Sabtu, 09 November 2013

SAHARA, MOM THE HERO

"Mak, Anong daan mao bagi....."
Sahara yang tengah fokus pada piring-piring kotor dihadapannya, bangkit. Membilas tangan penuh sabun, lalu bergegas menuju sumber suara yang semakin gaduh di ruang TV. Anong mulai merengek egois, sementara abangnya, Taro memelas.
"Nong, bagilah makan. Daan boleh keminting dengan abang."

Entah dengar atau tidak, kedua bocah itu tetap dengan pendirian masing-masing. Akhirnya, Sahara turun tangan juga. Sebungkus nasi kuning milik Anong kini setengahnya berpindah tangan. Tangisan si bungsu pecah hampir merontokkan dinding (kalau tidak berlebihan). Taro pula berlari ke teras depan, bergabung dengan teman sebayanya, penuh kemenangan. Sahara beranjak tanpa peduli lagi. Itu, lakonan di rumahnya sehari-hari. Apa herannya?

Kembali menuju tempat cuci piring, langkah wanita berusia awal kepala lima tersebut berhenti. Tepat di kamar gadis mudanya.
"Ckkkkk.............."

Padahal cuma berdua dengan HP di kamar, Adel asyik dengan dunianya sendiri. Baru tersentak saat pintu kamar di buka dengan keras. Dan sesosok manusia menghalangi pintu.

"Ya Allah, Del. Balom jua cuci baju. Nak jadi ape be kau tok e. Kalak siang-siang agek. Ari dah galap yo. Bahari suke nak ujan. Awas mun daan kau cuci baju sekolahmu."

Adel suka menjawab. Tetapi kali ini terhalang lantaran ibunya duluan beranjak ke dapur. Ia kesal bukan main, menatap lekat pada layar empat setengah inci di tangannya lagi. Lagi seru-serunya chating sama seseorang nun disana....Urusan baju? Ah gampang. Ibunya cuma suka membesar-besarkan masalah saja. Apa sih susahnya dengan dua pasang seragam sekolah. Uhhhh!

Belum sempurna Sahara duduk di antara piring-piring kotor lagi, sebuah suara mengguntur. "Ra, bajuku be mane? Dari tadek urang minta, daan diambek-ambekkan!"

Sahara mengaruk kepala di balik kerudung instannya. Sesungguhnya ia tidak perlulah hingga bangkit segala, toh Tino, suaminya terlalu manja untuk dicarikan kemeja buat kondangan. "Tang ambek di lemari ye be. Dah tadek di padahkan di siye," jawab Sahara kesal.
"Sean, tau ke sean? Baju pun simanar lalu nyimpannye."

Wanita itu berjalan lurus menuju kamarnya sendiri. Malas untuk bertengkar melulu, baju yang sejatinya bisa ditemukan dengan hanya membuka lemari, di letakkannya dengan ganas di tempat tidur. Suaminya masuk, ia keluar. Keduanya saling cemberut.

"Care-care Rahmat tok e," kesal Sahara dalam hati.
Mendapati lampu kamar sebelah masih menyala, padahal sudah menunjukkan pukul sembilan. Anak lelakinya masih enak dengan alam mimpinya. Kebiasaan!
"Liat jam yo, mat! Nak jam berape agek baru bangun. Usah oi nak dibiasekan getok. Sean polehannye. Dah tau becewek, ngurus direk sorang pun an bise kau tok be."

Rahmat mengeliat beberapa detik. Dimatanya yang masih menyipit, ibunya tak lebih dari sesosok monster dalam mimpinya tadi. Masih terlalu pagi, kan tadi malam ia bergadang. Itu satu-satu alasan masuk akal yang membuat dirinya harus melanjutkan tidur. Menurutnya. 
"Jak mane tiap malam lama-lama barok tidok!"

Sahara pergi kemudian.

Piring-piring kotor masih setia menunggu dan menyambut Sahara di pojok dapur. Ia mengambil satu, mengusap-usapkan spon, meletakkannya, dan mengambil satu lagi. Selesai? BELUM.

"Ra, mane kau nyimpan kopiahku?!"
"Rinso dimane, mak?!"
"Mak, minta duit balli es!"
"Yo, ayek kopi tang dah habis!"
"Is umak, polahkan nasek goreng jiku!"

Sahara sempat mematung memandangi lima wajah bersamaan dihadapannya. Apakah sebaiknya ia pingsan saja di situ?


Membayangkan semua pintu surga bebas dimasukinya kelak, Sahara menghela nafas dalam-dalam. Melepaskannya perlahan-lahan. Ia bangkit.

0 Messages:

Posting Komentar

 
;