Rabu, 18 April 2012

Anggrek Putih



 “Kita berbisnis.”
Baru disadari sepenuhnya bahwa tidak ada pilhan ketiga. Lama matanya tertahan pada langit yang membumbung tinggi. Seolah menanti adanya mukjizat dari sana. Nihil. Pilihan itu tetap sama. Pengorbanannya adalah kebaikan bagi dia disana. Pengorbanannya juga akan menghilangkan dirinya diatas permukaan. Ia akan pergi untuk selama-lamanya.
Sang pemberi tawaran terus nyengir sinis kemenangan. Tampuk kekuasaan ada ditangannya saat ini. Wanita itu merasa telah melakukan sebuah kebijakan yang paling bijak. Walaupun ia tahu sendiri itu akan menghancurkan laki-laki dihadapannya. Namun mana ia peduli untuk hal itu lagi. Kepemilikan sepenuhnya atas lelaki itu adalah cita-citanya. Dan sekarang kesempatan itu terbuka luas. “Kesempatan kadang tidak datang untuk kedua kalinya.” Pikirnya.
“Bagaimana?” Diana sedikit mendesak. Menunggu jawaban terlalu lama membuatnya tidak kerasan. Itu bukanlah tipenya. Tinggal mengangguk atau menggeleng yang ia maksudkan. Apa susahnya untuk melakukan itu.
Zahir menggangguk. Lalu memalingkan muka sambil berucap, “permintaan terakhirku”.
“Apa itu?”
*****
"Baru aku tahu bahwa kau suka anggrek putih. “
Zahir terus saja mengajak berbicara sosok yang tergolek diatas kasur. Tanpa memperdulikan ucapannya didengar atau tidak. Ia tetap mengoceh. Zahir hanya melakukan saran dari dokter. “Itu akan membantu proses kesembuhannya.” Kata dr. Kamal beberapa waktu yang lalu. Setelah respon yang ditunjukkan oleh Dimitria ketika mendengar suara Zahir.
“Bisa kah kau mencium baunya?”
Sambil terpejam Zahir mendekatkan hidungnya pada anggek yang baru saja disiramnya. Lalu memalingkan pandangannya pada Dimitria. Ia mendesah. Jujur, ia berharap ketika ia membuka matanya saat itu, Dimitria terbangun dan memanggil namanya.
Zahir berjalan menghampiri Dimitria. “Apakah kau bisa mendengarku Dim?”
Sunyi senyap. “Ku harap kau bisa mendengarku.” Tukasnya perlahan.  
Tak lama setelah itu, melangkah pergi. Yang dilihatnya tadi malam tertinggal dibawah selimutnya. Ia bermimpi Dimitria bahkan sudah bisa duduk sendiri. Tanpa bantuan sesiapapun. Mengucapkan terima kasih kepadanya. Dan ia mengucapkan tidak apa-apa. Terbangun ketika mengetahui Diana menunggunya diluar.
Zahir sudah tidak ada lagi diruang A2 tersebut. Seandainya saja lebih lama disana, ia akan melihat Dimitria menggerakkan jari telunjuknya perlahan. Tapi sayang, hanya anggrek putih bisu yang menjadi saksi keajaiban yang diharapkan oleh Zahir itu.
*****
Rasanya sudah lama sekali aku tidak mendengar suaranya. Kemana ia pergi? Biasanya  ia akan datang menyapaku. Kenapa tidak hari ini? Marah, kecewa atau putus asa? Aku maklum jika itu yang rasakannya. Aku bahkan tidak bisa untuk menggerakkan anggota tubuhku hanya untuk menunjukkan bahwa aku mendengarnya.
Zahir?
Terdengar kenop pintu di tekan dari luar. Seiring dengan itu juga terdengar langkah kaki menghampiri.
Zahir? Zahir, kau kah itu?”
Dimitria merasakan belaian telapak tangan diatas ubun-ubunnya.
Bukan, itu bukan Zahir. Zahir bahkan tidak pernah menyentuhku. Kecuali ketika membawaku dari tempat kejadian itu menuju rumah sakit ini. Lalu siapa? Ibu? Kulitnya terasa lebih halus. Itu pasti bukan ibu. Ibu tidak pernah menggunakan parfum seperti ini. Siapa kamu?
Belaian itu disudahi sesaat kemudian. Langkah kakinya menjauh dan terhenti sebuah sudut dimana Zahir biasa mengajaknya berbicara tentang anggrek putih.
Orang itu menuju anggrek putih tanaman Zahir. Apakah dia juga menyukai bunga tersebut. Tetapi kenapa ia sama sekali tidak bersuara. Ayo orang asing, perdengarkan suaramu!
Dari situ, langkah itu menuju pintu. Kembali terdengar kenop pintu diputar. Lalu tertutup kemudian. Orang itu pergi begitu saja.
Apa maksudnya?
*****
Diruang itu ada ibunya yang tidak henti-hentinya berucap syukur. Wajahnya tersungkur untuk bersujud ketika didapatinya Dimitria membuka mata. Air matanya merambat hingga ke baju. Berkali-kali disekanya, tetapi persediaan itu tampaknya masih banyak. Ia tumpahkan  untuk menyambut kesembuhan putrinya.
Tak kurang dengan ayahnya. Berkali-kali pula ia mengecup kening semata wayang. Membelai rambut anaknya yang hanya saat seperti ini tidak di hijabi. Setelah tadi juga ikut bersujud.
Susah payah Dimitria untuk mengulas senyum. Otot-otot di mukanya jelas kaku setelah berbulan-bulan tidak digerakkan. “Ibu, ayah…” Panggilnya kemudian.
Haru biru menyelimuti. Kebahagiaan mengisi semua relung hati. Dimitria, ibu dan juga ayahya. Dari kejauhan terdengar panggilan. Undangan Tuhan kepada semua hamba agar merendahkan diri menuju Rumahnya. Ayahnya pamit untuk beranjak memenuhi panggilan itu.
Syukur Alhamdulillah ya Rabb atas kesempatan kedua ini.
Tidak lengkap rasanya ketika tanpa kehadiran seseorang yang telah berkorban banyak untuk kesembuhannya disana. Dimitria menjejaki setiap ruangan dan tertahan pada Anggrek putih di dekat jendela. Baru ia tahu bahwa bunganya sudah mulai layu. 
Tiap detik adalah penantiannya. Doanya, Zahir tiba dari balik pintu dan menanyakan kabarnya. Namun detik terus bergulir.  Penantian itu berubah menjadi kekecewaan. Tertuang dalam muka murung Dimitria. Dan ibunya peka.
Sambil tertuju pada arah yang sama, ibunya menghibur, “ibu tadi sudah mencoba menghubunginya. Tetapi tidak diangkat. Ibu sudah mengirimkan pesan, kok.  Zahir, kita banyak berhutang budi padanya, nak ”
Memerah muka Dimitria hatinya tertangkap basah. Kembali senyum diulasnya sebagai jawaban terima kasih. “Beberapa hari belakangan ini ia juga tidak pernah datang lagi.”
“Maaf, ibu tidak merawat bungamu dengan baik.”
Dimitria menggelengkan kepalanya pelan.
“Ibu yakin, sebentar lagi ia akan kesini, Dim.”
Sambil membetulkan selimut di atas tubuh Dimitria, “lapar?” Ibunya menawarkan.
*****
Akhirnya, engkau menijabah doa hamba ya Rabb…
Diakhir shalatnya Zahir tidak putus-putusnya melafazkan syukurnya. Matanya berkaca-kaca. Kepalanya menunduk. Pengorbanannya berbuah. Dan esok, ia akan menjadi sosok baru. Status baru pula. Tidak lagi menjadi Zahir yang melajang. Tetapi akan menjadi bagian keluarga Diana. Itulah pernjanjiannya.
Diana rela mengeruk koceknya untuk pembiayaan Dimitria di Rumah Sakit. Itu kata lain dari Diana telah membeli dirinya. Membeli? Ah, kata apa yang lebih baik dari itu. Karena itu faktanya. Dan Zahir telah bertransaksi dengannya. Jika bisa dikatakan, Zahir menjual cintanya.
Sulit memang. Ungkapan cinta tidak harus memiliki sukar untuk ditolerir olehnya. Toh hati kecilnya tetap berbicara, bahwa ia hanya mencintai wanita itu. Dimitria.
Sebuah panggilan masuk memecah lamunan Zahir. Menyadarkannya kembali bahwa semuanya telah berakhir. Bisnis mereka berujung dipelaminan esok. Meskipun akan hidup tanpa cinta pada awalnya, tetapi Zahir tetap berusaha memberikan cinta terbaiknya pada istrinya kelak. “Mungkin ini jodoh terbaik buatku.” Hatinya meyakinkan.
“Assalamu’alaikum, Diana.”
“Ya, ya.” Sesekali Zahir mengangguk. Mengiyakan apa saja yang Diana sarankan di seberang sana. Telepon ditutup tidak lama setelahnya. Dada Zahir terasa sesak dan badannya rebah seketika.
*****
“Tidak perlu menyiksa diri seperti ini, Dim.”
Ibunya menemuinya di kamar. Ingin menanyakan perihal keputusannya atas pemuda dan kedua orang tuanya yang ada di ruang tamu.
“Yang lalu biarlah berlalu. Apakah kau ingin menghakimi Allah atas pernikahan Zahir. Wanita itu adalah jodohnya. Dan kita tidak tidak bisa berbuat apa-apa. Allah maha tahu yang terbaik untuk hambanya.”
Dimitria tetap diam. Lalu memeluk ibunya dengan deraian air mata. “Tapi kenapa harus seperti ini? Kenapa ia tidak membiarkan saja aku tetap dipembaringan? Kenapa ia harus menanggung biaya operasi itu? Kenapa bu?”
“Setiap orang punya alasan yang tidak bisa untuk dinyatakan. Termasuk pada Zahir. Kita sama-sama tahu bahwa ia juga mencintaimu bukan?”
Dimitria mengangguk.
“Dim, lihat ibu.” Ibunya menangkupkan kedua telapak tangan dimuka Dimitria.
“Ardhi akan menjadi pemuda ketiga yang kau tolak seandainya keputusanmu sama. Jujur, ibu tidak mau itu.  Kau harus melepas diri dari jeratan ini. Keluarkan dirimu. Karena hanya kau yang bisa membebaskan dirimu sendiri.”
Tatapan Dimitria dan ibunya terus beradu. Dan akhirnya anggukan pelan yang Dimitria pilih. Mereka berpelukan kemudian.
*****
Zahir sudah benar-benar hampir melupakan cintanya pada Dimitria. Tidak seperti yang diperkirakannya dahulu, Diana bahkan telah berubah. Sosok wanita sholehah mungkin bisa di sematkan padanya. Proses itu membutuhkan waktu. Dan Zahir berhasil membangun sebuah keluarga Samara. Ia baru menyadari bahwa rahasia Allah itu nyata. Apa yang kita pandang baik, belum tentu baik pula dihadapan Allah.
Zahir menuruni undakan terakhir. “Ummi, pesanan bu Jamil sudah diantar?”
Diana menoleh ke arah suaminya, “Sebentar lagi Joel akan datang, bi. Sekalian mengantarkan bunga pesanan lainnya”
“oh..”
Zahir berbalik menaiki tangga menuju ruang kantornya. Tiba-tiba dua orang membuka pintu tokonya.
“Assalamu’alaikum. Permisi. Anggrek putih ada mbak?”
Langkah Zahir terhenti mendengar suara itu. Ia menelan ludah. Pandangannya ke arah sumber suara. “Dim….”



0 Messages:

Posting Komentar

 
;