Senin, 02 April 2012

Ujian Nasional Dan Wisma Atlet


                Kiamat. Terjadi  di hari Jum’at. Di hati seorang siswi yang mendadak layu. Padahal sebelumnya, ia dielu-elukan sebagai sang juara. Nasib atau kah takdir sebenarnya ini? Usahanya mati-matian dalam mempersiapkan event itu harus berbuah pahit. Derasnya air mata pun tidak akan sanggup menghapus kedukaan itu. Cahaya Juara, tidak lulus UAN.
                Sesampainya dirumah, Cahaya langsung berlari menuju kamar. Membanting daun pintu keras2 hingga terdengar oleh Bi Sumi di dapur. Sesosok wanita mengejar, tetapi kalah gesit. Alhasil, ia hanya berbicara dibalik pintu.
                “Aya, buka pintu, nak.” Wanita bergelar ibu itu membujuk.
                Tidak ada sahutan dari dalam. Kekhawatiran menghinggapi bu Lena. Anak jaman sekarang senang bermain-main dengan kata galau. Ia takut anaknya terinfeksi virus itu. Sikap nekat bisa-bisa diambil oleh anak seusia Cahaya. Seperti pemberitaan media tahun-tahun kemarin seputar hal itu.
                “Tidak!” Benak Lena berujar. Lalu melanjutkan, “Cahaya tidak boleh bertindak bodoh. Anak itu masih punya masa depan. Karir di dunia entertainment menanti kehadirannya.”
                “Aya, buka pintu, nak. Kita lewati ini sama-sama. Ingat, nak. Ini hanya sebuah episode yang harus dilewati. Jika kita kalah, maka kita akan kalah untuk selama-lamanya. Kamu dengar Cahaya?”
                Persis. Tidak ada sahutan dari dalam. Sunyi menghampiri seantoro rumah mewah itu. Rumah yang orang-orang memandang merasa iri dan ingin tinggal didalamnya. Tentu saja pantas begitu, disana tinggal seorang anggota dewan yang sering muncul di layar-layar kaca. Menjadi nara sumber dialog-dialog khusus seputar kebijakan pemerintah yang kontroversial. Valianto Wijaya Hadi itulah namanya.
                Lena menyerah. Usahanya sia-sia belaka. Membujuk batu mungkin lebih berhasil daripada Cahaya yang keras kepalanya minta maaf. Kalau saja bisa diminta, sifat itu tidak ingin diwariskannya kepada putri satu-satunya tersebut. Lena beranjak menuju pembantunya. Berwasiat kepada wanita paruh baya itu agar membawakan makan siang pada anaknya. Sekaligus mengabarkan jika Cahaya keluar dari kamarnya.
                Bi Sumi mengiyakan. Dan Lena pun menyeret kaki lelahnya menuju kamarnya sendiri. Istirahat dari badai yang tidak kalah menghancurkan harapannya. Di sekolah tadi, harap-harap cemas ia manakala acara pembagian amplop kelulusan dimulai. Di acara itu pula, Lena berharap nama Cahaya Juara disebut-sebut sebagai Champion tahun itu.
                Namun sayang, cahaya harapan itu luntur seiring dengan pengumuman yang keluar dari mulut kepala sekolah. Menyebutkan nama-nama siswa yang berhasil menduduki peringkat teratas. Dan Lena juga bisa menangkap kekecewaan sang kepala sekolah. Cahaya Juara tidak ada dalam list itu.
                Tidak ada acara ganti baju. Lena merebahkan diri di kamar ber-ac. Dingin merasuki hingga ke tulang. Lena meraih remote dan menurunkan tingkat kedinginan benda tersebut. Terlelap seketika.  
**********
                Di kantornya, Valianto Wijaya Hadi mengangkat kaki tinggi-tinggi. Menaruhnya diatas meja kerja. Sementara punggung tenggelam dalam kursi empuk yang menyangga dudukannya. Nikmat bukan main. Siapapun tidak bisa melukiskan betapa enaknya duduk di kursi itu. Selain para penyair yang sok tahu.
                Valianto memejamkan mata. Di bayangannya, ia tengah memegang lembaran-lembarang berharga bernama uang. Dalam jumlah yang tidak sedikit, ratusan juta rupiah. Mulutnya mengulas senyum. Ia akan malu sendiri seandainya ada yang memerhatikan gelagatnya tadi itu. Merasa tidak ada siapa-siapa disana, akhirnya ia menertawakan dirinya sendiri.
                Dalam bayangannya itu pula, tiba-tiba muncul sosok Cahaya yang tengah berlari-lari menghampirinya. Memanggil-manggilnya dengan sebutan “ayah”. Gadisnya itu menunjukkan lembar hasil kelulusan. Meloncat-loncat, jika perlu setinggi langit. Di belakangnya, tubuh lena yang langsing menyusul.
                Mata Valianto terbuka. Ia penasaran, apakah bayangannya itu benar-benar nyata. Tapi ia sangat yakin, itulah yang akan didengarnya sesaat lagi. Ponsel yang tergeletak meja, di raihnya. Menekan ini dan itu, kemudian mendekatkan ke telinga kanannya.
                Gagal. Ponsel Cahaya dalam keadaan tidak aktif. Diulanginya lagi sampai tiga kali. Tetap sama. Hanya suara lembut sang wanita  mesin  yang terdengar. Valianto menghubungi nomor Ponsel istrinya. Kurang lebih sama, tidak ada yang mengangkat.
                Jalan terakhir. Ya, menggunakan fasilitas rakyat. Sedianya telepon itu hanya diperuntukkan keperluan yang bersifat “kepentingan rakyat”, namun Valianto tidak pernah berpikir sejauh itu. Telepon itu adalah fasilitas negara, pikirnya.
                Tersambung. Suara bi Sumi terdengar disana.
                “Bi, ibu sudah pulang?”
                “Ibu baru saja tidur dikamarnya, pak.”
                Valianto ragu-ragu untuk menanyakan perihal kelulusan Cahaya pada pembantunya itu. Ia ingin mendengar langsung dari mulut anaknya, jika tidak dari istrinya. Sekarang istrinya sedang tidur. Dan membangunkannya saat itu justru akan membuatnya berang.
                “Aya?” Tanya Valianto lagi.
                “Non Aya mengurung diri dikamarnya sejak pulang dari sekolah tadi. Sampai sekarang juga belum di buka pintunya. Padahal, makan siangnya sudah berkali-kali coba bibi antar. Tetap saja tidak ada tanggapan dari dalam kamar.” Bi Sumi menjelaskan.
                “Memangnya kenapa bi?” Valianto mencium suatu kejanggalan. Sesuatu yang tidak seharusnya terjadi. Apakah itu ada kaitannya dengan kelulusan Cahaya. Apa mungkin Cahaya tidak lulus. Tidak. Itu jauh dari kemungkinan. Sang juara kelas dan juara umum itu tidak mungkin gagal dalam Ujian Akhir Nasional. “Tapi, segala kemungkinan bisa terjadi.” Hati kecilnya kemudian mengutarakan.
                Ganggang telepon kembali pada tempatnya, sebaik saja orang yang diujung sambungan mengatakan tidak tahu apa yang tengah terjadi. Baik pada ibu maupun putrinya. Dua-duanya tidak memberi tahu perihalnya.
                Valianto terganggu. Rasa senangnya berubah menjadi kegelisahan. Menduga-duga dengan pertanyaan-pertanyaan yang menggelayuti. Namun begitu, sementara terputus dengan suara pintu ruangannya diketuk dari luar.
                “Masuk.”
                Wanita itu berkulit kuning. Tingginya diatas wanita Indonesia pada umumnya. Pernah juga dinobatkan sebagai wanita termahsyur se-Nasional karena kecantikan, kemolekan, dan katanya juga karena otaknya. Yang terakhir sepertinya hanya menduduki kurang dari 10%. Banyak yang setuju akan hal itu, termasuk sang pemilik ruangan yang sekaligus rekanannya dalam partai Bintang.
                “Val, mulut si Udin mulai belepotan.” Wanita itu mengadu begitu saja.
                Valianto mengambil sebatang rokok dari saku bajunya. Menyalakannya kemudian.
                Wanita bernama Wegi itu melarang, “Kamu tidak boleh merokok diruangan ber-AC, Val!”
                Valianto nyengir. “Kenapa, takut?” Sekali tembak mengenai dua sasaran. Pertama, atas ketakutan Wegi pada kemungkinan-kemungkinan terbongkarnya perbuatan mereka dari mulut Udin. Dan kedua, Wegi takut itu merokok dalam ruangan ber-AC membahayakan bagi dirinya dan juga si penghisap benda lintingan tersebut.
                Valianto terbahak-bahak kecil. Berdiri, lalu mencari dimana ia meletakkan remote AC. Setelah mendapatnya, AC langsung tidak dihidupkan. Belum selesai, Valianto juga membuka jendela yang hanya dibukanya ketika ia malas keluar untuk merokok. Duduk dihadapan Wegi lagi.
                “Kita terancam.” Wegi menambahkan.
                “Mungkin maksudmu, kamu sendiri?”
                Wegi tidak terima begitu saja mendengar rekanannya dalam kasus wisma atlet berujar demikian. Tidak rela jika ia sendiri yang tersandung batu lalu masuk jeruji menyusul Udin. Tidak, sama sekali tidak restu.
                “Hey, enak saja. Kamu juga terlibat dalam hal ini Val. Dan jika kondisi terburuknya aku harus ada di meja hijau, maka siap-siap namamu juga akan terpampang di media-media.” Wegi mengancam sambil menunjuk-nunjuk ke muka Valianto.
                Valianto tidak bergeming. Ia tetap tenang. Meskipun sebenarnya hatinya sedikit mulai kecut juga. Ia pintar untuk menyembunyikan perasaannya di muka Wegi.
                “Kecuali, kamu tetap bekerja sama.” Tambah Wegi lagi.
                “Tentu saja aku akan bekerja sama. Dan ingat Weg, ucapan si Udin itu tidak mudah dan tidak serta merta akan menyeret kita ke kursi pesakitan. Cam kan itu. Biarkan saja nama kita mulai dilemparkan ke ranah publik. Anggap saja memberikan kerjaan buat KPK dan media yang merasa ambil peduli akan nasib rakyat.” Valianto menenangkan kegusaran yang menghinggapi Wegi.
                “Ku harap.” Wegi menanggapi.
**********
                Kasus dugaan korupsi wisma atlet di palembang terus bergulir. Udin, sebagai saksi kunci telah berhasil dibawah pulang ke tanah air. Setelah sempat jalan-jalan yang seharusnya terlebih dahulu dicekal kepergiannya. Entah ilmu kanuragan apa yang digunakannya hingga bisa melewati badan keimigrasian.
                Belakangan baru diketahui bahwa yang bersangkutan menggunakan identitas kerabat terdekatnya untuk meloloskan diri. Pihak yang disebut juga berdalih, bahwa Udin mencuri kartu-kartu identitasnya tersebut. Kepolisian, katanya terus menyelelidiki kasus ini.
                Sekarang, duduknya Udin dikursi tak mengenakkan ternyata mampu memberikan sudut pandang lain di masyarakat. Udin yang dulu dianggap sebagai biang kerok, meskipun ada yang menyebutnya sebagai korban dari partai yang digelutinya, saat ini malah dianggap sebagai pahlawan. Istilah saksi kunci menguatkan hal itu.
                Memang benar, jika terjadi apa-apa dengan Udin, maka kasus korupsi ini akan sulit ditelusuri. Jadilah Udin merasa enggan makan dan minum yang disediakan oleh pihak Rutan dimana ia mendekam. Takut akan diracuni, lebih tepatnya takut mati di usia muda begini. Juga, Udin mendapat pengawalan ektra. Kehidupannya dalam beberapa hari terakhir terlihat menyiksa. Ingat, “terlihat” menyiksa.
                Tubuhnya yang dulu tampak sedikit tambun, kini manjadi kendur. Muka Arabnya pun di tutupi oleh jambang dan kumis yang mulai tumbuh semrawutan. Itu bisa menjadi bukti bahwa kehidupannya saat ini benar-benar payah.
                Berbeda dengan suaminya, istri Udin masih bebas berlari-lari, shopping dan bersantai ria ditempat yang belum diketahui keberadaannya. Sangat kasihan, ketika dulu berjanji untuk sehidup semati, kini harus membelokkan semboyan kuno tersebut. Kamu di jeruji, aku tak mau tidak mau ambil peduli.
                Kembali ke mulut Udin. Disana disebutkan pihak-pihak yang ambil persenan dalam pembangunan gedung oleh raga itu. Banyak berasal dari Partai Bintang. Tak ayal lagi, partai itu kebakaran jenggot. Anehnya, pengamat politik masih saja mengatakan bahwa hal itu tidak baik untuk pemilu 2014. Juga menyimpulkan, itu akan menjadi sasaran empuk partai lain untuk menggerus konstituen dari partai berdasar warna Pink tersebut. Sempat-sempatnya. 
                 Wegi gerah. Namanya terus melambung. Dulu dibangga-banggakan, kini banyak yang menghujatnya. Maskara yang digunakannya mulai luntur terkena hujan. Bukan sekedar hujan biasa, airnya bisa melelehkan setebal apapun benda itu ditempelnya di permukaan wajah. Berkali-kali ia berusaha untuk memolesnya tebal-tebal lagi. Tetapi wartawan selalu saja berusaha untuk mencungkil sisi-sisi yang tidak rata.
                Namun, ucapan Valianto diakhir pertemuannya sedikit menghibur. Bola salju ini akan tercekat oleh sebuah pohon sebentar lagi. Tidak mungkin pihak-pihak yang merasa was-was akan membiarkan ini berjalan demikian mudah. Semua ada strateginya. Dan juga ada caranya. Dari yang paling mudah hingga yang sedikit menyiksa sekalipun.
**********
                Sepertinya cacing-cacing di dalam perut Cahaya mulai berdemo. Tidak ingin dibiarkan begitu saja kelaparan oleh si pemilik tubuh. Bodoh benar manusia ini, bentaknya. Menyiksa diri hanya karena ada masalah. Bukankah setiap manusia juga punya masalah. Dan siapa yang bisa menyelesaikannya itulah sebenarnya pemenang sejati. Bukannya menjadi pecundang seperti ini.
                Tak kuat lagi Cahaya menahan rasa laparnya, ia akhirnya keluar dari pertapaan. Di pelupuk matanya terdapat garis melingkari. Dan sedikit menonjol. Menjadikan matanya terlihat cekung. Ia tidak tahu lagi, sebenarnya sudah berapa lama ia menangis. Dan berapa galon air mata yang tumpah di kasurnya.
                Ketika Cahaya membuka pintu kamar, didapatinya seisi rumah seolah tidak berpenghuni. Ia tahu ibunya jam-jam seperti ini masih menghabiskan waktunya di kamar. Di alam mimpi. Baru tersadar ketika orang dimasjid raya mengumandangkan adzan Ashar. Sedangkan bi Sumi, mungkin juga tengah istirahat di belakang.
                Gadis itu menuju dapur. Di lemari, didapatinya lauk yang tidak terjamah. Masakan bi Sumi hari ini masih utuh. Kecuali beberapa bi Sumi dan mas Dedi, supir, yang memakannya. Tidak seperti biasanya, kali ini Cahaya membantu dirinya sendiri. Mengambil piring, lalu nasi, lalu lauk. Semua menggunakan tangannya sendiri. Untuk pertama kalinya. Cahaya kali ini tidak ingin membuat siapa-siapapun repot. Kegagalannya telah cukup menggemparkan seisi rumah nantinya. “Cukuplah,” pikir Cahaya kemudian.
                Tak lama untuk menuntaskan nasi di piring. Ia mengambil memang sedikit. Ala kadarnya saja. Daripada harus berguling-guling di kasur empuknya menahan diri. Itu tindakan manusia tidak berpendidikan. Ia tahu dirinya, bukan manusia itu. Setelah meneguk air putih, mata cahaya tertahan pada satu benda.
                Melihat benda itu, ingatannya kembali terlempar pada saat-saat dimana ia bersuka ria menyobek amplop keputusan itu. Merebut saling mendahului dengan ibunya. Dan akhirnya ia sendirilah yang berhasil mengoyakkan ujung kertas ber lem itu.
                Kembali, ia juga mengingat dirinya hampir pingsan ketika melihat tulisan “Tidak” disana. Digaris bawahi dengan tulisan tebal. Sangat menghina dan melecehkan. Seorang siswi terkenal sebagai siswa terbaik dan sering menjadi utusan sekolah dalam setiap kompetisi, harus menanggung malu di dikasihani oleh siswi lainnya. Ada juga yang sempat menyudutkannya. Itu menghiris setiap jengkal daging yang melekat. Ia merasa dikuliti.
                Cahaya tahu itu bukanlah solusi, justru akan menjadi malapetaka bagi kedua orang tuanya. Namun akal sehatnya tertutup. Cara pandang Cahaya yang selama ini lugas dan tegas serta luwes, memandang segala sesuatunya dari berbagai sudut, menjadi buntu. Pikirannya hanya tertuju pada satu kata. Kata yang nalurinya pun menyayangkan untuk melakukan hal itu.
                Pukul 2 siang, Cahaya kembali bertapa  di kamarnya. Layaknya bintang sinetron yang tengah putus asa. Cahaya mendudukkan diri tepat dibalik pintu. Punggungnya tersandar disana. Lalu, dipandanginya lekat-lekat benda itu. Sulit baginya membedakan antara kesadaran dan khayali. Benda itu bisa berbicara. Lebih cenderung mendesak dan menyuruhnya agar segera saja. Tidak perlu berlama-lama. Masih beruntung, hati kecilnya menggugah ingatannya. Bahwa itu adalah dosa besar. Mengakhiri hidup seperti ini justru akan mengakibatkan kesengsaraan tak berkesudahan setelahnya.
                Cahaya menancapkan benda tajam ke pergelangan kirinya. Ketika menyentuh dikulit halusnya, benda itu diangkatnya kembali. Tarik ulur dalam membuat keputusan memenuhi benaknya. Pilihan antara hidup dengan status terhina, atau mati dengan cara tidak biasa. Jujur, cahaya mengakui tidak ada pilihan yang baik antara keduanya.
                Sekali lagi, ia melakukan hal yang sama. Dan juga terulang, ia tidak jadi beraksi. Ingatan akan wajah teman-teman yang mentertawakannya bergantian dengan wajah kedua orang tuanya yang menangis sedu sedan. Silih berganti. Ketika Cahaya memejamkan mata, wajah-wajah mereka itu semakin jelas saja. Ia tahu, hidupnya sudah diujung tanduk. Tapi sungguh ia bisa menangguhkannya. Melemparkan pisau itu jauh-jauh, dan melakukan sesuatu. Mungkin menghubungi ayahnya di kantor.  
                Keributan diluar tertangkap oleh pendengaran Cahaya. Sebuah suara memanggil-manggil namanya. Ya, itu suara ayahnya. Ternyata ayahnya sudah tiba dirumah. Tidak seperti biasanya, hari ini lebih awal empat puluh lima menit. Lalu daun pintu pun diketuk, diikuti oleh suara berat ayahnya.
                Lena, ibu Cahaya juga ada. Ibunyalah yang mengadu malapetaka yang menimpa anaknya hari ini. Kegagalan yang sama sekali tidak di harapkan. Namun, sekarang menjadi sebuah fakta yang tidak mungkin bisa dimungkiri. “Aya, buka pintu, nak. Ini ayah.” Valianto membujuk seperti ibu Cahaya tadi.
                Kali ini Cahaya menjawab dengan sedikit membentak, “tidak!”
“Kita bisa membicarakannya sama-sama. Mungkin saja terjadi kesalahan dalam hal ini. Ayah akan mencoba mengusahakannya. Maksudnya, ayah akan berbicara dengan pihak sekolah. Apa mungkin terjadi kesalahan dalam hal ini. Mendengar berita ini dari ibumu, ayah juga tidak percaya.”
                Cahaya diam. Tidak mungkin bisa kecuali jika ayahnya melakukan sesuatu yang terhina. Cahaya sangat tahu, sekarang, kenapa ini semua bisa terjadi. Penyebabnya tidak lain hanyalah sifat rakusnya sendiri. Ia tidak puas dengan prestasinya selama ini. Dengan mudahnya ia menggelontorkan uang tiga juta rupiah hanya untuk membeli kunci jawaban pada salah satu teman yang dipercayainya. Dan sekarang, semuanya sudah terlambat. Temannya itu juga akan mengikuti ujian susulan. Bedanya, dia selalu menjadi bintang kelas. Itu saja. Sangat tidak wajar jika tidak lulus.
Cahaya memeluk erat pisau yang urung digunakannya untuk memotong urat nadi pergelangannya. Sepakat dengan ayahnya. Ayahnya pasti bisa mengusahakan sesuatu. Bukankah ayahnya lihai dalam hal-hal seperti ini. Anggota dewan selalu punya cara tersendiri untuk menangguk keuntungan. Tidak mustahil dalam perkara sepele seperti ini. Cahaya tersenyum getir. Idealisme kejujurannya harus tergadai sedikit demi menjaga muka. “Tidak apa.” Pikirnya.
Sama tak bersuaranya. Baik Cahaya yang ada didalam kamar maupun orang tuanya, mungkin juga bi Sumi yang ada berjarak 10 cm dengannya. Hingga suara teko yang telah panas terdengar riuh. Bi Sumi lupa bahwa ia memanaskan air barusan. Dan ia pun berlari menuju dapur.
Di dapur, entah firasat apa yang menujunya pada rentetan pisau yang sering digunakannya sebagai peralatan memasak. Serasa ada yang hilang. Setelah mematikan kompor gas, bi Sumi tercenung sejenak. Mengingat-ngingat apa gerangan yang hilang. Menghitung jumlah pisau. Kurang satu jumlahnya. Mencari di tempat kumpulan piring-piring yang baru saja di cuci juga tidak ada. Bi Sumi tersentak, karena tidak mungkin pisau itu kemana-mana. Kecuali ada yang mengambilnya. Bersegera ia berlari menuju tuan serta nyonyanya.
Masih ditempat yang sama, Valianto dan Lena tampak putus asa. Tidak ada pilihan. Kecuali harus merusak sedikit properti dari rumahnya. Valianto mengambil ancang-ancang. Menarik nafas secukupnya. Mengumpulkan tenaga sebanyak-banyaknya. Siap untuk mendobrak daun pintu. Dan akhirnya, usaha pertama berhasil.
                Kiamat itu benar-benar terjadi. Seiring dengan bergesernya daun pintu dari posisi semula, mengakibatnya tubuh Cahaya terdorong kedepan. Tak bisa di antisipasi dorongan mendadak itu, pisau tajam menembus hingga ke jantung Cahaya. Sedikit demi sedikit darah keluar dari pisau yang mengkilat. Mengalir menuju tempat yang rendah. Ketangan Cahaya, lalu menetes di lantai. Cahaya tidak sanggup berkata-kata lagi. Rasa sakitnya tidak terperi lagi. Orang tuanya mengiyakan prosesi nekatnya. Padahal ia berpikir untuk tidak melakukan itu.
                Lena berteriak histeris. Sementara Valianto terperangah dengan mata membelalak. Bi Sumi datang dengan pesan yang tertahan. Menghampiri Lena yang tengah merengkuh putrinya. Cahaya pucat pasi seketika. Berikut dengan darah yang deras mengalir dari dada kirinya. Selalu, ketika bingung logika tidak bermain. Beberapa ketika setelah meraung dan berteriak bersama, Valianto baru sadar untuk membawa putrinya ke rumah sakit. Tergesa-gesa bi Sumi memanggil sang supir. Dan Cahaya pun segera diberangkatkan.
                Di ruang tunggu, news anchor sedang memberitakan kebijakan pemerintah dalam waktu dekat ini. Menaikkan harga BBM bersubsidi sebagai dampak dari kenaikan harga minyak dunia. Disana juga diperlihatkan sikap pemerintah yang sepertinya pasrah dan terpaksa mengambil langkah itu. Seolah-olah tidak ada pilihan lain.
                Hati Valianto tersenyum. Dirinya terselamatkan. Tepat seperti kabar gembira yang dikatakannya kepada Wegi. Hanya saja wanita itu kurang beruntung. Kasus yang melandanya bergerak terlalu cepat. Seharusnya bisa diperalot.
                Dari ruang tunggu untuk mengambil udara sejenak, Valianto kembali pada istri dan pembantunya yang sesekali menyeka air mata. Di depan pintu bertuliskan “ruang operasi” itu Valianto mencoba mengintip. Padahal ia tahu sendiri itu hanya sia-sia. Kegelisahan menghinggapi semua hati. Tak terkecuali.
                Lampu di atas pintu yang tadinya merah, kini berganti hijau. Sesosok lelaki bermasker hijau muda muncul. Menghela nafas panjang. Menyusun kata yang tepat untuk disampaikan kepada kedua orang tua pasien yang tengah ditanganinya.
                “Bagaimana keadaan Cahaya, dok?” Lena memberondongi
                Suara sang dokter tercekat dan lepas dengan mengucapkan, “masa kritisnya sudah lewat, tapi…”
                “Tapi apa?” Valianto tidak sabar.
                “Kemungkinan bertahan sangat tipis.”
                Dokter berlalu sambil menurunkan masker yang menutupi mulutnya. Dibelakangnya berjejer beberapa perawat yang juga mengenakan kostum dan masker yang sama. Hijau muda.
                Lena terlanjur terkulai dilantai. Tak sempat bi Sumi menyangga tubuhnya yang tiba-tiba menjadi berat. Dan di sisi lainnya, Valianto memukul-mukulkan kepalan tangannya ke badan dinding. Putri satu-satunya kini sangat dekat dengan ajal. Tak siapa yang layak untuk dipersalahkan. Dirinya sendiri, Valianto Wijaya Hadi.
               

                

0 Messages:

Posting Komentar

 
;