Pantas jika ia membanggakan diri
atas nama pengalaman serta track record
tahun-tahun sebelumnya. Ms. Donita, 45 tahun, pemegang gelar Teacher of the
Year selama 10 tahun berturut-turut sejak ajang ini digelar. Guru matematika
itu terkenal keras serta disiplin tingkat tinggi. Dimana jaman ini siswa tidak
lagi banyak yang hormat dan segan pada guru-guru mereka, tetapi tidak terjadi
pada wanita itu. Ia tetap menjunjung karakter dan nilai-nilai pendidikan.
Sering di hujat dan dibenci oleh siswa yang berotak dibawah rata-rata karena
tidak ada toleransi, namun sertifikat sebagai guru teladan hampir memenuhi
dinding-dinding rumahnya. Hanya sayang, tahun lalu, ia harus rela melepaskan
gelar tersebut pada seorang guru muda. Itu membuatnya jengkel. Tahun ini ia
kembali berambisi untuk mengembalikan dimana gelar itu seharusnya disematkan.
*****
Adalah
Ms. Smarta Nisa. Guru Bahasa Indonesia itu hadir memunggungi prestasi akademik
yang mencengangkan. Selain itu, masa abdinya yang masih dalam status honorer,
berjalan baru setahun sudah mampu membawa sekolah itu sebagai perwakilan daerah
di ajang seni dan sastra Indonesia tingkat nasional. Ceria, tegas, elegan dan
ramah itulah karakter yang melekat padanya. Semua siswa menyukainya, bahkan
beberapa guru laki-laki sering melirik ke arahnya. Tak salah bukan jika tahun
itu ia menyabet gelar Teacher of The Year. Untuk pemilihan tahun ini, ia bahkan
sedikit dipaksa untuk bersedia mengajukan diri sebagai salah satu nominator.
*****
Seleksi
terus berlanjut, hingga memunculkan nama Mr. Bally Setiawan. Kepiawaiannya
menangani siswa-siswa bermasalah di sekolah patut diacungi jempol. Gaya
komunikasi yang fleksibel dan mudah bergaul itu modal utama yang dimilikinya.
Tentunya disamping rupa yang membuat para siswi histeris dan bermimpi untuk
menjadi pendamping hidupnya. Guru muda BK itu tidak hanya pasang tampang dalam
karirnya, profesional adalah prinsipnya. “Setiap orang berhak untuk bahagia.
Bolehkah saya membantu anda?” itu motto hidupnya. Mencalonkan diri sebagai
Teacher of The Year tahun ini sepertinya bukanlah hal yang berlebihan, bukan?
*****
Ia
merasa dirinya hanya sebagai pelengkap saja. Susah payah sang kepala sekolah
membujuknya agar mau dicalonkan sebagai nominator Teacher of The Year tahun
ini. “Lebih banyak, lebih baik.” Kata Mr. Imtihan. Dan akhirnya Mr. Soegara
mengangguk pelan. Guru Bahasa Inggris itu bertahan pada pandangan pengajar lain
pada cara mengajarnya. Dalam mentransfer ilmu, ia tidak mau setengah-setengah.
Tak jarang ia datang lebih awal ke sekolah hanya untuk sekedar mempersiapkan
perlengkapan pembelajaran. Cita-citanya, siswa yang diajarnya bisa menerima
dengan kualitas terbaik. Ia juga terkadang risih jika harus dibilang
perfeksionis.
*****
Sekolah
bintang masih telalu pagi untuk mulai beraktivitas. Jam dinding yang melekat di
gerbang sekolah berjalan lambat. Belum sampai pukul enam lima belas.
Setibanya
ia di sana, pintu pagar tidak terkunci. Bertanda bahwa pak Burhan dan
rekan-rekannya sudah mulai rutinitas hariannya. Lalu pemuda itu pun membuka
pagar besi sekenanya agar sepeda motor yang membawanya bisa masuk dengan leluasa.
Parkir khusus guru menjadi tujuannya.
Baru
saja akan memasuki ruang guru, ia berpapasan dengan pak Burhan.
“Assalamu’alaikum, gimana kabarnya pak?” Sambil melemparkan senyum terbaiknya.
“Alhamdulillah
baik, pak Soegara.” Lelaki lima puluh tahunan itu menjawab dengan cengirannya.
“Jika
bisa, saya dukung bapak.” Pak Burhan berbicara berbisik seolah takut ketahuan.
Soegara
geli. Tak perlu sembunyi-sembunyi untuk menyatakan dukungan itu. “Terima kasih,
pak.” Ia berucap sambil mendorong daun pintu dihadapannya.
*****
Sengaja
Soegara datang awal ke sekolah hari itu. Perlengkapan pembelajaran harus persiapkannya untuk menunjang pemahaman
kelasnya. Daya tangkap siswa dalam bahasa Inggris masih beragam. Kesenjangannya
sangat kontras antara mereka yang bisa dan “bodoh”. Ia berharap dengan
memasukkan permainan-permainan singkat dalam proses belajar-mengajar dapat
mengurangi jarak itu.
Ditengah
kesibukannya memelototi laptop, suara ketukan terdengar. Pak Burhan datang
dengan segelas kopi dan sepiring gorengan. “Saya beli tadi.” Katanya. Lelaki
itu berlalu tak lama kemudian setelah Soegara mengucap terima kasih.
Aroma
minuman pekat panas begitu menggoda. Soegara menghentikan pekerjaannya.
Menyeruput minumannya setelah sangat sadar bahwa tadi pagi ia tidak sempat
melakukan itu. Perpaduan pas antara kopinya AhSeng dengan tiga sendok teh gula
pasir. Mantap.
Apa
yang ditekuninya tuntas sebelum pukul tujuh tepat. Kepala sekolah, guru dan
siswa bintang sudah mulai berdatangan. Geliat sekolah siap untuk penyebaran
ilmu dari sang pemilik kepada penerima. Profesionalisme dijadikan dasar
pengembangan sekolah bertaraf intenasional tersebut.
*****
Persis
sejak ajang itu mengumumkan nama Smarta sebagai Teacher of The Year, Donita
tidak lagi punya senyum jujurnya. Itu sudah berbaur dengan getir dan muka
sedikit masam. Tidak kepada setiap orang, hanya kepada sang perebut gelar
tahunannya itu. Namun, Smarta Nisa tidak terlalu memikirkan hal tersebut. Ia
berinteraksi secara wajar dengan wanita paruh baya itu. Meskipun sering yang
diajak bicara jelas menjaga jarak.
Juga
seperti kali itu. Tak diduga mereka harus beriringan menuju ruang guru.
“Bagaimana
kabarnya, bu?” Smarta menyapa dengan senyum memukaunya. Wajah putih bersih dan
sempurnanya membuat siapapun, terutama para siswa tak sabar untuk menjawab
salamnya.
“Alhamdulillah,
baik.” Jawab Donita ketus dan sedikit dipaksakan.
Lalu
mereka berjalan tanpa melanjutkan pembicaraan. Begitu saja hingga memasuki
ruangan dan duduk di kursi masing-masing. Setibanya dimejanya, Donita langsung
sibuk meraih cermin kecil dari tas jinjingnya. Mengamati barang kali ada
binatang nakal yang tertarik bermukim di wajahnya. Beruntung, tidak ada.
Diam-diam ia melirik sinis ke arah Smarta. Sementara
itu, Smarta menunjukkan keterkejutan yang pura-pura dibuatnya ketika mengetahui
Soegara sudah ada diruangan.
“Assalamu’alaikum,
sir. Wah-wah, pagi-pagi sudah datang. Ada apa ini?”
Padahal
Smarta sudah sangat hafal bahwa guru bahasa Inggris itu selalu menjadi nomor
wahid dalam hal kehadiran di sekolah. Paling telat menduduki nomor dua.
“Alhamdulillah,
baik girl.”
Soegara menatap lekat ke arah
guru bahasa Indonesia tersebut. Menyangga dagunya dengan kedua telapak tangan.
Siapa yang belum pernah melihat kebiasaan itu akan mengira bahwa Soegara tengah
menggoda Smarta.
“Jangan menatapku seperti itu
lagi!. Ingat, bapak guru telah berjanji kemarin.”
Soegara tertawa lepas.
Melemaskan otot-otot serta otaknya yang dipaksa untuk bekerja terlalu banyak.
Lalu ia pun berlalu keluar.
Sebelum mencapai pintu, Smarta
memanggil Soegara, “aku dukung bapak guru deh.”
Soegara berpaling.
“No..no..no..Kita bersaing.” Katanya. Kemudian menghilang dibalik pintu.
*****
Pergelaran Teacher of The Year
tahun ini di SMA Bintang di lakukan berbeda. Sebelumnya, pemilihan langsung
oleh Kepala Sekolah beserta empat wakilnya. Para kandidat terpilih akan
dikualifikasi lagi berdasarkan prestasi pengajaran dan diluar pengajaran.
Kali ini mereka akan menggandeng
elemen sekolah lainnya, yaitu Osis dan eskul seni dan budaya. Tugas Kepala
sekolah beserta wakilnya hanyalah menentukan kandidat yang layak untuk
dijadikan nominator.
*****
Riuh rendah dari perbincangan
hingga tawa terpingkal-pingkal terdengar di Kantin Camar. Hot news yang
diangkas mengerucut ke satu topik. Teacher of The Year.
“Kamu, Burq?”
Burqa White, gadis indo itu
sibuk memutar-mutar penyedot didalam gelas tinggi berisi jus mangga.
Menyipitkan matanya mendengar pertanyaan Dion.
Lalu jawabnya, “Kita? jelas mendukung
yang paling ganteng dong.”
“Mr. Bally, aku datang.” Burqa merentangkan tangan sambil
matanya terpejam.
“Sama.” Leni menimpali.
“Sepertinya Ms. Smarta dan Mr.
Bally yang diunggulkan. Ms. Donita? Ah, lewat. Masa keemasannya sudah berlalu.”
Jay berucap.
“Perfect!” Dion mengacungkan
jempol ke arah Jay.
Leni menengahi, “Mr. Soe? Rasa salut
menggugah keinginanku juga untuk mendukungnya.”
“Terserah!”
“Ehem..ehem…” Sosok Bally
Setiawan muncul dibelakang Burqa. Gadis itu kelabakan. Mukanya memerah seketika.
Namun sang guru melemparkan senyum yang membuat jantung Burqa hampir lepas.
Denyutnya mengencang.
“Eh, bapak.”
“Boleh saya duduk disini.”
Semua setuju. Dion, Burqa, Leni
dan Jay duduk merapat memberikan ruang kepada guru BK itu untuk mendapatkan
tempat duduk. Guru itu tepat duduk berhadapan dengan Burqa.
“Sepertinya ada yang tengah
membicarakan saya tadi.”
Jay menetralkan suasana. “Tenang
saja pak. Kami mendukung bapak.”
“Terima kasih anak muda. Tidak
perlu dilebih-lebihkan hal ini. Siapapun yang terpilih nantinya, itu adalah
yang terbaik. Betulkan?”
Burqa perlahan menjawab, “itu
bapak sendiri.”
*****
Akhir-akhir ini hujan sering
kali mengguyur bumi dimana SMA bintang bernaung. Seharusnya mendinginkan raga,
tetapi tidak dengan Donita. Ia merasa gerah luar dalam. Jelas ia tidak ingin
kecolongan lagi tahun ini. Semakin merasa dihimpit oleh sistem pemilihan yang
melibatkan siswa langsung. Dapat diterka, banyak siswa yang tidak menyukainya.
“Ah. Memang apa sih untungnya
gelar itu?” Ia bertanya pada dirinya sendiri.
Hatinya juga menjawab, “gengsi.”
Itulah dia. Donita lelah
memikirkan kata itu. Kata yang membuat tidurnya tidak lagi punya mimpi.
Makannya hanya sampai ditenggorokan. Bahkan ia tidak lagi kenal pasti antara
sang maupun malam.
Donita masih ingat ketika ia
sangat bersemangat di podium tahun lalu. Ia rela merengguh kocek lebih dalam
untuk membeli kostum terpajang di etalase sebuah toko. Khusus ia beli untuk
menerima penghargaan hari itu. Lalu buminya berguncang dahsyat ketika mendapati
bukan namanya yang disebutkan. Tetapi nama gadis seumuran jagung. Ia tidak
kecewa. Tetapi ia sangat kecewa. Mukanya jatuh seiring dengan harga dirinya
sebagai juara permanen. Singgasana kebesaran runtuh berkeping-keping.
“Aku harus menang. Bagaimanapun
caranya. Smarta hanya masalah kecil. Disana sisanya Bally menunggu poin.”
Donita mendesah.
*****
Asli! Mandek idenya....bagi teman2 yang berminat ngelanjutin atau punya ide lanjutannya gimana, inbox ke ssupardi2@gmail.com ya....thanx a lot
0 Messages:
Posting Komentar