“Kita berbisnis.”
Baru disadari
sepenuhnya bahwa tidak ada pilhan ketiga. Lama matanya tertahan pada langit
yang membumbung tinggi. Seolah menanti adanya mukjizat dari sana. Nihil.
Pilihan itu tetap sama. Pengorbanannya adalah kebaikan bagi dia disana.
Pengorbanannya juga akan menghilangkan dirinya diatas permukaan. Ia akan pergi
untuk selama-lamanya.
Sang pemberi
tawaran terus nyengir sinis kemenangan. Tampuk kekuasaan ada ditangannya saat
ini. Wanita itu merasa telah melakukan sebuah kebijakan yang paling bijak.
Walaupun ia tahu sendiri itu akan menghancurkan laki-laki dihadapannya. Namun
mana ia peduli untuk hal itu lagi. Kepemilikan sepenuhnya atas lelaki itu
adalah cita-citanya. Dan sekarang kesempatan itu terbuka luas. “Kesempatan
kadang tidak datang untuk kedua kalinya.” Pikirnya.
“Bagaimana?”
Diana sedikit mendesak. Menunggu jawaban terlalu lama membuatnya tidak kerasan.
Itu bukanlah tipenya. Tinggal mengangguk atau menggeleng yang ia maksudkan. Apa
susahnya untuk melakukan itu.
Zahir
menggangguk. Lalu memalingkan muka sambil berucap, “permintaan terakhirku”.
“Apa itu?”
*****
"Baru aku
tahu bahwa kau suka anggrek putih. “
Zahir terus
saja mengajak berbicara sosok yang tergolek diatas kasur. Tanpa memperdulikan
ucapannya didengar atau tidak. Ia tetap mengoceh. Zahir hanya melakukan saran
dari dokter. “Itu akan membantu proses kesembuhannya.” Kata dr. Kamal beberapa
waktu yang lalu. Setelah respon yang ditunjukkan oleh Dimitria ketika mendengar
suara Zahir.
“Bisa kah kau
mencium baunya?”
Sambil
terpejam Zahir mendekatkan hidungnya pada anggek yang baru saja disiramnya.
Lalu memalingkan pandangannya pada Dimitria. Ia mendesah. Jujur, ia berharap
ketika ia membuka matanya saat itu, Dimitria terbangun dan memanggil namanya.
Zahir berjalan
menghampiri Dimitria. “Apakah kau bisa mendengarku Dim?”
Sunyi senyap.
“Ku harap kau bisa mendengarku.” Tukasnya perlahan.
Tak lama
setelah itu, melangkah pergi. Yang dilihatnya tadi malam tertinggal dibawah
selimutnya. Ia bermimpi Dimitria bahkan sudah bisa duduk sendiri. Tanpa bantuan
sesiapapun. Mengucapkan terima kasih kepadanya. Dan ia mengucapkan tidak
apa-apa. Terbangun ketika mengetahui Diana menunggunya diluar.
Zahir sudah
tidak ada lagi diruang A2 tersebut. Seandainya saja lebih lama disana, ia akan
melihat Dimitria menggerakkan jari telunjuknya perlahan. Tapi sayang, hanya
anggrek putih bisu yang menjadi saksi keajaiban yang diharapkan oleh Zahir itu.
*****
Rasanya sudah lama sekali aku tidak
mendengar suaranya. Kemana ia pergi? Biasanya
ia akan datang menyapaku. Kenapa tidak hari ini? Marah, kecewa atau
putus asa? Aku maklum jika itu yang rasakannya. Aku bahkan tidak bisa untuk
menggerakkan anggota tubuhku hanya untuk menunjukkan bahwa aku mendengarnya.
Zahir?
Terdengar
kenop pintu di tekan dari luar. Seiring dengan itu juga terdengar langkah kaki
menghampiri.
Zahir? Zahir, kau kah itu?”
Dimitria
merasakan belaian telapak tangan diatas ubun-ubunnya.
Bukan, itu bukan Zahir. Zahir bahkan tidak
pernah menyentuhku. Kecuali ketika membawaku dari tempat kejadian itu menuju
rumah sakit ini. Lalu siapa? Ibu? Kulitnya terasa lebih halus. Itu pasti bukan
ibu. Ibu tidak pernah menggunakan parfum seperti ini. Siapa kamu?
Belaian itu
disudahi sesaat kemudian. Langkah kakinya menjauh dan terhenti sebuah sudut
dimana Zahir biasa mengajaknya berbicara tentang anggrek putih.
Orang itu menuju anggrek putih tanaman
Zahir. Apakah dia juga menyukai bunga tersebut. Tetapi kenapa ia sama sekali
tidak bersuara. Ayo orang asing, perdengarkan suaramu!
Dari situ,
langkah itu menuju pintu. Kembali terdengar kenop pintu diputar. Lalu tertutup
kemudian. Orang itu pergi begitu saja.
Apa maksudnya?
*****
Diruang itu
ada ibunya yang tidak henti-hentinya berucap syukur. Wajahnya tersungkur untuk
bersujud ketika didapatinya Dimitria membuka mata. Air matanya merambat hingga
ke baju. Berkali-kali disekanya, tetapi persediaan itu tampaknya masih banyak.
Ia tumpahkan untuk menyambut kesembuhan
putrinya.
Tak kurang
dengan ayahnya. Berkali-kali pula ia mengecup kening semata wayang. Membelai
rambut anaknya yang hanya saat seperti ini tidak di hijabi. Setelah tadi juga
ikut bersujud.
Susah payah
Dimitria untuk mengulas senyum. Otot-otot di mukanya jelas kaku setelah
berbulan-bulan tidak digerakkan. “Ibu, ayah…” Panggilnya kemudian.
Haru biru
menyelimuti. Kebahagiaan mengisi semua relung hati. Dimitria, ibu dan juga
ayahya. Dari kejauhan terdengar panggilan. Undangan Tuhan kepada semua hamba
agar merendahkan diri menuju Rumahnya. Ayahnya pamit untuk beranjak memenuhi
panggilan itu.
Syukur Alhamdulillah ya Rabb atas kesempatan
kedua ini.
Tidak lengkap
rasanya ketika tanpa kehadiran seseorang yang telah berkorban banyak untuk
kesembuhannya disana. Dimitria menjejaki setiap ruangan dan tertahan pada
Anggrek putih di dekat jendela. Baru ia tahu bahwa bunganya sudah mulai
layu.
Tiap detik
adalah penantiannya. Doanya, Zahir tiba dari balik pintu dan menanyakan kabarnya.
Namun detik terus bergulir. Penantian
itu berubah menjadi kekecewaan. Tertuang dalam muka murung Dimitria. Dan ibunya
peka.
Sambil tertuju
pada arah yang sama, ibunya menghibur, “ibu tadi sudah mencoba menghubunginya.
Tetapi tidak diangkat. Ibu sudah mengirimkan pesan, kok. Zahir, kita banyak berhutang budi padanya,
nak ”
Memerah muka
Dimitria hatinya tertangkap basah. Kembali senyum diulasnya sebagai jawaban
terima kasih. “Beberapa hari belakangan ini ia juga tidak pernah datang lagi.”
“Maaf, ibu
tidak merawat bungamu dengan baik.”
Dimitria
menggelengkan kepalanya pelan.
“Ibu yakin,
sebentar lagi ia akan kesini, Dim.”
Sambil
membetulkan selimut di atas tubuh Dimitria, “lapar?” Ibunya menawarkan.
*****
Akhirnya, engkau menijabah doa hamba ya
Rabb…
Diakhir
shalatnya Zahir tidak putus-putusnya melafazkan syukurnya. Matanya
berkaca-kaca. Kepalanya menunduk. Pengorbanannya berbuah. Dan esok, ia akan
menjadi sosok baru. Status baru pula. Tidak lagi menjadi Zahir yang melajang.
Tetapi akan menjadi bagian keluarga Diana. Itulah pernjanjiannya.
Diana rela
mengeruk koceknya untuk pembiayaan Dimitria di Rumah Sakit. Itu kata lain dari
Diana telah membeli dirinya. Membeli? Ah, kata apa yang lebih baik dari itu.
Karena itu faktanya. Dan Zahir telah bertransaksi dengannya. Jika bisa
dikatakan, Zahir menjual cintanya.
Sulit memang. Ungkapan
cinta tidak harus memiliki sukar untuk ditolerir olehnya. Toh hati kecilnya
tetap berbicara, bahwa ia hanya mencintai wanita itu. Dimitria.
Sebuah
panggilan masuk memecah lamunan Zahir. Menyadarkannya kembali bahwa semuanya
telah berakhir. Bisnis mereka berujung dipelaminan esok. Meskipun akan hidup
tanpa cinta pada awalnya, tetapi Zahir tetap berusaha memberikan cinta
terbaiknya pada istrinya kelak. “Mungkin ini jodoh terbaik buatku.” Hatinya
meyakinkan.
“Assalamu’alaikum,
Diana.”
“Ya, ya.”
Sesekali Zahir mengangguk. Mengiyakan apa saja yang Diana sarankan di seberang
sana. Telepon ditutup tidak lama setelahnya. Dada Zahir terasa sesak dan
badannya rebah seketika.
*****
“Tidak perlu
menyiksa diri seperti ini, Dim.”
Ibunya
menemuinya di kamar. Ingin menanyakan perihal keputusannya atas pemuda dan
kedua orang tuanya yang ada di ruang tamu.
“Yang lalu
biarlah berlalu. Apakah kau ingin menghakimi Allah atas pernikahan Zahir.
Wanita itu adalah jodohnya. Dan kita tidak tidak bisa berbuat apa-apa. Allah
maha tahu yang terbaik untuk hambanya.”
Dimitria tetap
diam. Lalu memeluk ibunya dengan deraian air mata. “Tapi kenapa harus seperti
ini? Kenapa ia tidak membiarkan saja aku tetap dipembaringan? Kenapa ia harus
menanggung biaya operasi itu? Kenapa bu?”
“Setiap orang
punya alasan yang tidak bisa untuk dinyatakan. Termasuk pada Zahir. Kita
sama-sama tahu bahwa ia juga mencintaimu bukan?”
Dimitria
mengangguk.
“Dim, lihat
ibu.” Ibunya menangkupkan kedua telapak tangan dimuka Dimitria.
“Ardhi akan
menjadi pemuda ketiga yang kau tolak seandainya keputusanmu sama. Jujur, ibu
tidak mau itu. Kau harus melepas diri
dari jeratan ini. Keluarkan dirimu. Karena hanya kau yang bisa membebaskan
dirimu sendiri.”
Tatapan
Dimitria dan ibunya terus beradu. Dan akhirnya anggukan pelan yang Dimitria
pilih. Mereka berpelukan kemudian.
*****
Zahir sudah
benar-benar hampir melupakan cintanya pada Dimitria. Tidak seperti yang
diperkirakannya dahulu, Diana bahkan telah berubah. Sosok wanita sholehah
mungkin bisa di sematkan padanya. Proses itu membutuhkan waktu. Dan Zahir
berhasil membangun sebuah keluarga Samara. Ia baru menyadari bahwa rahasia
Allah itu nyata. Apa yang kita pandang baik, belum tentu baik pula dihadapan
Allah.
Zahir menuruni
undakan terakhir. “Ummi, pesanan bu Jamil sudah diantar?”
Diana menoleh
ke arah suaminya, “Sebentar lagi Joel akan datang, bi. Sekalian mengantarkan
bunga pesanan lainnya”
“oh..”
Zahir berbalik
menaiki tangga menuju ruang kantornya. Tiba-tiba dua orang membuka pintu
tokonya.
“Assalamu’alaikum.
Permisi. Anggrek putih ada mbak?”
Langkah Zahir
terhenti mendengar suara itu. Ia menelan ludah. Pandangannya ke arah sumber
suara. “Dim….”
0 Messages:
Posting Komentar