"Lin, Lin, Lin! oh, sii.... Astaghfirullah."
Jojo hampir saja membanting HPnya. Urung, ia hanya mengusap mukanya sendiri. Jika tak teringat dirinya tengah berpuasa, serapah itu pasti telah terlontar dari mulutnya. Ia beristighfar sekali lagi. Dan lagi, hingga hatinya mulai sedikit tenang.
"Ayo sayang, jadwal kita berubah." lelaki itu memasukkan celana ganti beberapa buah kedalam tas kecil. Sementara otaknya sibuk memikirkan apakah akan membawa baju ganti anaknya juga. Ah, cuma sebentar. Tak segitunya lagi persiapannya. Ini bukannya mudik lebaran. Tambah lagi, rumah ibunya hanya tiga kilo meter dari rumahnya.
Di liriknya jam tangan. Benda itu pun membalas judes. Tak toleran. Mungkin putaran jarumnya terlalu cepat, sehingga Jojo harus terburu-buru. "Coba ibumu memberi tahu lebih awal. Tidak akan serepot ini." Ia menggerutu kepada anaknya, Bintang, yang baru berumur kurang dari setahun. Terlalu kejam, bayi itu bahkan tidak bisa merasakan kekalutan batin ayahnya. Salah Jojo sendiri tentunya, jika ingin berbagi rasa dengan anaknya yang bahkan untuk mengatakan sakit atau lapar mesti dengan cara menangis. Untungnya, sore ini Bintang tidak rewel. Mendung menyelimuti.
Di depan pintu rumah ibunya, Jojo berpikir keras. Merangkai alasan pas untuk menitipkan Bintang. Seandainya, ia berbicara jujur, pasti itu adalah alasan terlogis bagi ibunya. Lagi pula ibunya tak pernah cerewet, malah senang jika Bintang, cucu pertamanya ada di rumah. Memberikan keceriaan, kata ibunya suatu waktu. Masalahnya adalah Jojo yang merasa sungkan. Bukankah, baru dua bulan lalu ia tinggal terpisah dengan ibunya. Membeli rumah meskipun secara kredit di sebuah komplek perumahan. Ia takut dikecam sebagai orang yang belum mampu mandiri. Sebagaimana yang sering di sindirkan oleh Linda kepada dirinya.
Sepertinya tak perlu memberikan alasan apapun. Neneknya Bintang langsung mengumbar senyum bahagia dan hangat menyambut kedatangan cucunya. Wanita itu langsung mengambil cucunya dari gendongan Jojo. Dan Bintang pun mulai bertingkah manja.
Ibu Jojo mencari sesosok yang mungkin menyusul di belakang anaknya. Nihil. Secara instan ia menyimpulkan. Anaknya datang bukan untuk buka bersama. "Ibu ngerti. Pergilah." Tukasnya kemudian.
Jojo serba salah. "Nanti Linda yang akan menjemput Bintang."
*********
Jojo harus berada disana, dimana sang Bupati ada. Tak terkecuali dalam safari ramadahan kali ini. Di sebuah mesjid di daerah kecamatan yang baru saja di mekarkan. Agendanya adalah buka bersama yang dilanjutkan dengan shalat maghrib-isya dan tarawih yang nantinya akan dilanjutkan dengan sedikit tausiah dari sang Bupati.
*********
Turun dari sepeda motor, Linda berlari-lari kecil. Mengetuk pintu beberapa kali. Tak lama kemudian, Diana muncul. Saling sapa sekenanya dan langsung ke tujuan inti kedatangannya.
"Apa tidak sebaiknya shalat dulu, Lin." Salimah, mertua Linda berucap.
"Nanti di rumah saja sekalian, bu." Jawab Linda.
"Bintang tidur?" tanyanya balik.
Tatapan salimah lekat dimata Linda. Berjuta pesan tersirat disana. Menusuk dan menghujam, meskipun terpendam. Linda perlahan menunduk. Hatinya berontak dan tersudut. Tak mungkin ia bertindak bodoh dihadapan mertuanya, selain mengalah saja.
*********
"Assalamu'alaikum..."
Tak ada jawaban dari dalam. Jojo langsung masuk karena pintu juga tidak terkunci. Di dapatinya Linda sedang santai di sofa di ruang tamu. Menatap TV lekat-lekat. Tak berkedip sedikitpun. Ya, Linda sebenarnya tidak sedang menonton. Linda sedang....
"Man...," Kata Jojo terputus. Linda langsung menyerobot.
"Jadi begitu ya. Mengadu pada ibu." Pandangan Linda tetap pada TV yang menyala.
"Ada apa Lin. Apa maksudmu." Jojo berusaha untuk berbicara lembut.
"Tak usah basa-basi. Kamu kan yang meminta ibu untuk berceramah kepadaku. Memangnya aku ini tidak bisa menjadi ibu bagi anakku sendiri, hah!" Kali ini Linda menatap suaminya sinis.
Jojo melepaskan satu kancing bajunya yang paling atas. "Jangan mengarang, Lin. Siapa pula yang meminta ibu melakukan itu. Jika iya pun, ku yakin itu tidak akan berhasil. Saya sendiri saja tak mempan, apalagi ibu."
"Jadi, sekarang semua kesalahan tertumpu padaku. Begitu?"
"Kau juga yang memaksa agar kita segera angkat kaki dari rumah ibu. Ini pertama kali kita di bulan Ramadhan di rumah ini. Dan semua tak bisa kita hadapi. Kemarin baik-baik saja, kan. Hanya saja, keadaan hari ini membuat kita kewalahan. Kenapa tidak minta saja kepada bos mu agar toleransi sedikit di bulan suci ini. Justru pakai lembur segala."
Linda tak terima. "Lah, kenapa tak minta ijin juga dengan Bupati mu itu!" Linda emosi.
Sayup terdengar Bintang merengek di kamar. Tampaknya aura panas diantara kedua orang tuanya sudah merembes hingga ke kamarnya. Gerimis tadi sore seharusnya bisa menyejukkan tidur malam Bintang, Nyatanya tidak. Sesuatu terbakar di rumah tersebut.
Linda bangkit. "Urusan kita belum selesai!" Tukasnya kasar.
Jojo mengangkat kedua tangannya. Lemas tubuhnya hingga mendudukkan diri ke sofa. Jojo memijit-mijit jidatnya.
Tak lama, Linda datang bersama Bintang. Putra pertamanya itu seolah ingin menjadi mediator bagi pertikaian orang tuanya. Harapannya, kehadirannya bisa meredam gelegak emosi yang terjadi. Apalah daya seorang bayi, ia disana hanya sebagai pelengkap bahwa mereka adalah keluarga kecil bahagia. Kecil bahagia? Itu jargon klise bagi Jojo maupun Linda. Satu anak saja sudah membuat mereka hampir gila. Jika tidak ibunya Jojo selama ini yang ambil berat tentang Bintang, boleh jadi anak itu tidak mendapat perhatian dari orang tuanya yang super sibuk. Keduanya hanya berupaya untuk menepati janji, bahwa sekeluarnya mereka dari rumah itu, mereka akan memberikan perhatian lebih pada Bintang.
Jojo terdiam. Namun, Linda memulai lagi. "Sudah dari dulu ku minta untuk mencari seorang babysister saja."
Jojo tak acuh.
"Babysister. Ya, aku hampir lupa dengan janjimu itu." Tambah Linda lagi.
Tanpa menunggu jawaban suaminya, Linda bergegas keluar rumah. Ia teringat sesuatu di depan gang dan mengumpati dirinya, kenapa tidak melakukan ini jauh-jauh hari.
"Mau kemana, Lin?" Hanya itu yang bisa dilakukan Jojo. Tak mungkin ia mencegah lebih jauh tindakan aneh istrinya barusan. Lagi pula, malam-malam begini tak mungkin istrinya akan membawa Bintang jauh-jauh.
Linda berhenti di depan sebuah tembok. Tangannya tak sabar meraih brosur yang tertempel disana. Diraihnya paksa. kertas itu hingga terkoyak menjadi dua. Yang Linda perlukan hanyalah nomor telepon. Bukan embel dan janji-janji organisasi yang menerbitkan media iklan murahan itu.
********
"Selamat pagi. Nama saya Nania." Sepertinya gadis itu berupaya untuk mengulas senyum terbaiknya. Berkostum formal berwarna biru muda. Atasan dan juga bawahan. Jadi, Linda telah mengambil keputusan tanpa berunding terlebih dahulu, pikir Jojo.
Jojo mempersilakan masuk. Dan gadis itu berterima kasih. Memang terlalu awal untuk jam bertamu. Datangnya gadis itu bukan untuk tujuan itu. Ia disuruh datang oleh Linda tadi malam. Ya, Linda telah mengupah seorang babysister.
Jojo meninggalkan gadis itu di ruang tamu. Ia berjalan menuju istrinya di kamar. "Ada tamu." Katanya singkat.
"Oh, terima kasih. Kamu tak usah khawatir. Aku akan menggajinya dengan penghasilanku sendiri."
Linda langsung meninggalkan Jojo yang masih ingin mengucapkan sesuatu.
"Untuk pertama kalinya, disiplin benar-benar di junjung tinggi. Nama saya Linda."
Nania berdiri menjabat sodoran tangan calon majikannya. "Itu motto perusahaan kami." Kata Nania kemudian sembari duduk.
"Oya, saya tidak sempat membaca iklan kalian. Maklum, tadi malam itu sangat tergesa-gesa. Lain kali mungkin akan saya baca apa saja kelebihan yang kalian tawarkan."
"Sebenarnya tak perlu lagi, nyonya. Ketika nyonya telah percaya kepada kami, maka kami akan memberikan pelayanan terbaik. Justru, terkadang tindakan itu lebih baik dari kata-kata selangit, bukan?"
Linda mengangguk-angguk.
Deal. Nania menjaga Bintang dari pukul tujuh pagi sampai tiga sore. Dan seperti ucapan Nania, perusahaannya juga menyediakan jasa penjagaan bayi diluar jam tersebut. Terutama untuk hal yang tak terduga. Seperti yang dialami oleh Linda dan Jojo kemarin.
*********
Tentu saja Linda puas dengan kinerja Nania. Bagaimana tidak, gadis itu tak jarang merapikan perabot rumah tangganya yang kacau. Meskipun di luar tugas Nania, setahu Linda, gadis itu dengan senang hati melakukan hal itu.
Seminggu sudah berlalu sejak Linda mengupah Nania dari sebuah yayasan pengasuh bayi. Semuanya berjalan lancar. Nania juga bahkan sudah pernah diperkenalkan dengan ibu Jojo ketika berkunjung di akhir pekan. Di hari-hari dinas, sepulangnya Jojo, pengasuhan Bintang langsung diambil alih. Dan saatnya untuk Nania meninggalkan rumah tersebut. Hanya saja, sekali lagi telinga Linda dibuat panas oleh nasehat Salimah. "Bukankah tidak baik, hampir tiap hari Jojo dan Nania berdua di dalam rumah. Ya, meskipu sekedar beberapa menit."
*********
Setibanya Jojo, rumah dalam keadaan melompong. Tak ada aktivitas apapun. Tangisan Bintang, maupun bujukan Nania menenangkan. Merasa heran, Jojo menerobos masuk. Tetap saja sepi. Di periksanya di kamar, tidak ada. Di taman kecil belakang rumah, juga kosong. Sementara TV dalam keadaan menyala. Apa mungkin bertandang ke rumah sebelah?, tanya Jojo pada dirinya sendiri.
"Assalamu'alaikum. Permisi, ibu. Ada Bintang di situ?"
Tetangga yang ditanya mengatakan tidak ada. Jojo melanjutkan ke tetangga lainnya. Sama, Bintang dan Nania tidak ada disana. Kegusaran dan was-was mulai menghinggapi perasaan Jojo. Tak ingin ia memberitahukan perkara ini lekas-lekas kepada Linda, sebelum semuanya jelas.
"Hanya sales, pak."
Itu jawaban tetangga terakhir yang di tanyainya. Jojo bertanya apakah ada orang asing yang mungkin terlihat masuk ke dalam rumahnya. Sales yang diceritakan juga berjualan di rumah ibu tadi.
Dan jika dugaannya benar, Nania menculik Jojo. Ia berjanji akan menyalahkan Linda selama hidupnya jika terjadi sesuatu dengan anaknya. Bukankah sebelum mempekerjakan Nania, Jojo ingin mengungkapkan maraknya kasus penculikan bayi akhir-akhir ini. Meskipun di daerah mereka tinggal aman-aman saja.
"Di rumah ibu."
Kata itu melintasi benak Jojo begitu saja. Di raihnya HP dan langsung menghubungi ibunya. Bukan main kagetnya sang ibu. "Sudah mengitari seisi rumah?" Tanya ibunya histeris.
Jojo mengatakan apa adanya. Sambungan tiba-tiba terputus. Entah apa yang terjadi dengan ibunya. Dugaannya ibunya pingsan seketika. Jojo semakin galau. Antara Bintang dan ibunya yang pingsan disana. "Ya Allah, dimana anakku."
Jojo masih tak ingin memberitahukan ini pada Linda. Kembali ia menjelajahi setiap sudut ruangan. Dapur, toilet, gudang, taman, dan kamar. Tunggu! ada sesuatu yang ganjil di dalam lemari di kamar. Seutas kain menjulur sedikit dari balik lemari. Warnanya biru muda. "Jangan-jangan?"
Mata Jojo terbelalak. Disana ada Nania dalam kondisi tak sadarkan diri. Tangan serta kakinya dalam keadaan terikat. Sementara mulutnya dibungkam dengan kain. Rambutnya kusut. Berkali-kali Jojo membangunkan pengasuh anaknya itu. Sia-sia. Nania telah dibius. Secarik kertas tinggal di salah satu saku bajunya.
Keadaan sudah jelas. Bintang menjadi korban penculikan bayi. Linda harus tahu tentang akibat ulahnya tidak mematuhi ucapan suami.
Di beritahu, Linda merasa ruangan kantornya berputar. Tiba-tiba menjadi gelap dan ia pun terjatuh bersamaan dengan HP yang digenggamnya.
*********
Rumah itu dilanda duka. Salimah dan Diana terus saling merangkul menahan sedih. Jojo mondar-mandir dengan pikiran berkecamuk. Sedangkan Linda terkulai bak mayat hidup. Nania sudah tersadar sejak sejam yang lalu. Dua orang polisi di tugaskan disana. Untuk tindakan beberapa saat yang akan datang.
Awalnya, Linda menyalahkan Nania habis-habisan. Atas kelalaian menjaga anaknya. Setelah akhirnya, mengerti bahwa Nania termasuk korban dari tragedi tersebut. Linda lunglai. Para tetangga yang tadinya menyesaki ruangan, kini mulai berangsur pulang.
Pelan-pelan suara azan isya terdengar dari surau. Semua mata kini tertuju pada HP Jojo di atas meja. Detik-detik penuh penantian dan ketegangan. Seseorang akan menelpon. Entah apa maunya. Pastinya, tak jauh-jauh dari meminta tebusan. Seperti penuturan Nania, momor Jojo terpaksa berikannya karena diancam. Setelah menyebutkan ke dua belas digit nomor tersebut, Nania tak lagi ingat apa yang terjadi.
HP bergetar. Sebuah nomor tak dikenal memanggil. Tangan Jojo pun bergetar juga mengangkat panggilan tersebut. "Dimana anakku..." Teriaknya.
HP dalam keadaan Loud Speaker. "Pak Jojo, kami hanya memberikan dua pilihan. Tebusan atau anak bapak, siapa namanya? Bintang. Ya, Bintang tidak akan pernah mengetahui siapa orang tuanya."
Linda langsung mengambil alih pembicaraan. "Berapa kalian mau? Hah! Kembalikan Bintang!"
"Seratus juta rupiah. Eit...tunggu dulu. Kami lagi berbaik hati nih. Ada diskon 20%."
Linda tak pernah menyangka adegan sinetron tentang penculikan kini tengah dilakoninya.
"Baiklah. Dimana kami harus mengantarkan uang tersebut."
Lama tak ada jawaban. "Dimana!" Teriak Linda.
Telepon rumah berdering. Jojo langsung mengangkatnya. "Oke." katanya singkat.
"Mereka ingin aku sendiri yang datang ke sana. Tak ada polisi atau siapapun."
*********
Prosesi itu begitu cepat terjadi. Jojo di arahkan ke sebuah ruangan di gudang lama yang tak lagi terpakai. Sesuai instruksi si penculik, uang tersebut langsung dimasukkan ke dalam sebuah tong sampah di sudut ruangan. Jojo melakukan itu dengan gemetar. Sementara polisi dari jarak jauh tetap mengamati keadaan Jojo.
HP Jojo bergetar. "Anakmu sudah ada dirumah neneknya. Terima kasih."
Di teras neneknya, Bintang menangis sejadi-jadinya. Mula-mula datang seorang tetangga yang merasa kasihan, lalu mengenali bahwa anak itu adalah cucu sang pemilik rumah yang dikabarkan diculik. Tetangga itu langsung menghubungi Salimah di rumah anaknya.
*********
Ini peringatan yang harus ku ambil pelajaran. Bintang, anakku lebih berharga dari segala-galanya. Walaupun karirku tengah menanjak, tapi aku tak ingin kehilangan Bintang untuk kedua kalinya.
Linda memutuskan untuk berhenti dari pekerjaannya sebagai pegawai di sebuah Bank swasta.
*********
"Sungguh Ves, aku tak tega ketika mengikat dan membuatmu seolah sudah tak bernyawa. Aku takut kamu tidak bangun lagi."
"Nania, ingat. Ha...ha....Kenyataannya aku masih ada disini kan."
"Hey kalian berdua, kemana kita akan menghabiskan uang ini."
"Jika kau kebingungan menghabiskannya, berikan saja semuanya padaku."
Ketiganya tertawa terbahak-bahak.
"Aku hanya heran, bagaimana cara kalian mengambil uang itu. Padahal kalian tidak ada disana."
"Dibawah tong itu terdapat sebuah terowongan pembuangan sampah yang langsung terhubung ke luar bangunan gedung. Jadi, kami tidak perlu masuk ke gudang itu, kan. Tinggal menunggu uang keluar. "
Tit..tit...tit....
"Orderan lagi."