Menjadi komentator memang selamanya mudah. Tinggal ceplas-ceplos mengurai sebanyak mungkin kekurangan bila perlu. Dan menambah-nambah sedikit kelebihannya. Sayangnya, siapapun bisa untuk segala apapun.
Salah satunya tentang sebuah buku fiksi lima ratusan halaman yang telah ku tuntaskan secara random. Menyesakkan gaya bicaranya dan tidak ada surprise di ujung cerita. Alurnya mengalir namun janggal. Beberapa karakter tokoh kebanyakan samar dan membingungkan. Salah satu sebagai contoh, tokoh si nenek berusia tujuh puluh tahun, terlalu gaul dan bicaranya pakai 'aku' saat bicara dengan orang lain. Lebih aneh lagi ketika ia menggunakan kata 'aku' juga ketika berinteraksi dengan anaknya sendiri.
Itu sekilas pendapat yang ku simpulkan. Heran saja, padahal buku penulis tersebut cukup bertebaran di perpustakaan. Oleh karena itu, aku jadi penasaran dengan karya lainnya tersebut. Apakah sama gaya bertuturnya.
Ada lagi buku lainnya dari pengarang berbeda. Salah satu novelnya telah diangkat ke layar lebar. Disana aku juga mendapati suguhan yang, katakanlah sedikit mengecewakan. Terlalu mendayu-dayu dan puitis. Kalau ini juga dipaksakan menyelesaikannya secara acak, maka sampai menyambut senin tidak ada bacaan fiksi lagi. Lihat saja nanti.
BTW, tetap saja mereka lebih hebat dariku. Apa yang dituliskan mereka masing-masing telah pun menjalar dari Sabang sampai Marauke, barangkali. Coba dibandingkan dengan diri sendiri? Bahkan menulis cerpen saja harus menguras tenaga ekstra.
Dan diantara itu semua, aku yakin kesuksesan perlu tahapan. Demikian pula dalam bidang kepenulisan. Menulis sedikit tapi intens lebih baik daripada menulis banyak tapi berjarak dalam waktu yang lama.
0 Messages:
Posting Komentar