"Anak manis, apa yang kau lakukan disini?"
Dia menghampirinya setelah mematikan mesin kendaraan. Beruntung, sungguh beruntung sekali anak itu karena raganya tidak terlindas oleh kendaraan yang lalu lalang. "Oh, ada apa gerangan?" tanyanya beruntun.
Bungkam. Hanya air mata yang tertahan di pelupuk matanya sebagai jawaban. Yang entah berapa lama lagi ia sanggup menahannya sebelum tumpah ruah ke jalan aspal yang mulai panas.
Sebelum akhirnya pecah juga tangis anak itu, "mati, aku ingin mati! hu...hu..."
Mati! aduh kenapa ingin mati pula. Bau saja masih seperti kencur. Anak kecil, dunia masih luas belum kau jelajahi. Andai saja mati yang kau inginkan itu seperti ikan goreng, aku akan membelikanmu saja di warung makan. Di restoran padang bila perlu.
Dia meringis saat mengucapkan kata-kata itu dibenaknya.
"Ok, baiklah. Tarik nafas perlahan, dan buang pelan-pelan."
Anak itu terhipnotis hingga menurut saja.
"Sekarang bagaimana, apakah kamu masih ingin mati?" tanyanya khawatir. Anggukan kecil yang dia dapatkan sebagai jawaban.
Sementara itu, tak terhitung lagi banyaknya sepeda motor bersileweran diantara mereka. Sesekali truk dengan muatan batu kong juga melintas. Satu kesamaan diantaranya para pengemudi maupun penumpangnya adalah tatapan heran. Heran melihat pemuda itu berbicara pada anak itu di tengah jalan.
Akhirnya mereka menepi juga. Dari situlah si pemuda berupaya mengorek sebab musabab anak itu ingin mengakhiri nyawanya secara tragis. Sungguh sadis, pikir pemuda tersebut.
Tanyanya pelan sambil menepis debu jalan yang menempel pada anak malang tersebut, "memangnya kenapa kau ingin mati?"
Ia sesenggukan, "ibu meninggalkanku..." katanya tidak berlanjut.
Oh kasus yang sangat memprihatinkan rupanya terjadi juga dihadapannya kini. Dia sangka itu hanya terjadi diberita-berita dalam televisi. Seorang ibu yang tega menelantarkan darah dagingnya sendiri. Menitipkan penjagaan pada tong sampah atau menaruhnya di depan rumah warga. Kemana larinya rasa iba yang dikaruniakan Allah pada diri seorang wanita? Dunia eh dunia, semakin renta.
Mencoba berempati, "saya turut prihatin. Apa kau tahu kemana ibumu pergi, nak?"
Ia membisu.
Dia mencoba masuk ke relung hati sang anak dari sisi lain. "Bagaimana dengan ayahmu?" tanyanya kemudian.
Ada jeda beberapa saat sebelum pertanyaan itu terjawab lesu, "ibu tidak pernah bilang siapa ayahku?"
Haruskah dia bilang "waw"? Cerita apa lagi ini? Seorang anak tidak lagi perlu mengetahui siapa ayah kandungnya sendiri. Paling tidak itulah versi si ibu anak dihadapannya.
Saat dia menengadah ke langit, awan mulai berarak menjadi satu. Angin membawanya sebagai tanda fenomena alam bernama hujan. Barangkali, ya, hujan memang sudah tidak bertandang dengan lebat selama sebulan ini. Semoga saja.
Kembali fokus ke lawan bicaranya, pemuda tersebut bertanya tanpa bosannya, "ini memang menyulitkan, tapi bisa kita mulai dari awal. Baiklah, dimana terakhir kali kamu melihat ibumu. Atau dimana ibumu meninggalkanmu?"
Anak itu menunjuk ke semak belukar tepat setelah bibir parit pembatas jalan. Dia mengernyit melihat itu.
"Sana?"
"Setiap pagi, aku dan ibu biasanya jalan-jalan santai. Selalu seperti itu. Aku juga tidak pernah bertanya padanya siapa ayahku. Ku pikir, ibu juga tidak tahu. Kau mungkin mengiranya ia seorang betina jalang, namun bagiku ibu adalah segalanya."
Anak itu berhenti sejenak.
"Sampai tiba-tiba sebuah benda melaju tepat ketika kami hendak menyeberang. Tidak ada tanda-tanda benda itu berhenti, sementara kami terlanjur sudah di tengah. Dan...dan aku hanya memejamkan mata. Ibu berteriak histeris. Lalu senyap. Sungguh, aku tidak sanggup membuka mata. Yang berkelebat dibayanganku adalah tubuh ibu remuk bersimbah darah. Oh, ibu...hu..hu.."
Ia menyedot ingusnya dalam.
"Lalu?" tanya pemuda itu lagi.
"Tak ada yang bisa kulakukan selain membuka mata pelan-pelan. Yang pertama kulihat persis yang ku bayangkan, darah bersimbah dimana-mana. Hanya saja, jasad ibu tidak ada. Ku lihat manusia itu dengan angkuhnya memincing ibu diantara jemarinya. Ibu tergolek menatap ke arahku. Tatapannya kosong. Manusia itu secepat kilat melemparkan ibu ke semak itu...hu..hu..."
Tidak berperike....ah sial, dia menyesali apa yang didengarnya. Mendung kini tidak hanya dilangit tinggi, tetapi sudah datang di dua rongga matanya.
Satu lagi tabrak lari yang tidak akan pernah masuk ke dalam warta para jurnalis. Tidak juga termuat dalam headline koran-koran, apalagi bakal menjadi topik hangat para petinggi negara yang tengah sibuk dengan urusannya sendiri. Karena, cerita ini hanyalah tentang seorang anak yang kehilangan ibunya. Ah, kasus seperti ini sudah terlalu banyak jumlahnya di dalam negeri. Kalah hangatnya dengan kasus korupsi.
"Ayo anak manis. Kita cari ibumu sampai ketemu."
"Ngeooong, ayo." katanya bersemangat berisi kebahagiaan.
Pencarian berbuah. Pemuda itu meninggalkan anak kucing tersebut dalam keadaan melingkar diatas pemakaman ibunya.
Jam ditangan menyadarkannya sesadar-sadarnya. Lima menit lagi, dia harus sudah sampai di gerbang sekolah, kecuali ingin di tutupi pagar besi. Ujian Sekolah, bisakah ia menjawab semuanya soal-soal pagi ini.
Brumm...brum....brumm.....brummm....kendaraan itu melesat. Seragam putih abu-abunya tertarik-tarik ke belakang. Rambutnya pun berkibar liar.
Ngeek!
Seekor katak tergiling oleh ban sepeda motor pemuda tersebut. Tidak ada waktu untuk seremoni berucap minta maaf. Di benaknya cuma ada jarum jam yang tetap berputar.
0 Messages:
Posting Komentar