"Mak, Anong daan mao bagi....."
Sahara yang tengah fokus pada piring-piring kotor
dihadapannya, bangkit. Membilas tangan penuh sabun, lalu bergegas menuju sumber
suara yang semakin gaduh di ruang TV. Anong mulai merengek egois, sementara
abangnya, Taro memelas.
"Nong, bagilah makan. Daan boleh keminting dengan
abang."
Entah dengar atau tidak, kedua bocah itu tetap dengan
pendirian masing-masing. Akhirnya, Sahara turun tangan juga. Sebungkus nasi
kuning milik Anong kini setengahnya berpindah tangan. Tangisan si bungsu pecah
hampir merontokkan dinding (kalau tidak berlebihan). Taro pula berlari ke teras
depan, bergabung dengan teman sebayanya, penuh kemenangan. Sahara beranjak tanpa
peduli lagi. Itu, lakonan di rumahnya sehari-hari. Apa herannya?
Kembali menuju tempat cuci piring, langkah wanita berusia
awal kepala lima tersebut berhenti. Tepat di kamar gadis mudanya.
"Ckkkkk.............."
Padahal cuma berdua dengan HP di kamar, Adel asyik dengan
dunianya sendiri. Baru tersentak saat pintu kamar di buka dengan keras. Dan
sesosok manusia menghalangi pintu.
"Ya Allah, Del. Balom jua cuci baju. Nak jadi ape be
kau tok e. Kalak siang-siang agek. Ari dah galap yo. Bahari suke nak ujan. Awas
mun daan kau cuci baju sekolahmu."
Adel suka menjawab. Tetapi kali ini terhalang lantaran
ibunya duluan beranjak ke dapur. Ia kesal bukan main, menatap lekat pada layar
empat setengah inci di tangannya lagi. Lagi seru-serunya chating sama seseorang
nun disana....Urusan baju? Ah gampang. Ibunya cuma suka membesar-besarkan
masalah saja. Apa sih susahnya dengan dua pasang seragam sekolah. Uhhhh!
Belum sempurna Sahara duduk di antara piring-piring kotor
lagi, sebuah suara mengguntur. "Ra, bajuku be mane? Dari tadek urang
minta, daan diambek-ambekkan!"
Sahara mengaruk kepala di balik kerudung instannya.
Sesungguhnya ia tidak perlulah hingga bangkit segala, toh Tino, suaminya
terlalu manja untuk dicarikan kemeja buat kondangan. "Tang ambek di lemari
ye be. Dah tadek di padahkan di siye," jawab Sahara kesal.
"Sean, tau ke sean? Baju pun simanar lalu
nyimpannye."
Wanita itu berjalan lurus menuju kamarnya sendiri. Malas
untuk bertengkar melulu, baju yang sejatinya bisa ditemukan dengan hanya
membuka lemari, di letakkannya dengan ganas di tempat tidur. Suaminya masuk, ia
keluar. Keduanya saling cemberut.
"Care-care Rahmat tok e," kesal Sahara dalam hati.
Mendapati lampu kamar sebelah masih menyala, padahal sudah menunjukkan pukul
sembilan. Anak lelakinya masih enak dengan alam mimpinya. Kebiasaan!
"Liat jam yo, mat! Nak jam berape agek baru bangun.
Usah oi nak dibiasekan getok. Sean polehannye. Dah tau becewek, ngurus direk
sorang pun an bise kau tok be."
Rahmat mengeliat beberapa detik. Dimatanya yang masih
menyipit, ibunya tak lebih dari sesosok monster dalam mimpinya tadi. Masih
terlalu pagi, kan tadi malam ia bergadang. Itu satu-satu alasan masuk akal yang
membuat dirinya harus melanjutkan tidur. Menurutnya.
"Jak mane tiap malam lama-lama barok tidok!"
Sahara pergi kemudian.
Piring-piring kotor masih setia menunggu dan menyambut
Sahara di pojok dapur. Ia mengambil satu, mengusap-usapkan spon, meletakkannya, dan mengambil satu lagi. Selesai? BELUM.
"Ra, mane kau nyimpan kopiahku?!"
"Rinso dimane, mak?!"
"Mak, minta duit balli es!"
"Yo, ayek kopi tang dah habis!"
"Is umak, polahkan nasek goreng jiku!"
Sahara sempat mematung memandangi lima wajah bersamaan
dihadapannya. Apakah sebaiknya ia pingsan saja di situ?
Membayangkan semua pintu surga bebas dimasukinya kelak,
Sahara menghela nafas dalam-dalam. Melepaskannya perlahan-lahan. Ia bangkit.
0 Messages:
Posting Komentar