Kamis, 04 April 2013

Cerita Ayam De' Nan

Mesin penetas telur itu lebih tinggi dari tubuhnya. Membuat bocah lelaki itu harus menjinjingkan kaki untuk
mengintip isi didalamnya. Melalui kaca transparan di bagian pintunya, dia melihat apa yang selama ini ditunggu-tunggunya. Ada rasa tersendiri saat mendengar cicit anak ayam yang baru saja menetas. 

"Balom pacah semuenye, mak" katanya tanpa menoleh kepada ibunya. Dia tetap memfokuskan pandangan pada puluhan ekor anak ayam yang riuh rendah. Menurutnya, anak-anak ayam tersebut tengah merayakan hari kelahirarn mereka. 

Memang, disana ada empat telur yang masih utuh. Belum ada tanda-tanda untuk retak, lalu menyembulkan anak ayam yang baru lagi. Kecil kemungkinan untuk mengharapkan hal tersebut. Sebaliknya, nasib ke empat telur itu bakalan dilempar begitu saja ke semak. Nanti. 

"Aoklah, biarkan ajak dolok. Bantar agek macah kallu." Suara ibunya hilang dibalik sekat dapur.
Kesempatan. Tak pelak lagi, dengan pelan-pelan dibukanya tutup mesin penetas telur yang tidak lagi terkunci, padahal stop kontaknya masih terhubung dengan listrik. 
"Citt....citt...." Diraihnya seekor anak ayam berbulu kuning cerah berbelang abu-abu sepanjang kepala hingga punggung. " Seringai bocah itu menjadi. Dilepaskannya yang tadi, diambilnya yang berwarna agak kehitaman Citt...citt...," berontak anak ayam tersebut merasa privasinya terganggu. 

Tiada bunyi langkah kaki sebelumnya, tahu-tahu ibu sudah ada dibelakangnya. "Ya Allah, De' Nan!"
Muka De'Nan memerah tertangkap basah. "De' Nan nak magangnya jak be," belanya. Hampir hujan diwajahnya. 

Lain pula dengan ia yang masih tidur pulas disana. Lelapnya terganggu oleh suara-suara aneh diluar, ia membuka mata sejenak. Namun itu hanya sekejap saja. Matanya kembali terpejam. Belum waktunya. 

.............
De' Nan datang dengan kardus yang jika diduduki pun muat menampung tubuhnya. Meski benda itu ringan, namun bocah itu tetap saja kewalahan membawanya. 

"Ha, latakkan sitok ajak," pinta ibu.
De' Nan menurut. Kardus itu menganga di lantai. Siap menampung penghuni yang akan dihijrahkan kedalamnya. 

"Citt...citt..." para anak ayam berebut untuk dijemput. Penasaran segera ingin mencicipi kediaman baru. Bukannya apa, tempatnya sebelumnya sesak dan ada hawa pengap dan hangat gitu. 

Kelar. Selanjutnya tinggal menentukan nasib empat telur yang gagal produksi. "yang itok mak?" tanya De' Nan sambil mengangkat salah satu telur ke depan muka ibunya. 

"A..De' Nan bawa talor semuenye ye ke belakang. Lemparkan dakat batang aur i."
"Indak. Goreng ajak be mak i?"
Ada-ada saja De' Nan ini, pikir ibunya. Siapa yang mau makan gorengan embrio ayam. Jijik wanita itu membayangkannya. 
"Dalamnya dah ade anak ayamnye ye, De' Nan. Tapi daan jadi..."
"Oh," De'Nan sok mengerti. "Cobe simpan sitok dolok, mak. Sape tau bantar agek macah."
"Sodah. Mak nak masokkan talor baru agek."

Ia merasa ada yang mengguncang tubuhnya. Matanya kini telah terjaga sempurna. Hanya saja, ia belum tahu bagaimana caranya melepaskan diri dari sini. Masih terperangkap. 

De'Nan mengambil ancang-ancang melakukan lemparan terbaiknya. Satu telur telah ada ditangannya. Tinggal mengayunkan, dan telur itu akan pecah berderai di rumpun aur. Praak, telur pertama dengan sempurna membentur batang aur yang tinggi menjulang. 
"Lemparan halilintar..."
Telur kedua berkecai, lalu mengeluarkan calon anak ayam yang tidak menjadi. 
Lemparan ketiga sedikit meleset meski De'Nan telah mengeluarkan jurus lain, lemparan badai. "Adoh lah," tukasnya kecewa. 

Makhluk itu akhirnya menemukan apa yang dicarinya. Tepat diatas kepalanya itulah pintu keluar. Kreek. Terdengar pelan retaknya. Ia tersenyum dengan caranya sendiri. 

Yang terakhir musti istimewa. Tak tanggung-tanggung, kali ini De'Nan akan memadukan dua jurus lemparan sebelumnya, lemparan halilintar dan lemparan badai. Kuda-kuda terpasang mantap. Ditariknya tangan kanan yang menggenggam telur ke belakang. "Jurus Hali..." Tak jadi. Seperti ada yang bergerak dalam genggamannya. Di pastikannya sebentar, tidak ada apa-apa. Diulanginya lagi, "jurus Halilintar dan Jurus Badai...." 
Kreeek. Bersamaan dengan itu, muncul seekor anak ayam berbulu hitam lebat dari cangkang telur. Dalam hitungan sepersekian detik, ia sempat mengedipkan mata kearah De'Nan. Namun, beribu kali sayang. Tubuh kecil itu terlanjur melaju tidak terbendung kemudian. Menuju ajalnya di pohon rindang berbuluh hijau. Teriaknya pertama kali melihat dunia, "Ciiii.......t." Buummm, senyap!

"Mak, oo mak. Anak ayamnye keluar." Teriak De'Nan sambil berlari menuju rumpun aur. Berharap makhluk kecil yang di lemparkannya tadi tidak kenapa-napa. Peluangnya, satu banding sembilan ratus sembilan puluh sembilan. 

"Ciit.." Suara itu lemah tak berdaya. Nasibnya malang sungguh. Belum sampai satu menit menatap dunia, ia harus hengkang ke alam lain lagi. Tubuhnya dirasakannya remuk. Salah satu kakinya bahkan tidak bisa di luruskan. Kepalanya tidak lagi dalam posisi normal, miring ke samping kanan. 

Tiba-tiba datang sentuhan hangat menyenangkan. Ia tahu dari siapa itu datangnya. Ya, dari manusia yang dengan entengnya membuat ia bebas melayang di udara, lalu membentur benda keras. 

Ciit...hanya itu yang bisa dikeluarkan dari mulutnya. Lemah. 

"Mak, maseh hidup."

Dengan hati-hati De'Nan meletakkan anak ayam malang itu di telapak tangannya. Niatnya sih ingin menunjukkan pada ibunya. Dia berlari-lari kecil kembali ke rumah. 
"Mak yo, liet yo. Maseh hidup."
"Oh, sagal lalu be i. Bantar agek dah nak mati ye, De'Nan. Alekan jak be."
De'Nan sedih bercampur menyesal. 
"Di potong jak mak i?"

Suara nyaring berasal dari pesawat televisi, "Capek deh!"
Ibu De'Nan hanya bisa meringis. 

0 Messages:

Posting Komentar

 
;