Ku sebut saja Saran Yang Mengancam.
Itu terlontar dari mulut sang adik kepada kakak lelakinya tadi pagi. Sungguh bertolak belakang dengan acara perpisahan antar saudara pada umumnya. Ya, tentang ini memang jauh, sangat jauh berbeda.
Seharusnya si kakak menetap dengan manis dan baik-baik saja. Toh, sadar kondisi diri seperti apa. Namun, justru kaki dan mulutnya gatal untuk sekedar terkurung di rumah adik perempuannya itu. Menjadikan yang sakit semakin sakit. Sekali datang paling lama tujuh malam atau kurang. Setelah itu minta diantar lagi ke terminal untuk balik ke kampung. Eh, tak lama berselang, datang lagi ke sini. Dan itu terus berulang. Mungkin lebih dari lima kali. Itu yang membuat jengah sang adik. Lantas dengan tiada ekspresi bersalah menyarankan agar tidak kesini lagi. Lelaki itu cuma bisa menjawab "ya" dengan pasrah.
Semuanya kusaksikan dengan mata kepala sendiri.
Memang tiada harmonisasi antara keduanya. Bahkan sejak lama. Kedatangan lelaki itu adalah untuk yang pertama kalinya sejak hampir tiga tahun terakhir. Bisa dibayangkan seperti apa. Keadaan terpaksalah sepertinya yang memaksanya menjejakkan kaki lagi ke rumah itu. Jangan heran kalau tidak ada sambutan hangat atau pura-pura menyambut hangat. Hambarnya sikap tuan rumah tanpa ditutup-tutupi.
Lelaki itu terseok-seok setiap kali melangkah. Tubuh bagian kanannya lumpuh setelah disinggahi strok beberapa bulan silam. Tepatnya ketika ia bekerja di negeri seberang, Malaysia Timur. Beruntung dipulangkan dengan pesangon untuk sekedar berobat. Waktu itu ia hanya bisa tergeletak minta dilayani. Salah satu masa tersulit bagi dia dan orang terdekatnya. Tidak ada istri, karena memang tidak menikah, orang tua angkatpun telah puluhan tahun almarhum. Orang tua kandung sampai sekarang tetap saja menjadi tanda tanya. Meski untuk mengetahui kuburannya dimana, kalau ada yang tahu.
Kurang dari setengah jam yang kami habiskan di jalan. Beliau turun dari jok belakang, lalu ku lepaskan kaitan helm dibawah dagunya. Aku hanya bisa mengantar sampai terminal bis karena harus bekerja. Keponakannya yang biasa mengantar kesana kesal bukan main untuk kali ini. Aku maklum sangat akan hal itu. Terakhir ia melakukannya dengan geregetan luar biasa. Mesti beradu mulut sebentar sebelum mengalah setelahnya. Dan sekarang minta sekali lagi. Oh, tidak untuk "sekali lagi!". Ah, aku hanya menebak.
Aku menolak permintaannya untuk diantar lebih jauh. Ia menepuk-nepuk pahanya. Mengatakan dengan gagu ia punya uang untuk membayar. Aduh, apa maksudnya. Aku mengingatkan diri, "sungguh terlalu jika harus meminta bayaran darinya." Tidak! Tidak sama sekali. Keenggananku bukan pada uang.
Dan ia pun berucap terima kasih. Berlalu dengan kaki ceker ayam. Sendal jepitnya ketinggalan di rumah tadi.....
0 Messages:
Posting Komentar