local Ads: Film Kembang Polaria


       Kita tinggalkan sejenak tentang Sarrin dan ibunya, bu Vanisha yang memasuki dunia entah apa. Beralih pada berita yang cukup menghebohkan akhir-akhir ini di Kabupaten Sambas. Berikut liputannya. 
Menggemparkan! KEMBANG POLARIA berhasil menduduki peringkat teratas Box Office di bioskop-bioskop Sambas sebulan terakhir ini. Dengan penghasilan perminggu tidak terhitung jumlahnya, telah mengalahkan debut artis papan atas Reza Rahadian dan Bunga Cinta Lestari dalam HABIBIE dan AINUN. Kelanjutan film ini rencananya baru akan digarap pada tahun 2013 dan akan dirilis dalam pada waktu yang belum ditentukan. Yang pasti, masyarakat secara keseluruhan sangat antusias ingin menyaksikan jilid keduanya.

Catatan: Belum ada satupun Bioskop di Sambas. He..he...he....

Jumat, 04 Januari 2013 0 Messages

Jadi, Itu Semacam Pintu Gerbang? Benar Begitu?

     Nah, kira-kira apa yang sesungguhnya terjadi pada Sarrin dan ibunya, Vanisha, yang raib di dalam rumahnya sendiri. Kita telah sepakat sebelumnya kan, bahwa ini bukan angkaranya si monster di bawah ranjang. Jelas, karena itu hanya ada di dalam dongeng  pengantar tidur. Atau lebih tepatnya, cuma plot dalam film dan karangan si ibu agar buah hatinya 'patuh' padanya. Lalu apa kelanjutannya?
.........
       Vanisha histeris mendapati Sarrin tiba-tiba muncul dari tempat tidur. Orang yang mendengar suaranya akan mengatakan wanita itu sangat menderita. Salah, padahal ia sangat, sangat bahagia. Menemukan kembali putri semata wayangnya, lega dan lepas dari rasa kehilangan. 
      Sarrin melompat dari tempat tidur, sementara Vanisha berlari menghampiri bocah itu. Mereka berpelukan seolah tidak bersua dalam waktu yang lama. Demikianlah, pemergian Sarrin yang dikira tidak mungkin kembali lagi sangat menghawatirkan. Vanisha mendekap Sarrin hingga bocah itu sulit bernafas. Deraian air mata, tawa dan kecupan sayang mewarnai pertemuan itu. 
        "Kamu tidak apa-apa kan, sayang?" Kembali Vanisha memeluk anaknya, takut kehilangan. Terasa olehnya anggukan kepala Sarrin di pundaknya. 
       "Ibu khawatir tidak akan bertemu denganmu lagi, nak. Kenapa kamu meninggalkan ibu?"
      Sarrin menggeleng menyanggahan pernyataan dan pertanyaan ibunya. Andai mulutnya bisa digunakan untuk berbicara, maka akan lebih mudah menjelaskannya. 
     Pelukan itu lepas juga. Sarrin menarik tangan ibunya mendekati tempat tidur. Jemarinya mencari-cari sebuah tombol dan ketemu. Ia mendahului ibunya naik. Dengan was-was wanita itu ikut melakukan hal yang sama. Sarrin memberi aba-aba untuk bersiap. Dalam hitungan detik, tempat tidur itu membelah diri dan memakan tubuh ibu dan anaknya. Vanisha panik bukan main dan kembali bersuara nyaring, namun teredam oleh lorong yang mengular panjang.
...........
        "Sarrin?" Vanisha mengharapkan sebuah jawaban ini semua. Kenapa bisa ada sebuah....ia tidak tahu menyebutnya sebuah apa. Sarrin melangkah dengan santai seolah akrab dengan dunia 'baru' tersebut.  
          
 
;