Kiamat.
Terjadi di hari Jum’at. Di hati seorang
siswi yang mendadak layu. Padahal sebelumnya, ia dielu-elukan sebagai sang
juara. Nasib atau kah takdir sebenarnya ini? Usahanya mati-matian dalam
mempersiapkan event itu harus berbuah
pahit. Derasnya air mata pun tidak akan sanggup menghapus kedukaan itu. Cahaya
Juara, tidak lulus UAN.
Sesampainya
dirumah, Cahaya langsung berlari menuju kamar. Membanting daun pintu keras2
hingga terdengar oleh Bi Sumi di dapur. Sesosok wanita mengejar, tetapi kalah
gesit. Alhasil, ia hanya berbicara dibalik pintu.
“Aya,
buka pintu, nak.” Wanita bergelar ibu itu membujuk.
Tidak
ada sahutan dari dalam. Kekhawatiran menghinggapi bu Lena. Anak jaman sekarang
senang bermain-main dengan kata galau.
Ia takut anaknya terinfeksi virus itu. Sikap nekat bisa-bisa diambil oleh anak
seusia Cahaya. Seperti pemberitaan media tahun-tahun kemarin seputar hal itu.
“Tidak!”
Benak Lena berujar. Lalu melanjutkan, “Cahaya tidak boleh bertindak bodoh. Anak
itu masih punya masa depan. Karir di dunia entertainment menanti kehadirannya.”
“Aya,
buka pintu, nak. Kita lewati ini sama-sama. Ingat, nak. Ini hanya sebuah
episode yang harus dilewati. Jika kita kalah, maka kita akan kalah untuk
selama-lamanya. Kamu dengar Cahaya?”
Persis.
Tidak ada sahutan dari dalam. Sunyi menghampiri seantoro rumah mewah itu. Rumah
yang orang-orang memandang merasa iri dan ingin tinggal didalamnya. Tentu saja
pantas begitu, disana tinggal seorang anggota dewan yang sering muncul di
layar-layar kaca. Menjadi nara sumber dialog-dialog khusus seputar kebijakan
pemerintah yang kontroversial. Valianto Wijaya Hadi itulah namanya.
Lena
menyerah. Usahanya sia-sia belaka. Membujuk batu mungkin lebih berhasil
daripada Cahaya yang keras kepalanya minta maaf. Kalau saja bisa diminta, sifat
itu tidak ingin diwariskannya kepada putri satu-satunya tersebut. Lena beranjak
menuju pembantunya. Berwasiat kepada wanita paruh baya itu agar membawakan
makan siang pada anaknya. Sekaligus mengabarkan jika Cahaya keluar dari
kamarnya.
Bi
Sumi mengiyakan. Dan Lena pun menyeret kaki lelahnya menuju kamarnya sendiri.
Istirahat dari badai yang tidak kalah menghancurkan harapannya. Di sekolah
tadi, harap-harap cemas ia manakala acara pembagian amplop kelulusan dimulai.
Di acara itu pula, Lena berharap nama Cahaya Juara disebut-sebut sebagai Champion tahun itu.
Namun
sayang, cahaya harapan itu luntur seiring dengan pengumuman yang keluar dari
mulut kepala sekolah. Menyebutkan nama-nama siswa yang berhasil menduduki
peringkat teratas. Dan Lena juga bisa menangkap kekecewaan sang kepala sekolah.
Cahaya Juara tidak ada dalam list
itu.
Tidak
ada acara ganti baju. Lena merebahkan diri di kamar ber-ac. Dingin merasuki
hingga ke tulang. Lena meraih remote dan menurunkan tingkat kedinginan benda
tersebut. Terlelap seketika.
**********
Di
kantornya, Valianto Wijaya Hadi mengangkat kaki tinggi-tinggi. Menaruhnya
diatas meja kerja. Sementara punggung tenggelam dalam kursi empuk yang
menyangga dudukannya. Nikmat bukan main. Siapapun tidak bisa melukiskan betapa
enaknya duduk di kursi itu. Selain para penyair yang sok tahu.
Valianto
memejamkan mata. Di bayangannya, ia tengah memegang lembaran-lembarang berharga
bernama uang. Dalam jumlah yang tidak sedikit, ratusan juta rupiah. Mulutnya
mengulas senyum. Ia akan malu sendiri seandainya ada yang memerhatikan
gelagatnya tadi itu. Merasa tidak ada siapa-siapa disana, akhirnya ia
menertawakan dirinya sendiri.
Dalam
bayangannya itu pula, tiba-tiba muncul sosok Cahaya yang tengah berlari-lari
menghampirinya. Memanggil-manggilnya dengan sebutan “ayah”. Gadisnya itu
menunjukkan lembar hasil kelulusan. Meloncat-loncat, jika perlu setinggi
langit. Di belakangnya, tubuh lena yang langsing menyusul.
Mata
Valianto terbuka. Ia penasaran, apakah bayangannya itu benar-benar nyata. Tapi
ia sangat yakin, itulah yang akan didengarnya sesaat lagi. Ponsel yang
tergeletak meja, di raihnya. Menekan ini dan itu, kemudian mendekatkan ke
telinga kanannya.
Gagal.
Ponsel Cahaya dalam keadaan tidak aktif. Diulanginya lagi sampai tiga kali.
Tetap sama. Hanya suara lembut sang wanita
mesin yang terdengar. Valianto
menghubungi nomor Ponsel istrinya. Kurang lebih sama, tidak ada yang
mengangkat.
Jalan
terakhir. Ya, menggunakan fasilitas rakyat. Sedianya telepon itu hanya
diperuntukkan keperluan yang bersifat “kepentingan rakyat”, namun Valianto
tidak pernah berpikir sejauh itu. Telepon itu adalah fasilitas negara,
pikirnya.
Tersambung.
Suara bi Sumi terdengar disana.
“Bi,
ibu sudah pulang?”
“Ibu
baru saja tidur dikamarnya, pak.”
Valianto
ragu-ragu untuk menanyakan perihal kelulusan Cahaya pada pembantunya itu. Ia
ingin mendengar langsung dari mulut anaknya, jika tidak dari istrinya. Sekarang
istrinya sedang tidur. Dan membangunkannya saat itu justru akan membuatnya
berang.
“Aya?”
Tanya Valianto lagi.
“Non
Aya mengurung diri dikamarnya sejak pulang dari sekolah tadi. Sampai sekarang
juga belum di buka pintunya. Padahal, makan siangnya sudah berkali-kali coba
bibi antar. Tetap saja tidak ada tanggapan dari dalam kamar.” Bi Sumi
menjelaskan.
“Memangnya
kenapa bi?” Valianto mencium suatu kejanggalan. Sesuatu yang tidak seharusnya
terjadi. Apakah itu ada kaitannya dengan kelulusan Cahaya. Apa mungkin Cahaya
tidak lulus. Tidak. Itu jauh dari kemungkinan. Sang juara kelas dan juara umum
itu tidak mungkin gagal dalam Ujian Akhir Nasional. “Tapi, segala kemungkinan
bisa terjadi.” Hati kecilnya kemudian mengutarakan.
Ganggang
telepon kembali pada tempatnya, sebaik saja orang yang diujung sambungan
mengatakan tidak tahu apa yang tengah terjadi. Baik pada ibu maupun putrinya.
Dua-duanya tidak memberi tahu perihalnya.
Valianto
terganggu. Rasa senangnya berubah menjadi kegelisahan. Menduga-duga dengan
pertanyaan-pertanyaan yang menggelayuti. Namun begitu, sementara terputus
dengan suara pintu ruangannya diketuk dari luar.
“Masuk.”
Wanita
itu berkulit kuning. Tingginya diatas wanita Indonesia pada umumnya. Pernah
juga dinobatkan sebagai wanita termahsyur se-Nasional karena kecantikan,
kemolekan, dan katanya juga karena otaknya. Yang terakhir sepertinya hanya
menduduki kurang dari 10%. Banyak yang setuju akan hal itu, termasuk sang
pemilik ruangan yang sekaligus rekanannya dalam partai Bintang.
“Val,
mulut si Udin mulai belepotan.” Wanita itu mengadu begitu saja.
Valianto
mengambil sebatang rokok dari saku bajunya. Menyalakannya kemudian.
Wanita
bernama Wegi itu melarang, “Kamu tidak boleh merokok diruangan ber-AC, Val!”
Valianto
nyengir. “Kenapa, takut?” Sekali tembak mengenai dua sasaran. Pertama, atas
ketakutan Wegi pada kemungkinan-kemungkinan terbongkarnya perbuatan mereka dari
mulut Udin. Dan kedua, Wegi takut itu merokok dalam ruangan ber-AC membahayakan
bagi dirinya dan juga si penghisap benda lintingan tersebut.
Valianto
terbahak-bahak kecil. Berdiri, lalu mencari dimana ia meletakkan remote AC.
Setelah mendapatnya, AC langsung tidak dihidupkan. Belum selesai, Valianto juga
membuka jendela yang hanya dibukanya ketika ia malas keluar untuk merokok.
Duduk dihadapan Wegi lagi.
“Kita
terancam.” Wegi menambahkan.
“Mungkin
maksudmu, kamu sendiri?”
Wegi
tidak terima begitu saja mendengar rekanannya dalam kasus wisma atlet berujar
demikian. Tidak rela jika ia sendiri yang tersandung batu lalu masuk jeruji
menyusul Udin. Tidak, sama sekali tidak restu.
“Hey,
enak saja. Kamu juga terlibat dalam hal ini Val. Dan jika kondisi terburuknya
aku harus ada di meja hijau, maka siap-siap namamu juga akan terpampang di
media-media.” Wegi mengancam sambil menunjuk-nunjuk ke muka Valianto.
Valianto
tidak bergeming. Ia tetap tenang. Meskipun sebenarnya hatinya sedikit mulai
kecut juga. Ia pintar untuk menyembunyikan perasaannya di muka Wegi.
“Kecuali,
kamu tetap bekerja sama.” Tambah Wegi lagi.
“Tentu
saja aku akan bekerja sama. Dan ingat Weg, ucapan si Udin itu tidak mudah dan
tidak serta merta akan menyeret kita ke kursi pesakitan. Cam kan itu. Biarkan saja
nama kita mulai dilemparkan ke ranah publik. Anggap saja memberikan kerjaan
buat KPK dan media yang merasa ambil peduli akan nasib rakyat.” Valianto
menenangkan kegusaran yang menghinggapi Wegi.
“Ku
harap.” Wegi menanggapi.
**********
Kasus
dugaan korupsi wisma atlet di palembang terus bergulir. Udin, sebagai saksi
kunci telah berhasil dibawah pulang ke tanah air. Setelah sempat jalan-jalan yang seharusnya terlebih dahulu
dicekal kepergiannya. Entah ilmu kanuragan apa yang digunakannya hingga bisa
melewati badan keimigrasian.
Belakangan
baru diketahui bahwa yang bersangkutan menggunakan identitas kerabat
terdekatnya untuk meloloskan diri. Pihak yang disebut juga berdalih, bahwa Udin
mencuri kartu-kartu identitasnya tersebut. Kepolisian, katanya terus
menyelelidiki kasus ini.
Sekarang,
duduknya Udin dikursi tak mengenakkan ternyata mampu memberikan sudut pandang
lain di masyarakat. Udin yang dulu dianggap sebagai biang kerok, meskipun ada
yang menyebutnya sebagai korban dari partai yang digelutinya, saat ini malah
dianggap sebagai pahlawan. Istilah saksi kunci menguatkan hal itu.
Memang
benar, jika terjadi apa-apa dengan Udin, maka kasus korupsi ini akan sulit
ditelusuri. Jadilah Udin merasa enggan makan dan minum yang disediakan oleh
pihak Rutan dimana ia mendekam. Takut akan diracuni, lebih tepatnya takut mati
di usia muda begini. Juga, Udin mendapat pengawalan ektra. Kehidupannya dalam
beberapa hari terakhir terlihat menyiksa. Ingat, “terlihat” menyiksa.
Tubuhnya
yang dulu tampak sedikit tambun, kini manjadi kendur. Muka Arabnya pun di
tutupi oleh jambang dan kumis yang mulai tumbuh semrawutan. Itu bisa menjadi
bukti bahwa kehidupannya saat ini benar-benar payah.
Berbeda
dengan suaminya, istri Udin masih bebas berlari-lari, shopping dan bersantai
ria ditempat yang belum diketahui keberadaannya. Sangat kasihan, ketika dulu
berjanji untuk sehidup semati, kini harus membelokkan semboyan kuno tersebut.
Kamu di jeruji, aku tak mau tidak mau ambil peduli.
Kembali
ke mulut Udin. Disana disebutkan pihak-pihak yang ambil persenan dalam
pembangunan gedung oleh raga itu. Banyak berasal dari Partai Bintang. Tak ayal
lagi, partai itu kebakaran jenggot. Anehnya, pengamat politik masih saja
mengatakan bahwa hal itu tidak baik untuk pemilu 2014. Juga menyimpulkan, itu
akan menjadi sasaran empuk partai lain untuk menggerus konstituen dari partai
berdasar warna Pink tersebut. Sempat-sempatnya.
Wegi gerah. Namanya terus melambung. Dulu
dibangga-banggakan, kini banyak yang menghujatnya. Maskara yang digunakannya
mulai luntur terkena hujan. Bukan sekedar hujan biasa, airnya bisa melelehkan
setebal apapun benda itu ditempelnya di permukaan wajah. Berkali-kali ia
berusaha untuk memolesnya tebal-tebal lagi. Tetapi wartawan selalu saja
berusaha untuk mencungkil sisi-sisi yang tidak rata.
Namun,
ucapan Valianto diakhir pertemuannya sedikit menghibur. Bola salju ini akan
tercekat oleh sebuah pohon sebentar lagi. Tidak mungkin pihak-pihak yang merasa
was-was akan membiarkan ini berjalan demikian mudah. Semua ada strateginya. Dan
juga ada caranya. Dari yang paling mudah hingga yang sedikit menyiksa
sekalipun.
**********
Sepertinya
cacing-cacing di dalam perut Cahaya mulai berdemo. Tidak ingin dibiarkan begitu
saja kelaparan oleh si pemilik tubuh. Bodoh benar manusia ini, bentaknya.
Menyiksa diri hanya karena ada masalah. Bukankah setiap manusia juga punya
masalah. Dan siapa yang bisa menyelesaikannya itulah sebenarnya pemenang
sejati. Bukannya menjadi pecundang seperti ini.
Tak
kuat lagi Cahaya menahan rasa laparnya, ia akhirnya keluar dari pertapaan. Di
pelupuk matanya terdapat garis melingkari. Dan sedikit menonjol. Menjadikan matanya
terlihat cekung. Ia tidak tahu lagi, sebenarnya sudah berapa lama ia menangis.
Dan berapa galon air mata yang tumpah di kasurnya.
Ketika
Cahaya membuka pintu kamar, didapatinya seisi rumah seolah tidak berpenghuni.
Ia tahu ibunya jam-jam seperti ini masih menghabiskan waktunya di kamar. Di
alam mimpi. Baru tersadar ketika orang dimasjid raya mengumandangkan adzan
Ashar. Sedangkan bi Sumi, mungkin juga tengah istirahat di belakang.
Gadis
itu menuju dapur. Di lemari, didapatinya lauk yang tidak terjamah. Masakan bi
Sumi hari ini masih utuh. Kecuali beberapa bi Sumi dan mas Dedi, supir, yang
memakannya. Tidak seperti biasanya, kali ini Cahaya membantu dirinya sendiri.
Mengambil piring, lalu nasi, lalu lauk. Semua menggunakan tangannya sendiri.
Untuk pertama kalinya. Cahaya kali ini tidak ingin membuat siapa-siapapun
repot. Kegagalannya telah cukup menggemparkan seisi rumah nantinya. “Cukuplah,”
pikir Cahaya kemudian.
Tak
lama untuk menuntaskan nasi di piring. Ia mengambil memang sedikit. Ala
kadarnya saja. Daripada harus berguling-guling di kasur empuknya menahan diri.
Itu tindakan manusia tidak berpendidikan. Ia tahu dirinya, bukan manusia itu.
Setelah meneguk air putih, mata cahaya tertahan pada satu benda.
Melihat
benda itu, ingatannya kembali terlempar pada saat-saat dimana ia bersuka ria
menyobek amplop keputusan itu. Merebut saling mendahului dengan ibunya. Dan
akhirnya ia sendirilah yang berhasil mengoyakkan ujung kertas ber lem itu.
Kembali,
ia juga mengingat dirinya hampir pingsan ketika melihat tulisan “Tidak” disana.
Digaris bawahi dengan tulisan tebal. Sangat menghina dan melecehkan. Seorang
siswi terkenal sebagai siswa terbaik dan sering menjadi utusan sekolah dalam
setiap kompetisi, harus menanggung malu di dikasihani oleh siswi lainnya. Ada
juga yang sempat menyudutkannya. Itu menghiris setiap jengkal daging yang
melekat. Ia merasa dikuliti.
Cahaya
tahu itu bukanlah solusi, justru akan menjadi malapetaka bagi kedua orang
tuanya. Namun akal sehatnya tertutup. Cara pandang Cahaya yang selama ini lugas
dan tegas serta luwes, memandang segala sesuatunya dari berbagai sudut, menjadi
buntu. Pikirannya hanya tertuju pada satu kata. Kata yang nalurinya pun
menyayangkan untuk melakukan hal itu.
Pukul
2 siang, Cahaya kembali bertapa di kamarnya. Layaknya bintang sinetron yang
tengah putus asa. Cahaya mendudukkan diri tepat dibalik pintu. Punggungnya
tersandar disana. Lalu, dipandanginya lekat-lekat benda itu. Sulit baginya
membedakan antara kesadaran dan khayali. Benda itu bisa berbicara. Lebih
cenderung mendesak dan menyuruhnya agar segera saja. Tidak perlu berlama-lama. Masih
beruntung, hati kecilnya menggugah ingatannya. Bahwa itu adalah dosa besar.
Mengakhiri hidup seperti ini justru akan mengakibatkan kesengsaraan tak
berkesudahan setelahnya.
Cahaya
menancapkan benda tajam ke pergelangan kirinya. Ketika menyentuh dikulit
halusnya, benda itu diangkatnya kembali. Tarik ulur dalam membuat keputusan
memenuhi benaknya. Pilihan antara hidup dengan status terhina, atau mati dengan
cara tidak biasa. Jujur, cahaya mengakui tidak ada pilihan yang baik antara
keduanya.
Sekali
lagi, ia melakukan hal yang sama. Dan juga terulang, ia tidak jadi beraksi.
Ingatan akan wajah teman-teman yang mentertawakannya bergantian dengan wajah
kedua orang tuanya yang menangis sedu sedan. Silih berganti. Ketika Cahaya
memejamkan mata, wajah-wajah mereka itu semakin jelas saja. Ia tahu, hidupnya
sudah diujung tanduk. Tapi sungguh ia bisa menangguhkannya. Melemparkan pisau
itu jauh-jauh, dan melakukan sesuatu. Mungkin menghubungi ayahnya di kantor.
Keributan
diluar tertangkap oleh pendengaran Cahaya. Sebuah suara memanggil-manggil
namanya. Ya, itu suara ayahnya. Ternyata ayahnya sudah tiba dirumah. Tidak
seperti biasanya, hari ini lebih awal empat puluh lima menit. Lalu daun pintu
pun diketuk, diikuti oleh suara berat ayahnya.
Lena,
ibu Cahaya juga ada. Ibunyalah yang mengadu malapetaka yang menimpa anaknya
hari ini. Kegagalan yang sama sekali tidak di harapkan. Namun, sekarang menjadi
sebuah fakta yang tidak mungkin bisa dimungkiri. “Aya, buka pintu, nak. Ini
ayah.” Valianto membujuk seperti ibu Cahaya tadi.
Kali ini Cahaya menjawab dengan
sedikit membentak, “tidak!”
“Kita bisa
membicarakannya sama-sama. Mungkin saja terjadi kesalahan dalam hal ini. Ayah
akan mencoba mengusahakannya.
Maksudnya, ayah akan berbicara dengan pihak sekolah. Apa mungkin terjadi
kesalahan dalam hal ini. Mendengar berita ini dari ibumu, ayah juga tidak
percaya.”
Cahaya diam. Tidak mungkin bisa
kecuali jika ayahnya melakukan sesuatu yang terhina. Cahaya sangat tahu,
sekarang, kenapa ini semua bisa terjadi. Penyebabnya tidak lain hanyalah sifat
rakusnya sendiri. Ia tidak puas dengan prestasinya selama ini. Dengan mudahnya
ia menggelontorkan uang tiga juta rupiah hanya untuk membeli kunci jawaban pada
salah satu teman yang dipercayainya. Dan sekarang, semuanya sudah terlambat.
Temannya itu juga akan mengikuti ujian susulan. Bedanya, dia selalu menjadi
bintang kelas. Itu saja. Sangat tidak wajar jika tidak lulus.
Cahaya memeluk
erat pisau yang urung digunakannya untuk memotong urat nadi pergelangannya.
Sepakat dengan ayahnya. Ayahnya pasti bisa mengusahakan sesuatu. Bukankah
ayahnya lihai dalam hal-hal seperti ini. Anggota dewan selalu punya cara
tersendiri untuk menangguk keuntungan. Tidak mustahil dalam perkara sepele
seperti ini. Cahaya tersenyum getir. Idealisme kejujurannya harus tergadai
sedikit demi menjaga muka. “Tidak apa.” Pikirnya.
Sama tak
bersuaranya. Baik Cahaya yang ada didalam kamar maupun orang tuanya, mungkin
juga bi Sumi yang ada berjarak 10 cm dengannya. Hingga suara teko yang telah
panas terdengar riuh. Bi Sumi lupa bahwa ia memanaskan air barusan. Dan ia pun
berlari menuju dapur.
Di dapur,
entah firasat apa yang menujunya pada rentetan pisau yang sering digunakannya
sebagai peralatan memasak. Serasa ada yang hilang. Setelah mematikan kompor
gas, bi Sumi tercenung sejenak. Mengingat-ngingat apa gerangan yang hilang.
Menghitung jumlah pisau. Kurang satu jumlahnya. Mencari di tempat kumpulan
piring-piring yang baru saja di cuci juga tidak ada. Bi Sumi tersentak, karena
tidak mungkin pisau itu kemana-mana. Kecuali ada yang mengambilnya. Bersegera
ia berlari menuju tuan serta nyonyanya.
Masih
ditempat yang sama, Valianto dan Lena tampak putus asa. Tidak ada pilihan.
Kecuali harus merusak sedikit properti dari rumahnya. Valianto mengambil
ancang-ancang. Menarik nafas secukupnya. Mengumpulkan tenaga
sebanyak-banyaknya. Siap untuk mendobrak daun pintu. Dan akhirnya, usaha
pertama berhasil.
Kiamat
itu benar-benar terjadi. Seiring dengan bergesernya daun pintu dari posisi
semula, mengakibatnya tubuh Cahaya terdorong kedepan. Tak bisa di antisipasi
dorongan mendadak itu, pisau tajam menembus hingga ke jantung Cahaya. Sedikit
demi sedikit darah keluar dari pisau yang mengkilat. Mengalir menuju tempat
yang rendah. Ketangan Cahaya, lalu menetes di lantai. Cahaya tidak sanggup
berkata-kata lagi. Rasa sakitnya tidak terperi lagi. Orang tuanya mengiyakan
prosesi nekatnya. Padahal ia berpikir untuk tidak melakukan itu.
Lena
berteriak histeris. Sementara Valianto terperangah dengan mata membelalak. Bi
Sumi datang dengan pesan yang tertahan. Menghampiri Lena yang tengah merengkuh
putrinya. Cahaya pucat pasi seketika. Berikut dengan darah yang deras mengalir
dari dada kirinya. Selalu, ketika bingung logika tidak bermain. Beberapa ketika
setelah meraung dan berteriak bersama, Valianto baru sadar untuk membawa
putrinya ke rumah sakit. Tergesa-gesa bi Sumi memanggil sang supir. Dan Cahaya
pun segera diberangkatkan.
Di
ruang tunggu, news anchor sedang
memberitakan kebijakan pemerintah dalam waktu dekat ini. Menaikkan harga BBM
bersubsidi sebagai dampak dari kenaikan harga minyak dunia. Disana juga
diperlihatkan sikap pemerintah yang sepertinya pasrah dan terpaksa mengambil
langkah itu. Seolah-olah tidak ada pilihan lain.
Hati
Valianto tersenyum. Dirinya terselamatkan. Tepat seperti kabar gembira yang
dikatakannya kepada Wegi. Hanya saja wanita itu kurang beruntung. Kasus yang
melandanya bergerak terlalu cepat. Seharusnya bisa diperalot.
Dari
ruang tunggu untuk mengambil udara sejenak, Valianto kembali pada istri dan
pembantunya yang sesekali menyeka air mata. Di depan pintu bertuliskan “ruang
operasi” itu Valianto mencoba mengintip. Padahal ia tahu sendiri itu hanya
sia-sia. Kegelisahan menghinggapi semua hati. Tak terkecuali.
Lampu
di atas pintu yang tadinya merah, kini berganti hijau. Sesosok lelaki bermasker
hijau muda muncul. Menghela nafas panjang. Menyusun kata yang tepat untuk
disampaikan kepada kedua orang tua pasien yang tengah ditanganinya.
“Bagaimana
keadaan Cahaya, dok?” Lena memberondongi
Suara
sang dokter tercekat dan lepas dengan mengucapkan, “masa kritisnya sudah lewat,
tapi…”
“Tapi
apa?” Valianto tidak sabar.
“Kemungkinan
bertahan sangat tipis.”
Dokter
berlalu sambil menurunkan masker yang menutupi mulutnya. Dibelakangnya berjejer
beberapa perawat yang juga mengenakan kostum dan masker yang sama. Hijau muda.
Lena
terlanjur terkulai dilantai. Tak sempat bi Sumi menyangga tubuhnya yang
tiba-tiba menjadi berat. Dan di sisi lainnya, Valianto memukul-mukulkan kepalan
tangannya ke badan dinding. Putri satu-satunya kini sangat dekat dengan ajal.
Tak siapa yang layak untuk dipersalahkan. Dirinya sendiri, Valianto Wijaya
Hadi.
0 Messages:
Posting Komentar