Angin
sore terasa lembab dan menggoyangkan dedaunan sengon yang berjejer di luar
pagar istana. Hingga tampak melambai-lambai dari kejauhan. Desaunya memanggil-manggil
kepada siapa saja yang berada di sekitarnya. Melenakan, membuai, hingga menidurkan
mata. Angin sore tersebut juga merayap ke sebuah pondopo dimana dua anak
manusia tengah bercengkerama sambil bersila dan menatap satu sama lain.
“Ayahanda,
hamba merindu ibunda.”
“Yang
ayah rasa juga tak kurang Setanggi, bahkan jauh lebih besar.”
“Apakah
ayahanda berniat ingin mencari pendamping lagi. Kalaupun itu yang ayahanda
pikirkan, jangan khawatir, ananda bahkan senang. Malam-malam ayahanda tidak
lagi sendiri. Serta masalah-masalah istana bisa ayahanda bagi dengannya nanti.”
“Tidak
Setanggi. Ayahanda terlalu cinta dengan bundamu. Dan tidak ada lagi yang bisa
menggantikannya. Asal kamu tahu Setanggi, ayahanda selalu merasa bundamu ada di
antara kita.”
Setanggi
hanya tersenyum senang. Dan berharap apa yang diucapkan oleh ayahandanya
barusan benar adanya. Dan jujur saja, dia tidak ingin ada seorang wanita lain
disamping ayahnya selain ibundanya. Tapi terkadang dia merasa kasihan dengan
kesendirian ayahandanya. Dan baru saja dia mendengar langsung dari sang raja,
bahwa tidak ada lagi permaisuri di istana setelah ibundanya, Purnama, ia
menjadi yakin.
Seorang
pengawal datang menghampiri. Membawa tombak sebagai bukti statusnya di istana.
Berbaju kuning berlengan panjang. Dan celana yang juga kuning, sebetis. Kepalanya
berbalut kain yang juga berwarna kuning.
“Maafkan
hamba yang mulia. Tamu dari kerajaan selatan sudah pun tiba.” Sang pengawal
berucap sambil merendahkan tubuh dan menunduk. Tangan kanannya di letakkan di
dada kiri.
“Ayahanda
harus meninggalkanmu sendirian disini, Setanggi.”
“Tidak
apa-apa ayahanda. Ananda masih ingin berlama-lama disini”
Raja
Bantahan itu pun meninggalkan pondopo berwarna kuning tersebut. Meninggalkan
putrinya yang tengah menikmati sendunya sore dengan belaian sang angin.
Sementara itu, Setanggi menatap langit petang. Serasa wajah ibundanya ada
disana.
********
“Teratai,
gantian!”
“Aduh,
saya kan baru
sebentar.”
“Cepat
Seroja, jangan lama-lama. Giliran saya sekarang.”
“Ganteng
bukan, Kenanga?”
Kenanga
mengangguk. Tapi matanya masih terus mengintip dari balik pintu.
“Sekarang
saya lagi.” Teratai menarik baju Kenanga tidak sabar.
“Andai
saja dia menjadi pangeranku.” Mata Kenanga berbinar-binar dan hayalannya
membumbung keangkasa. Mukanya menengadah ke langit-langit kamarnya.
“Enak
saja!. Pemuda itu akan di jodohkan dengan Kasturi, Mawar, atau Bakung. Buktinya
mereka bertiga tengah menyambut kedatangan utusan kerajaan selatan tersebut.”
Bantah Seroja kepada adindanya.
“Tapi
saya ingin sebuah keajaiban.” Tukas Kenanga kembali yang masih dengan mata
tertutup. Membayangkan sang pemuda idaman menjadi miliknya.
“Teratai!
Enak saja. Sekarang giliran saya.” Seroja yang tidak mau ketinggalan setiap
detik memandangi pangeran kacak tersebut meskipun dari balik pintu. Ia
menghiraukan khayalan Kenanga yang baru saja di dengarnya. Gonta-ganti
pengintip pun terjadi antara tiga putri istana di balik hijab kayu.
“Bagaimana
kabarmu wahai pemuda.” Sapa raja membuka pembicaraan.
“Sehat,
begitu juga dengan ayahanda dan ibunda, paduka.” Jawab pemuda yang dikenal
dengan nama pangeran Panca.
“Maaf
paduka, sebenarnya saya tidak terlalu mengerti alasan ayahanda menyuruh hamba
untuk bertandang ke kerajaan utara ini?”
Raja
bantahan tersenyum begitu pula dengan tiga putrinya yang tengah tersipu-sipu
memandangi pemuda yang ada di hadapannya.
“Begini.”
Suara raja bantahan tertahan.
“Raja
Sakur memandang, sudah saatnya bagi putranya untuk memiliki pendamping hidup.
Sebenarnya ini telah kami bicarakan jauh-jauh hari. Disamping untuk mempererat
hubungan antar kerajaan, kami juga berniat untuk mempererat hubungan
kekeluargaan.” Jelas Raja Bantahan.
Tepat
seperti apa yang diduga oleh Pengeran Panca sebelumnya. Ayahandanya berniat
ingin menjodohkan dirinya dengan salah satu putri Raja Bantahan. Dan ia pun
senang. Karena berdasarkan kabar yang ia dengar, putri-putri Raja Bantahan
cantik-cantik belaka. Dan benar. Tiga gadis dihadapannya menjadi bukti.
Belum
sempat Pangeran Panca berucap, Raja Bantahan melanjutkan
“Ini
namanya Kasturi, putri sulung saya.” Ucap Raja sembari menunjuk kearah jelita yang
duduk tepat disampingnya. Kasturi berkemban ungu cerah. Selendangnya membungkus
dari leher hingga ke siku. Juga berwarna ungu cerah. Ketika namanya di sebut,
Kasturi tersenyum kemudian menunduk.
“Yang
bergaun merah, putri kedua, Mawar namanya.” Raja menambahkan
“Secantik
orangnya, paduka.” Pangeran Panca menyela.
Mawar
juga tersipu seperti kakaknya. Dan ada kemenangan tersendiri atas pujian yang
dilontarkan kepadanya oleh Pangeran Panca.
“Dan
terakhir, namanya Bakung.”
Putri
yang di sebut juga tersenyum simpul dan malu-malu. Pangeran Panca mengangguk.
“Benar apa yang pernah di dengarnya tentang bidadari-bidadari kerajaan ini.”
“Bukankah…?”
Pangeran Panca mencoba untuk bertanya lebih banyak. Tapi urung. Dan berpikir
bahwa pasti ada alasan tertentu bagi sang raja untuk tidak memperlihatkan ke
tujuh putri kesayangannya.
**********
Hidangan
mewah di sajikan diatas meja. Dan telah disantap oleh raja Bantahan, ketiga
putrinya dan pangeran Panca. Di sisi pintu masuk, berdiri dua pengawal kerajaan
yang tetap dengan pakaian kuningnya. Khas kerajaan Bantahan. Berbeda dengan
hitam yang merupakan ciri dari kerajaan Selatan.
“Terima
kasih paduka atas jamuannya. Sangat lezat.” Ucap pangeran Panca setelah merasa
kenyang dan puas atas santapannya tadi. Apalagi ditemani oleh jelita yang salah
satunya bakal menjadi permaisurinya.
“Sudah
selayaknya bagi kerajaan kami untuk melayani tamu dengan sebaik-baiknya. Itu
adat kami di kerajaan ini.” Balas raja Bantahan kemudian.
“Hamba
rasa sudah saatnya untuk hamba kembali ke istana, paduka. Untuk langkah
selanjutnya tentang pertemuan ini, hamba serahkan semuanya kepada perbincangan
paduka dengan ayahanda. Hamba menurut saja. Siapapun salah satu diantara tiga
wanita dihadapan hamba, hamba setuju.” Kembali pangeran Panca Berujar.
“Baiklah
kalau begitu, pangeran.” Ucap raja menutup pembicaraan.
Pengawal
istana baru saja akan membuka pintu ruang tamu, tiba-tiba sosok Setanggi
berlari dan mendobrak pintu. Tubuhnya terjatuh ke lantai dan secara tidak
sengaja bertatap muka dengan pangeran Panca. Semua terkejut. Apalagi ketiga
saudari Setanggi.
“Maaf
ayahanda. Ananda kira pertemuannya sudah selesai. Sekali lagi ananda minta maaf
atas kelancangan ananda.”
Raja
Bantahan terlampau baik hati untuk memarahi putri bungsunya tersebut. Segera
menghampiri putrinya yang masih terjerembab di lantai dan membantunya berdiri.
“Maaf
atas ketidaksopanan putri bungsu saya, pangeran.” Raja menundukkan badan
sedikit tanda penghormatan untuk setiap kerajaan dan para bangsawan.
“Putri
bungsu?” Pangeran Panca terpana dan hanya mampu berucap dengan kata
terbata-bata
“Namanya
Setanggi.” Kata raja menjawab tanda tanya diwajah sang pangeran. Dan pangeran
mengangguk pelan.
Setanggi
tidak berani mendongakkan kepala lantaran kesalahan yang telah diperbuatnya
kepada tamu kehormatan kerajaan. Sementara Kasturi, Mawar dan Bakung berkecamuk
marah dengan pikirannya masing-masing. Bahkan tiap mereka ingin memarahi
Setanggi sejadi-jadinya atas perilaku tak senonoh tadi sekaligus perilaku yang
bisa mengancam perjodohannya.
“Maaf
paduka, hamba harus segera pulang ke istana.” Kata terakhir dari mulut pangeran
Panca sebagai pamit kepergiannya meninggalkan istana kuning itu. Dan sosok
pangeran pun menghilang seketika pintu ruang tamu di tutup lembut oleh dua
pengawal.
“Ayahanda,
tidak sepantasnya apa yang telah dilakukan oleh Setanggi. Ini bisa menjadi aib
bagi kerajaan kita.” Ucap Kasturi emosi.
“Benar
ayahanda, seharusnya Setanggi diberi kelas khusus agar dia bisa mempelajari
sopan santun kerajaan.” Timpal Mawar lagi
Tak
mau ketinggalan, Bakung pun memberikan saran kepada ayahandanya “Sebaiknya
Setanggi di beri hukuman yang berat agar jera, ayahanda.”
Raja
Bantahan sedikit bingung mendengar ucapan para putrinya. Di tatapnya wajah
Setanggi. Sedih. Sebuah tanda penyesalan dari perbuatan yang tidak disengajanya
tadi.
“Ayahanda
tahu, tadi Setanggi tidak sengaja. Jadi, lupakan saja apa yang terjadi beberapa
saat lalu.” Pinta sang raja
“Tapi
ayah,” Mawar mencoba membantah
Namum raja terlanjur mengangkat
tangan kanannya yang menandakan tidak ada lagi negosiasi. Dan ketiga putrinya
itu pun keluar dengan hati kesal.
“Maafkan
Setanggi, ayahanda.”
“Sudahlah,
ananda.” Raja memeluk putrinya yang masih di penuhi rasa bersalah.
Diatas
tandunya, pangeran Panca membayangkan dan menyebut-nyebut nama Setanggi.
Seolah-olah ia tengah mencium aroma terwangi diantara wanginya bebungaan.
**********
Sesampainya
di kerajaan selatan, nama pangeran Panca disebutkan. “Pangeran Panca tiba…”.
Sang pangeran pun turun dari tandu. Dan segera menuju ruang utama istana.
Menemui ayahanda dan ibundanya.
“Bagaimana,
putraku. Apakah kamu sudah menemui kesemua putri raja Bantahan?”
Pangeran
panca menggeleng. “Tidak. Hanya tiga. Tidak, empat.”
“Saya
pikir raja Bantahan tidak ingin mempertemukan ananda dengan ketujuh putrinya. Dan
ananda tidak tertarik untuk mengetahui kenapa.”
Raja
Sakur mengangguk setuju dengan penjelasan putranya.
“Lalu
siapa yang kamu pilih, anakku?” Tanya permaisuri Cempaka
“Hamba
menurut saja ibunda. Siapapun dia. Biar ayahanda dan raja Bantahan yang
membicarakannya lebih lanjut. Tetapi jika hamba bisa memilih, hamba memilih
Setanggi, ibunda. Tapi sayang, Setanggi tidak termasuk diantara tiga yang
dipertemukan dengan hamba tadi. Dan kelancangan yang tidak disengaja oleh
Setanggi lah menjadi sebab hamba mengenalnya.” Ungkap pangeran Panca.
“Karena
ananda sudah mengatakan akan mengikuti apa saja yang ayahanda putuskan, ananda
harus rela menerima apapun keputusan ayahanda.” Kata raja Sakur kemudian.
Pangeran
Panca menundukkan tubuh sedikit sebagai tanda tiada perlawanan atas ucapan
ayahandanya. “Ananda pamit dulu, ingin beristirahat di kamar.” Raja Sakur dan
permaisurinya hanya tersenyum, mengiyakan. Pangeran Panca meninggalkan ruang
utama kerajaan. Tapi pikirannya masih berbicara tentang Setanggi dan wajah
Setanggi jualah yang tiba-tiba terukir di dinding-dinding istana, di halaman
dan di pintu kamarnya. Jelita itu tersenyum. Memasuki kamar, pangeran Panca
langsung merebahkan diri. Tapi matanya menatap lekat tiap sudut kamar.
Menduga-duga mungkin Setanggi akan menemuinya.
Diruang
utama, raja Sakur dan permaisuri Cempaka memperbincangkan perihal apa yang
diutarakan putranya tadi. Dan akhirnya seseorang di utus untuk menyampaikan
undangan jamuan makan malam kepada raja Bantahan.
***********
“Saya
tidak terima. Ayahanda lebih mencintai Setanggi daripada kita semua.” Kasturi
memanasi ke lima
saudarinya. Sambil berdiri dan memukul-mukul pelan kearah dinding. “Ini bisa
mengancam jodohku. Aku tidak rela jika pangeran Panca harus jatuh ke pangkuan
si bungsu!” lanjutnya lagi.
Mawar
yang merasa lebih berhak atas pangeran Panca angkat bicara. “Asal kalian semua
tahu ya, pangeran Panca tadi lebih terkagum-kagum terhadap diriku. Jadi saya
kira, saya yang lebih berhak untuk tidak rela jika Setanggi menjadi orang
ketiga.”
“Memang
benar tadi pangeran Panca menyebut namamu, hai Mawar. Tapi itu bukanlah petanda
bahwa dia akan memilih kamu sebagai permaisurinya. Ketika menatap saya, dia
juga ternganga.” Bakung yang tidak mau diam akhirnya membuka mulut.
Adu
mulut kecil-kecilan pun terjadi antara ketiganya. Sementara Kenanga, Seroja,
dan Teratai tidak ambil peduli dengan pertengkaran itu. Sebenarnya mereka
masing-masing punya khayalan sendiri atas pangeran ganteng itu.
“Aduhai
pangeran Panca, hadirlah dalam mimpiku.” Ucap Kenanga tak sadar. Lalu menutup
mulutnya rapat-rapat. Semua mata menatap tajam ke arahnya. Lebih-lebih Kasturi,
Mawar dan Bakung.
“Kenanga!”
semuanya berteriak, mengecam. Kenanga menyesal atas tindakan bodohnya dan
semakin terperuk menahan kesal dan malu.
Tiba-tiba
dua orang pengawal yang senantiasa berjaga di luar kamar pun masuk.
“Ada apa gerangan tuan
putri? Tanya salah satu pengawal dengan raut muka cemas.
“Tidak
apa-apa. Kami semua baik-baik saja.”
Pengawal
tersebut pun keluar dan kembali menutup pintu.
***********
“Jadi
ayah akan pergi ke kerajaan selatan?” Tanya Kasturi di ruang utama istana.
Sengaja raja Bantahan memanggil putri sulungnya sendiri untuk menemuinya.
Semoga hal ini bisa mengurangi penolakan-penolakan yang mungkin terjadi.
“Ya,
utusan kerajaan selatan baru saja menemui ayahanda. Dan menyampaikan perihal
perjodohan pangeran Panca.” Jelas raja Bantahan
“Berarti
raja Sakur sudah memilih dengan siapa putranya akan menikah, ayahanda?”
Raja
mengangguk.
Kasturi
tersenyum lebar dan hatinya juga tersenyum sekaligus penasaran siapakah calon
permaisuri bertuah itu. Harapannya tentu saja dirinya sendiri.
“Siapa
ayahanda?” Desak Kasturi
“Ini
di luar dugaan ayahanda, Kasturi”
Kasturi
mulai was-was. “Maksud ayahanda?”
“Pangeran
Panca memilih Setanggi. Ayahanda juga tidak tahu apa sebabnya. Surat dari raja Sakur
tidak menjelaskan alasannya.”
Muka
Kasturi memerah, dan hatinya jelas tidak setuju.
“Tidak
ayahanda. Itu tidak mungkin terjadi. Bukankah perjodohan itu hanya antara
ananda, Mawar, dan Bakung. Tidak Setanggi. Pasti ada yang salah, ayahanda. Kemunculan
Setanggi hanya kecelakaan dan lebih tepatnya pengacau.” Kasturi menyatakan
penolakannya.
“Ayahanda
tidak bisa memaksakan kehendak pangeran Panca dan raja Sakur untuk memilih
salah satu diantara kalian bertiga. Dan ayahanda tahu, pasti pangeran Panca
juga berbicara tentang Setanggi.”
“Tapi
ayahanda kan
bisa bernegosiasi dengan raja Sakur dan pangeran Panca!”
“Cinta
itu masalah hati anakku. Ayahanda tentu tidak bisa memaksa kehendak pangeran
Panca dan ayahandanya.”
“Bukankah
pangeran Panca setuju saja apapun dan siapapun yang akan menjadi permaisurinya.
Seperti yang dia katakana waktu itu.”
“Kenyataannya,
pangeran Panca memilih Setanggi dan raja Sakur mengiyakannya.”
“Ayahanda
tidak bisa berbuat banyak, Kasturi. Ini semua di luar kemampuan ayahanda. Lagi
pula ayahanda pikir Setanggi juga sudah layak untuk mendapatkan seseorang
pendamping.”
“Apakah
Setanggi tahu akan hal ini?”
“Ayahanda
belum memberitahukan kepadanya tentang ini. Ayahanda ingin memberikan kejutan
kepadanya nanti setelah pulang dari kerajaan selatan.”
“Jika
itu memang keputusan ayahanda, ananda menurut.” Ucap Kasturi. Namun pikirannya
tengah merayap liar dan menyusun strategi untuk menggagalkan pernikahan itu. Tidak
ada gunanya berdebat panjang lebar dengan ayahandanya tentang hal ini. Lebih
baik menggunakan sedikit cara untuk merubah segalanya.
“Apakah ada hal
lain yang ingin ayahanda bicarakan kepada ananda?” Tanya Kasturi kemudian.
“Ayahanda ingin
Kasturi, selaku putri sulung untuk memegang tampuk kerajaan sementara ayahanda
berkunjung ke kerajaan selatan. Tidak usah khawatir, para panglima yang tinggal
di istana akan membantu ananda kelak. Ayahanda pergi tidak dalam waktu lama.
Sebelum purnama, ayahanda sudah akan tiba di kerajaan kembali. Ayahanda juga
ingin ananda menjaga dan memperhatikan adik-adik ananda dengan baik. Itu saja.”
“Baiklah
ayahanda.” Wajah ke duanya mulai tampak. Manis di depan raja Bantahan dan siap-siap
melaksanakan rencana yang ternyata telah tercipta ketika ayahandanya berucap
banyak tadi.
“Kalau tidak
ada, ananda keluar dulu.”
Kasturi
meninggalkan ayahandanya sendirian dengan para pengawalnya. Dari kejauhan
sayup-sayup terdengar suara raja Bantahan memerintahkan pengawal-pengawalnya
untuk mempersiapkan segala keperluan menuju kerajaan selatan. Kasturi melangkah
yakin. Yakin atas rencana yang telah di susunnya. Tentu saja akan melibatkan
kelima saudari-saudarinya untuk memuluskan niatnya.
***********
“Tidak, ini
tidak bisa di biarkan. Setanggi telah merampas pangeran Panca dariku!” Mawar
mendadak marah. Mengepal-ngepalkan tangannya.
“Dari kita
bertiga!” timpal Bakung
“Itu tidak
penting. Sekarang adalah bagaimana kita bisa menggagalkan pernikahan Setanggi
dengan pangeran Panca.” Sanggah Kasturi
“Apakah kamu
punya rencana, Kasturi?” Tanya teratai
Kasturi diam
sambil melipat kedua tangannya di dada.
“Membunuhnya.”
Canda Kenanga memecah kesunyian.
“Tepat!” Tanggap
Kasturi.
“Apakah kalian
benar-benar ingin melenyapkan Setanggi?. Aku hanya bercanda kakak-kakak ku.”
Sergah Kenanga kelabakan.
“Tidak ada cara
lain. Atau kalian punya ide yang lebih cemerlang dari itu?” Semuanya
menggeleng, kecuali Kenanga.
“Aku tidak
ikut!” Kenanga menolak. Kita tidak boleh terlalu jauh. Pasti ada cara lain.”
“Tidak ada!”
Kasturi menegaskan.
“Kita bisa
membicarakan masalah ini kepada Setanggi. Aku yakin dia mau mengalah hanya
gara-gara urusan cinta ini. Setanggi kan
tidak kenal dengan pangeran Panca. Jadi tidak mungkin dia bersikeras untuk
menikah dengan pangeran asing itu.”
“Walaupun
Setanggi menolak untuk menikah dengan pangeran Panca dan aku tidak yakin akan
hal itu, ayahanda tidak mungkin bisa menolak keinginan raja Sakur. Demi
stabilitas politik dan kekerabatan kedua kerajaan, ayahanda mau saja menuruti
keinginan raja selatan itu. Ini terlalu sepele di mata ayahanda untuk di pikir
masak-masak.” Mawar mengutarakan pendapatnya.
Semua
mengangguk.
“Tapi walau
bagaimanapun aku ingin menemui Setanggi dan membicarakan permasalahan ini.”
Sebelum Kenanga keluar dari dapur ruangan rahasia kerajaan, sebuah pukulan
keras mengenai tengkuknya. Dan dunia tiba-tiba berubah menjadi gelap.
“Sekap dia di
gudang lama!” Perintah Kasturi. Teratai dan Seroja sebenarnya enggan mengikuti
rencana busuk itu, tapi mereka lebih memilih aman daripada harus senasib dengan
adiknya, Kenanga. Lain halnya dengan Mawar dan Bakung yang beriya-iya mengikat
kedua tangan Kenanga. Satu halangan terlewati, pikirnya masing-masing.
**********
Melewati rimbunnya
hutan dan bermalam di tengah incaran binatang buas, perjalanan 2 hari satu
malam pun berhasil di lewati. Tampak megah istana kerajaan yang di dominasi
oleh warna hitam abu-abu. Memang lambang kerajaan selatan.
“Raja Bantahan
tiba…” suara pengawal mengaung seisi sentaro.
Kedatangan raja
Bantahan disambut oleh pengawal istana. Dan langsung diantar menuju ruang utama
menemui raja Sakur dan permaisuri Cempaka.
“Selamat datang
di kerajaan selatan, raja. Ini sebuah kehormatan buat kami”
Raja Bantahan
menundukkan badan sejenak dan berdiri tegap kembali.
“Saya juga
merasa terhormat di undang ke istana megah ini kembali.”
“Silakan duduk.”
Pinta raja Sakur
Raja bantahan
menempati kursi khusus yang memang disediakan untuk dirinya. Sementara raja
Sakur dan permaisurinya masih tetap di singgahsananya.
“Bagaimana
perjalanannya, wahai Tarung?” Tanya raja Sakur
“Cukup
melelahkan. Saya sudah lama tidak melakukan perjalanan sejauh ini lagi. Dan hal
penting inilah yang menguatkan saya untuk hadir di sini.”
Seorang dayang
menyuguhkan buah-buahan segar dan tidak lupa minuman. Raja Bantahan minum dan
menjemput anggur merah. Namun matanya menunjukkan kegelisahan dan tanda tanya.
Dan akhirnya berakhir dengan munculnya sesosok pemuda yang dicarinya.
“Maafkan ananda,
ayahanda. Ananda terlambat menyambut kedatangan tamu terhormat kita. Hamba juga
minta maaf karena tidak menyambut paduka tadi.” Pangeran Panca merendahkan
tubuhnya dan mengangkatnya kembali.
“Hamba baru saja
datang berburu di hutan.” Lanjut pangeran Panca lagi.
“Tidak apa-apa,
pangeran. Apakah gerangan yang pangeran buru?”
“Hamba
sebenarnya ingin memelihara burung ruai. Tapi seperti kemarin-kemarin, burung
itu tidak pernah muncul lagi dihutan. Entah ada pemburu lain yang menangkapnya
atau punah dengan sendirinya.”
“Burung itu
memang langka sekarang, pangeran.”
“Dari pada sibuk
membicarakan burung yang tidak lagi ada didunia ini, lebih baik kita segera
menuju ruang makan dan tentu saja setelahnya raja Tarung bisa beristirahat.”
Sela raja Sakur di tengah asyiknya pembicaraan tentang burung ruai.
**********
Seroja dan
Teratai berganti-gantian menjaga didepan pintu gudang lama. Takut-takut
seseorang yang tidak di duga akan masuk kedalamnya. Sedangkan didalam gudang,
Kenanga masih belum sadar dari pingsannya. Tangannya masih terikat. Tertidur,
terkulai diantara debu-debu. Seroja dan Teratai tidak tega melihat Kenanga
seperti itu, tapi apa hendak di kata mereka sudah terlebur dalam permainan yang
dibuat oleh Kasturi.
Di pondopo,
Kasturi, Bakung dan Mawar tengah memujuk Setanggi untuk ikut dengannya pergi menangguk.
“Maksud kakanda
gua keramat itu?”
Ketiganya
mengangguk.
“Apakah kakanda
tidak pernah mendengar seseorang yang tidak pernah kembali setelah memasuki gua
batu tersebut?”
“Itu hanya
dongengan rakyat-rakyat bodoh, Setanggi. Aku tidak pernah percaya sedikitpun.”
Pangkas Kasturi dengan hati-hati membujuk adik bungsunya.
“Benarkan Mawar,
Bakung?”
“ii..ya.”
Keduanya menyahut bersamaan.
“Tapi Setanggi
takut, kakanda. Biarlah kita suruh pengawal atau dayang saja untuk menangguk disana jika kakanda
benar-benar ingin memakan ikan sungai.” Saran Setanggi.
Hati ketiga
saudarinya memanas, tetapi tetap berusaha tersenyum agar Setanggi menurut.
“Tidak,
adindaku. Bukankah sudah lama kita tidak bersenang-senang diluar istana. Lagipula
disana tempatnya sangat indah. Sekalian kita bisa mandi dan berenang-renang.
Bukankah itu kesukaanmu?” ucap Bakung yang juga berusaha untuk membujuk dan
bermuka manis.
“Ayolah,
Setanggi. Kapanlagi kita bisa keluar istana sebebas ini. Mumpung ayahanda tidak
ada di kerajaan tentunya, bukan?” Mawar memperkuat ajakan.
“Tapi tidak akan
lama kan,
kakanda?”
“Tidak, jika
tempat ini sudah terisi, kita langsung pulang.” Jawab Kasturi sambil
menunjukkan tempat kecil yang muat hanya untuk kira-kira 20 ekor ikan betok.
***********
Dari kejauhan
gua batu tampak begitu mempesona. Di lingkupi oleh dedaunan liar menjalar di
mukanya. Batu besar yang kokoh dan beronggalah menjadikan ianya di panggil gua
batu. Memang sebuah gua ajaib. Gua tersebut berada dua langkah dari pinggir
aliran sungai. Tetapi tanahnya agak curam. Sehingga air sungai tidak mampu
memasuki gua tersebut. Tetapi pernah sekali, menurut cerita rakyat jelata,
musim hujan terlama dan air sungai meluap hingga menggenangi kerajaan. Tidak
luput untuk air memasuki gua batu. Kala itu, Gua Batu seolah-olah menyatu dan
mempunyai aliran tersendiri dari sungai. Tak ada yang tahu kemana hujung gua
tersebut. Apakah buntu ataupun bertemu ke muara sungai lainnya. Ketika itulah
berbagai jenis ikan berenang ke dalamnya. Dan ketika air surut, ikan-ikan
tersebut tidak bisa kembali ke sungai. Beranak pinak dan makin banyak. Tetapi
karena dianggap keramat, tidak ada seorangpun berani untuk masuk kedalam gua
tersebut dan menangkap ikan didalamnya.
“Kita sudah
sampai setanggi.”
Setanggi yang
masih bingung dan sedikit takut mencoba untuk mengingat-ingat jalan pulang
nanti. Berbeda dengan ketiga kakak-kakaknya yang sudah sangat hafal dengan
jalan di hutan ini. Setanggi memutar badan dan menyapu apa saja yang bisa di
tangkap oleh indra penglihatannya. Dan terhenti dan terpegun pada Gua Batu.
“Ya, itulah gua
yang disebut-sebut sebagai gua keramat itu. Sama saja, bukan?. Rakyat jelata
memang terlalu suka untuk melebih-lebihkan. Batu itu tidak beda dengan batu
yang ada di belakang istana, Setanggi.” Ungkap mawar yang juga tengah memandang
Kasturi dan Bakung. Mengedip-ngedipkan mata, memberi kode. Dan Setanggi masih
diam dan tidak percaya bahwa dirinya akan melihat gua yang dianggap mistis itu
dihadapannya. Hatinya setuju dengan ungkapan mawar tadi.
“Aduh, aku minta
maaf Kasturi, Mawar dan Setanggi. Perutku tiba-tiba sakit. Dan panggilan ala
mini harus segera di laksanakan.” Ucap Bakung tiba-tiba.
“Jorok kamu,
Bakung. Cepat pergi sana,
sebelum kami disini jijik semua.” Kasturi pura-pura menanggapi.
Bakungpun
mencari tempat yang rindang dan tertutup. Ketika dia masuk, tubuhnya sudahpun
hilang di peluk rimbunan dedaunan dan pohon-pohon besar.
“Baiklah
Setanggi, hari masih pagi dan kita punya banyak waktu untuk bersenang-senang.
Saya ingin mandi dulu di sungai.” Kemudian Kasturi melafazkan niatnya.
“Tapi kakanda.
Bukankah sebaiknya kita langsung menangguk saja agar kita bisa lebih cepat
pulang ke istana?”
“Tenang
Setanggi. Hanya sebentar! Apakah kamu mau ikut?”
Setanggi
menggeleng.
“Kamu mawar?”
“Aku ingin
mencari ranting-ranting dulu. Rugi rasanya jika sudah masuk ke hutan seindah
ini kita tidak memakan ikan bakar. Apalagi ikan tinggal meraup di depan kita.”
“Ide bagus,
Mawar.”
Kasturi dan
Mawar pun bersamaan meninggalkan Setanggi sendirian. Mawar menuju Gua Batuk dan
menikung di sebaliknya. Lenyap. Sedangkan Kasturi mulai menjajaki tepi-tepi
sungai berenang semakin jauh. Tertawa kecil. Makin lama makin tidak tampak
sosoknya. Dan Bakung belum juga selesai dari hajatnya. Setanggi hanya duduk di
atas batu kecil tak jauh dari mulut Gua batu.
Lamunan Setanggi
pecah oleh berisik dari kegelapan dalam gua. Seperti kebasan sayap seekor
burung. Ukurannya tentu bukan seekor burung kebanyakan. Sedikit memberanikan
diri, Setanggi mengintip. Ada
apakah gerangan di dalam gua tersebut. Gelap, tidak ada cahaya sedikitpun. Setanggi
kembali duduk di batu kecil tadi. Lama ia menunggu ketiga saudarinya, belum
juga menunjukkan tulang punggungnya. “Kakanda, kemana kalian?” teriak hati
Setanggi. Setanggi menghampiri sungai. Berharap Kasturi tergapai-gapai sambil
tertawa disana. Tetapi nihil. Lalu kembali. Menuju arah menghilangnya sosok
mawar di balik batu besar, yang tampak hanya pohon-pohon raksasa. Terakhir,
mendekati dimana Bakung membuang hajatnya. Tetapi Bakung juga tidak ada disana.
Setanggi pasrah dan berdoa semoga ketiga kakandanya cepat selesai dengan
keperluannya masing-masing.
“Treeeek….”
Setanggi kembali
terkejut. Sumber suara berasal dari dalam gua.
“Kakanda, kalian
jangan menakut-nakutiku. Setanggi takut.”
Tidak ada
balasan. Dengan hati berbebar-debar, Setanggi memasukkan tubuhnya lebih dalam
ke mulut gua. Tak berbeda. Gelap gulita. “Treeeek…” kembali terdengar, tetapi
suaranya lebih jauh di dalam gua. Seolah-olah mengundang Setanggi untuk masuk.
Tetapi Setanggi lebih takut dengan binatang yang mungkin menghuni gua itu. Ular
raksasa yang sering di ceritakan oleh orang-orang desa. Kalajengking hitam dan
berbagai binatang berbisa lainnya.
Setanggi
mengumpulkan ranting-ranting kecil dan daun-daun kering. Memukulkan pecahan
batu satu sama lainnya dibawahnya. Percikan api tampak dari sentuahan paksa
batu-batu tersebut. Berkali-kali Setanggi memukulkan, dan akhirnya berhasil.
Api menyala memakan material kering tersebut.
Kembali Setanggi
mencoba memasuki gua Batu, tetapi lebih yakin dengan obor di tangan kanannya
sebagai penerangan. Hati-hati Setanggi, dan berpikir “Sungai di gua ini
benar-benar ada, tetapi lebarnya lebih kecil dari yang diluar. Hanya setengah
tombak untuk bisa berjalanan di sisi sungai tersebut. Setanggi melangkah dengan
waspada agar tidak tergelincir dan tercebur ke sungai.
“Treeeek…”
kembali suara itu muncul dari dalam. Lebih jauh terdengar. Tetapi memenuhi
setiap sudut gua. Ikan-ikan melompat-lompat di aliran sungai kecil. Memercikan
air, membuat gelombang kecil dan tenang. Disana juga, disana lagi. Dan ternyata
banyak.
Di luar hujan
tiba-tiba turun. Lebat. Entah bersyukur atau tidak, yang pasti Setanggi
mendapatkan tempat untuk berteduh. Tetapi ia masih menunggu kedatangan
saudari-saudarainya. Harapannya kakak-kakaknya juga berteduh di gua ini. Tapi
sampai saat ini tidak ada tanda-tanda akan apa yang diharapkannya segera
terwujud. Hujan semakin deras saja.
Setanggi terus
saja berjalan. Semakin jauh ke dalam. Ia terkejut menemukan ruangan seluas
kamarnya di dalam gua keramat itu. Setanggi meraba-raba dengan cahaya seadanya.
Ruangan itu kosong tentu saja. Ketakjuban akan apa yang dilihat dengan mata
kepalanya sendiri dan rasa was-was yang masih mencekamnya. Hanya bunyi
cemplungan ikan di air yang terdengar nyaring. Ketika datang sejauh itu, suara
hujan lebat di luar menghilang.
************
“Kalian
benar-benar membunuh Setanggi?” Kenanga berucap sambil bersimbah air mata. Di
ikuti oleh Seroja dan Teratai.
“Kami hanya
meninggalkannya di hutan, dekat gua Batu.” Balas Kasturi puas.
“Itu sama saja!.
Bukankah kita semua tahu tentang cerita gua Batu tersebut?” Lanjut Kenanga.
“Diam! Kalau
sampai berita ini sampai ke telinga ayahanda, nasibmu akan sama dengan
Setanggi. Paham!”
Kenanga diam.
Tapi masih tersedu-sedu.
“Sekarang tugas
kita adalah berpura-pura ketika ayahanda sampai kembali di istana. Perlu alasan
yang logis agar ayahanda percaya apa yang kita bicarakan nantinya.”
Keenam putri
raja Bantahan itu pun berunding tentang alasan yang bakal disampaikan kepada
ayahandanya berkenaan dengan menghilangnya Setanggi dari istana. Meskipun
Kenanga, Seroja dan Teratai enggan, tetapi mereka lebih memilih aman dari
kematian yang tidak dikehendakinya.
“Bagus!. Jadi
kita harus kompak ketika ayahanda bertanya tentang hal ini.”
*************
Raja Bantahan
yang bernama Tarung itu tengah berbicara serius dengan raja Sakur juga
melibatkan permaisuri Cempaka.
“Dua purnama
dari sekarang?”
“Saya kira itu
waktu yang tepat. Rakyat Bantahan juga telah memanen hasil sawah dan kebun saat
itu. Jadi kita bisa menggelar pesta besar-besaran.”
“Bagaimana
permaisuriku? Apakah adinda setuju?”
“Itu waktu yang
sangat tepat.”
*************
Setanggi masih
bertahan di ruangan misterius di dalam gua gelap itu. Obornya mulai menunjukkan
tanda-tanda akan padam. Ia bangkit dari duduknya dan akan menuju kearah dari
mana ia masuk tadi. Belum sempat melangkahkan kaki keluar, sebuah sapaan hampir
membuatnya pingsan.
“Kakak-kakakmu
tidak akan kembali.”
Diam. Sedangkan
Setanggi merasa jantungnya telah lepas. Tubuhnya gemetar dan wajahnya pucat. Aliran
darahnya seolah-olah terhenti. Bahkan untuk menggerakkan anggota tubuhnya, ia
tidak lagi punya daya.
“Mereka sudah
sejak tadi meninggalkan hutan ini. Alasan mereka hanyalah tipu daya. Agar kamu
tertinggal disini sendirian. Aku melihat mereka bertemu di muara sungai. Tepat
di balik gundukan batu raksasa ini. Aliran sungai di gua ini bertemu kembali
dengan sungai utama. Kamu akan menemukannya jika terus saja berjalan semakin
dalam ke dalam gua.”
Setanggi gugup
bukan main. Ternyata benar. Gua ini berpenghuni makhluk halus. Dan sekarang ia
benar-benar merasa dan mendengar langsung. Bukan mimpi atau cerita rakyat.
“Siapa kamu?”
Setanggi berusaha untuk membuka mulut. Tapi terasa kelu. Ucapannya tak lebih
dari desahan pelan. Tapi terdengar oleh lawan bicaranya.
Seekor ular
kobra raksasa menghampirinya. Sisiknya mengkilat dan hitam pekat di sinari oleh
obor yang hampir padam. Badannya sama besarnya dengan tubuh Setanggi.
Sisik-sisiknya sebesar induk jari. Kepalanya terangkat dan siap untuk memangsa.
Lagi, kepalanya hampir mencapai langit-langit gua. Padahal langit-langit
setinggi dua kali tubuh Setanggi.
Setanggi semakin
panik. Andai saja ia bisa berlari, sudah dilakukannya sejak tadi. Tetapi nasib,
kakinya terasa mati. Ular adalah makhluk yang paling Setanggi geli sekaligus
takuti. Dan sekarang tidak ada lagi rasa takut. Yang ada hanya sebuah ketakutan
luar biasa dan berakhir dengan kepasrahan. Tidak ada yang bisa dilakukannya dan
menerima andaisaja tubuhnya akan menjadi sarapan ular hitam pagi itu.
Kepala ular
kobra menurun dan menguncup. Lidahnya menjulur-julur. Mendekat ke tubuh
Setanggi. Tepatnya ke muka Setanggi. Setanggi memejamkan mata tanda tidak lagi
berdaya. Ternyata ular itu melingkarkan seluruh tubuhnya, kecuali bagian atas,
di pojok ruangan. Sehingga ketika masuk, Setanggi tidak melihat sosok binatang
berbisa itu.
“Jangan takut.
Melihatmu aku teringat akan putriku.”
Setanggi membuka
mata perlahan. Dan berteriak ketika muka ular raksasa tepat ada di depan
mukanya. Mata merah dan lidah cabang duanya seolah-olah ingin mencicipi muka
Setanggi.
“Aaaaaaa…!”
Setanggi berteriak sejadi-jadinya. Pingsan.
Setanggi tidak
tahu berapa lama ia tidak sadarkan diri. Ketika membuka matanya, ia mendapati dirinya
masih terkulai di dalam gua batu. Tapi berbeda, gua menjadi lebih terang. Di
lihatnya seseorang lelaki tua tengah menghadap perapian. Membakar ikan. Tetapi,
Setanggi kembali ingat perihal ular raksasa tadi. Setanggi ketakukan dan
merapat ke dinding batu.
“Sudah bangun,
nak?”
Setanggi hanya
diam. Suara itu? Suara ular tadi.
“Jangan takut.
Apakah kamu lapar? O ya, siapa namamu?”
Setanggi pun
menyebutkan nama yang diberi oleh ibundanya. Tapi tubuhnya masih merapat ke
dinding dan mengawasi sekeliling. Masih tampak jelas besarnya badan ular dan
mengerikan. Setanggi berpikir mungkin saja ular itu ada disebalik lelaki tua
disana.
Lelaki tua
berpakaian hitam itu berbicara tanpa memandangi Setanggi. “Mau ikan?” tawarnya
kemudia. Tidak ada sahutan keluar dari mulut yang ditanya.
“Berapa umurmu?”
“240 purnama.”
Jawab Setanggi datar
“Pasti Kasuari
sama besarnya dengan mu sekarang, nak.”
“Kasuari?”
“Putri
tunggalku. Sudah lama aku tidak bertemu dengannya. Hampir selama usiamu. Ketika
aku mulai bertapa disini, umurnya baru satu purnama.”
“Jadi…?”
“Ya, Setanggi.
Kamu pasti pernah mendengar cerita itu, bukan? Akulah orangnya. Aku sangat
menyesal menuntut ilmu ini. Masyarakat mengucilkanku, aku juga tidak mungkin
bisa lagi bertemu dengan keluargaku. Aku sudah terlanjur mengabdi pada ilmu
yang sesungguhnya hanya menyiksa setiap detik kehidupanku. Aku sangat
menyesal.”
Lelaki berjubah
hitam itu menangis. Menyesali apa yang telah diperbuatnya selama
bertahun-tahun.
“Aku menuntut
ilmu ini jauh sebelum istriku mengandung anak pertama kami. Guruku telah
meninggal, jadilah aku pewaris tunggal ilmu ini. Aku tidak ingin ada orang lain
mewarisi ilmu keparat ini. Makanya aku bersemedi di tempat ini. Tujuanku
pertama adalah untuk menyempurnakan ilmu, tetapi aku merasa kesepian setelah
semuanya sempurna. Tidak banyak yang bisa ku perbuat. Tubuhku berubah menjadi
binatang buas. Dalam masa-masa penyempurnaan, aku tidak bisa berubah menjadi
manusia semauku. Menjadi ular raksasa adalah syarat yang harus ku lalui. Tapi
sekarang berbeda, mau jadi hewan apa saja aku bisa.”
Sepi kembali,
hanya cemplungan ikan di sungai yang terdengar.
“Apa aku tadi
menakutkanmu?”
Setanggi
mengangguk.
“Maafkan aku,
tadi aku tengah bertapa. Ketika bertapa aku harus merubah diri menjadi ular
raksasa. Dan kehadiranmu menyadarkanku. Instingku mengatakan kehadiran ancaman.
Ternyata hanya seorang anak perempuan yang sengaja di tinggal oleh
saudari-saudarinya.”
“Kenapa kamu
tidak menemui keluargamu lagi?” Setanggi mulai mencoba santai dan memang sudah
seharusnya begitu sekarang. Karena tidak ada lagi ular raksasa yang menakutkan.
“Ilmuku memang
telah sempurna, tetapi belum mencapai paripurna. Jika ingin mencapai tingkat
tertinggi itu, aku harus memangsa darah dagingku sendiri. Jika aku menyentuh
putri atau istriku, secara spontan jasadku akan menjadi seperti apa yang kamu
lihat tadi. Bahkan aku akan kehilangan kesadaran. Yang tersisa adalah nafsu
buas yang siap untuk menyantap anakku sendiri.”
“Ini kulakukan
pertama kali hanya untuk menjadi kaya raya tanpa harus bersusah payah menggarap
sawah atau berkebun. Tetapi semuanya sudah terlambat ketika hari pertama aku
bersemedi. Aku tidak merasa tertipu oleh guru. Tetapi aku tidak menyangka akan
sejauh ini akibatnya.”
Setanggi hanya
diam mendengarkan dan dapat merasakan kerinduan seorang ayah terhadap putrinya.
Apa yang akan terjadi pada ayahnya seandainya jika dirinya tidak kembali lagi
ke istana.
Diam Setanggi
terpotong. Lelaki tua itu ingin mengajaknya berbicara lagi.
“Namaku Bara.”
Setanggi tidak
terlalu memperdulikan nama itu. Yang setanggi pikirkan adalah apakah benar
kakandanya sengaja meninggalkannya sendirian di hutan itu. Atau mungkin ketika
mereka kembali berkumpul, mereka tidak mendapatiku di tempat semula dan
kemudian mencariku kemana-mana.
“Apa yang
menyebabkan saudari-saudarimu meninggalkanmu sendirian di hutan ini, Setanggi?”
“Aku tidak tahu.
Sama sekali tidak tahu.”
“Mungkin harta
juga menggelapkan mata mereka hingga tega melakukan ini, seperti gelapnya
mataku sewaktu menerima tawan Mbah Puteh untuk menjadi muridnya.”
Setanggi
benar-benar tidak tahu apa alasan kakandanya meninggalkannya. Setahu Setanggi,
tidak ada percekcokan, pertengkaran maupun perebutan harta antara dirinya dan
ketiga saudarinya tersebut.
“Saya
ingin kembali ke istana.”
“Istana?”
“ya,
istana.”
“Jadi…?”
“Saya
putri bungsu raja Bantahan. Penguasa wilayah utara ini.”
Bara
terkejut mendengar identitas gadis dihadapannya. Selama ini rakyat jelata susah
payah untuk bertemu dengan orang-orang di dalam istana. Dan sekarang,
dihadapannya, putri bungsu penguasa tengah tersesat. Dan tidak tahu jalan
pulang.
“Hari
sudah beranjak malam, Setanggi. Sebaiknya besok pagi kamu baru pulang ke
rumahmu, maksudku ke istana.”
“Apakah
pak Bara tidak bisa mengantarkanku malam ini juga?”
“Ada sedikit pekerjaan yang
harus aku laksanakan.”
Setanggi
mengerti meskipun tidak tahu pekerjaan apa yang hendak dilakukan oleh lelaki
siluman itu.
“Tidurlah!”
pinta Bara perlahan
Tanpa
menunggu waktu lama, Setanggi langsung terlelap dan berkelana kealam mimpi. Disana
ia melihat ayahandanya tengah bercanda gurau dengan ibundanya di taman bunga
istana. Setanggi menghampiri kedua orang tuanya dan bergabung tertawa dan
berlari bersama.
************
Raja
Bantahan murka mengetahui kehilangan putri bungsunya, sesaat setelah
kedatangannya di istana kerajaannya. Ia memerintahkan ratusan pengawal untuk
mencari Setanggi di tempat kehilangannya sebagaimana yang disebutkan oleh ke
enam putrinya. Raja Bantahan mondar-mandir. Tidak sabar menunggu hasil.
Duduknya tidak tenang, makannya juga tidak terasa kenyang. Lupa untuk istirahat
setelah perjalanan jauh. Pikirannya hanya tertuju pada si bungsu dan berdoa
untuk keselamatannya.
“Kasturi!.
Bagaimana mungkin kamu membiarkan Setanggi pergi ke dalam hutan sendirian.”
“Maafkan
Kasturi ayahanda. Sebenarnya ananda dan kelima saudari hamba sudah melarang
keras keinginan si bungsu. Tetapi si bungsu tidak menghiraukan nasihat kami.
Kami pun tidak menyerah. Kami memerintahkan pengawal dan dayang untuk mengawasi
kemana saja Setanggi pergi. Tetapi Setanggi kabur keluar istana ketika malam
atau mungkin dia menyuap salah satu pengawal atau dayang kerajaan. Kami semua
tidak pasti, bagaimana Setanggi bisa lolos dari pengawasan kami.” Kasturi
beralasan selogis mungkin.
“Betul
apa yang di katakan Kakanda Kasturi, ayahanda.” Kelima putrinya serentak
mengucapkan perkataan yang sama. Meskipun Kenanga, Seroja dan Teratai sangat
kaku jika sang raja jeli memperhatikan.
“Kata
Setanggi juga, ayahanda. Kepergian ayahanda ke kerajaan selatan adalah kesempatan
emasnya untuk bisa leluasa berkeliaran di luar istana. Termasuk untuk berkelana
ke dalam hutan larangan.” Mawar mencoba untuk memperkuat alasan Kasturi.
“Benarkah
begitu?”
Semua
putrid-putri raja Bantahan mengangguk.
“Setanggi,
apakah ayahanda masih berkesempatan melihat kamu kembali nak. Hutan larangan
itu menyimpan sejuta mistis. Sering munculnya makhluk-makhluk aneh, binatang
melata yang lebih buas dari lainnya, dan banyaknya rakyat yang hilang setelah
memasuki belantara tak terjamah tersebut.” Kegundahan hati raja Bantahan
berkata. Air mata pun tak terbendung dari laki-laki beruban itu.
Malam
berganti siang, hingga datang dalam hitungan minggu. Namun Setanggi masih belum
ditemukan oleh para pengawal yang ditugaskan. Kekecewaan dan kesedihan serta
mungkin juga kepasrahan tampak di wajah raja Bantahan. Tidurnya tidak lagi
nyenyak, lebih banyak termimpi akan kembalinya putri tercinta.
************
Ketika
Setanggi bangun dari tidurnya didapatinya sesuatu yang ganjil terjadi pada
dirinya. Tubuhnya menyusut dan mengecil. Tubuhnya banyak ditumbuhi oleh
bulu-bulu halus. Ada
paruh panjang di mulutnya. “Apakah ini mimpi?” pikirnya. Ia mencoba mencubit
kulitnya, tetapi hanya kepakan sayap yang terjadi.
“Tidak!
Ini tidak mungkin terjadi. Apakah ini kutukan oleh Bara Si ular jahanam itu?”
umpat Setanggi dalam hati.
“Maafkan
aku Setanggi. Ini kutukan ilmu. Karena kamu telah tahu semua cerita tentang
diriku dan dimana keberadaanku.”
“Lepaskan
saya. Saya tidak pernah menyakitimu dan saya juga tidak bermaksud ingin
mengganggu pertapaanmu.”
“Ini
tidak terkait dengan itu semua. Ini adalah kutukan karena kamu telah mengetahui
identitasku” ucap burung ruai jantan yang ada di hadapan Setanggi.
Setanggi
telah menjadi ruai betina. Bulunya sangat halus dan berbintik-bintik hitam.
Warnanya keseluruhan berwarna emas. Ekornya panjang menjuntai. Dadanya berwarna
putih mutiara berpadu dengan hijau muda. Sungguh seekor burung ruai yang
menakjubkan. Mahkota di kepalanya berwarna agak gelap. Tetapi masih jelas
berwarna hijau.
“Kutukan
ini sedikit banyak akan membantumu kembali ke istana.”
“Membantu!
Ini menyiksa!” Setanggi marah besar
“Kamu
telah tertidur seminggu penuh. Itu masa yang diperlukan untuk merubah wujudmu
menjadi ruai seutuhnya. Dan sekarang kamu bisa kembali ke istana. Tentunya
dengan wujudmu sebagai seekor burung. Apakah kamu tidak tertarik untuk
mengetahui apa sebenarnya alasan saudari-saudarimu melepasmu berkeliaran di
hutan ini?”
Setanggi
diam. Sedikit membetulkan apa yang diucapkan oleh ruai jantan. Ruai itu
berwarna biru gelap. Di dadanya putih susu. Paruhnya juga berwarna gelap.
Badannya tegap dan menunjukkan kekuasaan dan keangkuhan. Ditambah dengan mata
yang terbuat tajam.
Setanggi
tidak sabar ingin kembali ke istana. Dan ketidaksabarannya itu pulalah yang
menghilangkan rasa amarahnya yang membuncah tadi.
“Ke
arah mana saya harus terbang?” Tanya Setanggi yang tidak sabar untuk menemui
ayahandanya di istana.
“Terbanglah
ke arah sana.”
Ruai jantan menunjuk arah di balik batu besar dimana didalamnya terdapat
ruangan yang dialiri air sungai.
Langsung
saja Setanggi membawa tubuhnya melambung ke udara. Tanpa mengucapkan sepatah
katapun kepada satu-satunya makhluk yang bisa berbicara dengannya dalam kondisi
seperti itu. Setanggi tidak tahu harus mengucapkan apa, terima kasih, selamat
tinggal atau kurang ajar. Tetapi ketika gua batu tinggal terlihat sebesar
rembulan purnama, Setanggi memandang kebawah. Dan masih melihat titik hitam di
samping batu itu. Bara masih ada disana. Mungkin tengah melihatnya melayang-melayang
mengepakkan sayap.
************
Dari
atas awan, istana kerajaan Bantahan berkilau emas. Menyilaukan mata. Sungguh
tampak sangat kecil. Berbeda ketika berada di depan pintu gerbang. Sebuah
istana yang memona, megah dan berwibawa.
Seorang
laki-laki dan beberapa wanita tengah duduk-duduk di pondopo istana. Entah apa
yang tengah di sembangkan. Yang pasti pembicaraan tentang sebuah kehilangan
seseorang. Ruai betina menurun dari ketinggian dan mencoba mencari dahan
terdekat dengan para manusia-manusia itu. Dan dahan sengon menjadi tempat
berlabuh.
“Sudahlah
ayahanda. Jangan terus begini. Kita semua telah berusaha dan berdoa. Mungkin
ini sudah menjadi suratan Setanggi. Harus pergi menghilang dari istana.” Bakung
berbicara menghibur kesedihan ayahandanya. Lima saudarinya yang lain juga melafazkan
ucapan yang serupa. Tetapi sang ayah masih menyesalkan kepergian Setanggi tanpa
pamit kepada dirinya. Padahal Setanggi tahu bahwa dirinya mencintai putri
terakhirnya melebihi semua kakandanya.
“Ayah
ingin sendirian. Kalian semua boleh pergi.” Pinta raja Bantahan kepada ke enam
putrinya.
Bidadari
kerajaan itu pamit dan meninggalkan ayahnya yang tengah meratap. Jelas Kasturi,
Mawar dan Bakung senang akan hal ini, tetapi berbeda dengan Teratai, Seroja dan
Kenanga.
Di
kejauhan, ruai betina mengamati lelaki tua yang tengah sendiri di pondopo.
Tidak tahan untuk segera menghampiri ayahandanya. Setanggi mengepakkan sayapnya
perlahan dan tidak lama hinggap di atap pondopo. Sang raja mendongak ke atas. Ada sesuatu diatas. Raja
Bantahan berdiri dari duduknya. Berjalan menuruni tangga. Dari bawah, di
lihatnya seekor ruai betina ada disana.
“Ruai?
Wahai burung langka. Betapa ingin kami melihat indahnya bulu-bulumu.
Betapa kami merindukan kehadiranmu diantara burung-burung piaraan kami. Tidak
hanya aku, pangeran Panca dari kerajaan selatan juga tengah memburumu.”
Ruai
betina menatap lama kepada raja Bantahan. Seolah-olah ada sesuatu yang ingin
disampaikan oleh sang burung. Tentu saja. Setanggi tengah memanggil-manggil
ayahandanya. Hanya saja, ayahandanya tidak mengerti bahasa yang diucapkannya.
Burung
betina itu menghampiri raja. Raja gelapakan dan meminta tolong. Tetapi tidak
ada seorang pun yang mendengar. Hingga akhirnya ruai betina hinggap di bahu
sang raja.
“Burung
yang jinak.” Ucap raja Bantahan kemudian. Raja melihat mata berkaca-kaca pada
sang burung. “Ada
apakah gerangan wahai burung? Sepertinya engkau merasa sedih seperti sedih yang
aku rasa saat ini.”
Ruai
betina mengelus-ngelus pipi raja Bantahan dengan sayapnya. Persis sama dengan
yang sering Setanggi lakukan disaat-saat ayahandanya tengan di rudung
kesedihan. “Ruai, aku jadi semakin merindu putri bungsuku. Setanggi.” Kata raja
merasa terharu atas belaian burung tadi. “Aku tidak tahu dimana dia sekarang.
Apakah masih hidup ataupun malaikat maut telah datang kepadanya. Aku seorang
ayah yang tidak berguna. Tidak bisa menjaga putrinya sendiri. Jika purnama
mengetahui ini, pasti ia akan sangat marah kepadaku.”. Ruai kembali mengelus
muka raja Bantahan. “Lagi!” pinta sang raja.
Raja
bantahan menutup mata dan merasakan seolah-olah Setanggi tengah menghibur
dirinya.
“Setanggi!
Ruai, apakah kamu tahu dimana Setanggi?” Tanya raja mengejutkan. Setanggi tidak
lagi mengelus-ngelus pipi ayahandanya karena kaget. Setanggi sendiri masih
tidak tahu bagaimana caranya untuk memberitahukan kepada sang raja bahwa
dirinya adalah putri yang tengah di carinya. Menunggu 100 purnama ke depan
waktu yang lama untuk memberitahukan kepada ayahandanya. Dan diwaktu itu, Setanggi
akan kembali normal menjadi anak manusia. Begitu yang dikatan Bara sebelum
sepeninggalnya dari gua Batu.
Setanggi
sempat berpikir untuk kembali kepada Bara dan berniat untuk menanyakan
bagaimana caranya agar dirinya bisa berbicara kepada ayahandanya. Tetapi
niatnya urung. Dia tidak mau mengemis kepada orang yang telah menyengsarakan
kehidupannya dalam tubuh seekor burung betina. Tidak akan!.
Untuk
saat ini, Setanggi harus meninggalkan ayahandanya segera. Setelah melepas rindu
beberapa saat dan dilihatnya ayahandanya pun tampaknya terobati sedikit lara
kerinduannya, ia meninggalkan lelaki itu sendirian di pondopo istana. Meskipun
terasa berat, tetapi Setanggi merasa harus berbuat sesuatu agar bisa
membuktikan bahwa dirinya adalah putri kerajaan. Sepeninggalannya, raja
Bantahan masih menatap kearah langit melepas penerbangan ruai betina.
Rupanya
Setanggi tidak terbang jauh. Setelah raja masuk kembali ke dalam istana, secara
diam-diam ia juga kembali memasuki kawasan istana. Ia menuju kamarnya. Berusaha
agar tidak ada satu pengawalpun maupun putrid-putri yang lain melihatnya. Ada celah yang cukup luas
untuk seekor burung masuk. Setanggi ingin tidur lagi dikamarnya. Tapi sekarang
ia hanyalah seekor binatang. Apa yang bisa di buatnya? Setanggi berpikir keras.
Sebuah ide cemerlang terlintas di benaknya.
***********
Sejak
diberitahu perihal kehilangan Setanggi dari istana utara, pangeran Panca
melewati harinya dengan perasaan muram. Banyak melamun dan menyayangkan.
Bidadari impiannya kini telah pergi kealam lain. Mungkin. Tapi sang pangeran
senantiasa berupaya untuk mengatakan kepada dirinya sendiri bahwa Setanggi
masih hidup. Dan suatu saat mereka akan dipertemukannya kembali.
Raja
Sakur dan permaisuri Cempaka mencemaskan keadaan putranya yang semakin memprihatinkan.
Berkali-kali menawarkan kepada pangeran Panca agar memilih saja salah satu dari
enam putrid raja Bantahan. Bukankah ada tiga lagi bidadari yang belum di
lihatnya?. Semuanya sia-sia belaka. Perasaan pangeran bantahan sudah terikat
pada si bungsu. Hati kecilnya berkata bahwa gadis itulah jodoh yang telah
tertakdir.
Dua
hari sejak kehilangan Setanggi, raja Sakur, permaisuri Cempaka dan tidak lepas
pangeran Panca menerima kedatangan utusan dari raja Bantahan. Tentu saja
berkenaan dengan apa yang tengah melanda putri raja Tarung itu. Ketika itu
juga, raja Bantahan menyampaikan penyesalannya atas segala pembatalan, terutama
acara pernikahan. Ketiga orang yang diberi kabar mencoba untuk maklum, tetapi
pangeran Panca tetap saja tidak bisa melupakan dan merelakan begitu saja. Jadilah
hidupnya seperti dedaunan kering yang jatuh ke tanah. Pergi kemana saja angin
membawa.
Merasa
hatinya tidak terhibur didalam istana, pangeran Panca mengajak beberapa
pengawal untuk berburu dan mencari burung ruai. Barang kali saja ia akan
menemukan burung langka tersebut. Dan tepat, di tengah hutan. Tak jauh dari gua
batu dan wilayah perbatasan kerajaan selatan dan utara, pangeran Panca melihat
seekor ruai betina tengah mengangkasa. Terlalu tinggi untuk di kejar. Tetapi ruai
betina tersebut masuk kawasan kerajaan kuning.
************
Setanggi
baru akan memulai rencananya ketika tengah malam. Sebagai sebuah antisipasi
agar tidak ada seorangpun yang akan melihatnya keluar masuk kamar sang putri.
Tengah
malam telah tiba. Suara binatang malam dari hutan riuh dan beraneka suara. Dari
longlongan serigala, burung hantu, jangkrik, dan bunyi-bunyian yang membuat
merinding jika terlalu di perdengarkan. Kenyataannya, istana kuning masih di
dampingi oleh hutan yang rimbun.
Sesosok
bayangan hitam, berbaju hitam dan bertopeng yang hanya menampakkan mata juga
berwarna hitam, mengintip-ngintip di balik jendela kamar tidur sang raja. Mengendap-ngendap.
Langkahnya diatur sepelan mungkin agar penghuni kamar tidak terjaga dan
berteriak memanggil pengawal. Semua rencananya akan berantakan. Dan siap-siap
dengan konsekuensi yang jauh lebih parah dari ketahuan oleh sang raja.
Kenanga
mencari waktu yang sangat tepat untuk memberitahukan prahara yang sesungguhnya
terjadi di istana kepada ayahandanya. Tetapi sangat susah untuk mencari waktu
itu. Kelima saudarinya seringkali memperhatikan gerak-geriknya. Meskipun
terlihat tidak seperti itu, tetapi Kenangan tahu apa yang di pikirkan oleh
Kasturi, Bakung dan Mawar. Mereka semua was-was jika Kenanga berani untuk
mengadu kepada sang raja.
Kenanga
juga tahu, tiga saudari tertuanya memerintahkn beberapa pengawal pengawal untuk
melihat segala kemungkinan-kemungkinan pengaduan dirinya pada ayahandanya.
Namun celakanya, Kenanga tidak tahu pengawal yang mana. Dan sekarang saat yang
tepat, pikir Kenanga. Kesempatan emas ini tidak boleh dilepas begitu saja.
Mungkin tidak ada yang kedua.
Berbekal
sedikit keberanian, setelah semua putri-putri tertidur pulas dan pengawal pun
mulai ternguap-nguap, Kenanga beraksi.
Kenanga
mencungkil daun jendela dengan pisau yang dibawanya. Dua pengawal menjaga pintu
masuk. Kenanga harus berhati-hati. Ternyata tidak sesulit yang Kenanga
bayangkan. Mungkin sebelum tidur tadi ayahandanya mencari angin dengan membuka
jendela. Dan ketika mengantuk hanya merapatkan daunnya, tidak menguncinya.
Kenanga lega dan bersyukur urusannya di pemudah Yang Maha Kuasa. Apapun yang
terjadi nanti, dia sudah pasrah dengan resiko sebesar apapun. Meskipun ancaman
pelenyapan dari saudari kandunganya sendiri.
Raja
Bantahan menggeliat dan membetulkan posisi tidurnya, tetapi masih dalam
indahnya mimpi. Melihat itu, Kenanga meningkap di lantai. Takut
baying-bayangannya terlihat oleh pengawal dari luar. Kenanga mendekati
ayahandanya yang tidur dengan pulas. Mungkin ini tidur terpulas sejak
kehilangan Setanggi. Sebenarnya Kenanga kasihan untuk membangunkannya, tetapi
ada sesuatu yang lebih penting.
Kenanga
membelai muka ayahandanya dengan lembut sebagaimana sering ia lihat Setanggi
melakukannya. Ia sendiri untuk pertama kali melakukan itu. Muka ayahandanya
begitu kasar dan keriput. Bulu-bulu brewoknya sedikit menggelikan telapak
tangan Kenanga. Masih terpejam, “Setanggi?” raja berucap.
Kenanga
membuka penutup mukanya seiringan dengan raja membuka matanya. Kenanga
meletakkan telunjuk jari merepat kebibir ayahandanya.
“Kenanga?”
raja heran
Kenagan
mengangguk. Raja mengerti. Kenanga ingin agar dirinya berbicara sepelan mungkin
dengan putri yang lebih tua sedikit dari Setanggi itu.
“Apa
yang kamu lakukan?” raja menambahkan, penasaran.
Kenanga
berbicara keadaan sesungguhnya yang menimpa Setanggi. Siapa dalang dibalik
semua itu. Tak terlepas mengatakan penyesalannya karena sedikit banyak terlibat
dan tidak mampu menghalangi rencana si sulung. Terakhir, Kenanga bercerita
tentang dirinya yang harus menjadi penghuni gudang lama selama bebera jam.
Raja
Bantahan sama sekali tidak menyangka penghianatan dari orang yang diberi
kepercayaan untuk mengurus istana dan saudari-saudarinya. Raja murka. Dan sudah
pasti berniat akan menghukum Kasturi terutama. Karena dia otak di sebalik ini.
“Jangan
ayahanda. Ananda yakin Setanggi masih hidup. Setanggi anak yang cerdas untuk
bertahan di dalam hutan batu. Yakinlah ayahanda! Menghukum Kasturi secara
terang-terangan malah akan memperburuk citra kerajaan ini di mata mitra dan
lawan-lawan ayahanda”
“Kamu
benar Kenanga. Setanggi anak yang cerdas dan pandai. Perasaan ayah juga yakin
bahwa Setanggi masih ada di luar sana.
Tapi kita semua tahu, tentang ular raksasa penghuni hutan batu bukan? Ayah
harus mengarahkan pengawal untuk mencarinya di hutan batu.”
“Jangan
ayahanda. Jika itu yang terjadi, pasti Kasturi dan yang lainnya mengetahui dari
mana sumber informasi ini ayahanda dapati. Dan nyawa ananda terancam. Ananda
tidak ingin cepat-cepat meninggalkan ayahanda.”
“Apakah
ananda punya rencana?”
“Belum
ayahanda. Lebih baik kalau rencana itu berujung pada pengakuan Kasturi sendiri
di hadapan ayahanda.”
“Ayahanda
akan pikirkan itu.”
“Sebaiknya
Kenanga keluar segera ayahanda, sebelum
semuanya sadar kehadiran Kenanga di sini.”
Raja
diam bertanda mengiyakan. Namun, ketika Kenanga sudah mencapai daun jendela dan
hendak melompat keluar. Tiba-tiba raja berujar. “Kenanga, ayahanda juga akan
memikirkan hukuman apa yang pantas untuk keterlibatan kalian semua dalam
masalah ini.”
Kenanga
mengangguk lemas. Ini sudah diperkirakan sebelumnya. Tetapi hatinya terasa
lapang. Berkurangnya beban rahasia yang selama ini di pendamnya. Meskipun
hukuman di buang keluar dari istana pun akan diambilnya dengan ikhlas jika itu
keputusan yang menurut ayahandanya paling bijaksana.
***********
Sementara
itu, Setanggi tengah bersusah payah memotong-motong batang rumput dengan
paruhnya. Kemudian dibawa kedalam kamar. Seperti dugaannya, tengah malam itu
sepi adanya. Jadi ia lebih mudah untuk keluar masuk kamarnya sendiri. Setanggi
lupa untuk menghitung sebenarnya sudah berapa kali ia bolak balik dari kamar ke
taman dan dari taman ke kamar.
“Cukup.”
Pikir Setanggi puas. Namun tubuh kecilnya merasa cukup lelah. Tapi ia tidak
ingin menunda-nunda untuk membuat kode yang akan bisa di baca oleh siapapun
ketika memasuki kamarnya. Dan harapan Setanggi adalah ayahandanya yang pertama
kali membacanya.
Dengan
menggunakan paruhnya, ruai betina itu berupa merangkai huruf-huruf. Tidak mudah
untuk menyusun batang-batang rumput itu. Setelah susah payah, terbang
sana-terbang sini. Akhirnya, usahanya berbuah. Syukur saja penerangan
dikamarnya selalu saja menyala, sehingga pekerjaannya jadi bertambah mudah.
Setanggi beristirahat sejenak tetapi harus menguat diri kembali untuk terbang
keluar, ketika terdengar suara beberapa orang di luar kamarnya. Bergegas ia
keluar, dan mendengarkan perbincangan tiga orang yang memasuki kamarnya tanpa
izin dan mengendap-ngendap.
“Kenanga.
Apa yang kamu lakukan malam-malam begini?” Suara Seroja dipelankan tak lebih
dari berbisik-bisik saja.
“Aku
menemui ayahanda.”
“Apakah
kamu sudah gila, Kenanga. Kita bisa di hukum.” Teratai menambahkan.
“Aku
tahu. Dan aku juga bercerita kepada ayahanda keterlibatan kalian dalam hal
ini.” Kenanga berbicara dengan nada kepasrahan. Meskipun untuk disekap kembali
oleh kedua kakandanya malam itu di gudang lama. Atau yang lebih parah
sekalipun.
“Lalu
apa kata ayahanda?”
“Ayahanda
akan memikirkan hukuman apa yang pantas untuk kita semua.”
Seroja
dan Teratai bergidik. Masing-masing membayangkan akibat perbuatannya beberapa
waktu yang lalu. Dan semuanya diam kemudian.
“Teratai,
Kenanga. Lihat.” Seroja berjalan diantara kedua saudarinya. Melihat
batang-batang rumput yang disusun menjadi sebuah kalimat. Acak-acakan, tetapi
bisa dibaca dengan jelas.
Ketiganya
saling berpandangan. Tersenyum. Seolah-olah harapan baru telah muncul. Dan
Adiknya yang dikiranya telah menghadap ilahi, ternyata masih ada di dekatnya.
“Setanggi.
Apakah kau disana?”
Setanggi
tidak menjawab. Ia kecewa dan kembali merasa terancam. Bukan ayahandanya yang
membaca pesan yang ingin disampaikannya, tetapi mereka yang ternyata terlibat
juga dalam rencana pengasingan dirinya di hutan batu.
Terdengar
kepakan sayap. Terdengar nyaring dari dalam kamar. Seekor burung ruai terbang
diatas atap istana. Ketiga putri itu cepat-cepat membuka jendela. Tapi sosok
burung itu tidak nampak di dalam kegelapan. Hanya terdengar kepakan sayap di
udara.
Ketiganya
menyebut-nyebut nama Setanggi dengan keras. Tetapi hanya dalam hati. Tidak
mungkin untuk meneriakkanya sekuat suara, kecuali jika ingin mereka tertangkap
basah saat itu. Mereka hanya berpikir keras bagaimana caranya untuk memberi
berita menggembirakan ini kepada ayahandanya.
***********
“Maafkan
hamba, paduka. Hamba tidak memberikan kabar untuk bertandang ke istana paduka
terlebih dahulu.” Pangeran Panca menghadap.
“Bangunlah.
Tidak apa-apa. Seharusnya saya yang meminta maaf atas apa yang telah terjadi beberapa
hari ini.” Tukas raja Bantahan
“Hamba
sudah mulai bisa melupakan itu, paduka. Sebenarnya kedatangan hamba kesini
secara tidak sengaja. Hamba membawa diri kedalam hutan di perbatasan wilayah
kekuasaan paduka dan ayahanda untuk berburu. Hamba masih ingin mencari burung
ruai.
Tetapi tetap saja nihil, hingga tak berselang lama hamba melihat seekor ruai
betina tengah mengangkasa. Ruai itu sepertinya berasal dari hutan batu yang ada
di kekuasaan paduka. Dan ketika hamba menongakkan keatas, hamba melihat burung
itu terbang menuju arah dimana istana ini berdiri.”
“Benarkah
itu, pangeran Panca?. Ini sungguh ajaib. Pasti ada sesuatu di balik ini semua.
Kemarin ketika saya tengah duduk-duduk di pondopo depan istana, seekor ruai
betina menghampiri dan hinggap di pundakku.”
“Ini
pasti bukan kebetulan, paduka.” Pangeran Panca meyakinkan.
Raja
bantahan kembali teringat apa yang telah di dengarnya dari Kenanga tadi malam.
Gua Batu, hutan Batu, lenyapnya Setanggi ditelan bumi, dan perilaku kotor
ketiga putri lainnya.
“Mungkinkah?”
Mata raja mulai memerah dan basah
‘Setanggi…”
Lanjut raja lagi
“Apakah
raja tidak apa-apa.” Beberapa pengawal menghampiri. Raja mengiyakan dan bilang
bahwa dirinya hanya teringat putri bungsunya.
“Apakah
paduka tidak apa-apa?” Tanya pangeran Panca kemudian mayakinkan dirinya dan
pengawal istana.
“Iya,
saya baik-baik saja.”
***********
Berita
kehilangan Setanggi tidak di umumkan kepada khalayak. Sehingga rakyat jelata
tidak satu pun perihal itu. Hanya orang-orang di istana yang mulai sibuk
membicara ketiadaan Setanggi di tempat mereka mengabdi.
“Kebetulan,
sekarang Kasturi, Bakung dan Mawar dipanggil menghadap ayahanda. Ini kesempatan
kita untuk menyelinap masuk ke kamar ayah dan menyelipkan kertas ini di balik
bantal ayahanda.” Ide brilian itu di utarakan.
“Tapi
sebaiknya Seroja atau Teratai yang masuk kesana. Karena jika saya yang masuk,
pasti pengawal suruhan Kasturi akan curiga.” Kenanga memberi saran.
“Biar
saya yang masuk. Karena akhir-akhir ini saya yang lebih sering mengantar
minuman keruang ayahanda. Jadi tidak ada satupun yang bakal curiga.” Teratai
menawarkan diri.
************
Ketiga
putri yang tengah menghadap paduka raja merasa was-was atas panggilan mendadak
itu. “Jangan-jangan rahasia telah terbongkar. Pasti ada seseorang yang telah
membongkarnya. Kenanga. Siapa lagi yang berani.” Kata-kata itu menggelayuti
pikiran mereka bertiga.
“Maaf
ayahanda, ada apakah gerangan ayahanda tiba-tiba memanggil ananda bertiga untuk
menghadap?” Kasturi mengawali dan berusaha menunjukkan wajah tenang.
Raja
bantahan berdehem. Dan jelas mengetahui kerisauan yang ada didalam hati ketiga
putrinya itu.
“Begini.”
Raja berucap sepatah. Dan mengatur irama pembicaraan.
“Ayahanda
berpikir tentu kalian ikut bersedih lantaran kehilangan adik bungsu kalian.
Sebagai hiburan, besok akan ada pesta panen pertama di desa Kemuning. Jadi
ayahanda mengutus ananda bertiga untuk menggantikan dan mewakili ayahanda
disana. Nanti beberapa panglima juga akan ikut mengawal. Ayahanda masih terlalu
sedih untuk berpesta bersama rakyat. Untuk kalian, bergembiralah disana!”
Tampak
kelegaan di muka ketiga putri tersebut. Ternyata apa yang dicemaskannya tidak
terjadi.
“Bagaimana?”
Raja Bantahan menegaskan
“Baiklah
ayahanda. Ananda tidak keberatan.” Bakung setuju
“Ananda
juga, ayahanda.” Lanjut Mawar
“Ananda
juga sama.” Ucap Kasturi terakhir.
Teratai
telah kembali dari ruangan ayahandanya. Menyelipkan catatan kecil dibawah
bantal tidur. Dan berdoa agar ayahandanya segera membacanya.
**********
Malam
kembali datang. Tamu dari selatan diminta untuk menginap barang semalam di
istana kuning tersebut. Yang dimintai tidak keberatan. Dan tengah berisitirahan
di kamar tamu kerajaan.
Dikamarnya,
raja Bantahan tidak bisa melelapkan mata. Pikirannya mengembara dan menduga-duga.
Benarkah ini semua? Mungkinkah ruai kemarin itu adalah anaknya, Setanggi. Raja
berdiri dari duduknya dan menuju lilin yang tengah menggoyangkan api diatasnya.
Meniupnya. Ruangan menjadi gelap. Rajapun membaringkan tubuh dan mengalas
kepalanya dengan bantal. Tetapi terasa ada sesuatu di bawahnya. Sebuah kertas.
Penasaran, dihidupkannya kembali lilin dan membaca apa yang tertulis di kertas
tersebut.
“Setanggi…”
raja bantahan menangis sejadi-jadinya.
Benar
adanya burung ruai betina itu adalah Setanggi. Dan ia menyesal telah membiarkan
burung itu kembali terbang ke istana kemarin. Raja menyesali dirinya sendiri.
Andai saja ia lebih peka membaca isyarat-isyarat yang diberikan oleh sang
burung yang ingin mengatakan bahwa dirinya adalah Setanggi. Raja Bantahan
kembali menangis.
Tiba-tiba
terdengar sesuatu jatuh diatap tepat diatas kamar raja Bantahan. “Setanggi.”
Pikirnya spontan.
Terdengar
kepakan sayap. Semakin mendekati jendela kamar. Raja menghampiri jendela dan
bersegera membukannya. Tepat. Seekor ruai betina masuk kedalam kamar. Hinggap
di tubuh raja. Raja memeluk burung betina itu. Memeluk sekuat-kuatnya.
“Ayahanda
tahu, kamu adalah Setanggi, putriku. Maafkan ayahanda yang telah lalai menjaga
keselamatan ananda.” Ruai tetap tidak berontak di pelakukan lelaki tua itu.
Merasakan hangatnya tubuh dan menumpahkan kerinduan yang juga sama dirasakan
olehnya. Tapi sayang, Setanggi tidak bisa bercakap-cakap dengan ayahnya.
Padahal dirinya sebenarnya menyebut-nyebut nama ayahandanya. Berulang-ulang.
Masih
dalam memeluk putrinya yang kini menjelma menjadi seekor burung, raja Bantahan
berpikir “lalu, siapa yang meletakkan kertas dibawah bantalnya?”
“Teratai.
Si pengantar minuman!”
Terdengar
kembali sesuatu terjatuh di atas dan berlabuh di atap di atas kamar sang raja.
************
Sarapan
yang mengesankan bagi pangeran Panca karena dirinya ditemani oleh raja Bantahan
beserta ketiga bidadari berbeda yang tidak kalah memukaunya. Hatinya bernyanyi.
“Bagaimana
tidurmu, pangeran?”
“Luar
biasa nyenyak, paduka. Hamba bermimpi bertemu dengan seseorang yang sangat
hamba rindukan di istana ini. Rasanya hamba ingin berlama-lama di sini, tetapi
hamba sama sekali tidak mengabari istana selatan kedatangan hamba disini. Hamba
takut, ayahanda dan ibunda khawatir. Mereka hanya tahu, hamba pergi berburu.
Dan hamba tidak pulang. Pasti pikiran-pikiran gelisah menghantui mereka.”
“Benarkah
pangeran bermimpi bertemu dengan putriku didalam mimpi?”
Pangeran
panca mengangguk.
“Semalam
saya menemukan secarik kertas di bawah bantal.” Raja Bantahan berbicara sambil
memandang Teratai. Teratai tersedak.
“Yang
pasti itu bukan dari Setanggi. Tetapi memberi pesan tentang Setanggi.” Raja
melanjutkan.
“Paduka,
apakah Setanggi masih hidup?” Tanya pangeran Panca mengejar.
Teratai,
Seroja dan Kenanga berpandangan satu sama lain. Seperti yang direncanakan
ayahandanya telah membaca pesan melalui secarik kertas itu. Mereka semua
bahagia.
“Saya
sangat berterima kasih kepada siapapun orang itu.” Kata sang raja lagi. Kembali
memandangi ketiga putrinya.
“Pangeran,
saya ingin menunjukkan sesuatu kepadamu. Maukah pangeran ikut denganku?”
“Baiklah
paduka.”
Pangeran
Panca masih dengan pikirannya sendiri. Apakah Setanggi benar-benar masih hidup.
Ketiga
bidadari istana itu tetap di posisi duduknya dengan terkaannya sendiri akan
sesuatu apa yang ingin ayahandanya sampaikan pada pangeran Panca. Raja dan
pangeran Panca berjalan menuju ke suatu tempat.
“Silakan,
pangeran.” Raja mempersilahkan pangeran untuk masuk terlebih dahulu.
Pangeran
masuk keruangan yang tak lain dan tak bukan adalah kamar sang raja. Pangeran
Panca melihat seluruh sudut kamar. Dari atas sampai bawah. Berbagai samakan
kulit binatang mulai dari harimau, kijang, tenggiling, ular dan lainnya tak
dapat pangeran Panca sebutkan satu per satu. Di sisi lainnya, koleksi perak dan
emas tampak dari teko antik, sloki, kompas, kursi hingga lemari. Semuanya
memantulkan cahaya kekuningan.
“apakah
pangeran benar-benar telah melupakan ananda, Setanggi?” raja Bantahan berucap
sambil mempersilakan pangeran Panca duduk di kursi kekuning-kuningan tadi.
“Bukankah
takdir telah memisahkan kami berdua, paduka?”
“Bagaimana
seandainya Setanggi masih hidup?”
Pangeran
Panca terdiam. “Paduka, kita semua sama-sama tahu bahwa meskipun hamba tidak
pernah berbicara dengan Setanggi, tetapi hati hamba dengannya terasa dekat.
Apakah Setanggi juga merasa seperti itu, paduka?”
“Sebenarnya
saya tidak tahu pasti. Masalah pernikahan ini sama sekali belum sempat saya
bicarakan dengannya. Saya ingin memberikan kejutan kepadanya awalnya. Semua
musnah, ketika saya mengetahui Setanggi sudah tidak ada setibanya saya disini.”
“Jadi,
Setanggi sama sekali tidak tahu tentang ini semuanya?”
“Ya,
bahkan ia tidak tahu alasan tepat mengapa ia dibuang.”
“Dibuang?”
“oh,
tidak. Maksud saya, kami tidak tahu secara pasti alasan Setanggi meninggalkan
Istana.”
“Maaf,
saya hampir lupa.” Raja bantahan berjalan menuju sebuah lukisan yang
menggantung di dinding. Dan serta merta menggeser sedikit lukisan tersebut.
Tiba-tiba sebuah dinding yang lain bergeser, membuat lubang. Tepatnya membuat
sebuah pintu yang menunjukkan bahwa di situ ada ruangan.
“Silakan.”
Raja Bantahan berkata kemudian
Pangeran
Panca berdiri dan menghampiri pintu ruangan rahasia di ikuti oleh sang Raja di
belakang.
*************
Setanggi
terkejut. Ada
seseorang masuk ke tempat persembunyiannya. Tak sempat untuk terbang dan
bersembunyi, sesosok manusia muda yang pernah bertabrakan badan dengannya.
Setanggi merasa takut. Dan rasa takut itu, sirna setelah melihat seorang lelaki
tua dibelakangnya.
“Ayah….?”
Suara hati Setanggi berbicara
“Ini…ini….”
Pangeran Panca merasa dirinya masih tertidur dan bermimpi bertemu dengan seekor
ruai.
“Paduka…”
Pangeran Panca mencoba untuk melanjutkan kata-katanya, namun ia terlalu gembira
untuk menyelesaikannya. Pangeran panca mendekati sang burung betina. Tetapi
kepakan sayap menghembuskan angin yang membuat pangeran Panca melindungi
matanya dari bulu-bulu halus yang beterbangan.
“Darimana
paduka mendapatkannya.”
Raja
yang ditanya tidak menjawab dan terus memandangi kearah mana saja ruai terbang.
“Ruai.
Ini namanya pangeran Panca”.
“Jadi ini yang
namanya pangeran Panca.” Ucap ruai membatin.
“Pangeran, saya
hadiahkan burung ruai ini. Jagalah ia baik-baik. Kesabaran pangeran akan
berbuah manis nantinya. Suatu saat pangeran akan mendapatkan Setanggi kembali.
Tetapi seandainya, jika pangeran tidak sanggup untuk mengurusnya dengan baik.
Lepaskan saja ia ke udaranya dan biarkan menuju tempat kemana seharusnya.
Syarat terakhir. Jangan pernah menyakitinya! Jika itu terjadi, aku pasti akan
memperhitungkannya.”
“Baik paduka”
Epilog:
Bara
terlanjur merasa kasihan pada Setanggi yang tidak mungkin bisa berkomunikasi
secara verbal dengan ayahandanya. Ia
menguatkan diri untuk bertandang ke istana kuning dalam wujud ruai
jantan pada mulanya. Setibanya di kamar raja, Bara merumah wujud menjadi
manusia sempurna. Ia bercerita banyak akan pertemuannya dengan Setanggi. Tak
lupa, ia juga mengatakan bahwa wujud Setanggi akan kembali normal dalam 100
purnama ke depan.
Penyerahan
penjagaan ruai betina kepada pangeran Panca dimaksudkan agar Keselamatan
Setanggi lebih terjamin dan ruang geraknya lebih luasa. Dan seperti pesan sang
raja, pangeran Panca menjaganya dengan sangat baik. Harapan untuk bertemu
Setanggi lagi begitu memuncak. Meskipun ia sendiri tidak tahu meski harus
menunggu seabad purnama lamanya.
CATATAN:
Tuturan asli salah satunya dari
www.sambas.go.id . Versi ini murni atas
pemugaran dan renovasi cerita dengan menambahkan nama, tokoh, karakter, dan
alur berdasarkan imajinasi penulis sendiri.