Minggu, 15 Januari 2012 0 Messages

Panggung Cinta Bertopeng (Bagian 2)


Keluar komplek, ku putar stang motor ke kiri. Melewati perumahan yang beberapa di huni oleh para dosen universitas. Tampak rapi, megah dan beberapa terlampau mewah. Berbeda dengan tempatku yang terlalu sederhana. Jalanan terasa menggenjot ketika melintasi polisi tidur yang dibuat terlalu tinggi dan berlabuh dengan kasar setelahnya. Tubuhku, tak lepas juga tubuh Hani melompat dari posisinya semula. Ku perbaiki dudukan Hani. Ia menampakkan wajah cerianya. Selalu. Ketika dibawa berjalan-jalan seperti ini. Terlebih jika ia lebih mengetahui kemana tujuan kami
Kesibukan jalan A Yani  luar biasa. Mobil mewah merayap teratur di tubuh jalan bagian kanan. Motor-motor segala merek ternama bahkan lebih banyak berseliweran. Pengendaranya beragam dan kebanyakan tidak tahu irama di jalanan. Anak sekolahan lebih memimilih meliuk-liuk di tengah kepadatan. Berharap menjadi pemenang dan mungkin saja agar tidak telat setibanya di sekolah. Beberapa mahasiswa dan mahasiwi mengendara lebih santai. Pegawai kantoran instansi pemerintah dan swasta justru lebih tergesa-gesa lagi. Harus mengantar anak-anaknya ke sekolah masing-masing baru menuju tempat kerja.
        Aku mengikut arus. Pelan-pelan bukanlah pilihan di jalanan saat itu, kecuali jika ingin mendapat umpatan dari pengendara lain. Sikut-sikut kecil sering pula terjadi. Tetapi penduduk disini masih terlalu ramah untuk mempermasalahkan itu. Tapi tidak untuk orang-orang tertentu.
            Hawa pagi tidak lagi terasa. Gerah mulai terasa meskipun tetap dingin. Ku tatap Hani seperti menghitung-hitung jumlah pengendara.
            “Berapa, sayang?” Ku belai lembut pipinya yang menghadap ke depan.
            Lampu kuning baru saja berubah merah di bundaran UNTAN. Di tengah bundaran, tertancap bambu raksasa yang siap menghujam langit. Berwarna kuning  Orang-orang menyebutnya tugu Digulis. Kendaraan berhenti termasuk aku yang jauh di belakang. Beberapa buah motor menerobos dan di sambut dengan suara nyaring klakson oleh pengendara dari arah berlawanan. Tapi jelas terlihat pakaian yang mereka kenakan putih abu-abu. “Itu sering terjadi di kota besar.” Pikirku.
            Kendaraan mulai bergerak perlahan sesaat setelah lampu hijau menyala. Di garis depan bahkan sudah ada yang melaju mendahulu lampu tersebut. Tak sabar. Sepertinya disana ada hadiah bagi siapa yang lebih dahulu sampai.
            Ku memutar di bundaran dan menuju berbalik arah dari sebelumnya, tetapi aku berada di jalur seberang. Tidak bisa ku pacu laju sepeda mesin ini. Semuanya berjalan seirama. Kami melintasi sebuah gedung belanja mewah, transaparan dan memiliki empat lantai. Tetapi sepagi ini gedung itu masih sepi pengunjung. Operasionalnya baru berjalan mulai pukul sepuluh. Namun sudah ada beberapa orang yang bertugas jaga dan bersih-bersih kaca yang menjulang tinggi dan mengkilap. Untuk apa memikirkan lebih jauh tentang bangunan itu, toh ia hanya tampak dari luar yang memikat. Tetapi dalamnya jauh lebih memikat, hedon dan hura-hura. 
            Next ---------->
Jumat, 13 Januari 2012 0 Messages

Panggung Cinta Bertopeng


Pagi datang begitu cepat. Baru saja aku melelapkan mata dari bergadang, suara panggilan Tuhan sudah bergema. Jika dituruti, aku pasti memilih tidur kembali. Tetapi kewajiban itu mengharuskanku. Aku ingat, Maya sering membangunkanku dan sedikit memaksa jika aku membandel. Begitulah seharusnya, saling mengingatkan. Tetapi Maya lebih sering melakukan itu terhadapku. Tak jarang gerutuku terkuak di hati. Bangkit dengan ketidakkeihlasan. Sekarang aku rindu untuk itu. Dan aku menangis. Bukan berarti itu suatu kelemahan yang ku maksud, meskipun tidak salah semuanya. Aku hanya merindu. Sekuat tenaga aku bangkit dan menuju menghadap sang Khaliq. Aku tidak boleh terburuk di ujian ini. Hikmah dibaliknya akan lebih indah dari yang pernah aku bayangkan sebelumnya. Semoga.  
"Bagaimana tidurmu, nak?"
Hani sudah pandai tertawa. Ia tumbuh lebih cepat dari yang ku duga dan lebih dewasa menyikapi kepergian ibunya. Justru rasa iba terbersit di hatiku. Kenapa anak sekecil ini sudah harus berpisah dan tak berkesempatan menatap ibunya.
"Astagfirullah" hatiku berucap. Kenapa aku seolah-olah lebih tahu. Mendahului dan berlagak sombong akan ketentuan Ilahi. Hanya di tinggal seseorang yang aku mencintainya, hatiku sudah menghakimi. Bisa saja jika kesenangan yang lain juga terangkat, mungkin hatiku akan menghujat. Kembali aku berucap dan memohon ampunan atas kekhilafan yang dibisikkan oleh syetan. 
"Saatnya mandi, sayang. Badanmu sudah terlalu wangi."
"Bi, airnya sudah siap?"
"Sudah, pak."
Sejak sebulan kepergian Maya, aku jadi terbiasa memandikan Hani. Itu lebih senang ku lakukan sendiri. Ku tahu bi Atin sibuk dengan pekerjaan yang lain, meskipun tidak salah jika aku menyuruhnya lagi. Toh ia ku gaji untuk itu. Tapi aku tidak mau melewatkan masa-masa ceria bersama anakku seperti yang sudah aku lakukan kepada almarhumah istriku. Kecuali jika aku terlalu sibuk untuk melakukan sesuatu. Maka bantuan Bi Atin sangat ku perlukan.
"Dingin? uh...nah sekarang pakai sampo dulu ya. Biar rambutnya cantik"
Hani merengek kedinginan meskipun air yang kupakai mengeluarkan uap. Seharusnya tidak dingin. Atau Hani hanya ingin bermanja-manja denganku. Aku maklum.
Hati-hati aku memegangi dan melumurkan sampo bayi ke kepalanya. Kemudian menyabuni tubuhnya. Cukup. Terakhir, menyiram seluruh tubuhnya dengan air bersih. Beres. Tangis Hani menjadi tanda berontak. Tidak lama. Berhenti ketika tubuhnya ku keringkan dengan handuk berbulu halus. Ia tertawa girang. 
"Tuh kan, habis mandikan segar. Sekarang baru benar-benar wangi."
"Bi...tolong ambilkan bedak dan bajunya Hani"
Bi Atin datang dengan barang yang ku pesan. Segera ku mengalihtangankan Hani padanya. Seseorang memanggil.
“Ya, sekitar jam sepuluh Insya Allah saya ada di kampus.” Ku kembali mengarah pada Hani. Menimangnya ketika di baringkan di atas kaki bi Atin. Membedaki dan mengolesi perutnya dengan minyak telon.
Aku beranjak menuju kamar. Menuju lemari pakaian dan mengambil sebuah amplop. Dan keluar lagi menemui Hani dan Bi Atin. Ku sodorkan amplop berisi gaji keenamnya. Delapan lembar pecahan limapuluh ribu terselip di dalamnya. Bi Atin membantu ku disini dari subuh sampai seluruh pekerjaan rumah selesai. Mencuci piring, baju, menyapu se isi rumah yang tidak terlalu besar dan memasak serta hal-hal yang tidak aku ketahui tentang pekerjaan rumah. Tak lupa, terkadang memandikan Hani.. Biasanya semua itu rampung sebelum waktu zuhur tiba. Dan ia pun pulang kerumahnya yang hanya berselang empat rumah dari rumah ku.
Aku telah siap untuk berangkat ke tempat mengais nafkah, melaksanakan tanggungjawab. Berdasi belang-belang hitam-putih dan kemeja panjang biru muda yang ku kenakan. Dipadu dengan celana panjang kain tentunya berwarna hitam. Hani juga telah siap berangkat bersweater pink tebal, celana wol hitam dan kaos kaki motif bunga matahari kecil-kecil.
“Ayo sayang. Saatnya kita pergi.” Ku memasang kursi khusus di sepeda motor untuk Hani agar terduduk di selangkangku. Bi Atin mengantar kami hingga depan pintu. Ku angkat tangan kanan Hani untuk melambai-lambai kearahnya.
“Kami berangkat, Bi. Assalamu’alaikum. O ya bi, jangan lupa kunci pintunya ya!” 
                                                                                   Next ----------------->>>
Kamis, 12 Januari 2012 0 Messages

The Last Tengkuyung

Aku gamang ketika harus ulang-alik mengitari tempat yang asing ini. Seorang manusia membawa paksa dari alam kami. Disini tempatnya tidak lagi berpasir, meskipun sama-sama berair. Lebih sempit dan terbatas. Lebih terasa semakin terasing ketika ku temukan aku sendirian. Bukannya aku melarikan diri kawan, aku hanya ingin menjelajahi medan ini. Apakah sama menantangnya dengan tempat kita dulu?
Ku mendaki dinding-dinding kayu dan juga semen. Kemana kalian? Apakah aku telah melakukan sesuatu yang menyakiti hati kalian. Sampai hati kalian meninggalkan aku sendirian, kesepian.
Langkah alotku masih ku lakoni. Semakin tinggi ku mendaki benda berwarna biru. Sesekali aku terjatuh ketika kelelahan sangat merajai. Tapi aku masih penasaran, ada apa di bangunan sebelah. Wadah besar mengepul-ngepulkan asap. Sepertinya sangat menyenangkan ada di dalamnya.
Kembali kucoba untuk mendaki. Tidak ingin gagal untuk kali ini. Perlahan tetapi pasti, aku lalui. Nah, ini pendakian tertinggi yang bisa kucapai selama berada disini. Pantas untuk dimasukkan dalam rekor kebangsaan.
Tidak!. Ini tidak mungkin bisa terjadi. Ku lihat kawan-kawanku menggapai-gapai di dalam benda itu. Lebih tepatnya tidak lagi menggapai2 pada umumnya. Mereka berenang2 sementara ujung tubuhnya telah terpotong. Aku baru sadar ternyata mereka tengah di rebus dan siap-siap dimasukkan oleh manusia ke dalam perutnya. Aku bergidik. Terbersit sebuah pertanyaan dihatiku. Apakah aku beruntung, karena bisa melarikan diri?
Tubuhku lunglai dan terasa mati. Tidak mampu aku bertahan di ketinggian ini dalam keadaan lemas seperti itu. Aku terjatuh untuk yang terakhir kali. Tubuhku terhempas keras ke dasar semen dan mengurat keretakan dimana-mana. Aku semakin tidak berdaya. Tubuhku remuk dan tidak mampu untuk sekedar membetulkan tubuh. Mataku, entah kenapa semakin sayu dan mengantuk tiba-tiba. Nafasku juga ikut tersengal-sengal kemudian. Dari kejauhan ku lihat sesosok menghampiri. Sangat tinggi. Aku terpejam. Tak lama setelah itu, beban luar biasa berat menindihku dan mengakhiri nyawaku. "Braak..." Cangkangku pecah berantakan. Tak sempat walau sedetik, aku sudah berkumpul kembali bersama teman-temanku yang lain di tempat terindah yang pernah ku lihat. 
Selasa, 10 Januari 2012 0 Messages

Alhamdulillah, honor perdana

Sebagian orang mungkin akan meremehkanku. Mana aku peduli. Biarkan saja toh itu mereka. Aku adalah aku. Yang pasti hari ini aku mendapatkan salah satu sesuatu yang spesial buat diriku. Dan aku semakin yakin, jalan ini mungkin yang harus ku tempuh selanjutnya. 50.000 bukanlah jumlah yang banyak. Memang. Tetapi namanya yang pertama itu pasti punya rasa tersendiri. Terima kasih kepada siapapun yang telah sudi menerima karyaku berupa untaian kata-kata yang belum ada apa-apanya....
0 Messages

Sin-Etron

Sinetron mengajarkan kita, betapa menjadi baik itu tidak perlu. Betapa mencinta itu harus saling menyikut dan membingungkan. Betapa harta itu nomor wahid diatas segala-galanya. Tapi kenyataannya, Sinetron yang "masyarakat" saksikan adalah realita di negeri ini. Meskipun, jujur, tidak ada kualitas alur ceritanya.
Satu, berurai air mata. Benar, seperti sinetron yang senantiasa menampilkan adegan menangis, negeri ini juga hampir setiap hari menangis.
Dua, Berbelit-belit. Juga benar. Sinetron yang berbelit-belit alurnya, entah mengapa orang masih saja suka menontonnya. Seperti negeri ini juga masalah yang tidak perlu dipermasalahkan malah diangkat kepermukaan. Secara tidak langsung media yang lihat memolesnya mendapat untung lebih. Kisahnya juga dramatis dan  sekali lagi berbelit-belit.
Tiga, Kemunculan tokoh baru. Tak salah juga. Di negeri ini selalu saja muncul sosok "news maker" di istilah oleh metro tv. Selalu membawa sebuah kontroversi dan sudah dipastikan akan menghilang tak tentu arah atau sengaja diabaikan. Banyak mereka yang mengaku pengamat mengatakan itu hanyalah sebuah upaya pengalihan isu yang tengah memanas. Masuk akal juga.
Empat, Cinta dan Harta. Tak dapat dipungkiri. Harta menjadi rotasi dari perputaran kejahatan di negeri ini. Tidak puas dan memang mungkin terlalu sedikit gaji yang diberi negara, hingga harus menilap sedikit tambahan tanpa meminta izin. Dan cinta? Mungkin bisa di kait-kaitkanlah dengan tragedi kriminalistas di negeri ini. Pencabulan anak dibawah usia dan diatas usia, bisa saja dijadikan hujah.
Lima, Bingung. Bingung apa lagi ya...

0 Messages

Heran Saja

Aku terperangah menyaksikan seorang ibu mengantarkan dengan sukarela anaknya untuk berjalan-jalan ke dunia maya via layar kaca. Luar Biasa! Dengan penuh kesadaran tentunya ia melakukan itu. Sulit untuk ku terima secara logis. Tapi itulah. Berbaik sangka, meskipun sulit untuk menemukan celahnya. Jika di cari-cari memang banyak. Bisa saja ibunya terlalu sibuk untuk mengawasi anaknya. Tuntutan kerja menjadikan melakukan itu. Atau-atau yang lain masih banyak.
Yah, anggap saja sebagai sebuah pelajaran buat diri sendiri jika berada di posisi seperti beliau itu, orang tua. Menjadi orang tua di jaman sekarang ini memang ada tantangan tersendiri dalam menghadang kemajuan teknologi yang menyusup hingga ke kampung-kampung terpencil. 
Senin, 09 Januari 2012 0 Messages

Kasihan, Mungkin

Menggiurkan memang, tetapi tidak membuat meliur. Usahanya santai dan melalukannya juga mudah. Duduk manis menunggu pelanggan, itu saja. Tetapi kasihan dengan pelanggan-pelanggan kecil. Waktu mereka habis dengan terpaku di depan layar kaca. Bermain tanpa berkeringat. Kreatifitas mereka tersedot dan sulit untuk muncul. Mereka berpagi-pagi berkunjung ke warnet di samping tempat ku sekarang. Bergerombol-gerombol. Aku heran saja kepada orang tua yang tidak terlalu peka akan hal itu. Atau mungkin mereka terlalu sibuk mengumpulkan receh dan kertas berharga? Dunia .... Satu generasi telah kau makan, bagaimana dengan generasi-generasi selanjutnya. Apakah kamu belum kenyang juga? Aku rasa usus-ususmu sangat besar untukmu membenamkan kesemua generasi bangsa di negeri ini. 
0 Messages

Bapakku dan Ayahmu


           Riak wajah itu kini terus menghantuiku. Ku pejamkan mata, mukanya makin tampak jelas saja. Tampilan di monitor lambat tapi pasti mengukir diri menjadi alis lebat, mata tajam, hidung lebar, bibir tebal hingga akhirnya menampilkan dia. Ingin ku hempaskan laptop yang tengah menyala dihadapanku. Andai saja tidak ingat bahwa aku sedang di meja kerja, pasti kepalan ini sudah memecahkan layar kacanya. Hawa panas sejak tadi sudah merayap ke seluruh tubuhku. AC terasa mati. Gigi geraham atas-bawah sudah saling merapat keras dan kaku. Kurasa darahku semakin naik. Urat-urat kepala timbul dan lebih besar dari biasanya, membentuk akar-akar menjalar kemana-mana. Meskipun aku tak bisa melihat mataku sendiri, mulai berubah menjadi kemerah-merahan. Nafasku turun naik. Hanya menunggu kesempatan yang tidak akan pernah datang, aku sudah sejak tadi berteriak sejadi-jadinya. Kertas yang telah kulumat-lumat dalam genggaman  kulemparkan kasar ke tong sampah di bawah meja. Memantul mengenai bibir rubbish bin dan berguling-guling dilantai, lalu berhenti.
            Hape bergetar di saku celana. Kurogoh, dan tertulis bunda calling. Aku sama sekali tidak berminat untuk mengangkatnya. Aku bisa menebak apa yang ingin sampaikannya. Meskipun beberapa saat yang lalu, aku juga khawatir sama sepertinya. Tapi tidak untuk sekarang ini. Benteng perjuangan ku untuk melupakan dan memaafkan kejadian dimasa lampau telah roboh dan berantakan kemana-mana. Dia,  seorang laki-laki yang tengah tergeletak di atas kasur putih di ruang D kelas II RSUD. Ku yakin saat ini dia masih tengah kepayahan bernafas hingga dibantu dengan selang oksigen  Seperti saat aku menjaganya tadi malam. Hingga subuh tadi saja, sudah 8 botol infus yang dihabiskan. Sekarang, aku tak hirau lagi. Meskipun segunung botol infus yang akan dihabiskan olehnya nanti. Aku juga tidak mengharapkan ia sembuh. Wajah beringas itu, tak ingin kupandangi, walaupun untuk sekali lagi. “Bapak kritis, ga.” Sms bunda masuk kemudian.
………….
Pasti aku akan jadi bulan-bulanan pak Hendra siang ini. Beliau memintaku menyiapkan laporan penjualan selama sebulan beserta analisisnya. “Rapat pimpinan besok siang jam 1,” aku diingatkannya kemarin. Sebenarnya itu bukanlah hal rumit. Rentang waktu 1 sampai 2 jam aku bisa menghadirkan laporan itu lengkap dan tersusun rapi di meja pak manajer operasional tersebut. Semua itu telah kusiapkan sejak awal, hanya saja analisis tentang perubahan selera konsumen yang belum rampung. Kuartal ketiga tahun ini, grafik bergerak semakin menurun kearah kanan. Konsumen memerlukan layanan yang lebih. Komplit, fleksibel dan gratis yang hampir benar-benar gratis. Ah, mana ada perusahaan yang mau laporan keuangan menuliskan kata “rugi” didalamnya. Disitulah keahlianku teruji, di perusahaan seluler ini. Namun, sebagai manajer pemasaran, sedikit banyak penurunan tingkat penjualan adalah tanggungjawabku. Dan celakanya, poin-poin penting yang ingin kucatatkan dan lengkap dengan 5W + 1 H nya hilang seketika. Semuanya berantakan. Aku tidak tahu lagi menyebutnya apa. Tawakal atau sebuah kepasrahan yang bodoh. “Ah…,” jiwa ku meronta. Denyut-denyut di kepala bagai bom waktu yang siap meledak yang akan menyemburkan darah segar. Mungkin itu yang kuharapkan jika dapat menyelesaikan segalanya.
Ku tarik nafas sedalam mungkin. Lalu menghembuskannya secara perlahan dari mulut. Setahuku, teknik ini dapat memberikan ketenangan ketika gusar. Ku bangkit dari dudukku. Nampak busa terperuk dalam karena menyangga beban tubuhku. Ku beranjak menuju dispenser di samping pintu. Ku tekan keran berwarna biru dan kusambut air yang keluar dibawahnya dengan mug kaca berwarna hitam. Ada tulisan IndoCel dengan style tak tentu arah, nama perusahaan kami. Tulisannya berselang-seling antara merah dan putih. Disisi yang lain, tertulis “ayo, hubungkan dunia”, maskot tersebut tertulis lebih unik mungkin lebih tepatnya aneh. Tetap saja berwarna merah-putih. Keras kepala tingkat tinggi melicinkan usulanku 2 tahun lalu di terima pimpinan saat itu. Keberhasilan menularkan warna kegemaran pada seantaro perusahaan, hitam. “Hitam itu lambang profesionalisme, kepercayaan diri,  dan juga lambang kehidupan yang solid. Perusahaan kita butuh itu, pak.” alasanku. Paling tidak, akan tampak dari setiap tampilan iklan, poster, brosur dan produk-produk yang diluncurkan. Menggusur warna hijau. Betul kata Bunda, aku memang keras kepala.
……………
Berada di balkon lantai lima sedikit menenangkan. Terpaan angin pagi menarik kemeja panjang biru dongker dan celana hitamku ke belakang. Seharusnya dasi putih bergaris-garis hitam tidak lepas dari jangkauan angin. Tapi setibanya dibalkon, ia sudah kulepas. Dan terperangkap di saku kemeja. Kenyataannya mug hitam masih menyisakan setengah air. Aku masih ingin berlama-lama mengangkatnya setinggi dada. Ku sapu seluruh cakrawala. Dari langit pagi yang begitu cerah. Warna biru bersih mendominasi. Ku pejamkan mata sejenak masih dengan kepala menonggak keatas. Ku paksa tubuhku untuk menghampiri sisi balkon. Ku kembali menatapi penjuru kota sejauh yang ku bisa. Berdiri tegak tugu kebanggaan kota ini di sebelah utara. Tak jauh dari situ, bertengger bangunan, sebuah gedung raksasa yang tidak lain adalah pesaing ketat kami. Pengalamannya jauh lebih banyak dibanding perusahaan yang aku pijak. Aku ingin menaklukkannya nanti karena ia hanya tinggal sebesar dempetan kesepuluh jari jemariku.
Atap-atap perumahan penduduk, instansi pemerintah, gedung-gedung bertingkat seperti tancapan pensil, tinggi dan rendah layaknya diagram batang. Sedikit demi sedikit memudar. Warna kelam menyelimuti. Ku mulai mendengar suara nafas anak kecil yang tengah ketakutan. Suara laki-laki dan perempuan yang tengah bertengkar hebat. Sekali, terdengar suara wajah di tampar dengan tangan kasar. Dan disusul dengan isakan tangis sang perempuan. Sangat memilukan.    
…………….
            Ufo berkeliaran di rumah hampir setiap hari dan pasti membentur dinding, pecah berantakan. Beruntung bagi Ufo beling. Tak retak apalagi pecah. Jika itu terjadi, Yoga Surya hanya mengintip dari sekat dinding pembatas dapur dengan ruang tengah apa yang terjadi. Tak dipinta, wajahnya pucat. Bapaknya selalu saja membawa kekalahan bermain judi ke dalam rumah. Melampiaskan marahnya pada bunda, meskipun bunda tidak punya salah apa-apa. Dan juga tidak jarang pada Yoga kecil. Walaupun hanya sebatas sumpah serapah yang Yoga mulai sedikit demi sedikit tahu artinya.
“Bunda banyak memiliki simpanan air mata,” pikir Yoga.
Padahal dia juga sama. Setiap kali bundanya menangis, Yoga juga menangis. Tak jarang bahkan lebih nyaring.
“Pak, beras kita hanya cukup untuk besok.” Ucap bunda sangat berhati-hati.
Burhan hanya mengerling sedikit kepada istrinya. Lalu melanjutkan makan dengan lahapnya. Wajar bapak seperti itu, karena beliau adalah pekerja keras. Betah duduk berjam-jam bersama teman-temannya di pojok warung. Berhalusinasi dan berimajinasi menjadi kaya raya dengan hanya mengocok dan membagikan kartu-kartu keberuntungan.
“Hei.., tak lihat orang sedang makan apa?.” Kata bapak kasar.
Bunda menjadi kecut. Namun dengan hati-hati bunda melanjutkan. “Teman-teman Yoga semuanya sudah ada baju batik. Ibu kasihan, Yoga minder dengan teman-temannya pak.”
“Memangnya uang yang saya berikan kemarin di kemanain saja? Katanya sekolah gratis. Koq masih bayar ini dan itu” Tanya bapak judes
“Pak uang itu kan juga di pakai untuk belanja keperluan harian. Jika dihabiskan semua, tidak ada teman nasi putih di atas meja.” lanjut bunda.
“pak, sekolah itu kan yang gratis hanya biaya SPP. Keperluan lainnya masih di bebankan kepada siswa.” Tambah bunda mencoba menjelaskan sedikit tentang kamuflase sekolah gratis saat ini. Tapi mungkin tidak semuanya, pikirnya.
“ah banyak alasan kamu.” Sangkal Bapak. Beliau langsung menuju ruang tengah, terus saja ke teras dan pergi melanglang buana.
Bunda tahu Yoga ada disebalik tabir triplek. Bunda juga tahu bahwa Yoga mendengarkan dan menyimpulkan sendiri kejadian tadi.
“Bapak hanya capai, nak.” Kilah bunda yang tidak mau anaknya berpikir buruk tentang bapaknya. Tapi Bunda tidak berselera untuk menjelaskan lebih. Bunda hannya menerawang keluar lewat jendela dapur. Tiga buah nangka saling berebut untuk unjuk lebih besar. Tentu saja, yang paling bawah hanya menunggu jatuh dengan sendirinya. Warnanya semakin menghitam. Begitulah keadaan di rumah jika bapak tengah menganggur dari profesinya.
………………
            Yoga tersenyum sendiri dan hampir tertawa memandangi tingkah polah makhluk animasi dari kotak hitam berlayar kaca. Berbaring sendirian berteman bantal dibawah kepalanya. Senantiasa, perjuangan kucing menangkap tikus perusak seisi rumah. Kewalahan sang kucing mengejarnya. Jatuh bangun berulang-ulang,  tapi ajaib segar kembali. Setelah susah payah, akhirnya tikus tertangkap. Namun ketika sang kucing akan memakan tikus, tiba-tiba layar menontonkan warna hijau. Hampir penuh seluruh layar kaca. Tampak ramai manusia kerdil berlari-lari di dalamnya. Berbaju putih sebagian dan sebagian warnanya hitam. Dua atau tiga orang berwarna kuning. Di sisi-sisi petak hijau, gerombolan manusia lebih kecil lagi. Tak nampak tengah berdiri atau duduk. Bergerak-gerak melambaikan kain berwarna-warni. Ada manusia berbicara. Tapi tidak terlihat batang hidungnya.
            Remote TV sudah ada di tangan kanan bapak. Duduk di kursi dengan kaki kanan menyilang di atas kaki kiri. Melototi TV dengan muka tegang dan harap-harap cemas. Sesekali berteriak dan berkomentar melebihi sang komentator. Mengatur melebihi sang pelatih. Tapi malang, sang pemain tak bisa di dikte olehnya. Tak mungkin ia merebut benda kecil itu dari bapaknya. Kecuali jika ingin menjadi santapan mulut bapak sore itu. Pertandingan sepak bola Liga Indonesia belum sampai separuh jalan.
“Pergi sana!”
Yoga merajuk. Berjalan menyentakkan kaki ke lantai. Getarannya begitu terasa hingga ke Bapak. Bapak berucap marah. “ Eh, anak ini!”. Pertandingan sepakbola terlalu menyita perhatiannya untuk menuruti sifat amarahnya kala itu. Bunda tak bisa berbuat banyak. Dia dan Yoga harus mengalah. Untuk kemenangan kemudian. Mungkin.
            Di kamar, Yoga yang tidak terlalu suka sepak bola berduka ala anak kecil. Melempar-lempar bantal ke dinding dan mengacak-acak pakaian di lemari kain. Kini dia benar-benar membenci permainan dua tim memperebutkan satu bola di petak hijau tersebut.
“Saya akan pergi ke daerah. Ada pembangunan sekolah. Tiga bulan” Ungkap bapak
“Kapan berangkatnya pak?” Tanya ibu yang keluar dari kamar anaknya yang tengah merajuk.
“Besok.” Balas bapak singkat.

……………..
            Tidak ada lagi rasa kerinduan. Semuanya sirna dengan isu yang menggelinding lebih cepat terdengar dari pada yang empunya badan datang ke rumah. Bunda tidak lagi menyimpan senyuman sambutan selamat datang kembali. Penasaran dan ketidakpercayaan mengisi setiap waktu yang terlewati menunggu kepulangan suaminya.
“Jadi kamu lebih percaya dengan ucapan-ucapan mereka, hah..?”
“Lalu siapa yang harus saya percaya? Bapak? Sudah terlalu banyak kebohongan yang tidak pernah saya tanyakan kebenarannya pak. Dan sekarang, masalah ini tidak bisa dibiarkan begitu saja. Ini tentang perasaan dan kehidupan seorang wanita. Sekarang bapak jujur!. Apa benar apa yang ibu dengar?” Tanya bunda menggerogoti
“Plakk…,” satu hadiah dari suami yang entah bunda masih cintai atau tidak. Yang pasti bunda masih mampu bertahan demi sang buah hati.
Rintihan seorang wanita hamil delapan bulan lebih pun pecah. Menjadi tangis tersedu-sedu.Dan parahnya, perkara-perkara serupa sering kali disaksikan langsung oleh Yoga. Tak terkecuali saat itu. Yoga terlanjur menjadi anak pendiam dan sering kali merasa ketakutan mendengar suara-suara keras. Jiwanya seketika luntur apabila bersua dengan mereka yang lebih dewasa. Terkecuali guru-guru di sekolah yang dianggapnya sangat perhatian terhadap anak-anak dan tentu saja bundanya. Dia hanya melihat anak-anak seusianya tertawa, melompat, berlari, mematung, saling pukul-pukulan dari balik tirai rumahnya. Dan satu-satunya teman Yoga adalah Rena, wanita berusia 30 tahun sekaligus bundanya sendiri. Yang  menghabiskan banyak air mata untuk setiap episode kehidupan.
            Yoga membuka pintu kamar. Bunda berusaha untuk menyembunyikan kesengsaraannya. Disekanya air mata, dan mulai melebarkan senyum keterpaksaan. Yoga membelai wajah bunda. Menghapus sisa air mata dengan jari-jarinya.
“Sudahlah, nak. Jangan bersedih. Bunda tak ingin kamu menjadi anak yang lemah. Laki-laki itu harus kuat dan tegar.” Bunda berucap dengan suara masih parau dan terbata-bata.
Apakah sosok seperti bapak yang ibu maksudkan. Kuat, tegar dan sering menyiksa. Benar. Yoga tak pernah melihat bapak mengeluarkan air mata. Yang ada hanya tertawa, memekik dan berkata kasar.
“Maafkan Yoga, bunda.” Suara Yoga pelan.
Dua ekor cicak di dinding saling beradu. Memperebutkan hidangan malam. Saling dorong, dan tindih menindih. Cicak yang ukurannya lebih kecil terjatuh ke lantai.
“Menurutmu, cicak mana yang menang?”
“Yang lebih besar, bunda.”
“Betul, tapi yang benar-benar menang adalah yang terjatuh ke lantai. Tahu kenapa?. Cicak yang besar merayap dan menunggu mangsa yang beterbangan dan yang hanya sekali-kali menempel di dinding. Dan cicak kecil bisa berkeliaran mencari lebih banyak serangga yang tidak punya sayap maupun yang bisa terbang.”
Penjelasan bunda terlalu dangkal. Dan cenderung di ada-adakan. Bukankah cicak yang besar juga bisa turun dan bergerilya di lantai kemudian.
“Yoga ingin tidur dengan bunda.” Tambah Yoga selanjutnya. Yoga dan bunda sama-sama tahu bahwa Bapak tidak akan pulang kerumah malam itu. Selalu. Sebuah pertengkaran berakhir dengan bapak yang dengan leluasa melangkahkan kaki keluar rumah tanpa memberitahu kemana arah tujuan. Seleluasa bapak pulang nantinya.
“Ya” jawab bunda dengan lemah lembut.. Karena kamar tiba-tiba menjadi gelap gulita. Ibu merebahkan diri disamping Yoga. Menghela nafas. Mengisyaratkan beratnya beban kehidupan rumah tangganya. Mungkin juga ibu tengah mengelus-elus adik di dalam perut yang membuncit.
………………..
Larut malam menyandera penduduk desa diruang-ruang persegi empat. Bergulung dengan selimut-selimut hangat. Tapi tidak semua selimut terasa hangat. Ruang-ruang tengah menjadi lengang. Teras-teras rumah bercahaya lampu temaram. Binatang malam pun sudah sejak tadi berpesta pora di balik-balik pepohonan rindang di sekeliling kampung. Suara gagak dan burung hantu membawa nuansa mistis dan sering dikaitkan dengan aroma kematian. Beberapa penduduk membangkang dan memberontak. Tidak kenal dan mengerti bahasa malam. Melepaskan diri dari sekapan gelap gulita. Bertemu di warung-warung dengan penerangan lampu badai bercahaya seadanya. Tumpukan uang ribuan ditengah menunggu untuk di jamah oleh sang pemenang setiap rondenya. Tak ada yang berani untuk menegur apalagi mengganggu. Sudah menjadi rahasia umum.
Seorang wanita hamil tua menutup seluruh auratnya. Meskipun dirumahnya sendiri dan tidak ada yang melihatnya. Kecuali Tuhannya. Bersujud dan memohon untuk keselamatan diri beserta keluarganya dari panasnya api neraka. Air mata masih belum habis. Ia tumpahkan lagi ditengah malam itu. Lebih banyak.
“Ya Allah, aku tidak mengenal siapa dia. Jika benar apa yang ku dengar selama ini. Berilah ketabahan kepada hamba. Berikan kekuatan kepada perempuan itu, karena dia hanya seorang korban. Hamba tidak tahu apakah ada selain dirinya diluar sana. Hamba ikhlas. Tunjukkanlah kami semua jalan taubat, tak terkecuali suami hamba…”
Wanita itu melanjutkan doanya dengan kata-kata tak terlafazkan. Berbisik-bisik didalam hati. Karena dia yakin Tuhannya Maha Mengetahui segala isi hati.  
………………
            Bunda masih hanyut dalam ritual tahajudnya ketika mendengar pintu depan digedor paksa. Namanya berulang-ulang disebut. “Bapak?” pikir Bunda dan segera bergegas.
“Siapa suruh kunci pintu. Hah!”
“Pikir ibu bapak tidak …”
“Tidak pulang maksud kamu? Jadi kamu ingin saya tidak pulang lagi kerumah ini?”
“Bukan itu maksud ibu, pak.”
“Aalah…”
Bapak menyelonong masuk. Membiarkan bunda sendirian mengunci pintu. Bunda tidak tahu apakah bapak kali ini membawa kekalahan atau kemenangan. Tidak ada lagi bedanya. Yang bunda kenal adalah suaminya kini seseorang yang sangat emosional. Tak terlewatkan untuk hal-hal yang remeh temeh.
            Yoga tidur pulas di atas materas yang tidak lagi empuk. Siswa kelas 4 SD itu meninggalkan kehidupan nyata. Menggantinya dengan mimpi-mimpi indah tentang sebuah keluarga yang saling menyayangi. Seorang bapak yang tetap menyayanginya hingga 4 tahun terakhir ini. Seorang bapak yang juga menyayangi bundanya. Berjalan-jalan di pasar malam. Membelikan topi baru., es krim, masuk rumah hantu dan menjerit bersama-sama. Memasukkan bola kedalam keranjang meskipun tak dapat hadiah boneka. Karena Yoga mamang tidak memerlukan mainan anak perempuan tersebut. Tapi sinar lampu mengganggu tidurnya.
“Saya tidak mau Yoga tidur di kamar ini!” desak bapak sambil menunjuk-nunjuk Yoga yang tengah menggeliat sejenak.
“Biarkan saja pak. Kasihan. Sudah pulas begitu.” Sahut ibu sepelan mungkin.
“Pokoknya saya tidak mau dia tidur disini. Mengerti tidak!” ucap bapak keras kepala
“Pak, sudah larut begini. Biarkan saja pak.” Bela ibu lagi
“Atau…” bapak menuju sosok Yoga. Membangunkan paksa. Mengguncang-guncangkan kaki, lengan, dan kemudian kepala. Yoga mengerjap-ngerjapkan mata sebentar. Dan kembali tidur.
“Yoga…Bangun!” perintah bapak tegas. Merasa tak diambil peduli. Bapak menyeret lengan Yoga paksa. Dan badannya pun ikut terseret. Bunda mencoba melepaskan cengkraman tangan bapak. Sambil berteriak histeris. Tak rela anaknya diperlakukan seperti itu. Tubuh yang diseret bersuara memanggil-manggil bunda.
“Pak…pak…” berulang-ulang bunda berucap. Memohon sebuah belas kasihan. Bunda menarik-narik tubuh dan lengan Yoga, tapi kalah kuat. Wajah beringas dan marah bapak sangat menyeramkan.
“Ayo!.” Kata bapak lagi tak kalah kasarnya dari sebelumnya
Bunda berganti, mencoba membuka jari-jemari bapak. Tapi lagi-lagi kalah kuat. Satu dorongan kuat menjadikan bunda terduduk di lantai. Melihat itu Yoga meraung keras. Bunda dan Yoga sama-sama sudah bersimbah air mata. Malam tidak lagi menenangkan dan menyandera. Mukena bunda bagian atas terlepas sejak peristiwa tarik-menarik tubuh Yoga tadi. Merasa tidak lagi mampu berbuat banyak, bunda akhirnya pasrah akan kemungkinan terburuk.   
“Burhan!”
Jam tidak lagi berputar. Binatang malam tidak lagi berpesta. Semuanya terhenti dan membisu. Yoga ternganga. Bunda terpaku. Dan bapak, bola matanya hampir-hampir keluar. Mukanya memerah. Dan perlahan-lahan melepaskan genggamannya dari tangan Yoga. Melangkah juga perlahan-lahan. Menuju bunda kemudian. Bunda menguatkan diri untuk bangkit. Namun, belum tegak seimbang posisi tubuhnya, tangan bapak sudah mencengkeram kuat bahunya. Sambil mengguncang-guncang seperti yang dilakukannya pada Yoga beberapa waktu sebelumnya. Lebih kuat bahkan.
“Apa katamu tadi?, Burhan!”
Kala itu bapak benar-benar kerasukan. Memandang bunda layaknya musuh yang mesti dihapuskan. Satu dorongan kuat kembali bapak buat. Tubuh bunda berbalik dan akhirnya berbenturan dengan dinding. Tak sempat melindungi perutnya, bunda merasakan nyeri yang teramat sangat. Bunda terduduk kemudian. Ada cairan yang mengaliri betisnya. Warna merah meresap di kain putih yang di pakainya. Kemudian terbaring tak sadarkan diri.
………………
            Kepanikan bapak mungkin sekedar agar tidak meringkuk di penjara. Di sel kan sebagai pembunuh istrinya sendiri. Bunda tengah ditangani di ruang ICU. Tak banyak yang diharapkan keselamatan sang bayi di perutnya. Atau bunda sekalian. Kecuali sebuah keajaiban. Bukan kah itu mudah bagi Sang Pemilik Nyawa?. Tapi lebih beruntung jika sang bayi tidak bertemu dengan sosok bapak seperti itu. Bapak mondar mandir di depan pintu. Menunggu cemas dengan sebuah kepastian. Mukanya menampakkan kekhawatiran dan penyesalan. Menurut Yoga itu hanyalah sebuah kepura-puraan. Setelah apa yang bapak lakukan tadi malam.
Waktu berputar terasa lamban. Tiap detiknya bagai sehari. Yoga bersandar ditubuh Minah adik kandung bunda. Masih menyimpan kesedihan mendalam. Dalam hatinya berdoa agar bunda dan adik kecilnya selamat. Yang tidak yoga ketahui adalah pandangan tajam Minah pada bapaknya. Pandangan penuh amarah tertahan. Pandangan menyalahkan.
            Setelah 2 jam lebih, lampu di atas pintu yang sedari tadi berwarna merah berganti hijau. Terlihat ganggang pintu ditekan ke bawah. Laki-laki bermasker hijau, bertutup kepala hijau dan berbaju seperti jubah, juga berwarna hijau muncul disebaliknya. Perlahan membuka tutup mulutnya dan tanpa berkata apa pun. Menggeleng-gelengkan kepala.
“Maaf pak, kami tidak bisa menyelamatkan bayi bapak. Kondisi ibu sekarang sangat lemah.” Kata dokter itu kemudian. Berlalu.
…………….
            Aku masih tetap berdiri. Di balkon lantai 5. Masih rela dibelai-belai oleh angin dan hawa mulai terasa terasa hangat. Pandanganku tertuju kebawah. Jalan As lancar merayap. Manusia terlihat sama kecilnya seperti yang ku saksikan di petak hijau dulu. Ku tersenyum sinis, kesan itu masih ada. Aku tetap tidak suka dengan permainan itu Walaupun kebencianku sudah pupus. Karena waktu menjelaskan, sikap bapak yang otoriter saat itu.
            Lebih dari satu jam aku disini. Laporan tidak lagi aku peduli. Murka pak Hendra ku abaikan. Ego menuntunku. Ku kembali teringat tentang bunda. Dia sekarang apakah bersedih atau bahagia sebenarnya. Akan ditinggalkan oleh sosok yang kerap menyiksanya dulu. Bunda, dari pintu mana engkau ingin memasuki surga ketika semua pintu syurga terbuka untukmu. Mataku berbinar-binar.
……………….
Tadi Pagi.
            Sepulang menjaga bapak dan shalat subuh, pukul 4.30, bunda datang menggantikan ku. Ku mencium tangan beliau dan pamit pulang. Satu minggu, keadaan bapak tidak bisa ditangani oleh rumah sakit umum di kabupaten. Dokter merujuk bapak ke RSUD di kota ini. Sudah dua minggu bapak koma sejak kejadian itu. Tabrakan truk pengangkut sawit yang bapak kemudi dengan bis umum penyebabnya. Tulang belakang dan kaki patah. Tengkorak kepala mengalami keretakan.
            Setibanya di rumah, aku menuju Fadhil. Bocah berusia PAUD ku masih tertidur nyenyak. Ku kecup keningnya. Ku merebahkan diri kembali di kamar tidur. Adila, istriku, bertanya singkat tentang keadaan bapak.
“Tak ada perubahan.” Jawabku singkat.
“Ma, bangunkan papa jam 7 ya. Papa ingin tidur sejenak.”
“Insya Allah.”
……………….
Hampir dua jam yang lalu.
            Ruanganku berada di lantai 5 dari 7 keseluruhan. Jam ditangan baru menunjukkan pukul 08.02. Belum sampai di muka ruangan bagian pemasaran, seorang OB keluar dari sana. Pemuda itu bernama Jaya. Tanpa menyapaku ia langsung menuju ruangan sempit di pojok koridor. Berjalan memunggungiku. Ku menatapnya. Ku teringat canda staf-stafku bahwa muka ku mirip dengannya. Terutama Reynold.
“Hey ga, matanya kok mirip denganmu ya? Sama-sama tajem.” Godanya padaku sewaktu Jaya mulai kerja disini setengah tahun yang lalu.
“Bibir dan bentuk tulang wajah juga mirip lho, ga.” Lanjutnya lagi.
“Ah, kamu Rey. Ini hanya seperti Sandra Dewi dengan artis korea itu. Siapa? O iya, Song Hye Kyo atau Brad Pitt dengan Duncan James, kawan.” Aku menimpali. Reynold tidak memanggilku dengan sebutan “pak” karena kami berdua lulusan universitas negeri kota ini, jurusan yang sama, sama-sama melamar di perusahaan ini juga. Dan beruntungnya, sama-sama diterima. Hanya saja, karirku lebih menanjak dari pada dirinya. Tapi aku salut, dia tipe seorang teman yang tidak ada rasa dengki sedikitpun.
“Ingat!, aku jauh lebih ganteng. Cam kan itu!” Lanjutku kala itu. Kami berdua pun saling tertawa.
“Jaya.”  Panggilku
Jaya menoleh dan menghampiriku.
“Maaf pak, ada apa?. Oh iya, kopi susu atau teh susu pak?” Tanya Jaya padaku
“Kopi susu. Tapi nanti saja. Apakah sekarang kamu tengah sibuk?” Ku berbalik bertanya.
“Tidak terlalu untuk saat ini.” Jawab nya.
“Ikut saya sebentar”
Tentu saja aku ingat tentang laporan penjualan yang harus ku siapkan. Tapi, tak ada salahnya menunda barang sejenak paling lama satu jam untuk sekedar ngobrol dengan OB yang baru ku tahu namanya saja pikirku. Aku sendiri juga tidak tahu, kenapa aku ingin ngobrol dengannya.
            Setelah memesan Cappucino panas, kami mulai mengobrol ringan. Tak dapat ku pungkiri. Ada kemiripan wajahku dengannya.
“Bagaimana kerja mu, ya?” ku membuka pembicaraan
Jaya sedikit kaget. Karena untuk pertama kalinya ada orang di perusahaan yang mau mentraktirnya seperti ini. Mungkin tidak akan ada kali ke dua. Setelah menyeruput minuman panasnya, Jaya menjawab “baik pak.”
“Dari mana asalmu?” Tanya ku lagi. Ternyata Jaya tipikal pendiam atau terlalu canggung. Sehingga dia sulit untuk berkata lepas.
“Dari Kampung Baru, pak. Di pulau Kalimantan. Perlu waktu tiga hari dua malam di atas kapal untuk sampai kesana pak. Dan kurang lebih 10 jam perjalanan baru sampai di rumah dari pelabuhan.” Jelas Jaya mulai memanjang.
“Kenapa bisa terdampar dikota ini?” Tanyaku belum putus.
“Orang bilang kota ini menjanjikan sejuta harapan. Aku ingin membuktikannya. Teman SMP ku, Dodi, Bapaknya bekerja di perusahaan ini. Sudah hampir 7 tahun mereka disini. Aku harus berterima kasih padanya. Mohonnya pada Bapaknya, menciptakan lowongan kerja buat saya. Meskipun akhirnya saya tahu, hutan beton disini begitu ganas.”
“Siapa?”
“Pak Hendra. Pak Hendra Kusuma.”
Aku mengangguk. “ Orang tua mu?”
“Ibu sudah meninggal ketika umurku baru beranjak satu tahun.”
“Maafkan saya.”
“Tidak apa-apa pak.”
“Bapak mu?” tanyaku lebih jauh
“Ayah? Kata ibu ayah telah meninggal ketika aku masih dalam kandungan. Tapi setelah pemergian ibu, nenek bilang ayah masih hidup. Sebenarnya ibu meminta janji nenek agar tidak memberitahukan tentang ayah. Tapi nenek mengingkarinya. Nenek bahkan bercerita banyak.” Pandangan Jaya menembusi tembok-tembok kantin. Bahkan lebih jauh menembus penghujung dunia. Membayangkan sosok yang disebutnya ayah.
…………………
            Suriati, perempuan desa yang tidak lagi patut untuk dipanggil gadis karena termakan bilangan umur. Perempuan yang pandai menjaga kesuciannya dan jarang bergaul tak jelas semasa belia dan remajanya. Meskipun belum lengkap melindungi auratnya, tapi dia selalu menggunakan pakaian yang tertutup. Wajahnya biasa saja. Tapi hatinya luar biasa. 31 tahun waktu yang sudah termasuk lewat untuk membangun mahligai rumah tangga baginya. Dia hanya pasrah, semoga di pertemukan segera dengan jodoh yang terbaik dunia dan akhiratnya.
            Tapi tidak di mata Burhan. Buruh bangunan itu melihat Suriati adalah sosok wanita yang memiliki daya tarik tersendiri. Berbeda dengan wanita-wanita lainnya. Lemah lembutnya, sopan santunnya. Memikat hatinya.
Proyek sekolah menengah pertama negeri mentakdirkan Burhan dan 20 teman-temannya bermukim di desa itu selama tiga bulan. Setiap hari mereka mengerjakannya. Kecuali hari Jum’at. Prosesi pembangunan gedung pendidikan itu bekas lapangan sepak bola, tepat di depan rumah Suriati. Lambat laun, hari-hari dalam minggu pertama Burhan sudah mengetahui nama Suriati.
Perputaran waktu membawa Burhan untuk datang kepada orang tua Suriati sebagai lelaki bujang. Dan meminta persetujuan untuk mempersunting anaknya. Masih dalam masa-masa pengerjaan bangunan sekolah tentunya. Ibu Suriati merasa senang, akhirnya anaknya mempunyai pendamping hidup. Apalagi, dilihatnya sosok Burhan sering pergi ke Masjid di waktu maghrib. Pantas untuk putrinya. Lebih lagi Suriati. Burhanlah sosok pangeran yang ditunggunya. Yang ada dalam setiap mimpi-mimpi indahnya. Saat itu tiba, pikirnya. Tersipu malu ketika sang perjaka datang memintanya.
Tak lama berselang, acara walimahan pun diadakan seadanya. Tak banyak yang diundang. Warga se RT saja dan kerabat-kerabat dekat Ibu. Akad nikah juga dilangsungkan pada hari bersamaan. Orang-orang desa memanggilnya dengan sebutan nikah dibawah tangan. Karena tidak ada catatan dan penghulu. Di nikahkan oleh Saudara kandung laki-laki ibu.
Hari berganti bilangan bulan dan tak terasa mencapai 3 bulan sudah. Pernikahan antara Suriati dan Burhan tetap langgeng. Meskipun terkadang ada sengketa kecil. Burhan tidak pernah marah-marah besar. Sepertinya dia sangat menyayangi istrinya. Kenyataannya, gedung sekolah negeri tersebut sudah berdiri tegak. Tinggal polesan warna dan penyediaan bangku saja agar siap digunakan untuk proses belajar mengajar. Yang pasti, tugas para buruh bangunan sudah pun usai. Saatnya untuk mereka kembali pulang menemui sanak keluarga yang ditinggalkan. Melepas rindu.
“Sur, saya harus pulang. Mau menjenguk Bapak. Sewaktu di tinggalkan beliau sakit-sakitan. Tidak lama. Sebentar saja.” Burhan mengungkapkan alasan untuk pulang ke tempat dia berasal.
“Tapi abang janji, tak akan lama kan?” ucap Suriati sedih
“Ya, abang janji.”
…………….
“Kata nenek, ibu meninggal dalam penderitaan akan sebuah penantian kepulangan ayah. Hingga ibu tidak lagi sadar bahwa perutnya kian membesar. Setiap saat ibu lewatkan dengan hujan air mata. Ibu jadi semakin pendiam. Dan tambahan satu sifat baru, pemurung. Tak banyak senyum lagi mengembang di bibirnya. Kata nenek juga, ayah tidak meninggalkan apa-apa selain zuriat di rahim ibu.” Kata-kata Jaya tertahan.
Tak ada satu katapun dari mulut Jaya yang terlewat dari pendengaranku. Sedikit banyak aku bisa merasakan bagaimana perasaannya. Kerinduan untuk memanggil ayah atau sebuah kemarahan karena telah membiarkan ibunya sendirian.
“Apakah kamu tahu sekarang ayahmu dimana?” Tanyaku memecah lamunan Jaya
“Kata nenek, ayah ada di daerah disekitar kota ini. Ku sangat berharap untuk bertemu dengannya. Aku hanya ingin melihat sosoknya seperti apa. Aku juga tidak tahu, apakah aku sanggup memanggilnya ayah. Aku hanya ingin mengatakan kepadanya bahwa ibu sangat mencintai dan sekaligus kecewa dengannya. Seperti yang nenek katakan.” Jaya mengutarakan keinginannya.
Rasa terharu mengguncangku. Ku kira air mataku diwaktu kecil sudah habis. Ternyata masih tersisa sedikit. Ku tahan ia untuk keluar. Aku tak mau terlihat lemah di hadapan orang yang tengah ku ajak bicara.
“Dengan apa kau ingin mencarinya?” Tanya ku kemudian.
Jaya mengeluarkan dompet nya. Kempis. Berisi uang 50.000 dua lembar, 10.000, dan beberapa lembar uang seribuan. Ada juga KTP disana. Dari balik tumpukan uang itu, Jaya mengeluarkan pas photo hitam putih lusuh berukuran 3x4.
Berkata Jaya sambil menyodorkan photo itu ke arah ku “Nenek menyelipkannya di saku baju ketika saya akan berangkat.”
……………….
            Enam sms masuk dari operator di mana aku mengais nafkah sebaik saja aku mengaktifkan hape. Semua berisi laporan tentang seseorang yang mencoba menghubungiku. Dua dari bunda dan selebihnya dari Adila. Tiga pesan lainnya berasal dari “Bidadari Qu”, sang pengirim.
Asslmkum, pa. knp hpnya gak di aktifkan. Sesibuk itukh?Bpk sdh sadar tk m’buka mata n bcra t’tatih2. Bnda sgt snang. Bpk meminta maaf pd bnda n bunda mengiyakan. Bpk menemukan mama n jg cucunya, ttpi tdk anaknya. Dia mencarimu, pa. Bpk ingin sekali b’bicra. Enth ap yang mau dismpaikannya. Bnda berujar papa tengah sibuk. Bpk menangis tiba2.
Ku beralih ke pesan selanjutnya.
Pa, ad apa? Apkah urusan kantor lebh pentg drpd Bpk yang tengah sekarat sekarng? Bpk melepas slang oksigennya sendiri. Bpk putus asa. Skarng Bpk tengah meregang maut. Itu yang kami yakini. Tubuhnya berkringat dingin. Atw mungkn papa masih dendam sebnrnya? Jangn begitu pa. Mama mengerti ap yang papa rasakan dulu. Tpi skarang bukan saatnya. Apkh papa ingin Fadhil melihat papanya memperlakukan kakeknya seperti itu. Anak2 kita merekam ap yang orang tuanya lakukan pada kakek neneknya n pd lingkungannya. Seperti papa menyaksikan penderitaan bunda dulu.
Jiwaku tertusuk kata-kata Adila Permata. Bidadari ku selalu menyinarkan kilauan permata dalam kehidupanku. Beruntung dia menjadi sahabat sejati dalam perjuangan hidup ini. Seperti beruntungnya dia mendapatkan ku, katanya di awal pernikahan.
Ku kembali ke pesan terakhir yang belum dibuka.
            Mama tdk tahu harus b’kata apa lagi. Jika itu pilihan papa. Disini bunda terimbas pasrah Bpk dan memupuk keikhlasan jika saat ini Bpk harus b’temu dgn Malaikat Maut. Napas Bpk tersengal-sengal. Tak sadarkan diri. Mulutnya bergumam-gumam tak jelas. Merasa selalu kehausan. Sekali terlintas menybut sur. Kami tak tahu apa itu?. Ibu sekarng tengah menyuapi bpk air putih. Pa, Mama mohon. Kesini segera.
            Kata “Sur” mengingatkanku pada seseorang kembali. Jaya. Bergegas ku berlari untuk tidak lagi tertahan di balkon itu. Tak sempat lagi ku hitung sebenarnya berapa lama aku berdiri disana. Dua jam bahkan lebih pikirku. Ku terus berlalu menuju ruang sempit di ujung lorong. Tak ku hiraukan makhluk hidup atau mati di sekitarku. Berpapasan dengan pak Hendra di depan pintu bagian pemasaran.
“Bagaimana laporannya, ga?”
Tak ku ambil peduli pertanyaan pak Hendra. Meskipun mungkin karir ku dipertaruhkan siang nanti. Aku tidak punya banyak waktu untuk menyapanya dan meminta izin untuk keluar sebentar dan juga memohon maaf atas laporan itu.
            Memasuki ruangan OB, tak ku temukan sosok Jaya. Ku berlari menuju ruang bagian pemasaran. Pak Hendra masih terdiam bingung di depan pintu melihat tingkahku. Jantungku berdegup kencang. Aku mengejar waktu atau waktu sesunggunya mengejar dibelakangku. Lagi-lagi tidak kutemukan sosok Jaya.
“Rey, kamu lihat Jaya?” tanyaku panik pada Reynold yang tengah memfotocopy dan membelakangiku. Dia berbalik
“O, barusan saya menyuruhnya membeli gado-gado di bawah.”
Ku berlari sekencang yang ku bisa. Ketika membuka pintu pak Hendra masih berdiri didepannya dan masih dengan keheranannya.
            Terlalu lama untuk menunggu tanda kearah bawah menjadi berwarna merah. Tangga darurat tujuanku selanjutnya. Ingin rasanya aku menjadi seperti cheetah dan menemukan Jaya segera. Nafasku terengah-engah setibanya dilantai dasar. Jaya baru saja menutup pintu utama gedung ini. Ku mengejarnya. Ku tak tahu lagi apakah sebenarnya aku masih masih punya nafas. Mulut ku terasa kering dari liur. Sedikit kuupayakan menyusun pernapasan. Tapi itu terlalu lama. Dalam suara putus-putus aku berucap, “mau kah kamu bertemu ayahmu?”.
…………….
            Kemunculanku disambut dengan tangisan oleh bunda dan panggilannya, “nak…”. Mata Adila menggambarkan kegembiraan tak terkira dan juga dengan tangisannya disana. Fadhil masih tidak tahu apa yang tengah terjadi sebenarnya. Aku, mematung di dekat pintu. Ku lihat tubuh bapak tak jauh berbeda seperti yang ku jaga tadi malam. Sekali lagi, ternyata simpanan air mataku masih banyak. Dan kali ini tumpah dengan sendirinya. Ku melangkah kan kaki perlahan. Bahkan lebih lamban dari setengah detik. Menuju bapak. Suasana di dibungkus oleh keharuan, kesedihan, dan kegalauan. Semuanya menyatu. Bapak tidak lagi sadar. Hanya tarikan dan hembusan nafas cepat dan sakit yang menandakan bapak masih hidup. “Pak…” lirihku di dekat telinganya. Ada aliran bening seketika keluar dari pejaman matanya. “Ampun kan Yoga pak.” Ucapku lagi. Sama sekali tidak ada tanda-tanda bapak akan menyahut. Satu tarikan napas panjang oleh bapak dan berhenti.
“Innalillahi wainnailaihi roji’un” ucap kami serentak. Aku memeluk tubuh bapak. Bunda memeluk kami berdua. “Bapak…” ujar bunda panjang.
            Perlahan mendekat, seorang anak muda berusia 22 tahun, berdiri tanpa kata tepat dibelakangku yang tengah merangkul jasad bapak. Mendung menggelayuti mukanya. Hujan deras pun tidak terbendung. Air itu sudah mengalir di pipinya hingga menetes di seragam putihnya.
“Ayah…” katanya hampir tidak terdengar olehku.
Jaya telah membuktikan bahwa kota ini memiliki sejuta harapan.

(he..he.. masuk dalam cerpen rijek annida-online...tak apelah..klw rajin baru di edit)
           


 
      
Minggu, 08 Januari 2012 0 Messages

Seven

Perlu tujuh tahun untuk ku mengelarkan study dan mendapat gelar sarjana. Dua tahun terakhir, aku bercita-cita untuk menjadi the last student khususnya di satu angkatan dan jurusan ku. Terealisasi. Aku benar-benar menjadi the last student. Jelas! itu lebih baik daripada the last samurai.
Tujuh tahun? bagi banyak orang mungkin terlampau keterlaluan bodohnya. Mana aku peduli. Bukankah aku sendiri yang tengah mengambil studi dan aku lebih tahu apa sebabnya aku melakukan itu. Kadang terpojok juga sih, mendengar sindiran orang-orang. Tapi ku anggap angin lewat saja. Pikirku, seseorang itu di hormati bukan karna statusnya sebenarnya, tetapi karena prinsip. Memang itu tidak nampak instan. itu akan tampak butuh waktu yang lama. Tak lepas, orang terdekatpun seperti kebanyakan mereka. Tetapi mereka terlanjur bosan untuk mengingatkanku agar lulus segera. Semua punya waktu dan tempat.
Aku merasa geli sendiri dengan proses kelulusan itu. Benar-benar di hujung tanduk. Lewat sekitar satu bulan dari seharusnya aku di DO. Toleransi dari kampus ku ketahui ternyata masih ada satu semester untuk mahasiswa "bermasalah" seperti ku. Kemudahan benar-benar Allah limpahkan kepadaku saat itu. Jurusan tengah menggodok akreditas. Aku di untungkan dan dipermudah tepatnya. Mahasiswa Abadi mengiang-ngiang di telingaku. Tidak ada lagi teman satu angkatan di sana. Semuanya junior berjarak 3 sampai 7 tahun di bawah.
Proses penyelesaian berjalan lancar dan cepat. Dihitung-hitung cuma sebulan lebih sedikit. Dan hari yang di tunggu-tunggu pun datang. Sidang kompre/skirpsi.
Lagi, alhamdulillah beruntungnya, dosen penguji yang dijadwalkan tidak hadir keduanya, tetapi dosen pembimbing lengkap. Dosen senior lagi sibuk rapat pemilihan ketua program ekstensi. Singkatnya, hanya dosen yang benar-benar kosong jadwal di minta untuk menguji beberapa mahasiswa, including me.
Sebelumnya...
Di ruang seminar, dua orang mahasiswi di dua level di bawahku tengah sibuk dengan catcil mereka. Menghafal dan mengingat kemungkinan-kemungkinan pertanyaan dosen kelak. Aku santai saja. Sudah terlalu capek untuk itu. Tidur malam sebelumnya terasa terjaga. Sampai pukul 10 malam berkas untuk maju baru selesai di print. Semuanya mendadak. Dan planning persiapan untuk pagi juga sudah sip. Untungnya lagi, itu terjadi di bulan ramadhan, jadinya aku tidak perlu repot-repot mempersiapkan makanan berat untuk para dosen.
Paginya tiba, ternyata ada di beberapa halaman terjadi error. Ku print ulang, eh tintanya habis. Tamat! Belum lagi. Setelah semuanya kurasa lengkap, ku bergegas menuju rental komputer. Di perjalanan kuraskan ban sepeda motor terasa kempis. uh....berpacu dengan waktu. Ku lihat jam hampir pukul sepuluh. Ku berhenti sejenak sambil berdoa semoga kondisi kendaraan benar-benar fit. Ban kempis hanya imajinasiku saja. Tak ada halangan menuju rental. Selesai nge-print aku kembali di sibukkan dengan menyusun berkas. Keringat sudah sedikit membasahi kemeja panjang putih. Dasi sengaja tidak aku pasang, gerah. Jadwal untuk ujian sidang memang pukul 10. Tetapi biasalah, jam Indonesia lebih lambat dari jam dunia.
Saat Ujian...
Seorang dosen yang belum tergolong senior menjadi dosen pengujiku. Hanya dia sendiri. tidak ada yang lain.  Dua dosen pembantu di ruangan seminar juga tengah menguji dua mahasiswi tadi. Aku ujian di ruang Dosen. Keterlaluan! Karena ruang seminar penuh. Tapi jujur, aku bersyukur ada di ruang itu.
Ku lihat dosen penguji mulai mual melihat tebalnya skripsi ku. Skripsi yang langka untuk jurusanku. Aku merasa menang. Paling tidak beliau tidak akan konsen meneliti satu persatu.
Ujian berlangsung. Aku memaparkan sekilas. Dilanjutkan dengan pertanyaan oleh beliau. Aku menjawab. Merasa tidak puas dengan jawabanku, beliau mengait-ngaitkan dengan pertanyaan lain. Aku berusaha untuk menjawab. Tetapi tanya jawab itu buyar, karena satu dosen masuk keruangan. Dosen penguji ternyata punya selera humor yang tinggi. Aku di ketepikan. Ia lebih memilih berbicara dengan dosen yang baru saja datang. Aku menjadi penonton setia. Aku lebih suka seperti ini. Bila perlu tidak usah ada tanya jawab atau ujian dan semacamnya. Langsung aja kasih nilai. C pun aku rela.
Kondisi serupa pun terus terjadi. Karena itu memang ruang dosen. Keluar masuk itu biasa. Dan tingkat konsentrasi pun sangat rendah. Akhirnya dosen penguji meminta ku untuk keluar setelah mendengarkan jawabanku yang ngalur-ngidul. Aku puas. Paling tidak selesai untuk ketegangan itu. Aku keluar dengan hati tenang dan menunggu nilai yang akan kuperoleh. Jauh-jauh-jauh sekali ku berharap untuk dapat nilai A. Jika aku di posisi dosenpun, aku tidak akan memberi nilai tertinggi itu pada mahasiswa seperti ku. Ha..ha..
Nilai B tertulis di lembar nilai. Aku lega dan jika C pun aku setuju. Dua orang dosen berpesan panjang lebar.   Sedikit banyak terlalu berlebihan menurutku. Tapi ya, itulah prosedurnya. Aku mengakhiri dan ingin menyebarkan segera berita ini kepada keluarga dan kerabat.
Sekarang aku jadi yakin, seandainya dosen yang terjadwal untuk menguji hari itu datang. Aku akan mengulang lagi ujian skripsi....he..he....

0 Messages

Hitam

Ada rasa yang baru dan tersendiri ketika aku melatarbelakangi blog ini dengan warna hitam. Ya, hitam, tidak dapat dipungkiri lagi bahwa itu adalah favoritku. Kata orang-orang, hitam itu melambangkan profesionalisme, aku setuju. Kata orang juga nih, hitam dapat menimbulkan rasa percaya diri yang lebih, aku mengiyakan 100% meskipun aku tidak tahu apa kaitannya. Lagi, kata orang, hitam itu lambang dari misterius. Mungkin benar, orang-orang yang suka warna hitam yang kutemui sebagian besar adalah memiliki kepribadian yang sulit untuk ditebak. Aku pasti, begitu juga orang lain terhadapku. Terakhir yang kuingat adalah hitam cenderung dengan mistis dan kematian. Wah, kalau yang terakhir ini aku kurang klop lah. Meskipun realitanya, ketika kematian saudara-saudaranya, banyak orang-orang bergaun hitam. Ku pikir itu hanya tradisi dari sesuatu negeri yang mungkin di sadur atau di ikuti di negeri ini. By the way, i like black very much. Walaupun my mom always, lebih tepatnya sometime menggurui jika aku membeli baju atau celana warna hitam. "hitam terus." katanya...Aku nyengir....Selalu! 
0 Messages

Terjadi Begitu Saja

Jujur aku bingung. Tanpa sadar sepenuhnya, aku memblokir akun facebookku sendiri. Itu terjadi tadi malam. Ingin membuat akun baru, tapi belum kuat rasanya untuk mengetik dan masuk ke site itu. Kenapa? aku tidak tahu.
Sepertinya aku harus off dulu dari situs jejaring tersebut. Berfokus pada apa yang aku impikan di tahun ini. Target tulisan masih menghadang. Pertengahan bulan depan. Skripsi kakak masih perlu perapian. Cerpen masih  belum sampai separuh jalan. Banyak bukan? 
0 Messages

Kerja ku

Semester pertama di kelas tiga SMK N diawali dengan magang di Pemda Kab. Sambas. Aku lupa berapa lama. Mungkin sekitar tiga bulan. Hari pertama diwaktu itu cukup menyenangkan dan membosankan setelahnya. Aku jadi tahu sedikit banyak tentang pekerjaan di instansi pemerintah. "Sangat Sibuk", hingga waktu banyak untuk bergosip ria bagi ibu-ibu dan keluyuran bagi bapak-bapak. Hingga akhirnya hari terakhir di tempat itu berakhir. 
Di semester VI semasa kuliah kami ada mata kuliah magang. Aku ditempatkan, sebenarnya memilih di sebuah BUMN. Itu terjadi selama sebulan. Asli! membosankan. Meskipun secara makanan disana cukup mewah dibandingkan yang tidak dapat jatah makan di instansi pemerintah dulu. Sebulan terasa lama. Aku tidak sendirian. Anak SMK swasta juga tengah magang disana. :Lebih dulu kami sekitar seminggu. Pegawai disana lebih sibuk. Hanya kami yang tidak diberi tugas yang jelas menjadi bingung. Mau berbuat apa di ruang luas itu. Penataan ruangan bergaya jepang. Terbuka antara antasan dan bawahan. Di bagian keuangan itu, hanya ruangan kepala bagian yang tertutup. Seingat ku, hanya sekali melihat kepala bagian. itupun dari jarak jauh. 
Di hari terakhir, aku merasa terbebas dari penjara. Hampir lupa, seminggu sebelum masa sebulan itu berakhir, Aku pulang lebih awal dua jam dari seharusnya. Kassubag keungan memberikan izin untuk itu. Aku di diberi kesempatan untuk menjadi admin di sebuah lembaga bahasa inggris. 
Setahun lewat lima bulan ku habiskan terpaku di meja admin. Lebih menggairahkan, tetapi ku baru merasa betapa tidak enaknya bekerja di bawah telunjuk orang. Aku tidak lagi mampu bertahan. Memecat diri sendiri. 
Lepas dari sana, aku jadi bingung sendiri. Skripsi ku mengambang dan aku tidak berniat sama sekali untuk menyelesaikannya. Bertemu dosen menjadi pobia tersendiri. Bahkan untuk bertandang ke kampus pun aku merasa enggan. 
Sekarang berkesempatan untuk membangun usaha sendiri. Alhamdulillah ada kakak yang bersedia memberikan kesempatan. Merelakan sedikit modal untuk di putar dan kami bertanggung jawab untuk mengembalikannya dalam waktu yang tidak di tentukan. Perjuangan itu telah dimulai sejak setahun lebih yang lalu....
0 Messages

Teruskan

Akhirnya dia mengaku juga dan itu yang pernah ku rasakan sebelumnya. Tapi ku menguatkan dirinya untuk tidak perlu menyerah sekarang. Kita telah merintisnya bersama-sama. Semua kesuksesan itu perlu proses, dan itu yang tengah terjadi pada bisnis kita. Kira-kira seperti itu.
Memang, itu memerlukan tidak sedikit tenaga. Aku paham itu. Dan aku lebih paham, dia tidak akan sekuat itu. Disana ada tanggung jawabnya yang lebih besar sebagai konskuensi status yang ia sandang.
Ku ambil resiko itu untuk menjalankan dan melihat perkembangan ini kedepannya. Biarlah berjalan dibawah wewenangku. Dibantu dengan beberapa orang di sini dan bantuan Yang Maha Membantu tentunya....
Jumat, 06 Januari 2012 0 Messages

My Thanx

Saya ingin mengucapkan kepada seseorang, siapapun itu, yang lama maupun baru, dimana telah setia memberikan reaksi terhadap sesuatu yang ku tuliskan didalam blog ini. Harap masukan dan kritik yang membangun agar tulisan ku lebih baik ke depannya.
Kamis, 05 Januari 2012 0 Messages

Asli, Tak Ada Resep!

Ku minta sepupu untuk mengayak tepung gandum. Ia lakukan. Setelah shalat isya, kami beraksi. Masukkan telur 2 biji. Gula halus tidak ada takarannya, jika hati berkata "cukup" ya cukup. Dan mentega semaunya. Tapi tidak habis satu bungkus. Dikocok semuanya, entah sampai kembang atau apa. Yang pasti tampak berbutir-butir. Baru sadar, seharusnya gula dan mentega dikocok terlebih dahulu, baru dimasukkan telur.
Tak apalah. Selanjutnya masukkan tepung gandum yang sudah dicampur dengan baking powder, cokelat bubuk dan susu bubuk. Semuanya di takar dengan hati. Lupa, adonan dalam wadah di kasih garam secukupnya. Masuklah, tepung terigu dan kawan-kawannya ke dalam adonan sedikit-demi sedikit. Ternyata belum habis separo tepung yang telah dicampur ini dan itu tadi, adonan mengental dan agak mengeras untuk ukuran membuat kue. No problemo. Kami kasih air panas kuku. Kurang lebih tiga per empat gelas kecil. Jadilah semuanya mencair sesuai dengan yang di inginkan dan pastinya hati berkata ya. Ingat dengan fermipan (pengembang kue) ada di dalam tas. Diambil dan dimasukkan kedalam adonan dan di kocok hingga merata. Semuanya terjadi begitu saja.
Adonan di masukkan kedalam handlepan. Diletakkan diatas kompor gas. Kurang dari setengah jam. Was-was dengan hasilnya. Alhamdulillah bagus. Tapi belum di coba rasanya seperti apa. Jika mantap, siap lah untuk di jual besok. Jika rasanya kurang pas, masuk perut aja deh!
0 Messages

Kami Sibuk

Aku berlari-lari kecil mengekor ayah menuju belakang ruko. Disana ada tumpukan kursi-kursi santai. Ayah sangat kuat, memikulnya dalam jumlah banyak, sepuluh sampai 15 buah. Pantas saja, lengannya berotot baja tampaknya. Dan aku tidak membantu apapun. Hanya sebagai ekor dan penonton sejati.
Ayah kemudian menyusunnya di halaman parkir utama pasar. Empat kursi untuk masing-masing meja. Disana ada ibu yang tengah memukul-mukul balok es. Ibu juga sibuk. Sibuk mempersiapkan posisi gerobak dorong beserta barang-barang jualan di dalamnya. Dan jangan lupa aku juga sibuk, memungut botol minuman yang tidak lagi berisi. Ku lempar, ku tendang-tendang.
Setiap hari itu terjadi, tak terkecuali hari ini. Dan semuanya terjadi di kala senja. Dimana matahari mulai mingin merebahkan diri ke ufuk barat. Tetapi mega merah belum muncul. Mungkin hanya orang dewasa yang bisa memperkirakan berapa menit lagi suara panggilan untuk bertamu ke rumah Tuhan bergema.
Selesai. Ayah mendudukkan diri dikursi yang terongok di depan gerobak. Tetapi kesibukannya ternyata tidak berhenti. Memencet tombol-tombol kecil pada benda canggih yang orang sebut alat komunikasi. Tak kalah jauh beda dengan ibu, juga sama adanya terpaku di depan layar kecil sibuk dengan Hp berkondom pinknya. Hanya aku yang tidak lagi sibuk. Mataku tertuju pada seorang laki-laki yang tengah duduk di atas motornya di arena parkir di sebelah barat kami. Dan aku tidak tahu, sejak kapan ia memperhatikan kami dengan seksama. Dan aku lebih tidak tahu lagi apa yang tengah di pikirkannya tentang kami. Melecehkan, mengumpat atau mengasihani kedua orang tuaku yang sibuk dengan usaha dunia mereka tanpa ingat untuk mengajari ku mengeja huruf-huruf Arab. Juga lupa untuk mengajariku bagaimana seharusnya menghadap Allah.
Tatapan ku menyadarkannya. Pandangannya beralih. Seorang wanita menghampirinya. Membawa barang yang dibelanja. Mengaitkan ketubuh motor dan kemudian berlalu. Aku memandanginya hingga sosoknya hilang di persimpangan.
Aku tidak peduli melihat orang-orang berkopiah yang menerima undangan Tuhan sama tidak pedulinya ibu dan ayahku akan hal itu. Karena kami ternyata semua sibuk. Sibuk yang merugikan kehidupan kelak!

Rabu, 04 Januari 2012 0 Messages

Setelah belum seminggu

Sudah sejauh ini, tak adil rasanya jika harus mundur. Tetapi jika harus, kenapa tidak. Perlu pembicaraan lebih lanjut dan barangkali hanya seputar sisi manajemen, meskipun aku tidak pasti itu. Aku terlanjur sudah jatuh cinta pada sesuatu yang ada dalam diriku yang tidak atau jarang dimiliki oleh orang lain. Jadi, aku tidak ingin menguburnya setelah susah payah aku menggali.
Atau barangkali aku belum siap untuk suatu pekerjaan yang menumpuk? tidak! bukan itu. Jujur pikirku akan ada yang siap bertanggung jawab penuh atas itu. Kenyataannya, aku juga. 
Kekhawatiran merajaiku, aku takut impianku semakin jauh jika tidak diikat dengan suatu kebiasaan. Dan akhirnya sirna...
Ini mesti di selesaikan segera. Win-win-solution...
Senin, 02 Januari 2012 0 Messages

Experience

Alhamdulillah kelar, meskipun masih tampak amatirnya. Tak apalah. Namanya juga proses pembelajaran. Ternyata dalam menulis fiksi fantasy ada kemudahan dan tantangannya tersendiri. Mudah untuk mendeskripsikan lingkungan, tempat, bangunan, tokohnya. intinya yang bersifat fisik. Tetapi kesulitannya terletak pada pemberian nama (jika harus di sesuaikan dengan unsur indonesiananya). Selanjutnya adalah dalam menentukan karakter, temparamen. karena saat ini sudah banyak tokoh fantasy baik yang animasi manga, novel2 dan cerita2, memiliki ciri-ciri yang unik dan beragam....
So, jika terlalu memikirkan itu, kita tidak akan pernah berkarya. Di situlah tantangannya. Putar otak kita lebih, dan temukan tokoh2 yang lebih unik. Kalau mereka bisa, kenapa kita tidak. Ini hanya tentang "waktu dan kemauan". Berjuanglah!!!!
0 Messages

Ruai


            Angin sore terasa lembab dan menggoyangkan dedaunan sengon yang berjejer di luar pagar istana. Hingga tampak melambai-lambai dari kejauhan. Desaunya memanggil-manggil kepada siapa saja yang berada di sekitarnya. Melenakan, membuai, hingga menidurkan mata. Angin sore tersebut juga merayap ke sebuah pondopo dimana dua anak manusia tengah bercengkerama sambil bersila dan menatap satu sama lain.
            “Ayahanda, hamba merindu ibunda.”
            “Yang ayah rasa juga tak kurang Setanggi, bahkan jauh lebih besar.”
            “Apakah ayahanda berniat ingin mencari pendamping lagi. Kalaupun itu yang ayahanda pikirkan, jangan khawatir, ananda bahkan senang. Malam-malam ayahanda tidak lagi sendiri. Serta masalah-masalah istana bisa ayahanda bagi dengannya nanti.”
            “Tidak Setanggi. Ayahanda terlalu cinta dengan bundamu. Dan tidak ada lagi yang bisa menggantikannya. Asal kamu tahu Setanggi, ayahanda selalu merasa bundamu ada di antara kita.”
            Setanggi hanya tersenyum senang. Dan berharap apa yang diucapkan oleh ayahandanya barusan benar adanya. Dan jujur saja, dia tidak ingin ada seorang wanita lain disamping ayahnya selain ibundanya. Tapi terkadang dia merasa kasihan dengan kesendirian ayahandanya. Dan baru saja dia mendengar langsung dari sang raja, bahwa tidak ada lagi permaisuri di istana setelah ibundanya, Purnama, ia menjadi yakin.
            Seorang pengawal datang menghampiri. Membawa tombak sebagai bukti statusnya di istana. Berbaju kuning berlengan panjang. Dan celana yang juga kuning, sebetis. Kepalanya berbalut kain yang juga berwarna kuning.
            “Maafkan hamba yang mulia. Tamu dari kerajaan selatan sudah pun tiba.” Sang pengawal berucap sambil merendahkan tubuh dan menunduk. Tangan kanannya di letakkan di dada kiri.
            “Ayahanda harus meninggalkanmu sendirian disini, Setanggi.”
            “Tidak apa-apa ayahanda. Ananda masih ingin berlama-lama disini”
            Raja Bantahan itu pun meninggalkan pondopo berwarna kuning tersebut. Meninggalkan putrinya yang tengah menikmati sendunya sore dengan belaian sang angin. Sementara itu, Setanggi menatap langit petang. Serasa wajah ibundanya ada disana.
********
            “Teratai, gantian!”
            “Aduh, saya kan baru sebentar.”
            “Cepat Seroja, jangan lama-lama. Giliran saya sekarang.”
            “Ganteng bukan, Kenanga?”
            Kenanga mengangguk. Tapi matanya masih terus mengintip dari balik pintu.
            “Sekarang saya lagi.” Teratai menarik baju Kenanga tidak sabar.
            “Andai saja dia menjadi pangeranku.” Mata Kenanga berbinar-binar dan hayalannya membumbung keangkasa. Mukanya menengadah ke langit-langit kamarnya.
            “Enak saja!. Pemuda itu akan di jodohkan dengan Kasturi, Mawar, atau Bakung. Buktinya mereka bertiga tengah menyambut kedatangan utusan kerajaan selatan tersebut.” Bantah Seroja kepada adindanya.
            “Tapi saya ingin sebuah keajaiban.” Tukas Kenanga kembali yang masih dengan mata tertutup. Membayangkan sang pemuda idaman menjadi miliknya.
            “Teratai! Enak saja. Sekarang giliran saya.” Seroja yang tidak mau ketinggalan setiap detik memandangi pangeran kacak tersebut meskipun dari balik pintu. Ia menghiraukan khayalan Kenanga yang baru saja di dengarnya. Gonta-ganti pengintip pun terjadi antara tiga putri istana di balik hijab kayu.
            “Bagaimana kabarmu wahai pemuda.” Sapa raja membuka pembicaraan.
            “Sehat, begitu juga dengan ayahanda dan ibunda, paduka.” Jawab pemuda yang dikenal dengan nama pangeran Panca.
            “Maaf paduka, sebenarnya saya tidak terlalu mengerti alasan ayahanda menyuruh hamba untuk bertandang ke kerajaan utara ini?”
            Raja bantahan tersenyum begitu pula dengan tiga putrinya yang tengah tersipu-sipu memandangi pemuda yang ada di hadapannya.
            “Begini.” Suara raja bantahan tertahan.
            “Raja Sakur memandang, sudah saatnya bagi putranya untuk memiliki pendamping hidup. Sebenarnya ini telah kami bicarakan jauh-jauh hari. Disamping untuk mempererat hubungan antar kerajaan, kami juga berniat untuk mempererat hubungan kekeluargaan.” Jelas Raja Bantahan.
            Tepat seperti apa yang diduga oleh Pengeran Panca sebelumnya. Ayahandanya berniat ingin menjodohkan dirinya dengan salah satu putri Raja Bantahan. Dan ia pun senang. Karena berdasarkan kabar yang ia dengar, putri-putri Raja Bantahan cantik-cantik belaka. Dan benar. Tiga gadis dihadapannya menjadi bukti.
            Belum sempat Pangeran Panca berucap, Raja Bantahan melanjutkan
            “Ini namanya Kasturi, putri sulung saya.” Ucap Raja sembari menunjuk kearah jelita yang duduk tepat disampingnya. Kasturi berkemban ungu cerah. Selendangnya membungkus dari leher hingga ke siku. Juga berwarna ungu cerah. Ketika namanya di sebut, Kasturi tersenyum kemudian menunduk.
            “Yang bergaun merah, putri kedua, Mawar namanya.” Raja menambahkan
            “Secantik orangnya, paduka.” Pangeran Panca menyela.
            Mawar juga tersipu seperti kakaknya. Dan ada kemenangan tersendiri atas pujian yang dilontarkan kepadanya oleh Pangeran Panca.
            “Dan terakhir, namanya Bakung.”
            Putri yang di sebut juga tersenyum simpul dan malu-malu. Pangeran Panca mengangguk. “Benar apa yang pernah di dengarnya tentang bidadari-bidadari kerajaan ini.”
            “Bukankah…?” Pangeran Panca mencoba untuk bertanya lebih banyak. Tapi urung. Dan berpikir bahwa pasti ada alasan tertentu bagi sang raja untuk tidak memperlihatkan ke tujuh putri kesayangannya.
**********
            Hidangan mewah di sajikan diatas meja. Dan telah disantap oleh raja Bantahan, ketiga putrinya dan pangeran Panca. Di sisi pintu masuk, berdiri dua pengawal kerajaan yang tetap dengan pakaian kuningnya. Khas kerajaan Bantahan. Berbeda dengan hitam yang merupakan ciri dari kerajaan Selatan.
            “Terima kasih paduka atas jamuannya. Sangat lezat.” Ucap pangeran Panca setelah merasa kenyang dan puas atas santapannya tadi. Apalagi ditemani oleh jelita yang salah satunya bakal menjadi permaisurinya.
            “Sudah selayaknya bagi kerajaan kami untuk melayani tamu dengan sebaik-baiknya. Itu adat kami di kerajaan ini.” Balas raja Bantahan kemudian.
            “Hamba rasa sudah saatnya untuk hamba kembali ke istana, paduka. Untuk langkah selanjutnya tentang pertemuan ini, hamba serahkan semuanya kepada perbincangan paduka dengan ayahanda. Hamba menurut saja. Siapapun salah satu diantara tiga wanita dihadapan hamba, hamba setuju.” Kembali pangeran Panca Berujar.
            “Baiklah kalau begitu, pangeran.” Ucap raja menutup pembicaraan.
            Pengawal istana baru saja akan membuka pintu ruang tamu, tiba-tiba sosok Setanggi berlari dan mendobrak pintu. Tubuhnya terjatuh ke lantai dan secara tidak sengaja bertatap muka dengan pangeran Panca. Semua terkejut. Apalagi ketiga saudari Setanggi.
            “Maaf ayahanda. Ananda kira pertemuannya sudah selesai. Sekali lagi ananda minta maaf atas kelancangan ananda.”
            Raja Bantahan terlampau baik hati untuk memarahi putri bungsunya tersebut. Segera menghampiri putrinya yang masih terjerembab di lantai dan membantunya berdiri.
            “Maaf atas ketidaksopanan putri bungsu saya, pangeran.” Raja menundukkan badan sedikit tanda penghormatan untuk setiap kerajaan dan para bangsawan.
            “Putri bungsu?” Pangeran Panca terpana dan hanya mampu berucap dengan kata terbata-bata
            “Namanya Setanggi.” Kata raja menjawab tanda tanya diwajah sang pangeran. Dan pangeran mengangguk pelan.
            Setanggi tidak berani mendongakkan kepala lantaran kesalahan yang telah diperbuatnya kepada tamu kehormatan kerajaan. Sementara Kasturi, Mawar dan Bakung berkecamuk marah dengan pikirannya masing-masing. Bahkan tiap mereka ingin memarahi Setanggi sejadi-jadinya atas perilaku tak senonoh tadi sekaligus perilaku yang bisa mengancam perjodohannya.
            “Maaf paduka, hamba harus segera pulang ke istana.” Kata terakhir dari mulut pangeran Panca sebagai pamit kepergiannya meninggalkan istana kuning itu. Dan sosok pangeran pun menghilang seketika pintu ruang tamu di tutup lembut oleh dua pengawal.
            “Ayahanda, tidak sepantasnya apa yang telah dilakukan oleh Setanggi. Ini bisa menjadi aib bagi kerajaan kita.” Ucap Kasturi emosi.
            “Benar ayahanda, seharusnya Setanggi diberi kelas khusus agar dia bisa mempelajari sopan santun kerajaan.” Timpal Mawar lagi
            Tak mau ketinggalan, Bakung pun memberikan saran kepada ayahandanya “Sebaiknya Setanggi di beri hukuman yang berat agar jera, ayahanda.”
            Raja Bantahan sedikit bingung mendengar ucapan para putrinya. Di tatapnya wajah Setanggi. Sedih. Sebuah tanda penyesalan dari perbuatan yang tidak disengajanya tadi.
            “Ayahanda tahu, tadi Setanggi tidak sengaja. Jadi, lupakan saja apa yang terjadi beberapa saat lalu.” Pinta sang raja
            “Tapi ayah,” Mawar mencoba membantah
Namum raja terlanjur mengangkat tangan kanannya yang menandakan tidak ada lagi negosiasi. Dan ketiga putrinya itu pun keluar dengan hati kesal.
            “Maafkan Setanggi, ayahanda.”
            “Sudahlah, ananda.” Raja memeluk putrinya yang masih di penuhi rasa bersalah.
            Diatas tandunya, pangeran Panca membayangkan dan menyebut-nyebut nama Setanggi. Seolah-olah ia tengah mencium aroma terwangi diantara wanginya bebungaan.
**********
            Sesampainya di kerajaan selatan, nama pangeran Panca disebutkan. “Pangeran Panca tiba…”. Sang pangeran pun turun dari tandu. Dan segera menuju ruang utama istana. Menemui ayahanda dan ibundanya.
            “Bagaimana, putraku. Apakah kamu sudah menemui kesemua putri raja Bantahan?”
            Pangeran panca menggeleng. “Tidak. Hanya tiga. Tidak, empat.”
            “Saya pikir raja Bantahan tidak ingin mempertemukan ananda dengan ketujuh putrinya. Dan ananda tidak tertarik untuk mengetahui kenapa.”
            Raja Sakur mengangguk setuju dengan penjelasan putranya.
            “Lalu siapa yang kamu pilih, anakku?” Tanya permaisuri Cempaka
            “Hamba menurut saja ibunda. Siapapun dia. Biar ayahanda dan raja Bantahan yang membicarakannya lebih lanjut. Tetapi jika hamba bisa memilih, hamba memilih Setanggi, ibunda. Tapi sayang, Setanggi tidak termasuk diantara tiga yang dipertemukan dengan hamba tadi. Dan kelancangan yang tidak disengaja oleh Setanggi lah menjadi sebab hamba mengenalnya.” Ungkap pangeran Panca.
            “Karena ananda sudah mengatakan akan mengikuti apa saja yang ayahanda putuskan, ananda harus rela menerima apapun keputusan ayahanda.” Kata raja Sakur kemudian.
            Pangeran Panca menundukkan tubuh sedikit sebagai tanda tiada perlawanan atas ucapan ayahandanya. “Ananda pamit dulu, ingin beristirahat di kamar.” Raja Sakur dan permaisurinya hanya tersenyum, mengiyakan. Pangeran Panca meninggalkan ruang utama kerajaan. Tapi pikirannya masih berbicara tentang Setanggi dan wajah Setanggi jualah yang tiba-tiba terukir di dinding-dinding istana, di halaman dan di pintu kamarnya. Jelita itu tersenyum. Memasuki kamar, pangeran Panca langsung merebahkan diri. Tapi matanya menatap lekat tiap sudut kamar. Menduga-duga mungkin Setanggi akan menemuinya.
            Diruang utama, raja Sakur dan permaisuri Cempaka memperbincangkan perihal apa yang diutarakan putranya tadi. Dan akhirnya seseorang di utus untuk menyampaikan undangan jamuan makan malam kepada raja Bantahan.
***********
            “Saya tidak terima. Ayahanda lebih mencintai Setanggi daripada kita semua.” Kasturi memanasi ke lima saudarinya. Sambil berdiri dan memukul-mukul pelan kearah dinding. “Ini bisa mengancam jodohku. Aku tidak rela jika pangeran Panca harus jatuh ke pangkuan si bungsu!” lanjutnya lagi.
            Mawar yang merasa lebih berhak atas pangeran Panca angkat bicara. “Asal kalian semua tahu ya, pangeran Panca tadi lebih terkagum-kagum terhadap diriku. Jadi saya kira, saya yang lebih berhak untuk tidak rela jika Setanggi menjadi orang ketiga.”
            “Memang benar tadi pangeran Panca menyebut namamu, hai Mawar. Tapi itu bukanlah petanda bahwa dia akan memilih kamu sebagai permaisurinya. Ketika menatap saya, dia juga ternganga.” Bakung yang tidak mau diam akhirnya membuka mulut.
            Adu mulut kecil-kecilan pun terjadi antara ketiganya. Sementara Kenanga, Seroja, dan Teratai tidak ambil peduli dengan pertengkaran itu. Sebenarnya mereka masing-masing punya khayalan sendiri atas pangeran ganteng itu.
            “Aduhai pangeran Panca, hadirlah dalam mimpiku.” Ucap Kenanga tak sadar. Lalu menutup mulutnya rapat-rapat. Semua mata menatap tajam ke arahnya. Lebih-lebih Kasturi, Mawar dan Bakung.
            “Kenanga!” semuanya berteriak, mengecam. Kenanga menyesal atas tindakan bodohnya dan semakin terperuk menahan kesal dan malu.
            Tiba-tiba dua orang pengawal yang senantiasa berjaga di luar kamar pun masuk.
            Ada apa gerangan tuan putri? Tanya salah satu pengawal dengan raut muka cemas.
            “Tidak apa-apa. Kami semua baik-baik saja.”
            Pengawal tersebut pun keluar dan kembali menutup pintu.
***********
            “Jadi ayah akan pergi ke kerajaan selatan?” Tanya Kasturi di ruang utama istana. Sengaja raja Bantahan memanggil putri sulungnya sendiri untuk menemuinya. Semoga hal ini bisa mengurangi penolakan-penolakan yang mungkin terjadi.
            “Ya, utusan kerajaan selatan baru saja menemui ayahanda. Dan menyampaikan perihal perjodohan pangeran Panca.” Jelas raja Bantahan
            “Berarti raja Sakur sudah memilih dengan siapa putranya akan menikah, ayahanda?”
            Raja mengangguk.
            Kasturi tersenyum lebar dan hatinya juga tersenyum sekaligus penasaran siapakah calon permaisuri bertuah itu. Harapannya tentu saja dirinya sendiri.
            “Siapa ayahanda?” Desak Kasturi
            “Ini di luar dugaan ayahanda, Kasturi”
            Kasturi mulai was-was. “Maksud ayahanda?”
            “Pangeran Panca memilih Setanggi. Ayahanda juga tidak tahu apa sebabnya. Surat dari raja Sakur tidak menjelaskan alasannya.”
            Muka Kasturi memerah, dan hatinya jelas tidak setuju.
            “Tidak ayahanda. Itu tidak mungkin terjadi. Bukankah perjodohan itu hanya antara ananda, Mawar, dan Bakung. Tidak Setanggi. Pasti ada yang salah, ayahanda. Kemunculan Setanggi hanya kecelakaan dan lebih tepatnya pengacau.” Kasturi menyatakan penolakannya.
            “Ayahanda tidak bisa memaksakan kehendak pangeran Panca dan raja Sakur untuk memilih salah satu diantara kalian bertiga. Dan ayahanda tahu, pasti pangeran Panca juga berbicara tentang Setanggi.”
            “Tapi ayahanda kan bisa bernegosiasi dengan raja Sakur dan pangeran Panca!”
            “Cinta itu masalah hati anakku. Ayahanda tentu tidak bisa memaksa kehendak pangeran Panca dan ayahandanya.”
            “Bukankah pangeran Panca setuju saja apapun dan siapapun yang akan menjadi permaisurinya. Seperti yang dia katakana waktu itu.”
            “Kenyataannya, pangeran Panca memilih Setanggi dan raja Sakur mengiyakannya.”
            “Ayahanda tidak bisa berbuat banyak, Kasturi. Ini semua di luar kemampuan ayahanda. Lagi pula ayahanda pikir Setanggi juga sudah layak untuk mendapatkan seseorang pendamping.”
            “Apakah Setanggi tahu akan hal ini?”
            “Ayahanda belum memberitahukan kepadanya tentang ini. Ayahanda ingin memberikan kejutan kepadanya nanti setelah pulang dari kerajaan selatan.”
            “Jika itu memang keputusan ayahanda, ananda menurut.” Ucap Kasturi. Namun pikirannya tengah merayap liar dan menyusun strategi untuk menggagalkan pernikahan itu. Tidak ada gunanya berdebat panjang lebar dengan ayahandanya tentang hal ini. Lebih baik menggunakan sedikit cara untuk merubah segalanya.
“Apakah ada hal lain yang ingin ayahanda bicarakan kepada ananda?” Tanya Kasturi kemudian.
“Ayahanda ingin Kasturi, selaku putri sulung untuk memegang tampuk kerajaan sementara ayahanda berkunjung ke kerajaan selatan. Tidak usah khawatir, para panglima yang tinggal di istana akan membantu ananda kelak. Ayahanda pergi tidak dalam waktu lama. Sebelum purnama, ayahanda sudah akan tiba di kerajaan kembali. Ayahanda juga ingin ananda menjaga dan memperhatikan adik-adik ananda dengan baik. Itu saja.”
“Baiklah ayahanda.” Wajah ke duanya mulai tampak. Manis di depan raja Bantahan dan siap-siap melaksanakan rencana yang ternyata telah tercipta ketika ayahandanya berucap banyak tadi.
“Kalau tidak ada, ananda keluar dulu.”
Kasturi meninggalkan ayahandanya sendirian dengan para pengawalnya. Dari kejauhan sayup-sayup terdengar suara raja Bantahan memerintahkan pengawal-pengawalnya untuk mempersiapkan segala keperluan menuju kerajaan selatan. Kasturi melangkah yakin. Yakin atas rencana yang telah di susunnya. Tentu saja akan melibatkan kelima saudari-saudarinya untuk memuluskan niatnya.
***********
“Tidak, ini tidak bisa di biarkan. Setanggi telah merampas pangeran Panca dariku!” Mawar mendadak marah. Mengepal-ngepalkan tangannya.
“Dari kita bertiga!” timpal Bakung
“Itu tidak penting. Sekarang adalah bagaimana kita bisa menggagalkan pernikahan Setanggi dengan pangeran Panca.” Sanggah Kasturi
“Apakah kamu punya rencana, Kasturi?” Tanya teratai
Kasturi diam sambil melipat kedua tangannya di dada.
“Membunuhnya.” Canda Kenanga memecah kesunyian.
“Tepat!” Tanggap Kasturi.
“Apakah kalian benar-benar ingin melenyapkan Setanggi?. Aku hanya bercanda kakak-kakak ku.” Sergah Kenanga kelabakan.
“Tidak ada cara lain. Atau kalian punya ide yang lebih cemerlang dari itu?” Semuanya menggeleng, kecuali Kenanga.
“Aku tidak ikut!” Kenanga menolak. Kita tidak boleh terlalu jauh. Pasti ada cara lain.”
“Tidak ada!” Kasturi menegaskan.
“Kita bisa membicarakan masalah ini kepada Setanggi. Aku yakin dia mau mengalah hanya gara-gara urusan cinta ini. Setanggi kan tidak kenal dengan pangeran Panca. Jadi tidak mungkin dia bersikeras untuk menikah dengan pangeran asing itu.”
“Walaupun Setanggi menolak untuk menikah dengan pangeran Panca dan aku tidak yakin akan hal itu, ayahanda tidak mungkin bisa menolak keinginan raja Sakur. Demi stabilitas politik dan kekerabatan kedua kerajaan, ayahanda mau saja menuruti keinginan raja selatan itu. Ini terlalu sepele di mata ayahanda untuk di pikir masak-masak.” Mawar mengutarakan pendapatnya.
Semua mengangguk.
“Tapi walau bagaimanapun aku ingin menemui Setanggi dan membicarakan permasalahan ini.” Sebelum Kenanga keluar dari dapur ruangan rahasia kerajaan, sebuah pukulan keras mengenai tengkuknya. Dan dunia tiba-tiba berubah menjadi gelap.
“Sekap dia di gudang lama!” Perintah Kasturi. Teratai dan Seroja sebenarnya enggan mengikuti rencana busuk itu, tapi mereka lebih memilih aman daripada harus senasib dengan adiknya, Kenanga. Lain halnya dengan Mawar dan Bakung yang beriya-iya mengikat kedua tangan Kenanga. Satu halangan terlewati, pikirnya masing-masing.
**********
Melewati rimbunnya hutan dan bermalam di tengah incaran binatang buas, perjalanan 2 hari satu malam pun berhasil di lewati. Tampak megah istana kerajaan yang di dominasi oleh warna hitam abu-abu. Memang lambang kerajaan selatan.
“Raja Bantahan tiba…” suara pengawal mengaung seisi sentaro.
Kedatangan raja Bantahan disambut oleh pengawal istana. Dan langsung diantar menuju ruang utama menemui raja Sakur dan permaisuri Cempaka.
“Selamat datang di kerajaan selatan, raja. Ini sebuah kehormatan buat kami”
Raja Bantahan menundukkan badan sejenak dan berdiri tegap kembali.
“Saya juga merasa terhormat di undang ke istana megah ini kembali.”
“Silakan duduk.” Pinta raja Sakur
Raja bantahan menempati kursi khusus yang memang disediakan untuk dirinya. Sementara raja Sakur dan permaisurinya masih tetap di singgahsananya.
“Bagaimana perjalanannya, wahai Tarung?” Tanya raja Sakur
“Cukup melelahkan. Saya sudah lama tidak melakukan perjalanan sejauh ini lagi. Dan hal penting inilah yang menguatkan saya untuk hadir di sini.”
Seorang dayang menyuguhkan buah-buahan segar dan tidak lupa minuman. Raja Bantahan minum dan menjemput anggur merah. Namun matanya menunjukkan kegelisahan dan tanda tanya. Dan akhirnya berakhir dengan munculnya sesosok pemuda yang dicarinya.
“Maafkan ananda, ayahanda. Ananda terlambat menyambut kedatangan tamu terhormat kita. Hamba juga minta maaf karena tidak menyambut paduka tadi.” Pangeran Panca merendahkan tubuhnya dan mengangkatnya kembali.
“Hamba baru saja datang berburu di hutan.” Lanjut pangeran Panca lagi.
“Tidak apa-apa, pangeran. Apakah gerangan yang pangeran buru?”
“Hamba sebenarnya ingin memelihara burung ruai. Tapi seperti kemarin-kemarin, burung itu tidak pernah muncul lagi dihutan. Entah ada pemburu lain yang menangkapnya atau punah dengan sendirinya.”
“Burung itu memang langka sekarang, pangeran.”
“Dari pada sibuk membicarakan burung yang tidak lagi ada didunia ini, lebih baik kita segera menuju ruang makan dan tentu saja setelahnya raja Tarung bisa beristirahat.” Sela raja Sakur di tengah asyiknya pembicaraan tentang burung ruai.
**********
Seroja dan Teratai berganti-gantian menjaga didepan pintu gudang lama. Takut-takut seseorang yang tidak di duga akan masuk kedalamnya. Sedangkan didalam gudang, Kenanga masih belum sadar dari pingsannya. Tangannya masih terikat. Tertidur, terkulai diantara debu-debu. Seroja dan Teratai tidak tega melihat Kenanga seperti itu, tapi apa hendak di kata mereka sudah terlebur dalam permainan yang dibuat oleh Kasturi.
Di pondopo, Kasturi, Bakung dan Mawar tengah memujuk Setanggi untuk ikut dengannya pergi menangguk.
“Maksud kakanda gua keramat itu?”
Ketiganya mengangguk.
“Apakah kakanda tidak pernah mendengar seseorang yang tidak pernah kembali setelah memasuki gua batu tersebut?”
“Itu hanya dongengan rakyat-rakyat bodoh, Setanggi. Aku tidak pernah percaya sedikitpun.” Pangkas Kasturi dengan hati-hati membujuk adik bungsunya.
“Benarkan Mawar, Bakung?”
“ii..ya.” Keduanya menyahut bersamaan.
“Tapi Setanggi takut, kakanda. Biarlah kita suruh pengawal atau dayang saja untuk menangguk disana jika kakanda benar-benar ingin memakan ikan sungai.” Saran Setanggi.
Hati ketiga saudarinya memanas, tetapi tetap berusaha tersenyum agar Setanggi menurut.
“Tidak, adindaku. Bukankah sudah lama kita tidak bersenang-senang diluar istana. Lagipula disana tempatnya sangat indah. Sekalian kita bisa mandi dan berenang-renang. Bukankah itu kesukaanmu?” ucap Bakung yang juga berusaha untuk membujuk dan bermuka manis.
“Ayolah, Setanggi. Kapanlagi kita bisa keluar istana sebebas ini. Mumpung ayahanda tidak ada di kerajaan tentunya, bukan?” Mawar memperkuat ajakan.
“Tapi tidak akan lama kan, kakanda?”
“Tidak, jika tempat ini sudah terisi, kita langsung pulang.” Jawab Kasturi sambil menunjukkan tempat kecil yang muat hanya untuk kira-kira 20 ekor ikan betok.
***********
Dari kejauhan gua batu tampak begitu mempesona. Di lingkupi oleh dedaunan liar menjalar di mukanya. Batu besar yang kokoh dan beronggalah menjadikan ianya di panggil gua batu. Memang sebuah gua ajaib. Gua tersebut berada dua langkah dari pinggir aliran sungai. Tetapi tanahnya agak curam. Sehingga air sungai tidak mampu memasuki gua tersebut. Tetapi pernah sekali, menurut cerita rakyat jelata, musim hujan terlama dan air sungai meluap hingga menggenangi kerajaan. Tidak luput untuk air memasuki gua batu. Kala itu, Gua Batu seolah-olah menyatu dan mempunyai aliran tersendiri dari sungai. Tak ada yang tahu kemana hujung gua tersebut. Apakah buntu ataupun bertemu ke muara sungai lainnya. Ketika itulah berbagai jenis ikan berenang ke dalamnya. Dan ketika air surut, ikan-ikan tersebut tidak bisa kembali ke sungai. Beranak pinak dan makin banyak. Tetapi karena dianggap keramat, tidak ada seorangpun berani untuk masuk kedalam gua tersebut dan menangkap ikan didalamnya.
“Kita sudah sampai setanggi.”
Setanggi yang masih bingung dan sedikit takut mencoba untuk mengingat-ingat jalan pulang nanti. Berbeda dengan ketiga kakak-kakaknya yang sudah sangat hafal dengan jalan di hutan ini. Setanggi memutar badan dan menyapu apa saja yang bisa di tangkap oleh indra penglihatannya. Dan terhenti dan terpegun pada Gua Batu.
“Ya, itulah gua yang disebut-sebut sebagai gua keramat itu. Sama saja, bukan?. Rakyat jelata memang terlalu suka untuk melebih-lebihkan. Batu itu tidak beda dengan batu yang ada di belakang istana, Setanggi.” Ungkap mawar yang juga tengah memandang Kasturi dan Bakung. Mengedip-ngedipkan mata, memberi kode. Dan Setanggi masih diam dan tidak percaya bahwa dirinya akan melihat gua yang dianggap mistis itu dihadapannya. Hatinya setuju dengan ungkapan mawar tadi.
“Aduh, aku minta maaf Kasturi, Mawar dan Setanggi. Perutku tiba-tiba sakit. Dan panggilan ala mini harus segera di laksanakan.” Ucap Bakung tiba-tiba.
“Jorok kamu, Bakung. Cepat pergi sana, sebelum kami disini jijik semua.” Kasturi pura-pura menanggapi.
Bakungpun mencari tempat yang rindang dan tertutup. Ketika dia masuk, tubuhnya sudahpun hilang di peluk rimbunan dedaunan dan pohon-pohon besar.
“Baiklah Setanggi, hari masih pagi dan kita punya banyak waktu untuk bersenang-senang. Saya ingin mandi dulu di sungai.” Kemudian Kasturi melafazkan niatnya.
“Tapi kakanda. Bukankah sebaiknya kita langsung menangguk saja agar kita bisa lebih cepat pulang ke istana?”
“Tenang Setanggi. Hanya sebentar! Apakah kamu mau ikut?”
Setanggi menggeleng.
“Kamu mawar?”
“Aku ingin mencari ranting-ranting dulu. Rugi rasanya jika sudah masuk ke hutan seindah ini kita tidak memakan ikan bakar. Apalagi ikan tinggal meraup di depan kita.”
“Ide bagus, Mawar.”
Kasturi dan Mawar pun bersamaan meninggalkan Setanggi sendirian. Mawar menuju Gua Batuk dan menikung di sebaliknya. Lenyap. Sedangkan Kasturi mulai menjajaki tepi-tepi sungai berenang semakin jauh. Tertawa kecil. Makin lama makin tidak tampak sosoknya. Dan Bakung belum juga selesai dari hajatnya. Setanggi hanya duduk di atas batu kecil tak jauh dari mulut Gua batu.
Lamunan Setanggi pecah oleh berisik dari kegelapan dalam gua. Seperti kebasan sayap seekor burung. Ukurannya tentu bukan seekor burung kebanyakan. Sedikit memberanikan diri, Setanggi mengintip. Ada apakah gerangan di dalam gua tersebut. Gelap, tidak ada cahaya sedikitpun. Setanggi kembali duduk di batu kecil tadi. Lama ia menunggu ketiga saudarinya, belum juga menunjukkan tulang punggungnya. “Kakanda, kemana kalian?” teriak hati Setanggi. Setanggi menghampiri sungai. Berharap Kasturi tergapai-gapai sambil tertawa disana. Tetapi nihil. Lalu kembali. Menuju arah menghilangnya sosok mawar di balik batu besar, yang tampak hanya pohon-pohon raksasa. Terakhir, mendekati dimana Bakung membuang hajatnya. Tetapi Bakung juga tidak ada disana. Setanggi pasrah dan berdoa semoga ketiga kakandanya cepat selesai dengan keperluannya masing-masing.
“Treeeek….”
Setanggi kembali terkejut. Sumber suara berasal dari dalam gua.
“Kakanda, kalian jangan menakut-nakutiku. Setanggi takut.”
Tidak ada balasan. Dengan hati berbebar-debar, Setanggi memasukkan tubuhnya lebih dalam ke mulut gua. Tak berbeda. Gelap gulita. “Treeeek…” kembali terdengar, tetapi suaranya lebih jauh di dalam gua. Seolah-olah mengundang Setanggi untuk masuk. Tetapi Setanggi lebih takut dengan binatang yang mungkin menghuni gua itu. Ular raksasa yang sering di ceritakan oleh orang-orang desa. Kalajengking hitam dan berbagai binatang berbisa lainnya.
Setanggi mengumpulkan ranting-ranting kecil dan daun-daun kering. Memukulkan pecahan batu satu sama lainnya dibawahnya. Percikan api tampak dari sentuahan paksa batu-batu tersebut. Berkali-kali Setanggi memukulkan, dan akhirnya berhasil. Api menyala memakan material kering tersebut.
Kembali Setanggi mencoba memasuki gua Batu, tetapi lebih yakin dengan obor di tangan kanannya sebagai penerangan. Hati-hati Setanggi, dan berpikir “Sungai di gua ini benar-benar ada, tetapi lebarnya lebih kecil dari yang diluar. Hanya setengah tombak untuk bisa berjalanan di sisi sungai tersebut. Setanggi melangkah dengan waspada agar tidak tergelincir dan tercebur ke sungai.
“Treeeek…” kembali suara itu muncul dari dalam. Lebih jauh terdengar. Tetapi memenuhi setiap sudut gua. Ikan-ikan melompat-lompat di aliran sungai kecil. Memercikan air, membuat gelombang kecil dan tenang. Disana juga, disana lagi. Dan ternyata banyak.
Di luar hujan tiba-tiba turun. Lebat. Entah bersyukur atau tidak, yang pasti Setanggi mendapatkan tempat untuk berteduh. Tetapi ia masih menunggu kedatangan saudari-saudarainya. Harapannya kakak-kakaknya juga berteduh di gua ini. Tapi sampai saat ini tidak ada tanda-tanda akan apa yang diharapkannya segera terwujud. Hujan semakin deras saja.
Setanggi terus saja berjalan. Semakin jauh ke dalam. Ia terkejut menemukan ruangan seluas kamarnya di dalam gua keramat itu. Setanggi meraba-raba dengan cahaya seadanya. Ruangan itu kosong tentu saja. Ketakjuban akan apa yang dilihat dengan mata kepalanya sendiri dan rasa was-was yang masih mencekamnya. Hanya bunyi cemplungan ikan di air yang terdengar nyaring. Ketika datang sejauh itu, suara hujan lebat di luar menghilang.
************
“Kalian benar-benar membunuh Setanggi?” Kenanga berucap sambil bersimbah air mata. Di ikuti oleh Seroja dan Teratai.
“Kami hanya meninggalkannya di hutan, dekat gua Batu.” Balas Kasturi puas.
“Itu sama saja!. Bukankah kita semua tahu tentang cerita gua Batu tersebut?” Lanjut Kenanga.
“Diam! Kalau sampai berita ini sampai ke telinga ayahanda, nasibmu akan sama dengan Setanggi. Paham!”
Kenanga diam. Tapi masih tersedu-sedu.
“Sekarang tugas kita adalah berpura-pura ketika ayahanda sampai kembali di istana. Perlu alasan yang logis agar ayahanda percaya apa yang kita bicarakan nantinya.”
Keenam putri raja Bantahan itu pun berunding tentang alasan yang bakal disampaikan kepada ayahandanya berkenaan dengan menghilangnya Setanggi dari istana. Meskipun Kenanga, Seroja dan Teratai enggan, tetapi mereka lebih memilih aman dari kematian yang tidak dikehendakinya.
“Bagus!. Jadi kita harus kompak ketika ayahanda bertanya tentang hal ini.”
*************
Raja Bantahan yang bernama Tarung itu tengah berbicara serius dengan raja Sakur juga melibatkan permaisuri Cempaka.
“Dua purnama dari sekarang?”
“Saya kira itu waktu yang tepat. Rakyat Bantahan juga telah memanen hasil sawah dan kebun saat itu. Jadi kita bisa menggelar pesta besar-besaran.”
“Bagaimana permaisuriku? Apakah adinda setuju?”
“Itu waktu yang sangat tepat.”
*************
Setanggi masih bertahan di ruangan misterius di dalam gua gelap itu. Obornya mulai menunjukkan tanda-tanda akan padam. Ia bangkit dari duduknya dan akan menuju kearah dari mana ia masuk tadi. Belum sempat melangkahkan kaki keluar, sebuah sapaan hampir membuatnya pingsan.
“Kakak-kakakmu tidak akan kembali.”
Diam. Sedangkan Setanggi merasa jantungnya telah lepas. Tubuhnya gemetar dan wajahnya pucat. Aliran darahnya seolah-olah terhenti. Bahkan untuk menggerakkan anggota tubuhnya, ia tidak lagi punya daya.
“Mereka sudah sejak tadi meninggalkan hutan ini. Alasan mereka hanyalah tipu daya. Agar kamu tertinggal disini sendirian. Aku melihat mereka bertemu di muara sungai. Tepat di balik gundukan batu raksasa ini. Aliran sungai di gua ini bertemu kembali dengan sungai utama. Kamu akan menemukannya jika terus saja berjalan semakin dalam ke dalam gua.”
Setanggi gugup bukan main. Ternyata benar. Gua ini berpenghuni makhluk halus. Dan sekarang ia benar-benar merasa dan mendengar langsung. Bukan mimpi atau cerita rakyat.
“Siapa kamu?” Setanggi berusaha untuk membuka mulut. Tapi terasa kelu. Ucapannya tak lebih dari desahan pelan. Tapi terdengar oleh lawan bicaranya.
Seekor ular kobra raksasa menghampirinya. Sisiknya mengkilat dan hitam pekat di sinari oleh obor yang hampir padam. Badannya sama besarnya dengan tubuh Setanggi. Sisik-sisiknya sebesar induk jari. Kepalanya terangkat dan siap untuk memangsa. Lagi, kepalanya hampir mencapai langit-langit gua. Padahal langit-langit setinggi dua kali tubuh Setanggi.
Setanggi semakin panik. Andai saja ia bisa berlari, sudah dilakukannya sejak tadi. Tetapi nasib, kakinya terasa mati. Ular adalah makhluk yang paling Setanggi geli sekaligus takuti. Dan sekarang tidak ada lagi rasa takut. Yang ada hanya sebuah ketakutan luar biasa dan berakhir dengan kepasrahan. Tidak ada yang bisa dilakukannya dan menerima andaisaja tubuhnya akan menjadi sarapan ular hitam pagi itu.
Kepala ular kobra menurun dan menguncup. Lidahnya menjulur-julur. Mendekat ke tubuh Setanggi. Tepatnya ke muka Setanggi. Setanggi memejamkan mata tanda tidak lagi berdaya. Ternyata ular itu melingkarkan seluruh tubuhnya, kecuali bagian atas, di pojok ruangan. Sehingga ketika masuk, Setanggi tidak melihat sosok binatang berbisa itu.
“Jangan takut. Melihatmu aku teringat akan putriku.”
Setanggi membuka mata perlahan. Dan berteriak ketika muka ular raksasa tepat ada di depan mukanya. Mata merah dan lidah cabang duanya seolah-olah ingin mencicipi muka Setanggi.
“Aaaaaaa…!” Setanggi berteriak sejadi-jadinya. Pingsan.
Setanggi tidak tahu berapa lama ia tidak sadarkan diri. Ketika membuka matanya, ia mendapati dirinya masih terkulai di dalam gua batu. Tapi berbeda, gua menjadi lebih terang. Di lihatnya seseorang lelaki tua tengah menghadap perapian. Membakar ikan. Tetapi, Setanggi kembali ingat perihal ular raksasa tadi. Setanggi ketakukan dan merapat ke dinding batu.
“Sudah bangun, nak?”
Setanggi hanya diam. Suara itu? Suara ular tadi.
“Jangan takut. Apakah kamu lapar? O ya, siapa namamu?”
Setanggi pun menyebutkan nama yang diberi oleh ibundanya. Tapi tubuhnya masih merapat ke dinding dan mengawasi sekeliling. Masih tampak jelas besarnya badan ular dan mengerikan. Setanggi berpikir mungkin saja ular itu ada disebalik lelaki tua disana.
Lelaki tua berpakaian hitam itu berbicara tanpa memandangi Setanggi. “Mau ikan?” tawarnya kemudia. Tidak ada sahutan keluar dari mulut yang ditanya.
“Berapa umurmu?”
“240 purnama.” Jawab Setanggi datar
“Pasti Kasuari sama besarnya dengan mu sekarang, nak.”
“Kasuari?”
“Putri tunggalku. Sudah lama aku tidak bertemu dengannya. Hampir selama usiamu. Ketika aku mulai bertapa disini, umurnya baru satu purnama.”
“Jadi…?”
“Ya, Setanggi. Kamu pasti pernah mendengar cerita itu, bukan? Akulah orangnya. Aku sangat menyesal menuntut ilmu ini. Masyarakat mengucilkanku, aku juga tidak mungkin bisa lagi bertemu dengan keluargaku. Aku sudah terlanjur mengabdi pada ilmu yang sesungguhnya hanya menyiksa setiap detik kehidupanku. Aku sangat menyesal.”
Lelaki berjubah hitam itu menangis. Menyesali apa yang telah diperbuatnya selama bertahun-tahun.
“Aku menuntut ilmu ini jauh sebelum istriku mengandung anak pertama kami. Guruku telah meninggal, jadilah aku pewaris tunggal ilmu ini. Aku tidak ingin ada orang lain mewarisi ilmu keparat ini. Makanya aku bersemedi di tempat ini. Tujuanku pertama adalah untuk menyempurnakan ilmu, tetapi aku merasa kesepian setelah semuanya sempurna. Tidak banyak yang bisa ku perbuat. Tubuhku berubah menjadi binatang buas. Dalam masa-masa penyempurnaan, aku tidak bisa berubah menjadi manusia semauku. Menjadi ular raksasa adalah syarat yang harus ku lalui. Tapi sekarang berbeda, mau jadi hewan apa saja aku bisa.”
Sepi kembali, hanya cemplungan ikan di sungai yang terdengar.
“Apa aku tadi menakutkanmu?”
Setanggi mengangguk.
“Maafkan aku, tadi aku tengah bertapa. Ketika bertapa aku harus merubah diri menjadi ular raksasa. Dan kehadiranmu menyadarkanku. Instingku mengatakan kehadiran ancaman. Ternyata hanya seorang anak perempuan yang sengaja di tinggal oleh saudari-saudarinya.”
“Kenapa kamu tidak menemui keluargamu lagi?” Setanggi mulai mencoba santai dan memang sudah seharusnya begitu sekarang. Karena tidak ada lagi ular raksasa yang menakutkan.
“Ilmuku memang telah sempurna, tetapi belum mencapai paripurna. Jika ingin mencapai tingkat tertinggi itu, aku harus memangsa darah dagingku sendiri. Jika aku menyentuh putri atau istriku, secara spontan jasadku akan menjadi seperti apa yang kamu lihat tadi. Bahkan aku akan kehilangan kesadaran. Yang tersisa adalah nafsu buas yang siap untuk menyantap anakku sendiri.”
“Ini kulakukan pertama kali hanya untuk menjadi kaya raya tanpa harus bersusah payah menggarap sawah atau berkebun. Tetapi semuanya sudah terlambat ketika hari pertama aku bersemedi. Aku tidak merasa tertipu oleh guru. Tetapi aku tidak menyangka akan sejauh ini akibatnya.”
Setanggi hanya diam mendengarkan dan dapat merasakan kerinduan seorang ayah terhadap putrinya. Apa yang akan terjadi pada ayahnya seandainya jika dirinya tidak kembali lagi ke istana.
Diam Setanggi terpotong. Lelaki tua itu ingin mengajaknya berbicara lagi.
“Namaku Bara.”
Setanggi tidak terlalu memperdulikan nama itu. Yang setanggi pikirkan adalah apakah benar kakandanya sengaja meninggalkannya sendirian di hutan itu. Atau mungkin ketika mereka kembali berkumpul, mereka tidak mendapatiku di tempat semula dan kemudian mencariku kemana-mana.
“Apa yang menyebabkan saudari-saudarimu meninggalkanmu sendirian di hutan ini, Setanggi?”
“Aku tidak tahu. Sama sekali tidak tahu.”
“Mungkin harta juga menggelapkan mata mereka hingga tega melakukan ini, seperti gelapnya mataku sewaktu menerima tawan Mbah Puteh untuk menjadi muridnya.”
Setanggi benar-benar tidak tahu apa alasan kakandanya meninggalkannya. Setahu Setanggi, tidak ada percekcokan, pertengkaran maupun perebutan harta antara dirinya dan ketiga saudarinya tersebut.
            “Saya ingin kembali ke istana.”
            “Istana?”
            “ya, istana.”
            “Jadi…?”
            “Saya putri bungsu raja Bantahan. Penguasa wilayah utara ini.”
            Bara terkejut mendengar identitas gadis dihadapannya. Selama ini rakyat jelata susah payah untuk bertemu dengan orang-orang di dalam istana. Dan sekarang, dihadapannya, putri bungsu penguasa tengah tersesat. Dan tidak tahu jalan pulang.
            “Hari sudah beranjak malam, Setanggi. Sebaiknya besok pagi kamu baru pulang ke rumahmu, maksudku ke istana.”
            “Apakah pak Bara tidak bisa mengantarkanku malam ini juga?”
            Ada sedikit pekerjaan yang harus aku laksanakan.”
            Setanggi mengerti meskipun tidak tahu pekerjaan apa yang hendak dilakukan oleh lelaki siluman itu.
            “Tidurlah!” pinta Bara perlahan
            Tanpa menunggu waktu lama, Setanggi langsung terlelap dan berkelana kealam mimpi. Disana ia melihat ayahandanya tengah bercanda gurau dengan ibundanya di taman bunga istana. Setanggi menghampiri kedua orang tuanya dan bergabung tertawa dan berlari bersama.
************
            Raja Bantahan murka mengetahui kehilangan putri bungsunya, sesaat setelah kedatangannya di istana kerajaannya. Ia memerintahkan ratusan pengawal untuk mencari Setanggi di tempat kehilangannya sebagaimana yang disebutkan oleh ke enam putrinya. Raja Bantahan mondar-mandir. Tidak sabar menunggu hasil. Duduknya tidak tenang, makannya juga tidak terasa kenyang. Lupa untuk istirahat setelah perjalanan jauh. Pikirannya hanya tertuju pada si bungsu dan berdoa untuk keselamatannya.
            “Kasturi!. Bagaimana mungkin kamu membiarkan Setanggi pergi ke dalam hutan sendirian.”
            “Maafkan Kasturi ayahanda. Sebenarnya ananda dan kelima saudari hamba sudah melarang keras keinginan si bungsu. Tetapi si bungsu tidak menghiraukan nasihat kami. Kami pun tidak menyerah. Kami memerintahkan pengawal dan dayang untuk mengawasi kemana saja Setanggi pergi. Tetapi Setanggi kabur keluar istana ketika malam atau mungkin dia menyuap salah satu pengawal atau dayang kerajaan. Kami semua tidak pasti, bagaimana Setanggi bisa lolos dari pengawasan kami.” Kasturi beralasan selogis mungkin.
            “Betul apa yang di katakan Kakanda Kasturi, ayahanda.” Kelima putrinya serentak mengucapkan perkataan yang sama. Meskipun Kenanga, Seroja dan Teratai sangat kaku jika sang raja jeli memperhatikan.
            “Kata Setanggi juga, ayahanda. Kepergian ayahanda ke kerajaan selatan adalah kesempatan emasnya untuk bisa leluasa berkeliaran di luar istana. Termasuk untuk berkelana ke dalam hutan larangan.” Mawar mencoba untuk memperkuat alasan Kasturi.
            “Benarkah begitu?”
            Semua putrid-putri raja Bantahan mengangguk.
            “Setanggi, apakah ayahanda masih berkesempatan melihat kamu kembali nak. Hutan larangan itu menyimpan sejuta mistis. Sering munculnya makhluk-makhluk aneh, binatang melata yang lebih buas dari lainnya, dan banyaknya rakyat yang hilang setelah memasuki belantara tak terjamah tersebut.” Kegundahan hati raja Bantahan berkata. Air mata pun tak terbendung dari laki-laki beruban itu.
            Malam berganti siang, hingga datang dalam hitungan minggu. Namun Setanggi masih belum ditemukan oleh para pengawal yang ditugaskan. Kekecewaan dan kesedihan serta mungkin juga kepasrahan tampak di wajah raja Bantahan. Tidurnya tidak lagi nyenyak, lebih banyak termimpi akan kembalinya putri tercinta.
************
            Ketika Setanggi bangun dari tidurnya didapatinya sesuatu yang ganjil terjadi pada dirinya. Tubuhnya menyusut dan mengecil. Tubuhnya banyak ditumbuhi oleh bulu-bulu halus. Ada paruh panjang di mulutnya. “Apakah ini mimpi?” pikirnya. Ia mencoba mencubit kulitnya, tetapi hanya kepakan sayap yang terjadi.
            “Tidak! Ini tidak mungkin terjadi. Apakah ini kutukan oleh Bara Si ular jahanam itu?” umpat Setanggi dalam hati.
            “Maafkan aku Setanggi. Ini kutukan ilmu. Karena kamu telah tahu semua cerita tentang diriku dan dimana keberadaanku.”
            “Lepaskan saya. Saya tidak pernah menyakitimu dan saya juga tidak bermaksud ingin mengganggu pertapaanmu.”
            “Ini tidak terkait dengan itu semua. Ini adalah kutukan karena kamu telah mengetahui identitasku” ucap burung ruai jantan yang ada di hadapan Setanggi.
            Setanggi telah menjadi ruai betina. Bulunya sangat halus dan berbintik-bintik hitam. Warnanya keseluruhan berwarna emas. Ekornya panjang menjuntai. Dadanya berwarna putih mutiara berpadu dengan hijau muda. Sungguh seekor burung ruai yang menakjubkan. Mahkota di kepalanya berwarna agak gelap. Tetapi masih jelas berwarna hijau.
            “Kutukan ini sedikit banyak akan membantumu kembali ke istana.”
            “Membantu! Ini menyiksa!” Setanggi marah besar
            “Kamu telah tertidur seminggu penuh. Itu masa yang diperlukan untuk merubah wujudmu menjadi ruai seutuhnya. Dan sekarang kamu bisa kembali ke istana. Tentunya dengan wujudmu sebagai seekor burung. Apakah kamu tidak tertarik untuk mengetahui apa sebenarnya alasan saudari-saudarimu melepasmu berkeliaran di hutan ini?”
            Setanggi diam. Sedikit membetulkan apa yang diucapkan oleh ruai jantan. Ruai itu berwarna biru gelap. Di dadanya putih susu. Paruhnya juga berwarna gelap. Badannya tegap dan menunjukkan kekuasaan dan keangkuhan. Ditambah dengan mata yang terbuat tajam.
            Setanggi tidak sabar ingin kembali ke istana. Dan ketidaksabarannya itu pulalah yang menghilangkan rasa amarahnya yang membuncah tadi.
            “Ke arah mana saya harus terbang?” Tanya Setanggi yang tidak sabar untuk menemui ayahandanya di istana.
            “Terbanglah ke arah sana.” Ruai jantan menunjuk arah di balik batu besar dimana didalamnya terdapat ruangan yang dialiri air sungai.
            Langsung saja Setanggi membawa tubuhnya melambung ke udara. Tanpa mengucapkan sepatah katapun kepada satu-satunya makhluk yang bisa berbicara dengannya dalam kondisi seperti itu. Setanggi tidak tahu harus mengucapkan apa, terima kasih, selamat tinggal atau kurang ajar. Tetapi ketika gua batu tinggal terlihat sebesar rembulan purnama, Setanggi memandang kebawah. Dan masih melihat titik hitam di samping batu itu. Bara masih ada disana. Mungkin tengah melihatnya melayang-melayang mengepakkan sayap.
************
            Dari atas awan, istana kerajaan Bantahan berkilau emas. Menyilaukan mata. Sungguh tampak sangat kecil. Berbeda ketika berada di depan pintu gerbang. Sebuah istana yang memona, megah dan berwibawa.
            Seorang laki-laki dan beberapa wanita tengah duduk-duduk di pondopo istana. Entah apa yang tengah di sembangkan. Yang pasti pembicaraan tentang sebuah kehilangan seseorang. Ruai betina menurun dari ketinggian dan mencoba mencari dahan terdekat dengan para manusia-manusia itu. Dan dahan sengon menjadi tempat berlabuh.
            “Sudahlah ayahanda. Jangan terus begini. Kita semua telah berusaha dan berdoa. Mungkin ini sudah menjadi suratan Setanggi. Harus pergi menghilang dari istana.” Bakung berbicara menghibur kesedihan ayahandanya. Lima saudarinya yang lain juga melafazkan ucapan yang serupa. Tetapi sang ayah masih menyesalkan kepergian Setanggi tanpa pamit kepada dirinya. Padahal Setanggi tahu bahwa dirinya mencintai putri terakhirnya melebihi semua kakandanya.
            “Ayah ingin sendirian. Kalian semua boleh pergi.” Pinta raja Bantahan kepada ke enam putrinya.
            Bidadari kerajaan itu pamit dan meninggalkan ayahnya yang tengah meratap. Jelas Kasturi, Mawar dan Bakung senang akan hal ini, tetapi berbeda dengan Teratai, Seroja dan Kenanga.
            Di kejauhan, ruai betina mengamati lelaki tua yang tengah sendiri di pondopo. Tidak tahan untuk segera menghampiri ayahandanya. Setanggi mengepakkan sayapnya perlahan dan tidak lama hinggap di atap pondopo. Sang raja mendongak ke atas. Ada sesuatu diatas. Raja Bantahan berdiri dari duduknya. Berjalan menuruni tangga. Dari bawah, di lihatnya seekor ruai betina ada disana.
            “Ruai? Wahai burung langka. Betapa ingin kami melihat indahnya bulu-bulumu.
Betapa kami merindukan kehadiranmu diantara burung-burung piaraan kami. Tidak hanya aku, pangeran Panca dari kerajaan selatan juga tengah memburumu.”
            Ruai betina menatap lama kepada raja Bantahan. Seolah-olah ada sesuatu yang ingin disampaikan oleh sang burung. Tentu saja. Setanggi tengah memanggil-manggil ayahandanya. Hanya saja, ayahandanya tidak mengerti bahasa yang diucapkannya.
            Burung betina itu menghampiri raja. Raja gelapakan dan meminta tolong. Tetapi tidak ada seorang pun yang mendengar. Hingga akhirnya ruai betina hinggap di bahu sang raja.
            “Burung yang jinak.” Ucap raja Bantahan kemudian. Raja melihat mata berkaca-kaca pada sang burung. “Ada apakah gerangan wahai burung? Sepertinya engkau merasa sedih seperti sedih yang aku rasa saat ini.”
            Ruai betina mengelus-ngelus pipi raja Bantahan dengan sayapnya. Persis sama dengan yang sering Setanggi lakukan disaat-saat ayahandanya tengan di rudung kesedihan. “Ruai, aku jadi semakin merindu putri bungsuku. Setanggi.” Kata raja merasa terharu atas belaian burung tadi. “Aku tidak tahu dimana dia sekarang. Apakah masih hidup ataupun malaikat maut telah datang kepadanya. Aku seorang ayah yang tidak berguna. Tidak bisa menjaga putrinya sendiri. Jika purnama mengetahui ini, pasti ia akan sangat marah kepadaku.”. Ruai kembali mengelus muka raja Bantahan. “Lagi!” pinta sang raja.
            Raja bantahan menutup mata dan merasakan seolah-olah Setanggi tengah menghibur dirinya.
            “Setanggi! Ruai, apakah kamu tahu dimana Setanggi?” Tanya raja mengejutkan. Setanggi tidak lagi mengelus-ngelus pipi ayahandanya karena kaget. Setanggi sendiri masih tidak tahu bagaimana caranya untuk memberitahukan kepada sang raja bahwa dirinya adalah putri yang tengah di carinya. Menunggu 100 purnama ke depan waktu yang lama untuk memberitahukan kepada ayahandanya. Dan diwaktu itu, Setanggi akan kembali normal menjadi anak manusia. Begitu yang dikatan Bara sebelum sepeninggalnya dari gua Batu.
            Setanggi sempat berpikir untuk kembali kepada Bara dan berniat untuk menanyakan bagaimana caranya agar dirinya bisa berbicara kepada ayahandanya. Tetapi niatnya urung. Dia tidak mau mengemis kepada orang yang telah menyengsarakan kehidupannya dalam tubuh seekor burung betina. Tidak akan!.
            Untuk saat ini, Setanggi harus meninggalkan ayahandanya segera. Setelah melepas rindu beberapa saat dan dilihatnya ayahandanya pun tampaknya terobati sedikit lara kerinduannya, ia meninggalkan lelaki itu sendirian di pondopo istana. Meskipun terasa berat, tetapi Setanggi merasa harus berbuat sesuatu agar bisa membuktikan bahwa dirinya adalah putri kerajaan. Sepeninggalannya, raja Bantahan masih menatap kearah langit melepas penerbangan ruai betina.
            Rupanya Setanggi tidak terbang jauh. Setelah raja masuk kembali ke dalam istana, secara diam-diam ia juga kembali memasuki kawasan istana. Ia menuju kamarnya. Berusaha agar tidak ada satu pengawalpun maupun putrid-putri yang lain melihatnya. Ada celah yang cukup luas untuk seekor burung masuk. Setanggi ingin tidur lagi dikamarnya. Tapi sekarang ia hanyalah seekor binatang. Apa yang bisa di buatnya? Setanggi berpikir keras. Sebuah ide cemerlang terlintas di benaknya.
***********
            Sejak diberitahu perihal kehilangan Setanggi dari istana utara, pangeran Panca melewati harinya dengan perasaan muram. Banyak melamun dan menyayangkan. Bidadari impiannya kini telah pergi kealam lain. Mungkin. Tapi sang pangeran senantiasa berupaya untuk mengatakan kepada dirinya sendiri bahwa Setanggi masih hidup. Dan suatu saat mereka akan dipertemukannya kembali.
            Raja Sakur dan permaisuri Cempaka mencemaskan keadaan putranya yang semakin memprihatinkan. Berkali-kali menawarkan kepada pangeran Panca agar memilih saja salah satu dari enam putrid raja Bantahan. Bukankah ada tiga lagi bidadari yang belum di lihatnya?. Semuanya sia-sia belaka. Perasaan pangeran bantahan sudah terikat pada si bungsu. Hati kecilnya berkata bahwa gadis itulah jodoh yang telah tertakdir.
            Dua hari sejak kehilangan Setanggi, raja Sakur, permaisuri Cempaka dan tidak lepas pangeran Panca menerima kedatangan utusan dari raja Bantahan. Tentu saja berkenaan dengan apa yang tengah melanda putri raja Tarung itu. Ketika itu juga, raja Bantahan menyampaikan penyesalannya atas segala pembatalan, terutama acara pernikahan. Ketiga orang yang diberi kabar mencoba untuk maklum, tetapi pangeran Panca tetap saja tidak bisa melupakan dan merelakan begitu saja. Jadilah hidupnya seperti dedaunan kering yang jatuh ke tanah. Pergi kemana saja angin membawa.
            Merasa hatinya tidak terhibur didalam istana, pangeran Panca mengajak beberapa pengawal untuk berburu dan mencari burung ruai. Barang kali saja ia akan menemukan burung langka tersebut. Dan tepat, di tengah hutan. Tak jauh dari gua batu dan wilayah perbatasan kerajaan selatan dan utara, pangeran Panca melihat seekor ruai betina tengah mengangkasa. Terlalu tinggi untuk di kejar. Tetapi ruai betina tersebut masuk kawasan kerajaan kuning.
************
            Setanggi baru akan memulai rencananya ketika tengah malam. Sebagai sebuah antisipasi agar tidak ada seorangpun yang akan melihatnya keluar masuk kamar sang putri.
            Tengah malam telah tiba. Suara binatang malam dari hutan riuh dan beraneka suara. Dari longlongan serigala, burung hantu, jangkrik, dan bunyi-bunyian yang membuat merinding jika terlalu di perdengarkan. Kenyataannya, istana kuning masih di dampingi oleh hutan yang rimbun.
            Sesosok bayangan hitam, berbaju hitam dan bertopeng yang hanya menampakkan mata juga berwarna hitam, mengintip-ngintip di balik jendela kamar tidur sang raja. Mengendap-ngendap. Langkahnya diatur sepelan mungkin agar penghuni kamar tidak terjaga dan berteriak memanggil pengawal. Semua rencananya akan berantakan. Dan siap-siap dengan konsekuensi yang jauh lebih parah dari ketahuan oleh sang raja.
            Kenanga mencari waktu yang sangat tepat untuk memberitahukan prahara yang sesungguhnya terjadi di istana kepada ayahandanya. Tetapi sangat susah untuk mencari waktu itu. Kelima saudarinya seringkali memperhatikan gerak-geriknya. Meskipun terlihat tidak seperti itu, tetapi Kenangan tahu apa yang di pikirkan oleh Kasturi, Bakung dan Mawar. Mereka semua was-was jika Kenanga berani untuk mengadu kepada sang raja.
            Kenanga juga tahu, tiga saudari tertuanya memerintahkn beberapa pengawal pengawal untuk melihat segala kemungkinan-kemungkinan pengaduan dirinya pada ayahandanya. Namun celakanya, Kenanga tidak tahu pengawal yang mana. Dan sekarang saat yang tepat, pikir Kenanga. Kesempatan emas ini tidak boleh dilepas begitu saja. Mungkin tidak ada yang kedua.
            Berbekal sedikit keberanian, setelah semua putri-putri tertidur pulas dan pengawal pun mulai ternguap-nguap, Kenanga beraksi.
            Kenanga mencungkil daun jendela dengan pisau yang dibawanya. Dua pengawal menjaga pintu masuk. Kenanga harus berhati-hati. Ternyata tidak sesulit yang Kenanga bayangkan. Mungkin sebelum tidur tadi ayahandanya mencari angin dengan membuka jendela. Dan ketika mengantuk hanya merapatkan daunnya, tidak menguncinya. Kenanga lega dan bersyukur urusannya di pemudah Yang Maha Kuasa. Apapun yang terjadi nanti, dia sudah pasrah dengan resiko sebesar apapun. Meskipun ancaman pelenyapan dari saudari kandunganya sendiri.
            Raja Bantahan menggeliat dan membetulkan posisi tidurnya, tetapi masih dalam indahnya mimpi. Melihat itu, Kenanga meningkap di lantai. Takut baying-bayangannya terlihat oleh pengawal dari luar. Kenanga mendekati ayahandanya yang tidur dengan pulas. Mungkin ini tidur terpulas sejak kehilangan Setanggi. Sebenarnya Kenanga kasihan untuk membangunkannya, tetapi ada sesuatu yang lebih penting.
            Kenanga membelai muka ayahandanya dengan lembut sebagaimana sering ia lihat Setanggi melakukannya. Ia sendiri untuk pertama kali melakukan itu. Muka ayahandanya begitu kasar dan keriput. Bulu-bulu brewoknya sedikit menggelikan telapak tangan Kenanga. Masih terpejam, “Setanggi?” raja berucap.
            Kenanga membuka penutup mukanya seiringan dengan raja membuka matanya. Kenanga meletakkan telunjuk jari merepat kebibir ayahandanya.
            “Kenanga?” raja heran
            Kenagan mengangguk. Raja mengerti. Kenanga ingin agar dirinya berbicara sepelan mungkin dengan putri yang lebih tua sedikit dari Setanggi itu.
            “Apa yang kamu lakukan?” raja menambahkan, penasaran.
            Kenanga berbicara keadaan sesungguhnya yang menimpa Setanggi. Siapa dalang dibalik semua itu. Tak terlepas mengatakan penyesalannya karena sedikit banyak terlibat dan tidak mampu menghalangi rencana si sulung. Terakhir, Kenanga bercerita tentang dirinya yang harus menjadi penghuni gudang lama selama bebera jam.
            Raja Bantahan sama sekali tidak menyangka penghianatan dari orang yang diberi kepercayaan untuk mengurus istana dan saudari-saudarinya. Raja murka. Dan sudah pasti berniat akan menghukum Kasturi terutama. Karena dia otak di sebalik ini.
            “Jangan ayahanda. Ananda yakin Setanggi masih hidup. Setanggi anak yang cerdas untuk bertahan di dalam hutan batu. Yakinlah ayahanda! Menghukum Kasturi secara terang-terangan malah akan memperburuk citra kerajaan ini di mata mitra dan lawan-lawan ayahanda”
            “Kamu benar Kenanga. Setanggi anak yang cerdas dan pandai. Perasaan ayah juga yakin bahwa Setanggi masih ada di luar sana. Tapi kita semua tahu, tentang ular raksasa penghuni hutan batu bukan? Ayah harus mengarahkan pengawal untuk mencarinya di hutan batu.”
            “Jangan ayahanda. Jika itu yang terjadi, pasti Kasturi dan yang lainnya mengetahui dari mana sumber informasi ini ayahanda dapati. Dan nyawa ananda terancam. Ananda tidak ingin cepat-cepat meninggalkan ayahanda.”
            “Apakah ananda punya rencana?”
            “Belum ayahanda. Lebih baik kalau rencana itu berujung pada pengakuan Kasturi sendiri di hadapan ayahanda.”
            “Ayahanda akan pikirkan itu.”
            “Sebaiknya Kenanga  keluar segera ayahanda, sebelum semuanya sadar kehadiran Kenanga di sini.”
            Raja diam bertanda mengiyakan. Namun, ketika Kenanga sudah mencapai daun jendela dan hendak melompat keluar. Tiba-tiba raja berujar. “Kenanga, ayahanda juga akan memikirkan hukuman apa yang pantas untuk keterlibatan kalian semua dalam masalah ini.”
            Kenanga mengangguk lemas. Ini sudah diperkirakan sebelumnya. Tetapi hatinya terasa lapang. Berkurangnya beban rahasia yang selama ini di pendamnya. Meskipun hukuman di buang keluar dari istana pun akan diambilnya dengan ikhlas jika itu keputusan yang menurut ayahandanya paling bijaksana.
***********
            Sementara itu, Setanggi tengah bersusah payah memotong-motong batang rumput dengan paruhnya. Kemudian dibawa kedalam kamar. Seperti dugaannya, tengah malam itu sepi adanya. Jadi ia lebih mudah untuk keluar masuk kamarnya sendiri. Setanggi lupa untuk menghitung sebenarnya sudah berapa kali ia bolak balik dari kamar ke taman dan dari taman ke kamar.
            “Cukup.” Pikir Setanggi puas. Namun tubuh kecilnya merasa cukup lelah. Tapi ia tidak ingin menunda-nunda untuk membuat kode yang akan bisa di baca oleh siapapun ketika memasuki kamarnya. Dan harapan Setanggi adalah ayahandanya yang pertama kali membacanya.
            Dengan menggunakan paruhnya, ruai betina itu berupa merangkai huruf-huruf. Tidak mudah untuk menyusun batang-batang rumput itu. Setelah susah payah, terbang sana-terbang sini. Akhirnya, usahanya berbuah. Syukur saja penerangan dikamarnya selalu saja menyala, sehingga pekerjaannya jadi bertambah mudah. Setanggi beristirahat sejenak tetapi harus menguat diri kembali untuk terbang keluar, ketika terdengar suara beberapa orang di luar kamarnya. Bergegas ia keluar, dan mendengarkan perbincangan tiga orang yang memasuki kamarnya tanpa izin dan mengendap-ngendap.
            “Kenanga. Apa yang kamu lakukan malam-malam begini?” Suara Seroja dipelankan tak lebih dari berbisik-bisik saja.
            “Aku menemui ayahanda.”
            “Apakah kamu sudah gila, Kenanga. Kita bisa di hukum.” Teratai menambahkan.
            “Aku tahu. Dan aku juga bercerita kepada ayahanda keterlibatan kalian dalam hal ini.” Kenanga berbicara dengan nada kepasrahan. Meskipun untuk disekap kembali oleh kedua kakandanya malam itu di gudang lama. Atau yang lebih parah sekalipun.
            “Lalu apa kata ayahanda?”
            “Ayahanda akan memikirkan hukuman apa yang pantas untuk kita semua.”
            Seroja dan Teratai bergidik. Masing-masing membayangkan akibat perbuatannya beberapa waktu yang lalu. Dan semuanya diam kemudian.
            “Teratai, Kenanga. Lihat.” Seroja berjalan diantara kedua saudarinya. Melihat batang-batang rumput yang disusun menjadi sebuah kalimat. Acak-acakan, tetapi bisa dibaca dengan jelas.
            Ketiganya saling berpandangan. Tersenyum. Seolah-olah harapan baru telah muncul. Dan Adiknya yang dikiranya telah menghadap ilahi, ternyata masih ada di dekatnya.
            “Setanggi. Apakah kau disana?”
            Setanggi tidak menjawab. Ia kecewa dan kembali merasa terancam. Bukan ayahandanya yang membaca pesan yang ingin disampaikannya, tetapi mereka yang ternyata terlibat juga dalam rencana pengasingan dirinya di hutan batu.
            Terdengar kepakan sayap. Terdengar nyaring dari dalam kamar. Seekor burung ruai terbang diatas atap istana. Ketiga putri itu cepat-cepat membuka jendela. Tapi sosok burung itu tidak nampak di dalam kegelapan. Hanya terdengar kepakan sayap di udara.
            Ketiganya menyebut-nyebut nama Setanggi dengan keras. Tetapi hanya dalam hati. Tidak mungkin untuk meneriakkanya sekuat suara, kecuali jika ingin mereka tertangkap basah saat itu. Mereka hanya berpikir keras bagaimana caranya untuk memberi berita menggembirakan ini kepada ayahandanya.
***********
            “Maafkan hamba, paduka. Hamba tidak memberikan kabar untuk bertandang ke istana paduka terlebih dahulu.” Pangeran Panca menghadap.
            “Bangunlah. Tidak apa-apa. Seharusnya saya yang meminta maaf atas apa yang telah terjadi beberapa hari ini.” Tukas raja Bantahan
            “Hamba sudah mulai bisa melupakan itu, paduka. Sebenarnya kedatangan hamba kesini secara tidak sengaja. Hamba membawa diri kedalam hutan di perbatasan wilayah kekuasaan paduka dan ayahanda untuk berburu. Hamba masih ingin mencari burung ruai.
Tetapi tetap saja nihil, hingga tak berselang lama hamba melihat seekor ruai betina tengah mengangkasa. Ruai itu sepertinya berasal dari hutan batu yang ada di kekuasaan paduka. Dan ketika hamba menongakkan keatas, hamba melihat burung itu terbang menuju arah dimana istana ini berdiri.”
            “Benarkah itu, pangeran Panca?. Ini sungguh ajaib. Pasti ada sesuatu di balik ini semua. Kemarin ketika saya tengah duduk-duduk di pondopo depan istana, seekor ruai betina menghampiri dan hinggap di pundakku.”
            “Ini pasti bukan kebetulan, paduka.” Pangeran Panca meyakinkan.
            Raja bantahan kembali teringat apa yang telah di dengarnya dari Kenanga tadi malam. Gua Batu, hutan Batu, lenyapnya Setanggi ditelan bumi, dan perilaku kotor ketiga putri lainnya.
            “Mungkinkah?” Mata raja mulai memerah dan basah
            ‘Setanggi…” Lanjut raja lagi
            “Apakah raja tidak apa-apa.” Beberapa pengawal menghampiri. Raja mengiyakan dan bilang bahwa dirinya hanya teringat putri bungsunya.
            “Apakah paduka tidak apa-apa?” Tanya pangeran Panca kemudian mayakinkan dirinya dan pengawal istana.
            “Iya, saya baik-baik saja.”
***********
            Berita kehilangan Setanggi tidak di umumkan kepada khalayak. Sehingga rakyat jelata tidak satu pun perihal itu. Hanya orang-orang di istana yang mulai sibuk membicara ketiadaan Setanggi di tempat mereka mengabdi.
            “Kebetulan, sekarang Kasturi, Bakung dan Mawar dipanggil menghadap ayahanda. Ini kesempatan kita untuk menyelinap masuk ke kamar ayah dan menyelipkan kertas ini di balik bantal ayahanda.” Ide brilian itu di utarakan.
            “Tapi sebaiknya Seroja atau Teratai yang masuk kesana. Karena jika saya yang masuk, pasti pengawal suruhan Kasturi akan curiga.” Kenanga memberi saran.
            “Biar saya yang masuk. Karena akhir-akhir ini saya yang lebih sering mengantar minuman keruang ayahanda. Jadi tidak ada satupun yang bakal curiga.” Teratai menawarkan diri.
************
            Ketiga putri yang tengah menghadap paduka raja merasa was-was atas panggilan mendadak itu. “Jangan-jangan rahasia telah terbongkar. Pasti ada seseorang yang telah membongkarnya. Kenanga. Siapa lagi yang berani.” Kata-kata itu menggelayuti pikiran mereka bertiga.
            “Maaf ayahanda, ada apakah gerangan ayahanda tiba-tiba memanggil ananda bertiga untuk menghadap?” Kasturi mengawali dan berusaha menunjukkan wajah tenang.
            Raja bantahan berdehem. Dan jelas mengetahui kerisauan yang ada didalam hati ketiga putrinya itu.
            “Begini.” Raja berucap sepatah. Dan mengatur irama pembicaraan.
            “Ayahanda berpikir tentu kalian ikut bersedih lantaran kehilangan adik bungsu kalian. Sebagai hiburan, besok akan ada pesta panen pertama di desa Kemuning. Jadi ayahanda mengutus ananda bertiga untuk menggantikan dan mewakili ayahanda disana. Nanti beberapa panglima juga akan ikut mengawal. Ayahanda masih terlalu sedih untuk berpesta bersama rakyat. Untuk kalian, bergembiralah disana!”
            Tampak kelegaan di muka ketiga putri tersebut. Ternyata apa yang dicemaskannya tidak terjadi.
            “Bagaimana?” Raja Bantahan menegaskan
            “Baiklah ayahanda. Ananda tidak keberatan.” Bakung setuju
            “Ananda juga, ayahanda.” Lanjut Mawar
            “Ananda juga sama.” Ucap Kasturi terakhir.
            Teratai telah kembali dari ruangan ayahandanya. Menyelipkan catatan kecil dibawah bantal tidur. Dan berdoa agar ayahandanya segera membacanya.
**********
            Malam kembali datang. Tamu dari selatan diminta untuk menginap barang semalam di istana kuning tersebut. Yang dimintai tidak keberatan. Dan tengah berisitirahan di kamar tamu kerajaan.
            Dikamarnya, raja Bantahan tidak bisa melelapkan mata. Pikirannya mengembara dan menduga-duga. Benarkah ini semua? Mungkinkah ruai kemarin itu adalah anaknya, Setanggi. Raja berdiri dari duduknya dan menuju lilin yang tengah menggoyangkan api diatasnya. Meniupnya. Ruangan menjadi gelap. Rajapun membaringkan tubuh dan mengalas kepalanya dengan bantal. Tetapi terasa ada sesuatu di bawahnya. Sebuah kertas. Penasaran, dihidupkannya kembali lilin dan membaca apa yang tertulis di kertas tersebut.
            “Setanggi…” raja bantahan menangis sejadi-jadinya.
            Benar adanya burung ruai betina itu adalah Setanggi. Dan ia menyesal telah membiarkan burung itu kembali terbang ke istana kemarin. Raja menyesali dirinya sendiri. Andai saja ia lebih peka membaca isyarat-isyarat yang diberikan oleh sang burung yang ingin mengatakan bahwa dirinya adalah Setanggi. Raja Bantahan kembali menangis.
            Tiba-tiba terdengar sesuatu jatuh diatap tepat diatas kamar raja Bantahan. “Setanggi.” Pikirnya spontan.
            Terdengar kepakan sayap. Semakin mendekati jendela kamar. Raja menghampiri jendela dan bersegera membukannya. Tepat. Seekor ruai betina masuk kedalam kamar. Hinggap di tubuh raja. Raja memeluk burung betina itu. Memeluk sekuat-kuatnya.
            “Ayahanda tahu, kamu adalah Setanggi, putriku. Maafkan ayahanda yang telah lalai menjaga keselamatan ananda.” Ruai tetap tidak berontak di pelakukan lelaki tua itu. Merasakan hangatnya tubuh dan menumpahkan kerinduan yang juga sama dirasakan olehnya. Tapi sayang, Setanggi tidak bisa bercakap-cakap dengan ayahnya. Padahal dirinya sebenarnya menyebut-nyebut nama ayahandanya. Berulang-ulang.
            Masih dalam memeluk putrinya yang kini menjelma menjadi seekor burung, raja Bantahan berpikir “lalu, siapa yang meletakkan kertas dibawah bantalnya?”
            “Teratai. Si pengantar minuman!”
            Terdengar kembali sesuatu terjatuh di atas dan berlabuh di atap di atas kamar sang raja.
************
            Sarapan yang mengesankan bagi pangeran Panca karena dirinya ditemani oleh raja Bantahan beserta ketiga bidadari berbeda yang tidak kalah memukaunya. Hatinya bernyanyi.
            “Bagaimana tidurmu, pangeran?”
            “Luar biasa nyenyak, paduka. Hamba bermimpi bertemu dengan seseorang yang sangat hamba rindukan di istana ini. Rasanya hamba ingin berlama-lama di sini, tetapi hamba sama sekali tidak mengabari istana selatan kedatangan hamba disini. Hamba takut, ayahanda dan ibunda khawatir. Mereka hanya tahu, hamba pergi berburu. Dan hamba tidak pulang. Pasti pikiran-pikiran gelisah menghantui mereka.”
            “Benarkah pangeran bermimpi bertemu dengan putriku didalam mimpi?”
            Pangeran panca mengangguk.
            “Semalam saya menemukan secarik kertas di bawah bantal.” Raja Bantahan berbicara sambil memandang Teratai. Teratai tersedak.
            “Yang pasti itu bukan dari Setanggi. Tetapi memberi pesan tentang Setanggi.” Raja melanjutkan.
            “Paduka, apakah Setanggi masih hidup?” Tanya pangeran Panca mengejar.
            Teratai, Seroja dan Kenanga berpandangan satu sama lain. Seperti yang direncanakan ayahandanya telah membaca pesan melalui secarik kertas itu. Mereka semua bahagia.
            “Saya sangat berterima kasih kepada siapapun orang itu.” Kata sang raja lagi. Kembali memandangi ketiga putrinya.
            “Pangeran, saya ingin menunjukkan sesuatu kepadamu. Maukah pangeran ikut denganku?”
            “Baiklah paduka.”
            Pangeran Panca masih dengan pikirannya sendiri. Apakah Setanggi benar-benar masih hidup.
            Ketiga bidadari istana itu tetap di posisi duduknya dengan terkaannya sendiri akan sesuatu apa yang ingin ayahandanya sampaikan pada pangeran Panca. Raja dan pangeran Panca berjalan menuju ke suatu tempat.
            “Silakan, pangeran.” Raja mempersilahkan pangeran untuk masuk terlebih dahulu.
            Pangeran masuk keruangan yang tak lain dan tak bukan adalah kamar sang raja. Pangeran Panca melihat seluruh sudut kamar. Dari atas sampai bawah. Berbagai samakan kulit binatang mulai dari harimau, kijang, tenggiling, ular dan lainnya tak dapat pangeran Panca sebutkan satu per satu. Di sisi lainnya, koleksi perak dan emas tampak dari teko antik, sloki, kompas, kursi hingga lemari. Semuanya memantulkan cahaya kekuningan.
            “apakah pangeran benar-benar telah melupakan ananda, Setanggi?” raja Bantahan berucap sambil mempersilakan pangeran Panca duduk di kursi kekuning-kuningan tadi.
            “Bukankah takdir telah memisahkan kami berdua, paduka?”
            “Bagaimana seandainya Setanggi masih hidup?”
            Pangeran Panca terdiam. “Paduka, kita semua sama-sama tahu bahwa meskipun hamba tidak pernah berbicara dengan Setanggi, tetapi hati hamba dengannya terasa dekat. Apakah Setanggi juga merasa seperti itu, paduka?”
            “Sebenarnya saya tidak tahu pasti. Masalah pernikahan ini sama sekali belum sempat saya bicarakan dengannya. Saya ingin memberikan kejutan kepadanya awalnya. Semua musnah, ketika saya mengetahui Setanggi sudah tidak ada setibanya saya disini.”
            “Jadi, Setanggi sama sekali tidak tahu tentang ini semuanya?”
            “Ya, bahkan ia tidak tahu alasan tepat mengapa ia dibuang.”
            “Dibuang?”
            “oh, tidak. Maksud saya, kami tidak tahu secara pasti alasan Setanggi meninggalkan Istana.”
            “Maaf, saya hampir lupa.” Raja bantahan berjalan menuju sebuah lukisan yang menggantung di dinding. Dan serta merta menggeser sedikit lukisan tersebut. Tiba-tiba sebuah dinding yang lain bergeser, membuat lubang. Tepatnya membuat sebuah pintu yang menunjukkan bahwa di situ ada ruangan.
            “Silakan.” Raja Bantahan berkata kemudian
            Pangeran Panca berdiri dan menghampiri pintu ruangan rahasia di ikuti oleh sang Raja di belakang.
*************
            Setanggi terkejut. Ada seseorang masuk ke tempat persembunyiannya. Tak sempat untuk terbang dan bersembunyi, sesosok manusia muda yang pernah bertabrakan badan dengannya. Setanggi merasa takut. Dan rasa takut itu, sirna setelah melihat seorang lelaki tua dibelakangnya.
            “Ayah….?” Suara hati Setanggi berbicara
            “Ini…ini….” Pangeran Panca merasa dirinya masih tertidur dan bermimpi bertemu dengan seekor ruai.
            “Paduka…” Pangeran Panca mencoba untuk melanjutkan kata-katanya, namun ia terlalu gembira untuk menyelesaikannya. Pangeran panca mendekati sang burung betina. Tetapi kepakan sayap menghembuskan angin yang membuat pangeran Panca melindungi matanya dari bulu-bulu halus yang beterbangan.
            “Darimana paduka mendapatkannya.”
            Raja yang ditanya tidak menjawab dan terus memandangi kearah mana saja ruai terbang.
            “Ruai. Ini namanya pangeran Panca”.
“Jadi ini yang namanya pangeran Panca.” Ucap ruai membatin.
“Pangeran, saya hadiahkan burung ruai ini. Jagalah ia baik-baik. Kesabaran pangeran akan berbuah manis nantinya. Suatu saat pangeran akan mendapatkan Setanggi kembali. Tetapi seandainya, jika pangeran tidak sanggup untuk mengurusnya dengan baik. Lepaskan saja ia ke udaranya dan biarkan menuju tempat kemana seharusnya. Syarat terakhir. Jangan pernah menyakitinya! Jika itu terjadi, aku pasti akan memperhitungkannya.”
“Baik paduka”
Epilog:
            Bara terlanjur merasa kasihan pada Setanggi yang tidak mungkin bisa berkomunikasi secara verbal dengan ayahandanya. Ia  menguatkan diri untuk bertandang ke istana kuning dalam wujud ruai jantan pada mulanya. Setibanya di kamar raja, Bara merumah wujud menjadi manusia sempurna. Ia bercerita banyak akan pertemuannya dengan Setanggi. Tak lupa, ia juga mengatakan bahwa wujud Setanggi akan kembali normal dalam 100 purnama ke depan.
            Penyerahan penjagaan ruai betina kepada pangeran Panca dimaksudkan agar Keselamatan Setanggi lebih terjamin dan ruang geraknya lebih luasa. Dan seperti pesan sang raja, pangeran Panca menjaganya dengan sangat baik. Harapan untuk bertemu Setanggi lagi begitu memuncak. Meskipun ia sendiri tidak tahu meski harus menunggu seabad purnama lamanya.

CATATAN:  Tuturan asli salah satunya dari www.sambas.go.id . Versi ini murni atas pemugaran dan renovasi cerita dengan menambahkan nama, tokoh, karakter, dan alur berdasarkan imajinasi penulis sendiri.

           
             







   
 
;