Kamis, 13 Desember 2012

Pemburu Liar

        Aku berasa tengah mengunjungi kebun binatang ketika memasuki ruang tamu Mr. Kiem. Ruangan tersebut secara mencolok menjelaskan siapa dia sebenarnya.
       "Wah Mr. Kiem, ini semua tampak benar-benar asli, ya." Aku terperangah lalu mendudukkan diri pada sofa empuk sebaik saja ia mempersilahkan. Mendengar tanggapan terpesonaku, lelaki berkumis tipis dan mata sipit itu menggurat senyum bangga.
       Dengan puasnya ia menukaskan, "heh, ini semua memang asli. Kau tahu!"
       Aku menelan ludah tidak percaya.
       "Binatang-binatang ini ku kumpulkan sejak hampir lima belas tahun yang lalu. Yang terbaru adalah orang utan di depan tadi. Dari Kalimantan"
       Ya, itu membuat aku terkejut. Ku kira binatang langka tadi terbuat dari silikon yang kemudian di jual dengan harga ratusan juta rupiah. Rupanya itu benar-benar orang utan. 
       Menjawab kebingungannku, Mr. Kiem menjelaskan, "semua yang ada disini telah disuntik dengan bahan pengawet kelas A. Jadi, aku tidak perlu khawatir untuk menghidu aroma binatang busuk di rumahku."
       Kejam!
   Mr. Kiem berdiri dan mengajakku melihat-lihat koleksinya. Pikirnya, ini akan menjadi sesuatu yang menggemparkan dan menegaskan sosoknya yang fenomenal. Pemburu ilegal yang tidak pernah tersentuh atau diajukan ke ranah hukum. Kok bisa? tanyaku membatin.
       Keberadaanku disini bukan untuk mencari bukti atas operasi terlarangnya, namun atas permintaannya sendiri. Dengan bayaran yang cukup tinggi, aku menerima saja sebagai penulis bayangannya. Rencananya Mr. Kiem akan menggelontorkan buku biografinya sendiri. Jelas saja ia tidak punya waktu untuk menulis, lagi pula bakatnya tidak ada di bidang itu. Maka aku adalah jawabannya.
        Di dekat sofa tadi bertengger seekor macan tutul dengan mata melotot. Sebenarnya aku was-was kalau binatang bertubuh loreng itu hidup lagi lalu menerkam. Menjadikanku santapannya siang ini. Untungnya tidak. Di dinding pula terpajang kepala rusa. Masih utuh, kecuali badannya, tampak menyedihkan. Dan di dalam akuarium besar, bangkai kaku komodo tengah menjulurkan lidahnya kepada siapa saja yang memandangnya. Seolah mengajak bertarung.
        Kami menuju etalase lainnya sebesar lemari raksasa di ruang sebelah. Di celah-celah keramik antik, ada beberapa ekor kelinci dengan banyak warna dan motif bulu. Tikus putih dan hitam dan juga marmut. Berbagai jenis mumi burung, sungguh menakjubkan. Binatang kecil lainnya juga menghiasi didalam sana. Tapi yang menjadi pertanyaanku adalah kenapa ular kobra juga di taruh disana. Bukankah sebaiknya ia di lilitkan di salah satu tiang saja. Katakanlah sebagai penyambut tamu. 
        Aku bergidik ketika melihat ular tersebut menjulurkan lidah dan menaik-turunkan kepalanya. Luar biasa, pikirku. Entah teknik apa lagi yang Mr. Kiem pakai untuk membuatnya seolah benar-benar bernyawa. 
        "Setelah ini, kita sebaiknya melihat-lihat di gudang. Simpananku disana lebih banyak lagi. Ku harap tidak terlalu mengejutkanmu lagi."
        Aku mengangguk dan bertanya penasaran. "Mr. Kiem, apakah seluruh binatang di dunia tinggal di rumah ini?"
       Mr. Kiem mengerutkan jidatnya, "hampir, ku kira." Ia menanggapi seolah itu pertanyaan terbaik yang pernah di dengarnya. "Aku akan sangat tertarik pada penemuan spesies baru di belahan penjuru dunia manapun. Berburu sambil jalan-jalan membuatku merasa bukan berusia lima puluh delapan tahun."
        "Oh," aku menanggapi sekenanya. Memang posisi ini tidak ideal bagiku sendiri. Di satu sisi aku menghujat usaha lelaki dihadapanku ini, sementara sisi lainnya adalah sudah tugasku untuk menuliskannya. 
         "Kesimpulanku, anda adalah teman semua binatang," ku coba menjejaki kepribadiannya lebih dalam. 
         "Tentu saja, Daren. Tentu saja." Ia diam sejenak, "kecuali satu binatang."
         Jauh dari dugaanku, ternyata Mr. Kiem punya takut juga pada satu jenis binatang. "Apa itu?" tanyaku penasaran. 
         "Ingat, ini rahasia antara kita. Dan tidak perlu kau tulis nanti," katanya. 
         "Jangan khawatir," tegasku. 
         Dengan berbisik ia mengatakan, "ular." 
        "Ular?" ulangku sulit memercainya. 
        "Ya, ular," tukasnya. "Itu sebabnya kau tidak melihat seekor ularpun dalam rumah ini, bukan?"
        Jelas saja bingung. "Lalu itu apa?" aku menunjuk pada lemari kaca di belakangnya.
        Mr. Kiem membalikkan badan spontan, menganga.
     Sapa si ular kobra terlalu berlebihan. Menyentuhkan mulutnya dengan cepat pada si pemburu. Tanda persahabatan yang mematikan. Dalam hitungan detik, Mr. Kiem rebah dan kejang-kejang di lantai. Sang ular tak berminat melakukan hal yang sama padaku. Ia memilih meliuk-liuk diatas ubin menuju selasar. 
       Itu tidak memberiku banyak waktu. Muka Mr. Kiem sudah kebiruan ketika aku mencoba memberikan penyelamatan pertama. Kalaupun sempat, jujur aku tidak tahu harus melakukan apa. Mr. Kiem berguling-guling di atas lantai. Sementara mulutnya berbusa. Matanya seperti milik banyak binatang di rumahnya. Melotot garang. Geliat ganasnya berhenti seketika. Seiring dengan nafas yang tidak lagi berembus.

0 Messages:

Posting Komentar

 
;