Senin, 16 April 2012

Teacher of The Year (Part 1)


Pantas jika ia membanggakan diri atas nama pengalaman serta track record tahun-tahun sebelumnya. Ms. Donita, 45 tahun, pemegang gelar Teacher of the Year selama 10 tahun berturut-turut sejak ajang ini digelar. Guru matematika itu terkenal keras serta disiplin tingkat tinggi. Dimana jaman ini siswa tidak lagi banyak yang hormat dan segan pada guru-guru mereka, tetapi tidak terjadi pada wanita itu. Ia tetap menjunjung karakter dan nilai-nilai pendidikan. Sering di hujat dan dibenci oleh siswa yang berotak dibawah rata-rata karena tidak ada toleransi, namun sertifikat sebagai guru teladan hampir memenuhi dinding-dinding rumahnya. Hanya sayang, tahun lalu, ia harus rela melepaskan gelar tersebut pada seorang guru muda. Itu membuatnya jengkel. Tahun ini ia kembali berambisi untuk mengembalikan dimana gelar itu seharusnya disematkan.  
*****
                Adalah Ms. Smarta Nisa. Guru Bahasa Indonesia itu hadir memunggungi prestasi akademik yang mencengangkan. Selain itu, masa abdinya yang masih dalam status honorer, berjalan baru setahun sudah mampu membawa sekolah itu sebagai perwakilan daerah di ajang seni dan sastra Indonesia tingkat nasional. Ceria, tegas, elegan dan ramah itulah karakter yang melekat padanya. Semua siswa menyukainya, bahkan beberapa guru laki-laki sering melirik ke arahnya. Tak salah bukan jika tahun itu ia menyabet gelar Teacher of The Year. Untuk pemilihan tahun ini, ia bahkan sedikit dipaksa untuk bersedia mengajukan diri sebagai salah satu nominator.
*****
                Seleksi terus berlanjut, hingga memunculkan nama Mr. Bally Setiawan. Kepiawaiannya menangani siswa-siswa bermasalah di sekolah patut diacungi jempol. Gaya komunikasi yang fleksibel dan mudah bergaul itu modal utama yang dimilikinya. Tentunya disamping rupa yang membuat para siswi histeris dan bermimpi untuk menjadi pendamping hidupnya. Guru muda BK itu tidak hanya pasang tampang dalam karirnya, profesional adalah prinsipnya. “Setiap orang berhak untuk bahagia. Bolehkah saya membantu anda?” itu motto hidupnya. Mencalonkan diri sebagai Teacher of The Year tahun ini sepertinya bukanlah hal yang berlebihan, bukan?
*****
                Ia merasa dirinya hanya sebagai pelengkap saja. Susah payah sang kepala sekolah membujuknya agar mau dicalonkan sebagai nominator Teacher of The Year tahun ini. “Lebih banyak, lebih baik.” Kata Mr. Imtihan. Dan akhirnya Mr. Soegara mengangguk pelan. Guru Bahasa Inggris itu bertahan pada pandangan pengajar lain pada cara mengajarnya. Dalam mentransfer ilmu, ia tidak mau setengah-setengah. Tak jarang ia datang lebih awal ke sekolah hanya untuk sekedar mempersiapkan perlengkapan pembelajaran. Cita-citanya, siswa yang diajarnya bisa menerima dengan kualitas terbaik. Ia juga terkadang risih jika harus dibilang perfeksionis.
*****
                Sekolah bintang masih telalu pagi untuk mulai beraktivitas. Jam dinding yang melekat di gerbang sekolah berjalan lambat. Belum sampai pukul enam lima belas.
                Setibanya ia di sana, pintu pagar tidak terkunci. Bertanda bahwa pak Burhan dan rekan-rekannya sudah mulai rutinitas hariannya. Lalu pemuda itu pun membuka pagar besi sekenanya agar sepeda motor yang membawanya bisa masuk dengan leluasa. Parkir khusus guru menjadi tujuannya.
                Baru saja akan memasuki ruang guru, ia berpapasan dengan pak Burhan. “Assalamu’alaikum, gimana kabarnya pak?” Sambil melemparkan senyum terbaiknya.
                “Alhamdulillah baik, pak Soegara.” Lelaki lima puluh tahunan itu menjawab dengan cengirannya.
                “Jika bisa, saya dukung bapak.” Pak Burhan berbicara berbisik seolah takut ketahuan.
                Soegara geli. Tak perlu sembunyi-sembunyi untuk menyatakan dukungan itu. “Terima kasih, pak.” Ia berucap sambil mendorong daun pintu dihadapannya.
*****
                Sengaja Soegara datang awal ke sekolah hari itu. Perlengkapan pembelajaran harus  persiapkannya untuk menunjang pemahaman kelasnya. Daya tangkap siswa dalam bahasa Inggris masih beragam. Kesenjangannya sangat kontras antara mereka yang bisa dan “bodoh”. Ia berharap dengan memasukkan permainan-permainan singkat dalam proses belajar-mengajar dapat mengurangi jarak itu.
                Ditengah kesibukannya memelototi laptop, suara ketukan terdengar. Pak Burhan datang dengan segelas kopi dan sepiring gorengan. “Saya beli tadi.” Katanya. Lelaki itu berlalu tak lama kemudian setelah Soegara mengucap terima kasih.
                Aroma minuman pekat panas begitu menggoda. Soegara menghentikan pekerjaannya. Menyeruput minumannya setelah sangat sadar bahwa tadi pagi ia tidak sempat melakukan itu. Perpaduan pas antara kopinya AhSeng dengan tiga sendok teh gula pasir. Mantap.
                Apa yang ditekuninya tuntas sebelum pukul tujuh tepat. Kepala sekolah, guru dan siswa bintang sudah mulai berdatangan. Geliat sekolah siap untuk penyebaran ilmu dari sang pemilik kepada penerima. Profesionalisme dijadikan dasar pengembangan sekolah bertaraf intenasional tersebut.
*****
                Persis sejak ajang itu mengumumkan nama Smarta sebagai Teacher of The Year, Donita tidak lagi punya senyum jujurnya. Itu sudah berbaur dengan getir dan muka sedikit masam. Tidak kepada setiap orang, hanya kepada sang perebut gelar tahunannya itu. Namun, Smarta Nisa tidak terlalu memikirkan hal tersebut. Ia berinteraksi secara wajar dengan wanita paruh baya itu. Meskipun sering yang diajak bicara jelas menjaga jarak.
                Juga seperti kali itu. Tak diduga mereka harus beriringan menuju ruang guru.
                “Bagaimana kabarnya, bu?” Smarta menyapa dengan senyum memukaunya. Wajah putih bersih dan sempurnanya membuat siapapun, terutama para siswa tak sabar untuk menjawab salamnya.
                “Alhamdulillah, baik.” Jawab Donita ketus dan sedikit dipaksakan.
                Lalu mereka berjalan tanpa melanjutkan pembicaraan. Begitu saja hingga memasuki ruangan dan duduk di kursi masing-masing. Setibanya dimejanya, Donita langsung sibuk meraih cermin kecil dari tas jinjingnya. Mengamati barang kali ada binatang nakal yang tertarik bermukim di wajahnya. Beruntung, tidak ada. Diam-diam ia melirik sinis ke arah Smarta.                 Sementara itu, Smarta menunjukkan keterkejutan yang pura-pura dibuatnya ketika mengetahui Soegara sudah ada diruangan.
                “Assalamu’alaikum, sir. Wah-wah, pagi-pagi sudah datang. Ada apa ini?”
                Padahal Smarta sudah sangat hafal bahwa guru bahasa Inggris itu selalu menjadi nomor wahid dalam hal kehadiran di sekolah. Paling telat menduduki nomor dua.
                “Alhamdulillah, baik girl.”
Soegara menatap lekat ke arah guru bahasa Indonesia tersebut. Menyangga dagunya dengan kedua telapak tangan. Siapa yang belum pernah melihat kebiasaan itu akan mengira bahwa Soegara tengah menggoda Smarta.
“Jangan menatapku seperti itu lagi!. Ingat, bapak guru telah berjanji kemarin.”
Soegara tertawa lepas. Melemaskan otot-otot serta otaknya yang dipaksa untuk bekerja terlalu banyak. Lalu ia pun berlalu keluar.
Sebelum mencapai pintu, Smarta memanggil Soegara, “aku dukung bapak guru deh.”
Soegara berpaling. “No..no..no..Kita bersaing.” Katanya. Kemudian menghilang dibalik pintu.
*****
Pergelaran Teacher of The Year tahun ini di SMA Bintang di lakukan berbeda. Sebelumnya, pemilihan langsung oleh Kepala Sekolah beserta empat wakilnya. Para kandidat terpilih akan dikualifikasi lagi berdasarkan prestasi pengajaran dan diluar pengajaran.
Kali ini mereka akan menggandeng elemen sekolah lainnya, yaitu Osis dan eskul seni dan budaya. Tugas Kepala sekolah beserta wakilnya hanyalah menentukan kandidat yang layak untuk dijadikan nominator. 
*****
Riuh rendah dari perbincangan hingga tawa terpingkal-pingkal terdengar di Kantin Camar. Hot news yang diangkas mengerucut ke satu topik. Teacher of The Year.
“Kamu, Burq?”
Burqa White, gadis indo itu sibuk memutar-mutar penyedot didalam gelas tinggi berisi jus mangga. Menyipitkan matanya mendengar pertanyaan Dion.
Lalu jawabnya, “Kita? jelas mendukung yang paling ganteng dong.”
“Mr. Bally,  aku datang.” Burqa merentangkan tangan sambil matanya terpejam.
“Sama.” Leni menimpali.
“Sepertinya Ms. Smarta dan Mr. Bally yang diunggulkan. Ms. Donita? Ah, lewat. Masa keemasannya sudah berlalu.” Jay berucap.
“Perfect!” Dion mengacungkan jempol ke arah Jay.
Leni menengahi, “Mr. Soe? Rasa salut menggugah keinginanku juga untuk mendukungnya.”
“Terserah!”
“Ehem..ehem…” Sosok Bally Setiawan muncul dibelakang Burqa. Gadis itu kelabakan. Mukanya memerah seketika. Namun sang guru melemparkan senyum yang membuat jantung Burqa hampir lepas. Denyutnya mengencang.  
“Eh, bapak.”
“Boleh saya duduk disini.”
Semua setuju. Dion, Burqa, Leni dan Jay duduk merapat memberikan ruang kepada guru BK itu untuk mendapatkan tempat duduk. Guru itu tepat duduk berhadapan dengan Burqa.
“Sepertinya ada yang tengah membicarakan saya tadi.”
Jay menetralkan suasana. “Tenang saja pak. Kami mendukung bapak.”
“Terima kasih anak muda. Tidak perlu dilebih-lebihkan hal ini. Siapapun yang terpilih nantinya, itu adalah yang terbaik. Betulkan?”
Burqa perlahan menjawab, “itu bapak sendiri.”
*****

Akhir-akhir ini hujan sering kali mengguyur bumi dimana SMA bintang bernaung. Seharusnya mendinginkan raga, tetapi tidak dengan Donita. Ia merasa gerah luar dalam. Jelas ia tidak ingin kecolongan lagi tahun ini. Semakin merasa dihimpit oleh sistem pemilihan yang melibatkan siswa langsung. Dapat diterka, banyak siswa yang tidak menyukainya.
“Ah. Memang apa sih untungnya gelar itu?” Ia bertanya pada dirinya sendiri.
Hatinya juga menjawab, “gengsi.”
Itulah dia. Donita lelah memikirkan kata itu. Kata yang membuat tidurnya tidak lagi punya mimpi. Makannya hanya sampai ditenggorokan. Bahkan ia tidak lagi kenal pasti antara sang maupun malam.
Donita masih ingat ketika ia sangat bersemangat di podium tahun lalu. Ia rela merengguh kocek lebih dalam untuk membeli kostum terpajang di etalase sebuah toko. Khusus ia beli untuk menerima penghargaan hari itu. Lalu buminya berguncang dahsyat ketika mendapati bukan namanya yang disebutkan. Tetapi nama gadis seumuran jagung. Ia tidak kecewa. Tetapi ia sangat kecewa. Mukanya jatuh seiring dengan harga dirinya sebagai juara permanen. Singgasana kebesaran runtuh berkeping-keping.
“Aku harus menang. Bagaimanapun caranya. Smarta hanya masalah kecil. Disana sisanya Bally menunggu poin.” Donita mendesah.
*****
Asli! Mandek idenya....bagi teman2 yang berminat ngelanjutin atau punya ide lanjutannya gimana,  inbox ke ssupardi2@gmail.com  ya....thanx a lot

0 Messages:

Posting Komentar

 
;