Kumal dan dekil.
Tak ada beda seperti pertama kali mengenal beliau. Bukan, bukan. Bukan mengenal, tetapi berinteraksi dengan beliau.
Kala itu, beliau menunggu di simpang tiga menuju Senyawan dan melambaikan tangan pada siapa saja. Termasuk aku, yang saat melintas di hadapannya.
"Nak kemane, ki?"
Beliau adalah lelaki paruh baya berusia, barangkali sekitar tujuh puluhan. Jalannya tak lagi tegap dan dipaksa-paksa. Boleh jadi, melihatnya, kamu akan bersimpati.
Kakek tersebut mengatakan ingin menumpang. Minta dihantarkan ke sebuah kampung yang letaknya cukup jauh. "Ketinggalan oto..." demikian beliau beralasan.
Aku percaya, namun tak bisa memberikan bantuan. Maaf.
.........
Itu telah berhari-hari sebelumnya ketika aku melihatnya lagi di area sekitar. Baju yang sama, topi yang sama, kumal dan dekilnya. Menenteng beberapa kantong plastik juga. Berjalan dengan badan tak lagi tegap sembari melihat kiri-kanan, entah apa maksudnya.
"Nek aki iye...." tukasku dalam hati.
.........
Dan itu pun berhari-hari terlewati. Hingga jawaban atas siapa kakek itu sebenarnya terkuak juga.
Hari ini, Jum'at barokah, pada saat kami memacu kendaraan menuju masjid besar Tumuk untuk shalat Jum'at.
Masih baju yang sama, topi yang sama, kumal dan dekilnya. Beliau bersimpuh letih di pinggir jalan, tepat dibawah naungan pohon rindang. Tangannya tak terulur, tetapi ada sebuah wadah kecil plastik dihadapannya. Uang dua ribu beberapa lembar dan uang recehan teronggok di dalam sana.
Oh, rupanya....
Sayang teramat sayang. Bukan cara beliau mengais rupiah yang disayangkan. Saat khatib naik mimbar, azan berkumandang, dan khutbah dibacakan, beliau tetap bersimpuh di tempatnya.
.........
Di simpang tiga menuju Senyawan, beliau kembali berdiri dan melambaikan tangan. Berharap kebaikan seseorang memberikannya tumpangan. Tak tahulah apa alasan yang bakal beliau lontarkan.
*Aki = kakek
0 Messages:
Posting Komentar