Selasa, 16 April 2013

Ibu Menggoreng Telinga


Ide tulisan terkadang ‘mampir’ saat berkendara. Seperti hari itu, kupacu sepeda motor dalam rangka sekembalinya ke kota Sambas dari kampung halaman. Terpaut ingatan pada IBU MENGGORENG TELINGA  membuatku nyengir sendiri.

Sabar! Sebelum ke sana, aku ingin mendeskripsikan sedikit tentang kampungku. Tepatnya, kala aku duduk di bangku SD.

Masih ingatkan program pemerintah masa presiden Soeharto, IDT atau singkatan dari Impres Desa Tertinggal. Jujur, kata itu terdengar indah dan asing di telingaku. Kerap bertemu dengannya di pelajaran IPS kelas IV keatas, namun entah apa maksudnya. Boleh jadi, saat kami diminta membawa mangkuk dan gelas ke sekolah, makan bubur nasi-kacang serta kue-mueh, semua itu adalah salah satu aplikasi dari peningkatan gizi buat desa tertinggal. Mengingatinya, sangat miris dan kasihan, kan? Tapi di usia pendidikan dasar, yang tahu hanyalah “mumpung makan gratis.”

Kalau sekarang, IDT buatku tak lebih dari sebutan orang kota terhadap warga desa pedalaman.

Empat dusun belajar di satu sekolah yang terdiri dari enam lokal. Belum lagi kondisi fisik gedung yang cukup memprihatinkan. Disana kami tidak perlu bingung tentang sepatu, karena pakai ceker ayam pun oke. Disana kami tidak perlu bicara tentang kebersihan lebih, karena seragam kumal pun oke. Dan yang paling seru, ketika pesawat terbang lewat menjelajahi langit diatas kami, semuanya turun ke halaman. Tak alpa pula para gurunya. Mendongak ke atas seraya meringis. Selepasnya bersin bersahut-sahutan. Seru, bukan? Ah, yang demikian itu sekitar tahun 1991 – 1997, mengukur masa pendidikan dasarku.

Oleh karena murid melebihi kapasitas lokal yang tersedia, kelas III yang dua kelas itu menjadi korban diskriminasi. Walau saat itu aku belum mengenal kata diskriminasi. Atau sama sekali tidak ada perasaan di anak tirikan dan yang semacam itu. Lantaran begitulah adanya sejak beberapa generasi diatasku. 

Kembali ke netbook!

Bu Mutia lengkapnya, tapi kami memanggilnya Bu Tia. Sore itu kami belajar Bahasa Indonesia, lebih spesifik lagi membuat kalimat. Beberapa kata guru kami itu tuliskan di papan tulis. Mungkin sepuluh buah. Tugas kami adalah membuatnya jadi sebuah kalimat di buku masing-masing. Kami diam dalam bisik-bisik tetangga. Tengok kanan kiri sesuka hati. Sementara bu Tia pergi ke ruang guru. Yah, barangkali sekedar meluruskan kaki. 

Tiba saatnya. Aku mengira kami disuruh mengumpulkan ke depan. Rupanya salah. Bu Tia secara acak menyuruh kami membacakan hasil kerjaan. Tono, kawanku yang bertubuh jelas lebih bongsor dariku dapat jatah itu. Membuat kalimat dari kata MENGGORENG. 

"Hartono, buat kalimat dengan kata menggoreng," perintah bu Tia. 
Tono, kawan sebangkuku yang kelabakan itu cepat-cepat membuka bukunya. Menggoreng. Entah apa sebenarnya yang ditulisnya. Aku tak yakin apa yang keluar dari mulutnya itu adalah yang dituliskannya. 
"Ibu menggoreng...." Katanya terputus.
Bu Tia menunggu, demikian pula kami yang lain. 
"Menggoreng apa?" Tanya bu Tia coba tuk membantu Tono. 
"Ibu menggoreng telinga."
Itu saja. Aku lupa, apakah hari itu riuh rendah suara kami. Atau karena belum benar-benar mengerti tentang kalimat yang benar dan salah. Namun, ku yakin tidak demikian halnya dengan bu Tia. Dia barangkali "ngakak" dalam hatinya. Tapi ia hanya tersenyum dan membetulkan. Mengganti kata "telinga" dengan "ikan".

Ha..ha... kalau dipikir-pikir kawan, memang apa yang salah ya dengan "menggoreng telinga". Telinga kambing misalnya, kan juga bisa di goreng. Sayangnya saja, Tono tidak pernah melihat orang benar-benar menggoreng telinga kambing. Jadinya......senyam senyum sendiri mengingatinya.

0 Messages:

Posting Komentar

 
;