Sabtu, 30 Maret 2013

BIARKAN CINTA MEMILIH (SELESAI)

Langit-langit kamar runtuh berkecai dan menimpa jasadku yang rapuh terdiam. Membiarkan saja kepingan itu menimbun dan hanya menyisakan namaku kelak. Besoknya, sekampung akan heboh dengan kejadian ini. Gemuruh diluar menggelegar. Petir pula saling sikut di cakrawala pekat. Semakin keras aku menggenggam kertas berlipat tiga itu, maka pesta pora alam diluar sana semakin jadi pula. Barangkali mereka tengah mengejek dan mempertawakanku yang telah kalah. Hampir punah di kamar ini. Sendirian. 

Kejadian itu hanyalah ilusi liar yang menggerayangi pikiranku sesaat. Sesaat dalam rentang waktu hampir dua jam. Langit-langit kamar masih utuh ditempatnya dan tiada gemuruh maupun sahabatnya sang petir. Hanya saja, aku masih setia terlentang menatap awang-awang. Sementara pikiran disesaki slide demi slide kenangan yang menyenangkan sekaligus menyesakkan dada. 

Masih segar di ingatan bagaimana tangan Fitri gemetar menyodorkan undangan tersebut. Waktu berhenti berputar beberapa saat. Beruntung temannya, entah siapa namanya, menghidupkan waktu kembali dan membuat kesadaran kami masing-masing pulih. Aku tahu, tidak tahu apa-apa yang mesti ku katakan kala itu. Mengucapkan selamat serta pura-pura bahagia atas nama persahabatan. Atau menunjukkan raut muka kecewa. Kurasa, hal yang kedua yang terjadi. Demikian pula dengan Fitri. Rasa bersalah menghiasi wajahnya. Mata itu terlihat berat dari hari-hari biasanya. Ada genangan tertahan di balik sana. Dan itu menimbulkan sebuah tanda tanya dibenakku. 

Tapi sudahlah. Lupakan. Kisah ini sudah terlalu jauh untuk diurai. Ketika temannya Fitri sedikit memaksa untuk beranjak lekas, gadis calon mempelai perempuan itu mengikut. Sebelum naik kendaraan, ku lihat ia menyeka matanya dengan jilbab ungu yang kenakannya. Seingatku, pertama kali mengenalnya, ia juga menggunakan jilbab yang sama. Tidak ada tatapan lagi setelah itu. Aku saja yang mematung, belum bisa mencerna sepenuhnya apa yang terjadi. 

Masih di kamar ini, kedua mataku pun telah menguras airnya dalam. Malu sejatinya untuk mengatakannya, namun itulah keadaannya. Setelahnya, segala tampak melelahkan. Jiwa dan pikiran. Ku tutup mata dengan nelangsa dan desahan pelan. Disaat itulah, sejatinya sebuah keputusan telah terpatri mantap. Biarkan aku melalui hari ini dengan kepedihan. Sehari ini saja lagi. Karena esok, aku tidak lagi aku yang sekarang. BIARKAN CINTA YANG MEMILIH. Satu saja pintaku, ijinkan aku mencintainya dengan setulus-tulusnya CINTA. 
..............
Lewat sebulan sejak hari itu. Ini adalah hari kedua aku kembali menghirup udara kota ini. Tidak ada yang berubah. Perubahan apa yang bisa diharapkan dalam waktu tiga puluh hari. Seperti dugaanku, tiada apa-apa. Ups, hampir lupa. Ada sebenarnya yang benar-benar telah berubah. Aku!

"Mas, bagaimana kalau yang ini?" Winara, istriku membelai gamis berwarna hijau muda. Tatapannya mengisyaratkan jawaban cepat. 
"Bagus," hanya itu yang bisa kukatakan. Apalagi coba? Winara, bidadariku itu pantas memakai warna apapun. Berketurunan Tionghoa dari pihak ayah dan Jawa dari ibunya, Winara memiliki wajah ayu oriental. Melebihi dari kecantikan fisiknya yang luar biasa, terutama menurutku, kecantikan hatinya jauh lebih banyak. Itu menjadikanku lelaki paling beruntung di jagat raya.

Sebelum pelaminan di gelar, pada mulanya Winara terkesiap dengan ceritaku yang sesungguhnya. Tidak ada yang tersisa dan kututupi perihal cinta dan patah hati. Sesungguhnya apa yang kulakukan terlalu berisiko. Winara akan merasa dijadikan pelampiasan cinta tidak kesampaian. Walau demikian, aku pasrah saja. Menurutku, kejujuran di awal jauh lebih baik. Justru tanggapan yang ganjil ku dapatkan, seolah luahan hatiku dongeng-dongeng semata. "Aku percaya dengan perjodohan ini," responnya singkat. Sejak itu, aku jatuh cinta lagi dan berazam untuk mencintai gadis dihadapanku itu sepenuhnya. 

Winara masih sibuk dengan pilah-pilih bajunya. Karena tidak mengerti tetek bengek belanja, aku mengedarkan pandangan ke beberapa sudut pasar. Semuanya hampir sama saja. Penjaga toko menawarkan dagangannya pada siapapun yang lewat. Sementara yang lain berdebat menawar harga. Penjual bersikeras tidak bisa, calon pembeli malah memelas untuk harga yang sesuai. Hingga akhirnya, hingga akhirnya mataku terhenti padanya. Aku ragu-ragu untuk menyapanya. Ia pun merasakan hal yang sama, sebelum akhirnya memberanikan diri untuk berjalan menghampiri.

"Sendirian?" tanyanya tidak enak.
"Oh, eh, tidak, dengan Winara, istriku," balasku terbata-bata sambil menunjuk pada Winara. Istriku masih terlihat sibuk menentukan pilihannya. Antara hijau dan ungu. Yang kusesalkan adalah kenapa aku harus gugup seperti ini.
"Maaf, saya tidak bisa datang hari itu..." tambahku tertahan.
Ada jeda berisi kegetiran disana. Dia mengedarkan pandangan seolah mencari kekuatan sebelum akhirnya berucap, "tidak ada yang datang hari itu. Walimahan yang mestinya digelar, berganti dengan prosesi pemakaman. Faisal mengalami kecelakaan tiga hari menjelang pernikahan mereka. Sedikit banyak, saya masih bisa melihat rasa syok pada diri Fitri saat ini."


ALHAMDULILLAH, KELAR JUGA AKHIRNYA. MESKI BANYAK KEKURANGAN. ENTRI KOMEN DAN SARANNYA, OK?





1 Messages:

Posting Komentar

 
;