Rabu, 29 Agustus 2012 0 Messages

S. Mara Gede VS Conan Doyle

        Membaca novel bergenre Misteri dan Thriller, sejauh ini baru mengenal dua tokoh fiktif utama dari dua penulis berbeda. Masing-masing memiliki karakter dalam gaya kepenulisannya. Yang pastinya kedua-duanya the best pokoknya.
        Diantara perbedaan itu, menurut saya terdapat beberapa poin yang mirip. Yaitu sang tokoh fiktif utama selalu bersama seorang teman dekatnya setiap kali menyelidi kasus yang tengah dihadapi. Walaupun sejatinya, rekannya tersebut kadang tidak banyak membantu menuntaskan kasus terkait.
       Conan Doyle menciptakan seorang tokoh fiktifnya berupa seorang detektif konsultan eksentrik. Yaitu detektif swasta yang lebih suka menyelesaikan kasus dengan caranya sendiri. Meskipun terkadang harus mencoba untuk menghargai detektif dari pihak kepolisian. Ialah Sherlock Holmes, memiliki kepribadian yang sulit untuk ditebak. Tak lah berlebihan jika di sebut dengan seseorang yang sering juga membuat temannya, Dr. Watson kesal. Hanya saja sang dokter sudah terlalu mengenal tabiat temannya tersebut.
     Keduanya selalu berada di tempat yang sama ketika harus menghadapi sebuah kasus. Prinsip penyelidikan yang diterapkan oleh sang detektif adalah kira-kira "jangan  menilai seseorang berlebihan, karena itu akan mempengaruhi penyelidikan kita". Jangan mencurigai seorangpun sebelum bukti tampak begitu jelas. Uniknya, Sherlock Holmes dapat secara pasti mengetahui siapa-siapa saja yang terlibat dalam suatu perkara. Sehingga tersangka biasanya tak lebih dari tiga orang.
        Cara pandang sang detektif yang ditulis oleh Conan Doyle juga tidak biasa. Deskripsi Sherlock Holmes seolah mengetahui berbagai hal. Terutama bahasa tubuh serta apa yang dikenakan seseorang.
      Inspirasi untuk membuat sebuah tokoh fiktif dalam novel bisa berasal dari siapa saja. Seperti halnya Conan Doyle, ide memunculkan tokoh Sherlock Holmes justru berasal dari salah satu seorang dosennya di Universitas Edinburgh (Inggris) yang bernama Dr. Joseph Bell.
       Tulisan pertamanya berjudul penelusuran benang merah ( a study in Scarlet ) dengan penerimaan baik oleh publik. Dan masa kejayaan sang tokoh mulai berkibar baru pada tahun 1891.
****
         Lain halnya dengan S. Mara Gd. Wanita ini mulai menulis novelnya setelah kerap kali menterjemahkan tulisan besutan Agatha Christie. Misteri Dian yang Padam (1984, diterbitkan 1985) adalah novel perdananya. Detektif Kosasih adalah tokoh fiktif utamanya. Detektif resmi dari kepolisian itu selalu bersama dengan rekannya yang memiliki masa silam yang kelam. Gozali namanya. 
         Setiap tokoh dalam novel yang ditulisnya layak untuk dijadikan tersangka. Biasanya berjumlah belasan bahkan lebih dengan deskripsi singkat tokoh tersebut di awal cerita. Pun dalam aliran ceritanya, ia berusaha untuk mengarah penulis menebak si A, B, C maupun D sebagai pelakunya. Tebak-tebakan itu pun terus saja beralih dari satu tokoh ke tokoh lainnya.
       Punya keasyikan tersendiri menurut saya. Dengan membaca deskripsi singkat, kita paling tidak menebak siapa sebenar pelaku dalam kasus itu. Dan membaca isi novelnya adalah untuk menghilangkan rasa penasaran kita. Apakah tebakan kita benar adanya. 
        Namun, jujur saja seingatku belum ada satu novelpun karya S. Mara GD yang telah saya baca tuntas. Separoh jalan lebih sedikit paling sering. Tebalnya bukan main. Kalau demikian adanya, saya sering menyudahinya dengan membaca lembar beberapa halaman terakhir. Secepat kilat, kita akan mengetahui siapa yang akan di tangkap oleh sang detektif. 
        Boleh jadi karena sering menerjemahkan maupun membaca novel asing, gaya penulisan S. Mara GD begitu western style.
        
0 Messages

Hitam

         Kenapa mesti meributkan aku suka berpakaian hitam. Baju maupun celana. Boleh, seandainya itu merugikan suatu pihak. Kenyataannya, baik-baik saja bukan. Toh aku membelinya pun dengan uangku sendiri. Jadi dimana letak kesalahannya. 
          Ku kira hanya tentang ketidakmampuan mereka untuk menyukai warna itu. Sebagaimana aku tidak menyukai pakaian berwarna kuning atau hijau. Oleh karena itu, aku tidak pernah merasa risih ketika melihat mereka berpakaian warna apapun. Merah-kuning-hijau-kribang atau bahkan warna pelangi sekalipun.

Selasa, 28 Agustus 2012 0 Messages

Curious # 1

     Bahasa psikologinya mungkin introvert. Identik dengan seseorang yang pendiam plus pemalu dan suka menyendiri. Tapi konotasinya belum tentu negatif. Ku pikir semua manusia di ciptakan punya kelebihan dan keunikan yang berbeda. 
      Jujur saja, aku tidak suka ramai orang. Tapi disini, setiap harinya aku selalu penasaran. Gerangan orang seperti apa yang bakal aku temui. Berinteraksi dengan mereka yang berbeda karakter. Tugasku hanya satu, membantu sekaligus memberikan pelayanan yang terbaik. Karena mereka adalah konsumen. Harapannya, mereka akan segera berubah menjadi pelanggan.
       Seorang yang terlalu tua untuk dipanggil bapak. Terpaut tak lebih dari 10 tahun dari ku sepertinya. Entah apa yang dipikirkannya. Yang pasti ia bertanya, "anti rokok?"
       Dalihku sekenanya. Mengungkapkan bahwa stok tersebut adalah stok lama. Yang artinya tidak bakal untuk memasok barang sejenis. Terlebih rokok yang memang tidak pernah sekalipun dari dulu ku pasok.
    Tentang benda lintingan sepanjang 9 cm tersebut, ku pikir itu adalah prinsip. Jika MUI telah memfatwakannya haram, tentunya hal tersebut membawa kebaikan bagi kehidupan umat Islam. Khususnya yang ada di Indonesia. Sedikit sebagai contoh, orang selalu saja mengatakan bahwa dirinya orang tak berpunya. Namun herannya, konsumsi rokok perhari minimal satu bungkus. Beralasan rokok sebagai teman pas buat secangkir kopi, tanpa sadar ia telah menjadikan tubuhnya sebagai sebuah pabrikan berbagai jenis penyakit.
       Belakangnya, menyusul seorang lelaki juga yang umurnya kurang lebih sama. Pembawaannya seperti seorang PNS. Kemudian dari apa yang dimintanya, ku ketahui bahwa dirinya adalah seorang semacam penyuluh lapangan di bidang pertanian. Namanya Rusli. Dia memerlukan bantuanku untuk mengetik beberapa berkas. Tak banyak memang. Terdiri dari  surat undangan formal dan blanko absensi kehadiran peserta.
         Sebagian orang di negeri ini mengeluhkan bahwa hidup begitu susah. Tetapi lainnya mengatakan pasar domestik begitu menggiurkan. Disitulah kesenjangan yang semakin hari semakin meningkat.
      Lebih miris lagi setelah mendengar penuturan seorang bapak yang datang untuk mencetak photo. Katanya, lelaki yang ada di photo tersebut akan berangkat ke negeri tetangga. Mana lagi kalau bukan Malaysia. Mendengar pekerjaan yang bakal dilakoninya disana membuat telinga panas juga. Menanam sayur.
      Sebuah pertanyaan besar sebenarnya, ketika pemimpin kita membanggakan bahwa Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki pertumbuhan perekonomian mencengangkan. Apalah gunanya angka-angka, jika untuk menanam sayur saja rakyat kita mesti menjadi kuli di negara lain. Peran negara kita wajib dipertanyakan.
        Baru sempat ku tuliskan setelah semuanya berlalu. Tiga orang konsumen hingga menjelang siang. Setelah shalat zuhur, aku pun siap-siap pergi ke Sekura untuk memenuhi panggilan pembuatan e-KTP. Baru malam harinya berinteraksi dengan pelanggan tetap. Dia adalah mahasiswi POLITEKNIK Terpikat Sambas. Tujuannya kali ini, minta di terjemahkan Abstrac Tugas Akhir nya ke dalam bahasa Inggris.
          Malam bertandang menjelang pukul sembilan. Saatnya untuk pulang. Merebahkan diri. Merajut mimpi dan asa. Besok, siapa lagi yang akan kutemui?

Senin, 13 Agustus 2012 1 Messages

Tau Apa!

       Bicara mereka seolah mengetahui seluk-beluk provinsi hingga ke lubang semut. Padahal menapaki jalanan seperti naik kuda saja, ku sangsi jika mereka pernah.
      September mendatang daerahku tercinta, Kalimantan Barat akan kembali menggelar pemilukada PILGUB masa periode 2012 - 2017. Ada yang mengatakan periode jabatan sampai 2018. (Bale...lamanye gak. Nak nambah setahun agek. Tapi yang udah pasti itu, masa jabatan Kades enam tahun satu periode).
        Lima pasangan calon gubernur yang berjuang menuju kursi Kalbar I dengan II nya sebagai ekor. Salah satunya, incumben. Tiga pasangan memiliki track record sebagai mantan bupati di Kalimantan Barat. Sisanya, mereka yang mungkin tengah belajar berpolitik. 
         Variasi visi dan misi di lontarkan ke publik. Lebih tepatnya hanya kombinasi. Ah, itu-itu saja. Masih komoditas laris manis yang menjadi hidangan mereka. Itu akan dijadikan program kerja "eksklusif" selama menjabat nantinya. Apa itu? Kemiskinan, tentulah. Diikuti oleh yang berbau Kesehatan, Pendidikan, Kesejahteraan, dan Pemberantasan Korupsi.
      Semuanya normatif bukan? Tidak memiliki multiplier effect terhadap aspek lainnya. Menurutku, anggapan mereka hal-hal diatas telah mencakup seluruh hajat hidup rakyat banyak. Sebagaimana yang diamanahkan oleh undang-undang.
          Menurut bapak, apa sih arti kemiskinan?
          Program apa saja yang bapak buat untuk aspek kesehatan?
          Bagaimana dengan pendidikan saat ini?
          Apa sih arti kesejahteraan yang sesungguhnya?
          Dan, berapa lama tenggat waktu untuk memberantas itu korupsi?"
  *******
           Untuk menuju Sambas atau sebaliknya, aku harus menyeberangi sungai Sekura yang memerlukan waktu kurang lebih 15 - 20 menit. Kadang juga lebih. Tergantung jenis transportasi penyeberangan apa yang dipilih.
           Ada tiga alternatif penyeberangan. Pertama, menggunakan Ferry . Alat transportasi penyeberangan yang dikelola oleh pemerintah dengan rute Teluk Kalong-Harapan. Dengan karcis Rp. 5.000,- untuk sepeda motor. Dan mungkin Rp. 20.000,- untuk kendaraan roda empat. Kedua, rute Sekura-Tj. Harapan adalah menggunakan, kami memanggilnya Giat. Sejenis kapal kecil yang digunakan para nelayan tradisional untuk menangkap ikan di laut. Alat itu bisa menampung belasan sepeda motor plus orang. Biaya yang dikenakan Rp. 3.000,- untuk satu orang plus motor. Dan satu orang tanpa motor biayanya hanya Rp. 1.000,- per kepala. Dan yang terakhir adalah, perahu tempel. Perahu besar yang biasanya di jejali maksimal 4 buah sepeda motor, namun paling sering 3 buah saja. Ongkosnya itu yang paling mahal diantara dua sebelumnya yaitu Rp. 7.000,- per satu motor.
        Terakhir adalah alat transportasi yang paling sering ku gunakan jasanya. Meskipun agak mahal di banding yang lain, hitung-hitung berbagi rezeki karena untuk Giat dan Ferry itu pasti banyak pengguna jasanya. Selain itu, waktu tunggu tidak lama. Artinya efisien. Cukup tiga atau paling banter empat buah sepeda motor, alat itu sudah bisa mengantarkan kami ke seberang.
          Dalam perjalanan menyeberang itu, selalu saja ada sesuatu untuk di gambarkan. Puluhan burung walet yang tertipu. Menyangka bangunan semen itu adalah rumah barunya. Padahal manusia hanya ingin menggarap air liur burung berwarna hitam tersebut. Anggap saja mutualisme (saling menguntungkan). Benar kah istilahnya? Gelombang kecil yang diciptakan oleh Giat dan sesama perahu apabila berselisih jalur. Menciptakan dudukan diatas perahu serasa ikut bergoyang. Kayu mati atau tanaman pinggir sungai yang terlepas dari komunitasnya terapung-apung di bawa ombak. Bila sore menjelang, di ufuk barat, siluet jingga menghiasi langit. Merona menebarkan pesona. Masih banyak lagi, namun ingin ku tutup dengan panorama sampah di bawah bangunan (warung kopi dan ruko) di bibir sungai. Padahal seingatku sudah di lakukan kerja bakti untuk mengangkat sampah-sampah itu sampai masuk koran lokal segala. Ah, cuma sekali itu seingatku lagi. Ya, baru kali itu. Padahal penghuni maupun manusia yang lalu lalang di situ sudah berpuluh tahun.
      Suatu waktu dalam penyeberangan itu, pikiranku terpaut pada PILGUB. Lalu, ku berkhayal mencalonkan diri menjadi gubernur. Lucu juga sih, tapi imajinasiku terus merayap. Membandingkan visi calon gubernur yang telah ada, lantas apa yang akan ku tawarkan untuk kemajuan daerah ini?
            Tidak muluk-muluk. Cukup dua hal. Apa itu?
            Pariwisata dan Fasilitas Publik
 Tak mau menjabarkannya kenapa, siapa tahu beberapa tahun ke depan mencalonkan diri menjadi gubernur?       



          
2 Messages

Orientasi

   Belantara kampus akan dijajaki oleh mahasiswa baru, paling tidak September mendatang. Mereka memanggul sebuah transisi. Dari status siswa menjadi mahasiswa. Serupa tapi tak sama. Yang terakhir, tanpa disadari memiliki nilai plus di masyarakat. Dan juga dipandang tak lagi sebelah mata. 
     Kembali teringat masa silam. Tapi disini, aku tak ingin mengurai bagaimana itu. Ku hanya mencoba berbagi tentang sebuah kata. Orientasi. Bukan orientasi mahasiswa baru atau perpeloncoan yang ku maksud. Namun, tujuan seorang mahasiswa baru untuk duduk di bangku kuliah. 
       Berikut, semoga mewakili, orientasi seseorang untuk melanjutkan ke jenjang perkuliahan:
1. Dapat pekerjaan dengan gaji yang tinggi
2. Mengisi waktu kosong sekaligus menyenangkan orang tua
3. Ikut-ikutan
4. Jika ada yang lain, silakan di masukin sendiri ya. 
       Hari pertama mereka masuk, dihadapkan pada sebuah program penyambutan mahasiswa baru. Meliputi pengenalan kampus beserta masyarakatnya. Tentang jurusan beserta struktural manajemen yang mengelola jurusan. Sampai pada agenda pengakraban antara junior-senior yang terkadang tidak berkaitan sama sekali dengan visi-misi kampus itu sendiri. Lewat!
      Uforia diterimanya di kampus tujuan perlahan menguap. Menemukan teman baru dan menjadi akrab. Juga mengenali istilah dosen killer. Begitulah berjalannya waktu. Tiba pada saatnya, satu persatu mahasiswa memilih jalan masing-masing. Mereka yang berotak encer lulus dengan predikat cum laude disertai pujian selangit ketika di wisuda. Yang punya masalah dengan keakademikan justru meraja karena merasa yang paling banyak makan garam kampus. Hingga rambutpun tak sempat untuk dipangkas. Meski tak jarang ciut juga ketika harus duduk di satu ruangan dengan adik tingkat. Mau di taruh dimana tu muka. Lewat!
     Ending-nya, ijazah sudah pun ada ditangan. Legalisirnya bahkan lebih dari sepuluh buah. "Banyak-banyak." Begitulah kira-kira petuah dari ortu dan juga pihak akademik. Pastinya agar kita tidak sering bolak-balik kampus. Lewat!
       Entah kenapa telinga mulai peka dari sebelumnya. Rencana pembukaan lowongan CPNS jauh-jauh hari sudah pun kita ketahui. Jadilah kita bersiap-siap memberondongi Dinas Ketenagakerjaan untuk membuat kartu kuning. Juga, informasi lowongan di perusahaan pemerintah maupun swasta pun tak ketinggalan. Mulai saat itu juga, kita mulai suka membeli koran. Katakanlah mencari keberuntungan. Pesan seseorang "Beli yang terbitan hari Sabtu." Lewat!
       Kembali ke kata orientasi. Tak jarang bukan kita temui hal diatas. Boleh jadi kita sendiri, tetangga, teman, anaknya teman bapak atau ibu. Pokoknya hampir semuanya. 
       Akibat dari tidak adanya orientasi atau tujuan mengapa aku kuliah? Satu pertanyaan yang seharusnya ditanyakan sebelum kita mengisi formulir PMDK maupun blanko SNMPTN atau apalah. 
        Itu penting! Sehingga kampus yang kita pilih benar-benar merupakan tempat dimana kita menggali ilmu. Untuk mempersiapkan kita menjadi profesional di bidang kita cita-citakan. 
Ah banyak omong. Loe sendiri gimana
       Terima kasih. Benar sekali. Apa yang kutulis diatas, beberapa potongannya merupakan pengalaman pribadi. Jelasnya ketika aku sama sekali tidak pernah punya tujuan untuk apa kuliah. Yang ku tahu saat itu hanyalah manjadi mahasiswa. Itu saja, tidak lebih.
         Niatan kuliah terpaksa ku tunda begitu lulus SMK. Ya biasalah, ekonomi faktornya. Merasa memang belum ada celah untuk dipaksakan kuliah, ku putar setir menjadi penambang emas. Kebetulan ipar, suami kakak tertua membuka tambang emas. Kurang lebih setahun, profesi penambang emas ku sandang. Terkumpul kurang lebih empat juta rupiah. Dan itu cukup untuk masuk kuliah di PT negeri. 
        Tak ada tujuan lain. UNTAN menjadi tumpuan untuk memasuki gerbang kampus. Yap tak ada orientasi untuk memilih jurusan apa, sebenarnya aku menurut saja. Orang-orang terdekat menyarankan ini dan itu. Ku pertimbangkan dengan tidak percaya diri sama sekali. Karena SMK masuk ke poin IPS, ku jatuhkan pilihan pertama Bahasa Inggris dan kedua Akuntansi. Ironisnya, kala itu aku tidak tahu di fakultas mana dua jurusan tersebut. Maklum, wong deso baru nginjakkan kaki ke kota. 
      Penantian berbuah. Waktu pengumuman hasil seleksi pun di paparkan lewat koran Jawa post Group yaitu Pontianak Post. Hari-hari sebelumnya, hati kecilku berkata bahwa aku pasti lulus. Hanya saja sepertinya bukan dipilihan pertama. Dan seandainya, feelingku kala itu tidak kejadian, mungkin sekarang aku tetap berstatus penambang emas. 
       Tetap saja gembira meskipun akhirnya lulus di pilihan kedua. Akuntansi. Jujur saja, itu jurusanku ketika SMK. Sehingga memang sudah sewajarnya lulus di jurusan itu. Meskipun aku ingin sekali kuliah di jurusan Bahasa Inggris. Asal kamu tahu, nilai bahasa Inggrisku di tiga semester terakhir sekolah tidak lepas dari sembilan. Begitulah, pas daftar ulang, aku salah masukan berkas. Jurusan akuntansi juga ada di FKIP yang jebolannya nanti seharusnya menjadi guru akuntansi. Nyatanya aku akan menuntut ilmu di kampus hijau. Fakultas ekonomi. 
        Nanti kaitannya dengan orientasi. 
        Setelah menganggur satu tahun, otakku tidak beku-beku amat sih sebenarnya. Menyelesaikan seluruh mata kuliah tak lebih lama dari mereka yang lulus cum laude nantinya. IPK tiga lebih. Masih jauh diatas rata-rata. He..he...he...
        Disinilah kisah ini bermuara. Ketika teman-teman sibuk ke perpustakaan kampus dan perpustakaan daerah untuk menyelesaikan skripsi, aku belajar bekerja. Rasa penasaran ingin memakan uang hasil keringat sendiri dari hasil pendidikan ini seperti apa. Apakah manis, asin, asam atau rasa permen nano-nano. 
         Ku bekerja sebagai admin di sebuah lembaga bahasa Inggris yang tengah berkembang pesat. Punya pemuda lokal bro. Namanya Sang Bintang School. Benar-benar luar biasa! Metode pembelajarannya unik dan representatif. Aplikatif serta inovatif. Lagi promosi nih. Untuk lebih jelasnya, search langsung di google yah. Insya Allah nggak bakalan nyesal. 
         Hanya saja, aku yang tidak betah disana. Untuk alasan tertentu, aku memilih berhenti. Pengalaman satu tahun empat bulan kurang lebih itulah yang menciptakan sebuah orientasi di kepalaku. Dari yang tidak punya, waktu itu aku dengan amat sangat menyadari, bahwa aku ingin menjadi entreprenuer saja. Betapa tidak enaknya bekerja di bawah telunjuk orang lain. Betapa sakitnya ketika kesana kemari harus izin segala.
    Dan bla-bla-bla. Rentang waktu tiga tahun setengah hingga tujuh tahun, aku "terlunta-lunta" (em..bahasanye) lebih tepatnya belajar berwira usaha. Keinginan untuk menyelesaikan kuliah hanya tinggal setebal kulit ari. Bayangan wajah kedua orang tua tersenyum di hari wisuda, yang memotivasi sedikit untuk akhirnya menyelesaikannya juga. Tentunya dengan kemudahan yang Allah SWT berikan.
         Hingga tulisan itu dimuat di blog sendiri, aku masih melakoni usaha pribadi. Kecil-kecilan, namun ada kepuasan disana. Pastinya ingin melebarkan sayap hingga menjadi sebuah badan usaha yang mapan dan bermanfaat bagi banyak orang. Di antara itu, aku juga menyadari orientasi tidak cukup hanya dengan satu buah. Menulis. Benar! Aku ingin jadi penulis. Itu dia. Sttt, di awang-awang tengah mengambang cita-cita ingin menjadi animator dan juru masak. Apa mungkin, aku dulu benar-benar salah ambil jurusan ketika kuliah. Tak! Tidak mungkin salah. Semuanya pasti benar. Dan rencana Allah SWT itu tak ada siapa yang tahu. Mungkin harus begitu dulu, baru menjadi begini. Finish! 

*Tau-tau makan malam belum selesai*
Kamis, 09 Agustus 2012 6 Messages

Puzzle Kenangan Setahun Silam

    Uhaa...Persisnya setahun silam ketika aku di ributkan dan disibukkan untuk menyelesaikan panggilan alam akademis bernama skripsi. Dimulai dari namaku yang tertera dalam salah satu mahasiswa terpanggil karena masalah akademik, Ku yakin tidak memelelas meskipun kenyataannya yang ditangkap dosen seperti itu, tak ada tahapan seminar proposal, dan lanjut ke pengerjaan skripsi. Dispensasi luar biasa, buat mahasiswa yang enggan menyelesaikan studinya. Padahal pada tahun ke tiga kuliah sudah menyelesaikan semua mata kuliah. Perlu masa mengganggur tiga tahun lebih untuk menumbuhkan minat untuk menyelesaikan skripsi tersebut.
      Masa-masa menyiksa dan penuh kenikmatan tak terhingga. Ketika hampir mual dimana harus bertatapan muka terus dengan komputer. Dan yang paling menyebalkan lagi, adalah berkutat dengan tulisan-tulisan formal yang akan di koreksi. Mulai dari kata per kata, hingga metode kepenulisan. Spasi, pragraf, dan sejenisnya. Juga, ketika suatu saat tidak tidur sepanjang malam, hanya gara-gara mempersiapkan bahan untuk esok paginya bertemu dosen pembimbing pembantu. Mata? Jangan di tanya lagi bagaimana beratnya. Tapi sayangnya, entah bagaimana malam itu mata terus saja ingin terjaga dan kondisi masih belum melar. Barulah, setelah konsultasi dengan itu dosen, ku pulang kerumah, dan tidur hingga menjelang shalat Jum'at di gelar. 
     Perjuangan masih berlanjut. Hari-hari di bulan Ramadhan tahun itu penuh dengan hilir-mudik, Rumah-Rental-Kampus. Yang terakhir paling membosankan. Menunggu dosen yang terkatang tak tahu tengah berada dimana. Di sms, lama baru di balas. Di telepon, kadang tak diangkat-angkat. Baru kemudian, mengatakan harus menunggu setelah beliau menguji mahasiswa lainnya. Jadilah menunggu aktivitas yang sedikit-demi-sedikit terpaksa mulai di sukai. 
       H-3 menjelang libur nasional menyambut idul fitri. Desas-desus isu yang bergulir, katanya berkas mahasiswa yang mengajukan ujian skripsi harus sudah masuk tanggal sekian ke akademik. Aku pun bergegas-gegas untuk mengejar tenggat waktu itu. Hingga tiga hari menjelang libur nasional, kelar sudah prosesi konsultasi dengan dosen pembantu utama. Tanda tangan sudah di dapat, dan saatnya untuk mengajukan berkas ke bagian akademik.
       Yakinku, ketika berkas sudah masuk dan diperkuat oleh isu tersebut, aku akan ujian kompre dan sidang skripsi pasca lebaran. Dan bim salabim. Begitu berkas sudah ditangan bang Syafaat, tak lama berselang, katanya, esok aku harus maju untuk sidang. Antara senang dan kalut, ku coba mengulur waktu. Bagaimana kalau lusa? Tak bisa, karena lusa sudah ada jadwal ujian yang akan mengisi. Ya, Allah. Aku tak yakin bisa mengejar untuk mempersiapkan segala-galanya. 
      (Pertama) Jumlah berkasku, tak kurang dari 300 lembar. Dimana lebih dari separuhnya adalah lampiran belaka. Bisa dibayangkan betapa banyaknya. Dan itu harus di buat empat rangkap untuk para dosen ketika ujian besok. Untung, seorang adik tingkat yang sudah selesai urusan skripsinya beberapa minggu yang lalu berbaik hati untuk meminjamkan printernya kepadaku. Ku pikir untuk itu tidaklah terlalu di pikirkan. Solusinya sudah ada. (Kedua) konsumsi. Entah tradisi dari mahasiswa harus menyediakan konsumsi untuk empat dosen penguji. Tak lepas untuk di bulan puasa seperti waktu itu. Pikirku, paling tidak makanan ringan yang bisa tetap di konsumi untuk berbuka nantinya. Itulah, hal kedua yang harus ku pikirkan. (Ketiga) pakaian yang termasuk juga sepatu. Aku tak punya dasi dan jas. Ha..ha..ha...Yang paling sedih sepatu formal. Untuk yang terakhir aku tak ambil pusing, karena sepatuku semi formal. Urusan dasi dan jas nanti saja memikirkannya ketika sampai dirumah, kilahku.
       Hal pertama yang aku lakukan di rumah adalah ngeprint semua berkas. Empat rangkap yang kira-kira dikalikan tiga ratus berjumlah seribu dua ratus. Emmmm lumayan sedikit. Dan di tengah jalan, tinta habis. Eng ing Eng, di luar pemikiranku. Ku lobi saudari yang tinggal satu rumah denganku, alhamdulillah, ia mau meminjamkan printernya padaku. Urusan ngeprint dari siang, di lanjutkan hingga shalat isya dan tarawih. itu pun masih harus ada yang di print di luar. Aku lupa apa itu, yang pasti berkaitan dengan lampiran. 
       Malam itu juga, ku pergi ke minimarket. Membeli kue kering, kurma beserta kotak kuenya. Dan masih harus di tambah dengan kue lainnya yang akan dibeli besok pagi. Baru akan dibawa ke kampus. Yang terakhir, ku berhasil meminjam dasi dari seorang teman kuliah juga yang sudah lama jadi sarjana. He..he....dan dapat. Satu demi satu, masalah bisa di atasi. Alhamdulillah, mantap!. 
        Seingatku, malam itu hanya bisa tertidur beberapa jam. Setelah shalat subuh, dilanjutkan lagi dengan prosesi ngeprint yang setelah di cek ulang, terdapat beberapa halaman yang salah. Ngeprint lagi. Mana harus membeli kue di toko kue. Mengatur waktu seefisien mungkin. Dan ketika waktu terus mendesak, printer itu benar-benar dalam keadaan kekeringan tinta. Tak mungkin harus membeli, lalu mengisi ulang tintanya. sementara jam sudah menunjukkan pukul delapan. Jam sidang adalah sepuluh. 
        Mandi dan berpakaian sekenanya. Masa bodoh dengan jas segala. Ada dasi cukuplah. Itu sudah membuatku gerah. Rental menjadi tujuanku selanjutnya. Dari rumah, ku banyak membawa barang-barang. Berkas ujian yang terdiri dari ribuan lembar di dalam tas, empat kantong plastik besar yang menampung kue. Hampir mencapai rental, ku merasa ada yang tidak kena dengan ban sepeda motor. Janganlah, doaku. Jangan bocor disaat seperti ini. Padahal jam sudah menunjukkan pukul sembilan lewat. Ku berhenti sejenak. Dan lega rasanya, ketika motor sangat bersahabat dalam keadaan darurat seperti ini. 
       Di rental, ku kembali ngeprint beberapa halaman dari isi skripsi. Selesai tak selesai, sepuluh kurang sepuluh kira-kira. Penampilanku, ku yakin jauh dari ketika aku berangkat tadi. Peluh sudah meraja di sekujur tubuh. Tiba di kampus, lewat dari jam sepuluh. Untungnya, kampus sering menerapkan jam karet. Jam sepuluh itu artinya sebelas atau lebih. Toleransi buat mahasiswa seperti aku ini. He..he...Penantian pun kembali ku lakoni. 
        Jam sebelas lewat baru ada tanda-tanda kehadiran dosen penguji. Setelah di hubungi sebelumnya, dua dosen pengujiku tidak bisa hadir hari ini. Asyik, seruku dalam hati. Tapi tak mungkin dibatalkan hari ini. Karena perjuanganku sudah terlalu jauh. Ruang sidang sudah dipenuhi oleh teman-teman yang juga akan seminar dan ujian skripsi. Jadilah, aku yang datang telat tidak mendapat jatah. Aku membiarkan itu berjalan apa adanya. Pasrah. Itulah kata yang tepat untuk menggambarkan diriku saat itu. Seorang mahasiswi di hadapanku, hilir mudik menunggu dosen juga. Sambil menenteng catatan-catatan singkat tentang kemungkinan materi yang akan diajukan dosen kelak. Aku bahkan tidak sempat memikirkan itu. Ya, aku sama sekali tidak belajar. Bisa di bayangkan, tiga tahun yang lalu terakhir aku bergelut dengan mata kuliah. Dan hari ini harus menghadapi ujian kompre dan skripsi. Luar biasa. Benar, sangat luar biasa. Ku hanya mendengarkan ketika ia membacakan dengan sedikit keras sambil menghafal poin-poin tertentu. Aku juga curi-curi menghafal. 
        Kenyataannya, hari itu adalah sungguh luar biasa. Para dosen senior sedang rapat pemilihan senat program ekstensi. Sehingga hanya beberapa dosen yang tidak memiliki jadwal alias kosong. Dan tentunya, hanya dosen-dosen itu yang bisa menguji mahasiswa hari ini. Dua dosen pembantu skripsiku menguji mahasiswa lainnya. Sementara aku, ajaibnya, akhirnya diuji hanya oleh satu dosen saja di ruang jurusan. Luarrrr Biassaa.
       Prosesinya berjalan seperti main petak umpat saja. Tak berharap nilai A, karena itu seperti mimpi di siang bolong. C pun cukup bagiku untuk segera melepaskan status mahasiswa ini. Dan nyatanya, dosen lagi berbaik hati. Ku diberinya nilai di antara keduanya, B dengan markah kurang dari 75. He..he..
       Semuanya menguap. Seperti embun di terpa sang mentari pagi. Kelelahan dan keletihan berubah menjadi salah satu kenangan terindah yang melengkapi puzzle kehidupan. Citaku saat ini, tidak akan datang kesana lagi jika hanya untuk menjadi mahasiswa S2. Kalau kesana, ku ingin menjadi seseorang yang lain. Bukan pelajar maupun dosen. Pokoknya, lain dari itu. 
Rabu, 08 Agustus 2012 0 Messages

Sebuah Kisah

     "Jam 2 teng!"
     "Ok, boss." Pemuda itu mengacungkan jempol kanannya.
     Lelaki tua itu, tanpa diminta langsung keluar dan menutup pintu.
****
     Uh, kenapa harus sepayah ini. Bukankah, mereka dengan amat sangat mudah melakukannya. Dan giliranku, harus merangkak pula. Pemuda itu sudah pun berada di separoh jalan. Di dongakkannya kepalanya. Serasa puncak gedung itu setinggi langit. Ia alihkan pandangan ke bawah, curam bukan main dalamnya. Sebenarnya, ia sendiri tidak tahu bagaimana ia bisa sampai disini. Dan apa yang tengah dilakukannya. Berhati-hati ia merayap. Memanjat gedung bertingkat tanpa tali pengaman. Hati-hatinya berakhir ketika kaki kirinya tergelincir dari pijakannya. Secara spontan di ikuti oleh kaki sebelahnya. Kini ia hanya bertahan pada kekuatan tangan. Tak kuasa lebih lama, ia terjatuh. "Haaaaaaaaaaaaaa".
****
      Matanya terbelalak. Ia terjaga. Untung hanya sebuah mimpi. Seandainya itu kenyataan, pasti ketika mendarat ia langsung menjadi mayat. Matanya bahkan semakin terbelalak ketika mendapati jam di dinding menunjukkan pukul empat. Jam itu mengejeknya.
****
       "Kan sudah dibilang pasang alarm."
       "Ambilkan mie nya, yah."
       Lelaki itu bergegas menyodorkan tiga bungkus mie instan kepada anaknya.
       "Sudah." jawab pemuda tersebut.
       "Makanya kalau tidur jangan jadi batu. Tsunami datang pun pasti tak terjaga." Timpal sang ayah lagi.
       Tak mungkin pemuda itu mengatai yang sama pada ayahnya. Meskipun ia tahu, kalau ayahnya sudah tidur, badai tornado pun takkan sanggup untuk membangunkannya. Pemuda itu hanya menghela nafas.
       Tak berselang lama, keduanya makan dengan sekenanya. Apa enaknya makan jika harus berkejaran dengan waktu.
       Sebuah panggilan masuk. Di layar tertera "Mama".
       "Sudah sahur, An? mama baru sadar telah kehabisan pulsa. sekarang baru di isi pulsanya." 
       "Mmmm baru selesai. Ita tanya terus, kapan katanya mama selesai sertifikasinya?"

Senin, 06 Agustus 2012 1 Messages

Kehilangan Bintang

    "Lin, Lin, Lin! oh, sii.... Astaghfirullah."
Jojo hampir saja membanting HPnya. Urung, ia hanya mengusap mukanya sendiri. Jika tak teringat dirinya tengah berpuasa, serapah itu pasti telah terlontar dari mulutnya. Ia beristighfar sekali lagi. Dan lagi, hingga hatinya mulai sedikit tenang.
   "Ayo sayang, jadwal kita berubah." lelaki itu memasukkan celana ganti beberapa buah kedalam tas kecil. Sementara otaknya sibuk memikirkan apakah akan membawa baju ganti anaknya juga. Ah, cuma sebentar. Tak segitunya lagi persiapannya. Ini bukannya mudik lebaran. Tambah lagi, rumah ibunya hanya tiga kilo meter dari rumahnya.
     Di liriknya jam tangan. Benda itu pun membalas judes. Tak toleran. Mungkin putaran jarumnya terlalu cepat, sehingga Jojo harus terburu-buru. "Coba ibumu memberi tahu lebih awal. Tidak akan serepot ini." Ia menggerutu kepada anaknya, Bintang, yang baru berumur kurang dari setahun. Terlalu kejam, bayi itu bahkan tidak bisa merasakan kekalutan batin ayahnya. Salah Jojo sendiri tentunya, jika ingin berbagi rasa dengan anaknya yang bahkan untuk mengatakan sakit atau lapar mesti dengan cara menangis. Untungnya, sore ini Bintang tidak rewel. Mendung menyelimuti.
     Di depan pintu rumah ibunya, Jojo berpikir keras. Merangkai alasan pas untuk menitipkan Bintang. Seandainya, ia berbicara jujur, pasti itu adalah alasan terlogis bagi ibunya. Lagi pula ibunya tak pernah cerewet, malah senang jika Bintang, cucu pertamanya ada di rumah. Memberikan keceriaan, kata ibunya suatu waktu. Masalahnya adalah Jojo yang merasa sungkan. Bukankah, baru dua bulan lalu ia tinggal terpisah dengan ibunya. Membeli rumah meskipun secara kredit di sebuah komplek perumahan. Ia takut dikecam sebagai orang yang belum mampu mandiri. Sebagaimana yang sering di sindirkan oleh Linda kepada dirinya. 
       Sepertinya tak perlu memberikan alasan apapun. Neneknya Bintang langsung mengumbar senyum bahagia dan hangat menyambut kedatangan cucunya. Wanita itu langsung mengambil cucunya dari gendongan  Jojo. Dan Bintang pun mulai bertingkah manja. 
       Ibu Jojo mencari sesosok yang mungkin menyusul di belakang anaknya. Nihil. Secara instan ia menyimpulkan. Anaknya datang bukan untuk buka bersama. "Ibu ngerti. Pergilah." Tukasnya kemudian. 
          Jojo serba salah. "Nanti Linda yang akan menjemput Bintang."
*********
         Jojo harus berada disana, dimana sang Bupati ada. Tak terkecuali dalam safari ramadahan kali ini. Di sebuah mesjid di daerah kecamatan yang baru saja di mekarkan. Agendanya adalah buka bersama yang dilanjutkan dengan shalat maghrib-isya dan tarawih yang nantinya akan dilanjutkan dengan sedikit tausiah dari sang Bupati.
*********
          Turun dari sepeda motor, Linda berlari-lari kecil. Mengetuk pintu beberapa kali. Tak lama kemudian, Diana muncul. Saling sapa sekenanya dan langsung ke tujuan inti kedatangannya.
          "Apa tidak sebaiknya shalat dulu, Lin." Salimah, mertua Linda berucap.
          "Nanti di rumah saja sekalian, bu." Jawab Linda.
          "Bintang tidur?" tanyanya balik.
         Tatapan salimah lekat dimata Linda. Berjuta pesan tersirat disana. Menusuk dan menghujam, meskipun terpendam. Linda perlahan menunduk. Hatinya berontak dan tersudut. Tak mungkin ia bertindak bodoh dihadapan mertuanya, selain mengalah saja. 
*********
         "Assalamu'alaikum..."
        Tak ada jawaban dari dalam. Jojo langsung masuk karena pintu juga tidak terkunci. Di dapatinya Linda sedang santai di sofa di ruang tamu. Menatap TV lekat-lekat. Tak berkedip sedikitpun. Ya, Linda sebenarnya tidak sedang menonton. Linda sedang....
        "Man...," Kata Jojo terputus. Linda langsung menyerobot. 
        "Jadi begitu ya. Mengadu pada ibu." Pandangan Linda tetap pada TV yang menyala. 
        "Ada apa Lin. Apa maksudmu." Jojo berusaha untuk berbicara lembut. 
      "Tak usah basa-basi. Kamu kan yang meminta ibu untuk berceramah kepadaku. Memangnya aku ini tidak bisa menjadi ibu bagi anakku sendiri, hah!" Kali ini Linda menatap suaminya sinis. 
        Jojo melepaskan satu kancing bajunya yang paling atas. "Jangan mengarang, Lin. Siapa pula yang meminta ibu melakukan itu. Jika iya pun, ku yakin itu tidak akan berhasil. Saya sendiri saja tak mempan, apalagi ibu."
        "Jadi, sekarang semua kesalahan tertumpu padaku. Begitu?"
        "Kau juga yang memaksa agar kita segera angkat kaki dari rumah ibu. Ini pertama kali kita di bulan Ramadhan di rumah ini. Dan semua tak bisa kita hadapi. Kemarin baik-baik saja, kan. Hanya saja, keadaan hari ini membuat kita kewalahan. Kenapa tidak minta saja kepada bos mu agar toleransi sedikit di bulan suci ini. Justru pakai lembur segala."
       Linda tak terima. "Lah, kenapa tak minta ijin juga dengan Bupati mu itu!" Linda emosi.
      Sayup terdengar Bintang merengek di kamar. Tampaknya aura panas diantara kedua orang tuanya sudah merembes hingga ke kamarnya. Gerimis tadi sore seharusnya bisa menyejukkan tidur malam Bintang, Nyatanya tidak. Sesuatu terbakar di rumah tersebut.
       Linda bangkit. "Urusan kita belum selesai!" Tukasnya kasar.
      Jojo mengangkat kedua tangannya. Lemas tubuhnya hingga mendudukkan diri ke sofa. Jojo memijit-mijit jidatnya.
      Tak lama, Linda datang bersama Bintang. Putra pertamanya itu seolah ingin menjadi mediator bagi pertikaian orang tuanya. Harapannya, kehadirannya bisa meredam gelegak emosi yang terjadi. Apalah daya seorang bayi, ia disana hanya sebagai pelengkap bahwa mereka adalah keluarga kecil bahagia. Kecil bahagia? Itu jargon klise bagi Jojo maupun Linda. Satu anak saja sudah membuat mereka hampir gila. Jika tidak ibunya Jojo selama ini yang ambil berat tentang Bintang, boleh jadi anak itu tidak mendapat perhatian dari orang tuanya yang super sibuk. Keduanya hanya berupaya untuk menepati janji, bahwa sekeluarnya mereka dari rumah itu, mereka akan memberikan perhatian lebih pada Bintang.
       Jojo terdiam. Namun, Linda memulai lagi. "Sudah dari dulu ku minta untuk mencari seorang babysister saja."
        Jojo tak acuh.
       "Babysister. Ya, aku hampir lupa dengan janjimu itu." Tambah Linda lagi.
       Tanpa menunggu jawaban suaminya, Linda bergegas keluar rumah. Ia teringat sesuatu di depan gang dan mengumpati dirinya, kenapa tidak melakukan ini jauh-jauh hari.
       "Mau kemana, Lin?" Hanya itu yang bisa dilakukan Jojo. Tak mungkin ia mencegah lebih jauh tindakan aneh istrinya barusan. Lagi pula, malam-malam begini tak mungkin istrinya akan membawa Bintang jauh-jauh.
        Linda berhenti di depan sebuah tembok. Tangannya tak sabar meraih brosur yang tertempel disana. Diraihnya paksa. kertas itu hingga terkoyak menjadi dua. Yang Linda perlukan hanyalah nomor telepon. Bukan embel dan janji-janji organisasi yang menerbitkan media iklan murahan itu.
********
          "Selamat pagi. Nama saya Nania." Sepertinya gadis itu berupaya untuk mengulas senyum terbaiknya. Berkostum formal berwarna biru muda. Atasan dan juga bawahan. Jadi, Linda telah mengambil keputusan tanpa berunding terlebih dahulu, pikir Jojo.
       Jojo mempersilakan masuk. Dan gadis itu berterima kasih. Memang terlalu awal untuk jam bertamu. Datangnya gadis itu bukan untuk tujuan itu. Ia disuruh datang oleh Linda tadi malam. Ya, Linda telah mengupah seorang babysister.
        Jojo meninggalkan gadis itu di ruang tamu. Ia berjalan menuju istrinya di kamar. "Ada tamu." Katanya singkat.
        "Oh, terima kasih. Kamu tak usah khawatir. Aku akan menggajinya dengan penghasilanku sendiri."
Linda langsung meninggalkan Jojo yang masih ingin mengucapkan sesuatu.
        "Untuk pertama kalinya, disiplin benar-benar di junjung tinggi. Nama saya Linda."
        Nania berdiri menjabat sodoran tangan calon majikannya. "Itu motto perusahaan kami." Kata Nania kemudian sembari duduk.
        "Oya, saya tidak sempat membaca iklan kalian. Maklum, tadi malam itu sangat tergesa-gesa. Lain kali mungkin akan saya baca apa saja kelebihan yang kalian tawarkan."
      "Sebenarnya tak perlu lagi, nyonya. Ketika nyonya telah percaya kepada kami, maka kami akan memberikan pelayanan terbaik. Justru, terkadang tindakan itu lebih baik dari kata-kata selangit, bukan?"
         Linda mengangguk-angguk.
     Deal. Nania menjaga Bintang dari pukul tujuh pagi sampai tiga sore. Dan seperti ucapan Nania, perusahaannya juga menyediakan jasa penjagaan bayi diluar jam tersebut. Terutama untuk hal yang tak terduga. Seperti yang dialami oleh Linda dan Jojo kemarin. 
*********
        Tentu saja Linda puas dengan kinerja Nania. Bagaimana tidak, gadis itu tak jarang merapikan perabot rumah tangganya yang kacau. Meskipun di luar tugas Nania, setahu Linda, gadis itu dengan senang hati melakukan hal itu.
         Seminggu sudah berlalu sejak Linda mengupah Nania dari sebuah yayasan pengasuh bayi. Semuanya berjalan lancar. Nania juga bahkan sudah pernah diperkenalkan dengan ibu Jojo ketika berkunjung di akhir pekan. Di hari-hari dinas, sepulangnya Jojo, pengasuhan Bintang langsung diambil alih. Dan saatnya untuk Nania meninggalkan rumah tersebut. Hanya saja, sekali lagi telinga Linda dibuat panas oleh nasehat Salimah. "Bukankah tidak baik, hampir tiap hari Jojo dan Nania berdua di dalam rumah. Ya, meskipu sekedar beberapa menit."
*********
       Setibanya Jojo, rumah dalam keadaan melompong. Tak ada aktivitas apapun. Tangisan Bintang, maupun bujukan Nania menenangkan. Merasa heran, Jojo menerobos masuk. Tetap saja sepi. Di periksanya di kamar, tidak ada. Di taman kecil belakang rumah, juga kosong. Sementara TV dalam keadaan menyala. Apa mungkin bertandang ke rumah sebelah?, tanya Jojo pada dirinya sendiri.
        "Assalamu'alaikum. Permisi, ibu. Ada Bintang di situ?"
        Tetangga yang ditanya mengatakan tidak ada. Jojo melanjutkan ke tetangga lainnya. Sama, Bintang dan Nania tidak ada disana. Kegusaran dan was-was mulai menghinggapi perasaan Jojo. Tak ingin ia memberitahukan perkara ini lekas-lekas kepada Linda, sebelum semuanya jelas.
        "Hanya sales, pak."
        Itu jawaban tetangga terakhir yang di tanyainya. Jojo bertanya apakah ada orang asing yang mungkin terlihat masuk ke dalam rumahnya. Sales yang diceritakan juga berjualan di rumah ibu tadi.
        Dan jika dugaannya benar, Nania menculik Jojo. Ia berjanji akan menyalahkan Linda selama hidupnya jika terjadi sesuatu dengan anaknya. Bukankah sebelum mempekerjakan Nania, Jojo ingin mengungkapkan maraknya kasus penculikan bayi akhir-akhir ini. Meskipun di daerah mereka tinggal aman-aman saja.
        "Di rumah ibu."
        Kata itu melintasi benak Jojo begitu saja. Di raihnya HP dan langsung menghubungi ibunya. Bukan main kagetnya sang ibu. "Sudah mengitari seisi rumah?" Tanya ibunya histeris.
        Jojo mengatakan apa adanya. Sambungan tiba-tiba terputus. Entah apa yang terjadi dengan ibunya. Dugaannya ibunya pingsan seketika. Jojo semakin galau. Antara Bintang dan ibunya yang pingsan disana. "Ya Allah, dimana anakku."
       Jojo masih tak ingin memberitahukan ini pada Linda. Kembali ia menjelajahi setiap sudut ruangan. Dapur, toilet, gudang, taman, dan kamar. Tunggu! ada sesuatu yang ganjil di dalam lemari di kamar. Seutas kain menjulur sedikit dari balik lemari. Warnanya biru muda. "Jangan-jangan?"
        Mata Jojo terbelalak. Disana ada Nania dalam kondisi tak sadarkan diri. Tangan serta kakinya dalam keadaan terikat. Sementara mulutnya dibungkam dengan kain. Rambutnya kusut. Berkali-kali Jojo membangunkan pengasuh anaknya itu. Sia-sia. Nania telah dibius. Secarik kertas tinggal di salah satu saku bajunya.
        Keadaan sudah jelas. Bintang menjadi korban penculikan bayi. Linda harus tahu tentang akibat ulahnya tidak mematuhi ucapan suami.
        Di beritahu, Linda merasa ruangan kantornya berputar. Tiba-tiba menjadi gelap dan ia pun terjatuh bersamaan dengan HP yang digenggamnya.
*********
         Rumah itu dilanda duka. Salimah dan Diana terus saling merangkul menahan sedih. Jojo mondar-mandir dengan pikiran berkecamuk. Sedangkan Linda terkulai bak mayat hidup. Nania sudah tersadar sejak sejam yang lalu. Dua orang polisi di tugaskan disana. Untuk tindakan beberapa saat yang akan datang.
          Awalnya, Linda menyalahkan Nania habis-habisan. Atas kelalaian menjaga anaknya. Setelah akhirnya, mengerti bahwa Nania termasuk korban dari tragedi tersebut. Linda lunglai. Para tetangga yang tadinya menyesaki ruangan, kini mulai berangsur pulang.
          Pelan-pelan suara azan isya terdengar dari surau. Semua mata kini tertuju pada HP Jojo di atas meja. Detik-detik penuh penantian dan ketegangan. Seseorang akan menelpon. Entah apa maunya. Pastinya, tak jauh-jauh dari meminta tebusan. Seperti penuturan Nania, momor Jojo terpaksa berikannya karena diancam. Setelah menyebutkan ke dua belas digit nomor tersebut, Nania tak lagi ingat apa yang terjadi.
      HP bergetar. Sebuah nomor tak dikenal memanggil. Tangan Jojo pun bergetar juga mengangkat panggilan tersebut. "Dimana anakku..." Teriaknya.
         HP dalam keadaan Loud Speaker. "Pak Jojo, kami hanya memberikan dua pilihan. Tebusan atau anak bapak, siapa namanya? Bintang. Ya, Bintang tidak akan pernah mengetahui siapa orang tuanya."
         Linda langsung mengambil alih pembicaraan. "Berapa kalian mau? Hah! Kembalikan Bintang!"
        "Seratus juta rupiah. Eit...tunggu dulu. Kami lagi berbaik hati nih. Ada diskon 20%."
        Linda tak pernah menyangka adegan sinetron tentang penculikan kini tengah dilakoninya.
        "Baiklah. Dimana kami harus mengantarkan uang tersebut."
        Lama tak ada jawaban. "Dimana!" Teriak Linda.
        Telepon rumah berdering. Jojo langsung mengangkatnya. "Oke." katanya singkat.
       "Mereka ingin aku sendiri yang datang ke sana. Tak ada polisi atau siapapun."
*********
       Prosesi itu begitu cepat terjadi. Jojo di arahkan ke sebuah ruangan di gudang lama yang tak lagi terpakai. Sesuai instruksi si penculik, uang tersebut langsung dimasukkan ke dalam sebuah tong sampah di sudut ruangan. Jojo melakukan itu dengan gemetar. Sementara polisi dari jarak jauh tetap mengamati keadaan Jojo.
HP Jojo bergetar. "Anakmu sudah ada dirumah neneknya. Terima kasih."
       Di teras neneknya, Bintang menangis sejadi-jadinya. Mula-mula datang seorang tetangga yang merasa kasihan, lalu mengenali bahwa anak itu adalah cucu sang pemilik rumah yang dikabarkan diculik. Tetangga itu langsung menghubungi Salimah di rumah anaknya.
*********
         Ini peringatan yang harus ku ambil pelajaran. Bintang, anakku lebih berharga dari segala-galanya. Walaupun karirku tengah menanjak, tapi aku tak ingin kehilangan Bintang untuk kedua kalinya. 
           Linda memutuskan untuk berhenti dari pekerjaannya sebagai pegawai di sebuah Bank swasta.
*********
           "Sungguh Ves, aku tak tega ketika mengikat dan membuatmu seolah sudah tak bernyawa. Aku takut kamu tidak bangun lagi."
           "Nania, ingat. Ha...ha....Kenyataannya aku masih ada disini kan."
           "Hey kalian berdua, kemana kita akan menghabiskan uang ini."
           "Jika kau kebingungan menghabiskannya, berikan saja semuanya padaku."
           Ketiganya tertawa terbahak-bahak.
           "Aku hanya heran, bagaimana cara kalian mengambil uang itu. Padahal kalian tidak ada disana."
           "Dibawah tong itu terdapat sebuah terowongan pembuangan sampah yang langsung terhubung ke luar bangunan gedung. Jadi, kami tidak perlu masuk ke gudang itu, kan. Tinggal menunggu uang keluar. "
           Tit..tit...tit....
           "Orderan lagi."
 
Jumat, 03 Agustus 2012 2 Messages

Si-Nop-Sis # 2

    Kenapa? Aku hanya duduk sebentar disini, membaca koran pagi. Namun tak berselang lama, tiba-tiba semuanya menjadi mengerikan. Dan justru ketika aku meninggalkan gedung perpustakaan, kudapati banyak hal yang lebih mengerikan. Ku harap, ini hanyalah sebuah mimpi buruk. Hingga akhirnya, kenyataan menghadapkan aku pada sebuah keadaan yang paling mengerikan dalam hidupku.
Kamis, 02 Agustus 2012 4 Messages

Si-nop-sis?

            Nasib mempertemukan dan menumbuhkan eratnya persahabatan. Namun, prahara cinta menjadi intrik yang menghancurkan indahnya kenangan kebersamaan. Akankah semuanya kembali seperti semula?
 
;