Sabtu, 30 Maret 2013 1 Messages

BIARKAN CINTA MEMILIH (SELESAI)

Langit-langit kamar runtuh berkecai dan menimpa jasadku yang rapuh terdiam. Membiarkan saja kepingan itu menimbun dan hanya menyisakan namaku kelak. Besoknya, sekampung akan heboh dengan kejadian ini. Gemuruh diluar menggelegar. Petir pula saling sikut di cakrawala pekat. Semakin keras aku menggenggam kertas berlipat tiga itu, maka pesta pora alam diluar sana semakin jadi pula. Barangkali mereka tengah mengejek dan mempertawakanku yang telah kalah. Hampir punah di kamar ini. Sendirian. 

Kejadian itu hanyalah ilusi liar yang menggerayangi pikiranku sesaat. Sesaat dalam rentang waktu hampir dua jam. Langit-langit kamar masih utuh ditempatnya dan tiada gemuruh maupun sahabatnya sang petir. Hanya saja, aku masih setia terlentang menatap awang-awang. Sementara pikiran disesaki slide demi slide kenangan yang menyenangkan sekaligus menyesakkan dada. 

Masih segar di ingatan bagaimana tangan Fitri gemetar menyodorkan undangan tersebut. Waktu berhenti berputar beberapa saat. Beruntung temannya, entah siapa namanya, menghidupkan waktu kembali dan membuat kesadaran kami masing-masing pulih. Aku tahu, tidak tahu apa-apa yang mesti ku katakan kala itu. Mengucapkan selamat serta pura-pura bahagia atas nama persahabatan. Atau menunjukkan raut muka kecewa. Kurasa, hal yang kedua yang terjadi. Demikian pula dengan Fitri. Rasa bersalah menghiasi wajahnya. Mata itu terlihat berat dari hari-hari biasanya. Ada genangan tertahan di balik sana. Dan itu menimbulkan sebuah tanda tanya dibenakku. 

Tapi sudahlah. Lupakan. Kisah ini sudah terlalu jauh untuk diurai. Ketika temannya Fitri sedikit memaksa untuk beranjak lekas, gadis calon mempelai perempuan itu mengikut. Sebelum naik kendaraan, ku lihat ia menyeka matanya dengan jilbab ungu yang kenakannya. Seingatku, pertama kali mengenalnya, ia juga menggunakan jilbab yang sama. Tidak ada tatapan lagi setelah itu. Aku saja yang mematung, belum bisa mencerna sepenuhnya apa yang terjadi. 

Masih di kamar ini, kedua mataku pun telah menguras airnya dalam. Malu sejatinya untuk mengatakannya, namun itulah keadaannya. Setelahnya, segala tampak melelahkan. Jiwa dan pikiran. Ku tutup mata dengan nelangsa dan desahan pelan. Disaat itulah, sejatinya sebuah keputusan telah terpatri mantap. Biarkan aku melalui hari ini dengan kepedihan. Sehari ini saja lagi. Karena esok, aku tidak lagi aku yang sekarang. BIARKAN CINTA YANG MEMILIH. Satu saja pintaku, ijinkan aku mencintainya dengan setulus-tulusnya CINTA. 
..............
Lewat sebulan sejak hari itu. Ini adalah hari kedua aku kembali menghirup udara kota ini. Tidak ada yang berubah. Perubahan apa yang bisa diharapkan dalam waktu tiga puluh hari. Seperti dugaanku, tiada apa-apa. Ups, hampir lupa. Ada sebenarnya yang benar-benar telah berubah. Aku!

"Mas, bagaimana kalau yang ini?" Winara, istriku membelai gamis berwarna hijau muda. Tatapannya mengisyaratkan jawaban cepat. 
"Bagus," hanya itu yang bisa kukatakan. Apalagi coba? Winara, bidadariku itu pantas memakai warna apapun. Berketurunan Tionghoa dari pihak ayah dan Jawa dari ibunya, Winara memiliki wajah ayu oriental. Melebihi dari kecantikan fisiknya yang luar biasa, terutama menurutku, kecantikan hatinya jauh lebih banyak. Itu menjadikanku lelaki paling beruntung di jagat raya.

Sebelum pelaminan di gelar, pada mulanya Winara terkesiap dengan ceritaku yang sesungguhnya. Tidak ada yang tersisa dan kututupi perihal cinta dan patah hati. Sesungguhnya apa yang kulakukan terlalu berisiko. Winara akan merasa dijadikan pelampiasan cinta tidak kesampaian. Walau demikian, aku pasrah saja. Menurutku, kejujuran di awal jauh lebih baik. Justru tanggapan yang ganjil ku dapatkan, seolah luahan hatiku dongeng-dongeng semata. "Aku percaya dengan perjodohan ini," responnya singkat. Sejak itu, aku jatuh cinta lagi dan berazam untuk mencintai gadis dihadapanku itu sepenuhnya. 

Winara masih sibuk dengan pilah-pilih bajunya. Karena tidak mengerti tetek bengek belanja, aku mengedarkan pandangan ke beberapa sudut pasar. Semuanya hampir sama saja. Penjaga toko menawarkan dagangannya pada siapapun yang lewat. Sementara yang lain berdebat menawar harga. Penjual bersikeras tidak bisa, calon pembeli malah memelas untuk harga yang sesuai. Hingga akhirnya, hingga akhirnya mataku terhenti padanya. Aku ragu-ragu untuk menyapanya. Ia pun merasakan hal yang sama, sebelum akhirnya memberanikan diri untuk berjalan menghampiri.

"Sendirian?" tanyanya tidak enak.
"Oh, eh, tidak, dengan Winara, istriku," balasku terbata-bata sambil menunjuk pada Winara. Istriku masih terlihat sibuk menentukan pilihannya. Antara hijau dan ungu. Yang kusesalkan adalah kenapa aku harus gugup seperti ini.
"Maaf, saya tidak bisa datang hari itu..." tambahku tertahan.
Ada jeda berisi kegetiran disana. Dia mengedarkan pandangan seolah mencari kekuatan sebelum akhirnya berucap, "tidak ada yang datang hari itu. Walimahan yang mestinya digelar, berganti dengan prosesi pemakaman. Faisal mengalami kecelakaan tiga hari menjelang pernikahan mereka. Sedikit banyak, saya masih bisa melihat rasa syok pada diri Fitri saat ini."


ALHAMDULILLAH, KELAR JUGA AKHIRNYA. MESKI BANYAK KEKURANGAN. ENTRI KOMEN DAN SARANNYA, OK?





Jumat, 29 Maret 2013 0 Messages

Pengejaran



Teriakannya mengganggu pendengaranku. Sejelas suaranya, sejelas itu pula aku bisa menebak apa yang terjadi di luar sana. Menyembulkan badan sedikit, mencari sumber suara, adegan itu persis yang kubayangkan. Hanya saja, tak kusangka korbannya telah berdarah-darah.

Aku masih berdiri di persimpangan. Berdebat antara mengiyakan lumrah rantai makanan atau mencari sebilah kayu untuk melakukan pertolongan pertama pada korban. Dan rupanya, yang kedua sebagai kebulatan tekadku. Tak tanggung-tanggung, di dekatku ada kayu kira-kira sepanjang dua meter. Senjataku!

Pukulan pertama langsung mendapatkan hasil terbaik. Korban menghilang seketika, atau tidak hilang seketika sebenarnya. Hanya saja aku barangkali terlalu fokus pada pelaku. Salah satu makhluk yang paling bisa membuatku merinding. Geli sekaligus takut. Mengandalkan senjata yang ada ditangan, seolah keberanian berkumpul di dada.

Begitu pula halnya dengan pelaku, ia melakukan perlawanan sebisanya. Bukan perlawanan sih sebenarnya, itu bentuk mempertahankan diri. Larinya tidak tanggung-tanggung menjauhiku. Namun, jangan salah, berbekal senjata andalan, aku getol mengejarnya. Ia sesekali mencoba menantang, tapi sekali lagi kusebutkan, ia tidak terlalu berani.

Ketika ku mengambil ancang-ancang untuk melakukan pukulan kedua, ia hengkang terbirit-birit dengan lidah menjulur. Ku kejar terus sampai akhirnya ia berlindung di sebalik papan tebal. Badannya yang kecil memungkinkan untuk itu. Dengan rasa berani-berani takut, ku tepikan papan tersebut dengan kayu yang ku pegang.
Seolah raib begitu saja, ia menghilang. Hebat!

"Ade ape, bang?" Tanya si pemilik rumah yang heboh melihat aksiku.
Sementara aku hilir mudik. Menyelidiki sisi yang memungkinkan untuk makhluk itu menyembunyikan diri.
"Ular katak," jawabku singkat.
Dan saat aku mengitari lagi ke sisi sebelah selatan, tiba-tiba lawan bicaraku itu berkata nyaring sambil menunjuk-nunjuk, "wei, bukannya ular iye masuk rumah ye bang!"

Kamis, 28 Maret 2013 0 Messages

H I M


Sepintas mengenalnya, kau akan mengatakan ia sesosok yang tampak sombong. Mmm...barangkali tidak semuanya salah. Tetapi seandainya boleh mengoreksi sedikit, kata yang tepat ku kira adalah ia lebih suka menarik diri dari keramaian.

Banyak orang berupaya untuk menjadi seperti orang lain. Tak lepas pula dengan dirinya. Ada saat-saat tertentu dimana menjadi semacam itu seolah suatu kekuranggan. Ia berupaya berinteraksi lebih, namun yang terjadi hanyalahiInteraksi palsu yang cenderung dipaksakan. Tawa hambar dan sejatinya ia tidak ada disana. Dimana ia berada? Ia berada di planet Mars. Akhirnnya akal sehatnya berperan juga. Manusia diciptakan juga untuk saling mengenal. Masing-masing membawa kekurangan serta kelebihan. Keunikan dan bakat juga tidak luput.

Ia tidak suka jika tidur siangnya terganggu. Karena itu merupakan waktu istimewa baginya. Bagaimana tidak,  malam hari ia harus lembur di depan komputer. Meramu kata demi kata. Setahuku, katanya ia ingin menjadi penulis hebat kelak. Makanya, ia mulai berlatih keras. Ia seolah melihat kesuksesannya terpampang jelas di hadapannya. Yang seperti ini memang butuh penempatan sifat keras kepala yang benar. Sehingga tangga ajaib, bagai apa yang selalu didengungkannya, terwujud juga.

Langkahnya suka melawan arus, ku kira. Entahlah, apa yang disukainya tidak benar-benar bisa dijelaskannya dengan detil. Sebagai orang terdekat, sebenarnya memasak adalah hobi utamanya. Tapi, sekali lagi entahlah. Tak jarang juga ia begitu terpesona dengan berbagai keahlian melukis, animasi, dekorasi dan berkhayal juga kelihatannya.


Rabu, 27 Maret 2013 0 Messages

Kembalinya Sang Gerilyawan (The Gerilyawan Return)

Malam sebelumnya mereka berjanji akan bertemu lagi disini. Disaat bulan purnama mulai mengambang. Sumringah dari si ia mengakhiri perjumpaan mereka. Meski jarak memisahkan raga, namun pikiran mereka memiliki cerita yang sama. Sesuatu yang bergolak membara didalam sana. 
..........
Awalnya, dikiranya ia datang terlalu cepat. Tak apa menunggu barang sejenak. Semenenit dua pun berlalu tanpa kabar pasti. Hingga waktu terus bergulir sampai pada hitungan jam. Bergulir lagi melebihi batas kesabaran. Kekecewaan dan kegelisahan berbaur menerpa dirinya. Kenapa dan ada apa, dua pertanyaan yang bermunculan silih berganti. Sekuat apapun ia menepis pemikiran negatif dan yang seperti itu, tetapi tetap saja kesimpulan akhirnya sama. 

Janji tinggallah janji. Ia yang ditunggu tidak kunjung bertandang. Aneh dan janggal dari hari-hari biasanya. Sepulangnya kerumah, ia yang menunggu jengah dan marah. Kini ia yang berjanji akan segera datang ke tempat "teman istimewanya" itu. Kalau memang harus bersitegang nanti, kenapa tidak?
...........
Kedatangannya disana disambut dengan semburat wajah-wajah kekhawatiran. Justru, dikira oleh sang tuan rumah kehadirannya kali ini untuk menghilangkan rasa was-was mereka. Rupanya sebaliknya. Keberadaannya makin menambah jumlah tanda tanya diantara mereka. 
...........
Jujur, ia sebal dengan sosok dihadapannya. Seolah kumis panjangnya lebih penting dari berita kehilangan yang ingin dilaporkannya.
"Jadi, kapan hilangnya?" tanya sosok itu sok ambil peduli, tetapi jelas gagal
"Mungkin, e...barangkali sejak tadi malam," ucapnya dengan nadi kurang yakin.
"Bagaimana kamu kamu yakin ia hilang. Bisa saja ia mengunjungi suatu tempat dan tidak ingin diganggu. Terkadang kita perlu privasi, kan?"
Dan bla-bla-bla. Akhirnya si penegak hukum itu dengan enggan menulis laporan kehilangan yang diterimanya. Dan berjanji tanpa nada kepastian, akan berusaha melakukan yang terbaik oleh pihaknya. Setelah satu kali dua puluh empat jam. 
...........
Hari kedua, koran harian setempat, MiceUpdate, memajang sebingkai wajah. Dibawahnya tertera tulisan, "menghilang sejak dua hari yang lalu. Tempat terakhir ia terlihat adalah di gedung basecamp" 
...........
Pihak berwajib dan pemerintah setempat memandang kasus kehilangan ini dengan sebelah mata. Makanya, paling tidak menurutnya, mereka tidak mengerahkan sepenuh kekuatan. Terlebih, sepertinya panasnya suhu politik akhir-akhir ini untuk merebutkan tampuk kursi no satu lebih penting. Belum lagi permasalahan internal kubu yang mulai coba-coba digoyang oleh lawan kubu. 

Ia mencoba untuk berpikir jernih dan sedikit santai untuk pertama kalinya. Ya, sejak malam itu, otaknya terus terkuras memikirkan nasib buah hatinya. Sudah delapan penjuru mata angin di ziarahinya untuk bertanya, barangkali yang dicari ada disana. Kosong, sekosong harapannya kini. 

Dibukanya halaman demi halaman MiceUpdate dengan letih. Ia terperangah ketika tidak lagi mendapati berita kehilangan itu termuat disana. Dugaannya, kasus itu telah menguap begitu saja. Itu artinya, ia harus mulai bertopang pada tangan serta kakinya sendiri. Dibalikkannya lagi menuju halaman terakhir koran tersebut, kemudian tiba-tiba matanya tertuju pada tulisan kecil terbingkai tebal. Secercah cahaya mulai tampak. Semoga...
...........
Tidak perlu waktu lama untuk dua detektif swasta tersebut melacak sosok yang dilaporkan hilang. Langsung menuju TKP, tempat terakhir kehilangan. Mereka menemukan bercak darah kering di lantai di sebelah barat. Meski hampir terkikis oleh pel, tapi penciuman sulit dikelabuhi. 
"Maaf, tapi ini memang tragis. Bercaknya bahkan tidak hanya di satu tempat. Di luar gedung basecamp juga terdapat bercak darah. Sejauh ini, kesimpulan kami ia tidak lagi bernyawa."

Ia dan dua detektif swasta tadi berjalan menuju ke luar gedung basecamp. Dimana sesuai perkiraan, sosok yang dicari hari itu lama tertahan disana. Besar kemungkinan juga meregang nyawa disana. "Kasus ini sudah terlalu lama dilalaikan. Kalau memang benar, jasadnya sudah dimangsa binatang lain. Jika tidak, dibuang begitu saja."
"Tentu saja---"
Ia berlari secepat kilat menuju jalur aliran air yang saat itu tidak bergerak sama sekali. Seandainya jasad itu dibuang, maka ia akan menemukannya disana. Harap-harap cemas ia memikirkan itu. Lagi-lagi kosong. Harapannya seperti embun di pagi hari. Menghilang saat matahari menyebarkan rasa teriknya perlahan. 
"Ya, bagaimana mungkin. Di air itu ada pemangsa lain yang dengan senang hati berebut jasad kekasihnya."
Ia tertuntuk dan rebah di tanah. Sementara dua detektif yang menyaksikan adegan itu hanya bisa saling pandang, lalu menelan ludah getir dan empati. 

Ia tidak benar-benar pingsan. Kesadaran masih ada. Ketika semua berawal dari janji, maka dengan janji pula ia akan mengakhirinya. Untungnya, ia tahu kepada siapa harus melepaskan dendam tersebut. Siapa lagi jika bukan.....
Kesadarannya lumpuh. 
............
Lelaki itu berdiri was-was di tepi jurang berkabut. Tiba-tiba dari balik kabut tersebut, ia mendapati tubuh bongsor. Bukan bongsor lagi namanya, itu raksasa. Tingginya tiga kali lipat dari dirinya. Moncong mulut berkumisnya terlihat jelas. Berbulu lebat dan kibasan ekornya meresahkan. Lelaki itu ketakutan. Semakin lama semakin ia didekati oleh makhluk itu. Saat jarak terbilang kurang dari tiga meter, lelaki itu harus mendongak untuk melihat dari atas ke bawah. Tikus raksasa itu menyeringai seram. Sementara ia gemetar. 

Keringat dingin membanjiri. Dengan hati-hati ia mengeluarkan sebuah benda dari saku celananya. Seperti setangkai kayu. Bimsalabim. Kayu itu ternyata bersabut. Lelaki itu beranikan diri memasang kuda-kuda. Duel satu lawan satu. Kayu kecil ditangannya tadi dilemparkan ke atas. Dan ketika jatuh lagi ditangannya, tahu-tahu kayu tersebut sudah berubah menjadi sebuah penyapu. Penyapu super elastis. Semakin membesar ukurannya setiap kali digoyangkan. Tak ayal lagi, kini penyapu itu bahkan mampu menepikan sosok tikus raksasa. Dalam sekejap mengantarkannya ke bawah jurang dalam tanpa ampun. Selesai...

Tidur siang yang tidak nyenyak itu pun harus disudahi. Azan Ashar berkumandang dimana-mana. 
.........
Pada saat membuka basecamp keesokan paginya, lelaki itu mendapati lagi jejak segar sang gerilyawan. Dari sinilah ide ini berasal. Ternyata bukan hanya satu gerilyawan yang berkeliaran di sini. Mmmm wajar. 

Benang merahnya ada di entri sebelumnya (bagi yang baru masuk) AKSI TERAKHIR SANG GERILYAWAN

0 Messages

Biarkan Cinta Memilih


            “Aku seolah telah melakukan kesalahan terbesar dalam hidupku.”
            Fitri menatap benda berwana cokelat muda ditangannya. Ornamen bunga berwarna abu-abu membalut sisi-sisinya. Ditengah juga rangkaian bunga yang berbentuk hati. Sederhana memang bentuknya. Sesederhana acara yang akan digelar pada hari yang tertera disana. Betul, seharusnya ia mempersiapkan lahir batin untuk menghadapi hari H-nya. Bukannya bergelut dengan perasaan bersalah. Namun, ia tak kuasa untuk mengenyahkan pikiran itu begitu saja.
            Terlebih nama Adha tertulis disana. Dulu ia berpikir untuk tidak mengundang saja pemuda itu. Tapi mengingat persahabatan yang terlanjur berwujud diantara mereka, serta jasa-jasanya selama ini rasanya itu tidak etis.  Jika mau jujur, justru sebab itulah ia merasa tersiksa seperti ini. Persahabatan yang bagi Adha istimewa, meskipun telah berulang kali Fitri menegaskan bahwa perasaannya tak lebih dari teman karib. Seperti teman-teman lainnya.
            Saheeda mengambil perlahan undangan di tangan sahabatnya. Menumpuk dengan undangan lainnya di atas meja. Dan mengambil satu yang menarik perhatiannya. Duduknya disamping gadis berjilbab itu tadi seolah memudar ketika Fitri terus-terusan menyalahkan diri sendiri. Kasihan bercampur empati, Saheeda menghela nafas dalam.
            “Tak seharusnya di detik-detik seperti ini kamu masih memikirkannya. Saya tak bisa membayangkan bagaimana seandainya Faisal tahu,” tukas Saheeda tanpa bertatap muka dengan Fitri. Ia tidak terlalu ingin melebur dalam kondisi tersebut. Lagi pula, untuk apa sih mengundang Adha segala jika memang hanya akan memperburuk keadaan. Yang lalu biarlah berlalu.
            “Faisal sudah bertemu dengannya lebaran kemarin.”
            Mata Saheeda membesar tak percaya apa yang didengarnya. Membetulkan posisi duduknya yang canggung lantaran menggunakan rok panjang. Menghadap ke Fitri, “lalu?”
            “Saya pernah menceritakan tentang Adha padanya. Juga tentang cintanya. Hari itu, saya seolah melihat ada gunung es diantara mereka. Pembicaraan yang kaku mengisi kunjungan Adha ke rumah lima belas menitan tersebut. Untung saja tidak mengarah pada hal yang sensitif.”
            “Sen-si-tif?” Saheeda mengucapkannya dengan perlahan dan penuh penekanan.
            “Seperti menanyakan siapa Faisal.”
            “Ah, tapi ku kira Adha tak bodoh untuk membuat kesimpulan sendiri. Kalau benar, bukankah kamu tak perlu repot-repot untuk menjelaskan banyak? Toh selama ini kamu tak pernah memberinya harapan lebih. Sepatutnya ia mengundurkan diri dengan teratur.” Ucap Saheeda terus-terusan.
            Sedikit banyak Fitri sependapat dengan Saheeda. Mengundurkan diri. Istilahnya sangat tepat untuk menggambarkan sikap Adha sejak kunjungannya lebaran kemarin. Pemuda itu bahkan tidak pernah bertanya lagi kapan Fitri akan menuntaskan perbaikan skripsi dengan dosen pembimbingnya. Desakan yang lebih kepada motivasi juga tak pernah Adha layangkan lewat sms lagi. Jika bukan Fitri yang bertanya tentang perkembangan perbaikan skripsinya, ia tak pernah mendapat pesan lain.
            “Ingat Fit, kita tak mungkin bisa membahagiakan setiap orang.”
            Fitri mengangguk tanda sepakat dengan ucapan itu.
            “Andai saja ini Diana teman SMA kita.” Kata Saheeda mencoba mengalihkan pembicaraan sembari menyodorkan undangan bertuliskan Diana dan partner.
            Untuk pertama kalinya Fitri menampilkan wajah ceria sejak kedatangan Saheeda kerumahnya siang ini. “Oho, saya hampir lupa Id. Ya, dia memang Diana teman SMA kita.”
            “Yang benar?” Tubuh Saheeda seolah ingin terlonjak dari tempat duduknya. “Apakah dia berubah setelah hampir tujuh tahun, ya?”
            “Tentu sayang. Kamu saja berubah.” Jawab Fitri.
“Itulah, nasib seseorang tak pernah bisa diduga,” tambah Fitri lagi. “Dulu dia selalu saja jadi bulan-bulanan lantaran namanya yang sedikit ‘aneh’ untuk seorang laki-laki. Sulit dipercaya, seseorang yang culun sepertinya bisa menjadi jurnalis. Bahkan, katanya cerpen besutannya kerap kali nongol di koran lokal.”
Saheeda ternganga. “Jangan-jangan? Oh, cerpenis bernama Dian A itu dirinya. Bahkan saya sering kirim email padanya untuk meminta saran dalam menulis.”
“Kita sama terkejutnya, kan. Satu hal lagi Id, Allah itu memang maha adil. Kau tahu, nama istrinya adalah Dani.”
Mata Saheeda hampir lepas dari rongganya.
................. 
Tulisan ini sebenarnya telahpun usai sejak Desember 2012 lalu. Namun, ada niat untuk melanjutkannya. Semoga.
Selasa, 26 Maret 2013 0 Messages

Edisi Sok Tahu


Awal yang NENDANG menjadi daya pikat luar biasa dalam sebuah tulisan. Lanjut atau tidaknya tulisan kita dibaca berasal dari situ. Perlu di catat, justru pembukaan yang mendayu-dayu akan membuat pembaca Jengah. Diksi atau pemilihan kata yang tepat bermain disini. Salah berarti jenuh. 

Demikian pula halnya dalam penamaan judul. Ambil contoh, DUKUN BERANAK vs DUKUN MELAHIRKAN. Jelas yang pertama lebih menarik disamping terkesan mengerikan tentunya. Namun, ada beberapa penggunaan Sinonim yang sering sulit untuk ditempatkan. Seperti MAU dan INGIN, dan tidak jarang orang salah mendefinisikannya. 

=Menulislah=


Edisi sok tahu....  '_'
Senin, 25 Maret 2013 3 Messages

Aksi Terakhir Sang Gerilyawan

Malam hari adalah waktu bagi sang gerilyawan untuk merayap, mengendap dan beraksi. Ketika pemilik basecamp meninggalkan gedung tersebut. Saat itulah, ia memiliki banyak kesempatan untuk melakukan  apa saja. Malam itu, seperti malam-malam sebelumnya, semuanya lancar dan beres. Dan ketika mentari pagi tiba menyapa, ia tinggal menyelinapkan diri pada sela-sela bangunan yang jelas tidak bakal ketahuan. Cerdik sekali!

Pagi itu, seorang lelaki mengeluh atas jejak-jejak yang ditinggalkan oleh sang gerilyawan. Satu di sudut sini, satu di sudut sana. Bahkan ditengah-tengah pun ada jejak yang menyebalkan tersebut. Walau tanpa auman jelas dan dengusan keras, lelaki tersebut jelas sekali merasa jengah. Tunggu nanti!, pikir si lelaki. Sementara di sudut yang tidak terlihat, sang gerilyawan cekikikan puas dan penuh kemenangan. 

Belum cukup sampai di situ, sang gerilyawan menantang dirinya sendiri untuk muncul ke permukaan. Bermaksud hendak mempecundangi si lelaki yang jauh lebih besar secara fisik darinya. Lalu, ia pun melenggang dengan santai dan merayap. Ketahuan! Memang itulah tujuannya. Langkah sang gerilyawan dipercepat ketika ia melihat lelaki itu menghampirinya. Lelaki itu menyimpan rasa keterkejutan dan penasaran di wajahnya. 

Sang gerilyawan meliuk-liuk berlari. Namun, si lelaki mengejar dengan sebuah benda panjang rupanya. Itu tidak termasuk yang diperhitungkannya. Ke kiri - ke kanan, lurus saja, dan buumm. Pukulan pertama si lelaki meleset. Sang gerilyawan semakin gesit saja larinya meski diikuti oleh pemburunya yang tak kalah gesit. 

Plak. Kali ini sedikit sial agaknya sang gerilyawan. Pukulan tadi bersarang ditubuhnya dan berhasil sedikit melumpuhkan. Bagian belakangnya mulai mengeluarkan bercak merah. "Ah, darah!" teriak sang gerilyawan. Sumringah terlihati di muka si lelaki. 

Plak-plak. Pukulan ketiga dan keempat kembali menyentuh tubuh sang gerilyawan. Untuk yang ini, dirinya mulai was-was dan cemas. Lantaran tubuhnya yang mulai kehilangan banyak darah, benaknya ikut berucap bahwa ia akan berakhir hari ini. Sial. Dan plak. Yang terakhir terasa lain dari sebelumnya. Sang gerilyawan merespon pukulan itu bak tornado yang membelah jasadnya. Otomatis ia tidak bisa kemana-mana lagi dan menghentikan perlawanan. Salah satu kakinya patah. Ini benar-benar sebuah episode terakhir, keluhnya.

Saat darah terus mengalir, benda panjang yang digunakan oleh si lelaki, digunakan pula untuk menggeser paksa jasad tergolek sang gerilyawan. Tak ayal lagi, tubuh lemah itu terpental beberapa jauh keluar dari gedung tempatnya beraksi tadi malam. Nafasnya tersengal-sengal. Detak jantungnya tidak lagi normal. Bahkan sangat kencang dari biasanya. Hanya saja bisa sedikit, sedikit lega. Karena si lelaki sekarang hanya bisa memandanginya. Tanpa mencoba mengenyahkan nyawanya cepat.

"Siapa itu?" tanya sang gerilyawan dalam hati. 

Di awang-awang, di tengah nafasnya yang terengah-engah, ia melihat sesosok yang datang menghampirinya. Tidak jelas raut mukanya. Yang pasti jauh berbeda dengan si lelaki. Tidak lama berselang, ia menurut saja perintah sosok aneh tersebut. Tahu-tahu, entah bagaimana ia bisa menyaksikan jasadnya terkulai di tanah. Tidak lagi bernyawa. Seekor dua lalat datang mengerubungi. 

Lelaki itu bersiul santai seolah tidak telah melakukan pencabutan sebuah nyawa beberapa waktu lalu. Ia melanjutkan kegiatannya seperti sebelum melihat sosok sang gerilyawan berkeliaran pagi itu. Mengayun-ayunkan benda panjang yang terlihat seperti kawan akrabnya. Bukan! lelaki itu sedang mengumpulkan debu dan sisa-sisa kertas yang berserakan di lantai. Untuk yang berukuran besar, langsung dimasukkannya ke dalam tong sampah. Dan yang kecil-kecil, di buang begitu saja ke tanah. 

Seolah ucapan perpisahan dan balas dendam kecil-kecilan, lelaki itu melihat sang gerilyawan lagi. Setelah tahu tidak lagi bernyawa, si lelaki kembali melanjutkan aktivitasnya. "Oho, mulai besok tidak akan ada lagi tahi tikus yang berserakan!" seru si lelaki. 


Jumat, 22 Maret 2013 0 Messages

Scene Menegangkan

Tinggal sejengkal dengan tebing sungai rupanya tidak memengaruhi laju kendaraan tersebut. Diatas roda dua yang menggelinding cepat, bertengger seorang suami sebagai pengendara dengan istrinya. Disana juga ada anak laki-lakinya yang masih seumuran SD dan seorang balita perempuan.
 
Belum ada tanda-tanda untuk mengerem dan berhenti. Bahkan tidak sama sekali. Seolah jalan yang dilaluinya masih punya terusan. Padahal tidak sama sekali. Terus melaju artinya maut. Dan dari balik jendela, aku langsung menyaksikan adegan "fantastis" siang itu. Burrrr....air menciprat ke segala arah akibat tertimpa benda berat. Gelombang-gelombang kecil menyebar sesaat. Empat beranak itu lenyap di telan sungai.

Dramatis, karena situasi begitu lengang. Dipastikan, akulah saksi pertama. Anehnya, tiada teriakan sama sekali dari korban. Atau barangkali ada, hanya saja kalah oleh kerasnya detak jantungku.  

Aku segera berlari keluar melakukan penyelamatan. Terjun bebas ke sungai adalah cara yang cukup efisien ku kira. Lebih cepat lebih baik. 

Beruntung, saat aku telah menceburkan diri ke sungai, sang ayah muncul dan sedang membopong putrinya yang terdiam. Yang aku kesalkan cuma, kenapa lelaki itu tidak merasa gelisah atau bersalah sama sekali. Lebih-lebih geraknya menuju ke darat malah melenggang santai. Harusnya ia bergegas, kan. Paling tidak, mimik mukanya mestinya was-was. Ini tidak!

Mengetahui masih ada dua korban lain di sana, aku bergegas menghampiri. Namun, belum sempat menyelam, sang ibu dan anak laki-lakinya muncul ke permukaan. Dengan setengah sadar, ku bopong dua sosok tersebut.

"Cepat, ambil ini!"

Rupanya aku tidak sendirian di TKP. Tentunya selain lelaki si pelaku sekaligus korban "bunuh diri massal" ini. Di pinggir sungai, berdiri seorang lelaki dengan berewak banyak. Perintahku digubrisnya dengan lamban. Kesalku bertambah-tambah. Uhh....

Scene itu berhenti. 

Gelap, remang, silau, dan lalu terang. 

Roh kembali menyusup ke raga. Serasa ada sesuatu yang menjalar ke seluruh tubuh. Jantung kembali berdetak seperti sedia kala. Bedanya, kali ini lebih cepat dari biasanya. Meski keringat belum bisa dikatakan membanjiri, tapi cukup untuk menandakan telah bermimpi buruk. Benar adanya. 

Tidak lama berselang, ku ambil alat komunikasi bernama HP. Bukan untuk memeriksa pesan maupun panggilan masuk, melainkan memastikan apakah waktu Ashar telah tiba. Hampir. 

Tidur siang yang pulas adalah hal yang ku senangi. Tapi tidak jika dibarengi dengan mimpi seperti itu. Awalnya satu kumandang terdengar jauh, kemudian disambut dengan kumandang dari penjuru mata angin lainnya. Ashar bertandang seketika. 

Setengah jam kemudian, hitungan detak jantungku belum terbilang normal. Itu menjadikan nafasku masih terasa sesak. Mimpi itu masih menggerayangi hingga selesai shalat Ashar ku dirikan. 
Kamis, 21 Maret 2013 0 Messages

Dari Planet Mars, Bertualang seperti Detektif Kondang Ala Agatha Christie

Agenda jalan-jalan ke Korea telah kelar sejak beberapa malam yang lalu. Maka, aku pun melakukan backpacker rutin yaitu singgah sejenak ke "Planet Mars." Akhir-akhir ini inginnya berkunjung ke sana terus. Malam hari setelah got dinner

Beberapa teman penasaran bahkan ada yang ingin ikut segala kesana. Ke Planet Mars. Tentu saja bukan planet merah itu sesungguhnya. Entah mengapa, gabungan dua kata itu belakangan ini cukup menarik bagiku. Ada yang bertanya, maksudnya? Yang jelas, aku sendiri tidak bisa menjabarkan secara detil. Boleh di bilang itu filosofi dari sebuah cita-cita. Itu saja. 

Sepulang dari Planet Mars tadi malam, Agatha Chistie mengajakku menyelesaikan kasusnya , pembunuh di balik kabut. Untungnya tidak bersambung. Ketahuan sudah siapa korban yang awalnya salah teridentifikasi.   Lantaran komplotan orang-orang yang ingin menguasai harta warisan seorang miliarder yang bunuh diri. Belakangan, terungkap bukan bunuh diri sesungguhnya. Bersama Bobby dan Frankie, kami masuk dan berbaur dengan para tersangka. Setelah jauh melangkah, baru kami terhenyak ternyata pelaku adalah sosok yang kami anggap orang baik-baik, Miora dan Roger Bassington-ffrench.

Dalam sebuah ending klimaks dan sedikit anti klimaks ku kira, Miora berhasil di ajukan ke meja hijau. Sementara kekasihnya, Roger BF melarikan diri ke Amerika Serikat. Ia sempat menyeringai lewat suratnya pada Frankie yang sempat jatuh hati padanya. Bobby juga seketika itu kehilangan kekaguman pada sosok Miora yang dikenalnya lewat foto di awal adegan plot. 

Begitulah, sebuah fiksi yang cukup menghanyutkan. "Komentator selalu saja terlihat lebih pandai dari para aktor". Bab-bab terakhir kami terkesan di paksakan. Saat kami tertangkap oleh Roger BF yang menyamar sebagai Dr. Nicholson dan disekap dalam sebuah gudang. Tiba-tiba Badger datang sebagai pahlawan. Badger yang berkarakter gagap dan agak kurang satu ons menyelamatkan. Supaya nyambung  ceritanya, teman Bobby tersebut datang mencari Bobby untuk meminjam uang buat bengkelnya di London. Bla-bla-bla sampai pada titik Badger melihat Bobby dibawa oleh orang yang tidak dikenalnya. Lalu, sosok Frankie datang dengan sukarela untuk disekap atas dasar surat palsu dari Bobby buatan Roger. 

Seperti ku katakan sebelumnya, komentator atau kritikus selalu saja tampak tahu segala-galanya. Meski ada beberapa yang memang mengetahui banyak hal. Seperti diriku, satu cerpen pun tidak ada dibesut beberapa bulan terakhir ini. 

Bagaimana, ingin tahu kisah lengkapnya, baca saja novel Agatha Christie "Pembunuh di Balik Kabut - Why Didn't They Ask Evans?"
Jumat, 15 Maret 2013 0 Messages
PURNAMA UNTUK PALESTINE.
Vanny Charisma W. made me almost crying. So, how great novel it is. Tadi malam itu, membacanya sambil meringis-ringis kecil. Paduan antara nasi goreng yang extra pedas dan alur novel yang menggugah. Makan sambil membaca adalah hal yang seru juga. 
Selesai dinner, melanjutkan membaca kisah gadis Palestina bernama Palestine sambil merebahkan diri pada tumpukan pakaian yang belum sempat dilipat. Membolak-balikkan badan dan sesekali duduk terpaku. Menjelang pukul sebelas, sampai juga pada halaman terakhir. 

Dan malam ini akan jauh berbeda. Jalan-jalan ke negara ginseng bersama Sansan Hasjim lewat bukunya BUJET PAS-PASAN, KELILING KOREA 60 HARI? BISA!. 

Senin, 11 Maret 2013 0 Messages

Ranah 3 Warna dan Lagu Pak Amat

Wah-wah-wah. Ranah 3 Warna kerreen abis. Berkali-kali berhenti sejenak menyadarkan diri bahwa sebenarnya hanya sedang membaca buku. Tapi, kok tiap kali melanjutkan membacanya, seolah ada diantara tokoh-tokoh fiktif tersebut ya. Terasa berbeda, dengan Negeri 5 Menara (buku satu). Rasanya kurang nendang. Boleh jadi lantaran kurang serius membacanya saja kali. Soalnya, saat membaca buku satu, saya merasa menyaksikan perpaduan antara Harry Potter dan Mohabbatein. Itu tu, di awal-awal cerita. Asli, hanya beberapa bab saja yang dilahap. Dan setelah masa pinjam habis, langsung dikembalikan. 

Jelas berbeda dengan buku dua ini. Ku pikir perpaduan antara Kanada dan cita-cita semasa kuliah menjadi daya tarik tersendiri. Makanya, membacanya terus dan terus hingga lembar terakhir. 

Siapa yang bersungguh-sungguh akan sukses. Begitu juga dengan yang sabar, maka akan beruntung. Dan bekerja  di atas rata-rata orang lain, menjadi benang merah penting yang saya ambil dari novel itu.

Kebetulan saya ingin share sedikit nih tentang keras kepala yang ternyata menurutku jurus ampuh anak-anak untuk meraih sukses mereka. Bayangkan, setiap kali hendak dibelikan sesuatu, pertama mereka meminta. Tidak dikabulkan, mereka merengek. Tidak dipedulikan juga, mereka merajuk. Tidak juga, mereka mengamuk. Sampai orang tua lebih sering membujuk dengan mengatakan "ya". Diluar terpenuhi atau tidak janji tersebut, yang ingin saya tekankan adalah keras kepalanya itu lho. Ternyata, dalam menggapai sesuatu kita mesti keras kepala. Sekali gagal, coba lagi, lagi, dan lagi. 

Pas nyantai tadi siang, tiba-tiba aku teringat lagu daerah yang ngetren mungkin hanya di kawasan kami. Begini liriknya: 

Di malam sappi, pak Amat jual sapi 
Sapinye lapas, pak Amat jual kipas  
Kipasnye koyak, pak Amat jual Timpuyyak
Timpuyyaknye bosi, pak Amat jual bassi
Bassinye an laku, pak Amat jual paku
Pakunye patah, pak Amat jual gattah
Gattahnya putus, pak Amat dah nak mampus

(sappi=sepi)
(lapas = lepas)
(Timpuyyak/Tempoyak= isi buah durian masak yang di asinkan dan didiamkan beberapa waktu)
(bosi=basi)
(bassi=besi)
(bassinye an laku=besinya tak laku)
(gattah=getah/karet)
(dah nak mampus=hampir mati)

Sampai di situ lagunya. Meski berujung dengan putus asa, perlu kita tambahkan sendiri saja, bahwa pak amat yang hampir mampus itu, bangkit dan mencoba lagi. Tak lama berselang:

Pak Amat jadi urang sukses

Dan kesulitan itu hanyalah karena kita belum tahu saja. Kalau sudah tahu, apanya yang akan dibilang sulit. Proses mencari tahunya terkadang memang membutuhkan kesabaran dan keseriusan. 


Selasa, 05 Maret 2013 0 Messages

Be Sang Juara

Juara, kata itu identik sekali ya dengan namanya prestasi di pendidikan formal. Dan sekarang baru sadar, setelah lepas dari beragam jenjang pendidikan formal tentunya, bahwa juara itu bukan hanya di dunia tersebut. Ketika menatap globalisasi, menurutku juara memiliki arti; unggul berkompetisi di bidang yang digeluti. Ku maksudkan disini adalah dunia bisnis. Cozzz, ini duniaku kini. Ini pilihanku ku kini. 

Kembali ke kata Juara dalam riwayat pendidikan formal. Jujur, riwayat prestasiku tidak terlalu buruk. Namun, bukan pula yang terbaik. Itu masalahnya dan bedanya dengan dunia bisnis. Di dunia bisnis, bertahan bisa dengan menjadi juara utama atau bertahan dengan gelar juara kedua dan ketiga. Sebaliknya, mati tanpa suara!

Rekapitulasi nilai rapor SD yang termasuk diatas rata-rata murid lainnya, menobatkanku menjadi juara 4 di kelas. Anehnya, itu keterusan dari kelas 1 sampai 6. Juara sih juara, tapi bukan yang terbaik seperti yang ku katakan sebelumnya. Memasuki jenjang pendidikan MTs, duduk di kelas 1 (sekarang mereka menyebutnya kelas 7) rupanya tidak membawa perubahan dalam tingkat prestasi. Juara memang, tapi alhamdulillah ke tiga. Lalu, angin segar mulai berhembus ketika telah berada di kelas 2 dan 3. Sering kali menyabet juara satu, namun sekali harus berbagi dengan teman satunya. Beda nilai sangat tipis. 

Lain lagi ceritanya pada saat duduk di bangku SMK. Persaingan bahkan ternyata lebih ketat. Prestasiku bertahan di posisi paling banyak 5 dan sesekali 6. Begitu adanya dari kelas satu sampai kelas tiga. Walaupun posisiku diakhir lima besar, tetapi nilai pelajaran bahasa Inggris selalu yang tertinggi. Tak jarang dibandingkan dengan teman-teman kelas lainnya. Ini bisa dikaitkan dengan konsep diferensiasi dalam dunia bisnis. Ketika kita tidak bisa melawan perusahaan yang lebih besar, maka usaha kita bisa menyelusup melalui celah yang tidak terlayani oleh mereka. Kira-kira seperti itulah. 

Beranjak semakin menuju kedewasaan, tepatnya kala mengenyam bangku perkuliahan (rasa kayu '_'! ), grafik prestasi pendidikan formal seolah berbentuk linear. Maksudnya, bila di tarik garis dari sumbu y (prestasi) menuju sumbu x (jenjang pendidikan), maka akan terlihat sebuah garis lurus utuh. Kecuali melengkung naik sedikit di tingkat MTs. Lagi ku katakan, nilaiku memang boleh di bilang melampaui rata-rata. Dan lagi-lagi, belum menjadi yang terbaik. 

Dunia pendidikan itu kini ada di belakangku. Layarnya mempertontonkan sejarah dan menyiratkan pelajaran yang harus di petik. Sekarang, yang kuhadapi adalah dunia baru, dunia bisnis yang jaaauh berbeda dari dunia sebelumnya. Belajar teori-teori bisnis dan pemasaran di kampus bukan berarti jaminan untuk sukses menapakinya. Ada, bahkan ternyata banyak hal dalam bisnis kongkrit yang tidak terangkum dalam ribuan lembar literatur dalam dan luar negeri di perpustakaan. Ambil contoh, inovasi yang terus bergerak dan kreativitas yang semakin hidup. Ya, itu tidak terjamah dalam tulisan-tulisan mereka selain menekankan pentingnya hal tersebut. 

Oleh karenanya, kesadaran untuk menjadi sang juara itu kini membuncah. Dua tidak lebih baik dari pada satu. Mungkin terlalu idealis jika harus mengatakan BEST IS A MUST! atau BEST OR NOTHING!. Asal tahu saja, kenyataan dilapangan memang mengharuskan dua prinsip diatas. Kecuali mau dilindas oleh pesaing yang terus bergerak. 



Minggu, 03 Maret 2013 2 Messages

New Situation

Satu kata ungkapan terpukau buat BUMI CINTAnya Kang Abik; SEGAR. Insya Allah malam ini melahap sisanya yang tinggal beberapa lembar lagi. Penuturan dan alur plotnya luar biasa. Karakter penokohannya masif banget. Maklumlah, novelis number 1 di negeri Indonesia Raya ini. Iri, jelas. But, positive manner. Jadikan itu sebagai yah, semacam buah mangga yang ranum (apa hubungannya). 

Sengaja tidak dihubungkan, sebab tulisan berikutnya tentang pengalaman tadi kongkow sebentar di waterfront depan keraton Sambas. Kaku, lantaran baru pertama kalinya. Tadinya itu pulang dari menginstall cd driver printer yang rupanya antara printer dan cd nya gak nyambung. Beda versi. Jadinya gagal. 

Sepulangnya, beliau sang kepala sekolah itu membelokkan motornya ke arah sumber musik muda-mudi bertalu-talu. Minyak dan air rasanya. Tapi selama dalam batas kewajaran sih oke2 saja. Hitung-hitung merasakan apa itu namanya, sense-nya mereka itu. Sehingga kalau mau menulis tentang hal terkait jadi dapat pesannya. Begitow. Benar lho, beberapa waktu silam aku sempat membayangkan duduk di situ dan menulis tentang apa yang ada disana. Sepertinya sesekali lagi boleh datang kesana sambil menenteng laptop dan modem. 

ini intinya tentang mimpi. Makanya hati-hati dengan mimpi. Atau lebih tepatnya impian. Gantungkan ia setinggi langit bila memungkinkan menggunakan tangga ajaib. Karena, Allah Ta'ala pasti punya cara tersendiri agar kita bisa meraihnya kemudian. Aku yakin itu. 
Jumat, 01 Maret 2013 0 Messages

Karna kau ISTIMEWA

Karna kau ISTIMEWA. Benar, ambil positif aja. Bela-belain menapaki jarak tempuh puluhan kilometer untuk mengambil barang seukuran kartu nama tersebut, eeh tak bisa di ambil pula tu. Katanya sih, "aturan dari sono no... begitu." Yah, angkat bahu aja, dan melenggang pergi. Meski menurutku sama sekali tidak ada hubungannya. 

Aku sekalipun tak menyalah KTP hilang, hanya saja mesti laporan ke kepolisian. Waktunya itu Nong. Kalau urusan gitu-gituan biasanya paling malas. Meski saat ini cara pelayanan lembaga tersebut sudah jauh lebih baik. Bertahan pada kata "kalau rajin" saja. 

Ada rumor, kalau tak diambil pun ntar dikasihkan. Lucunya, rupanya bukan aku seorang tertimpa hal serupa. Tentu juga tidak banyak jumlahnya. Namanya juga ISTIMEWA, jumlahnya itu pasti sedikit. He..he..

Seorang kakek juga kehilangan ktp aktifnya. Saat disarankan untuk meminta surat keterangan kehilangan ktp, kakek itu berucap santai "sudahlah, untuk apa juga itu ktp." Aha, benar kali kau ini cok! Di kampung, umur tidak lagi muda dan sudah renta, kenapa harus pusing hal yang demikian. 

Diluar itu semua, apa sih sulitnya tinggal memberikan saja itu e-ktp. Toh tak ada hubungannya sama sekali dengan tindak kriminalitas dari ktp yang hilang atau terselip di belakang lemari atau entah kemana. Ktp ku sendiri telah raib sekitar, yah mungkin setahun yang lalu atau lebih. 


 
;