Wah hebat Fizer. Sejak sore, motor antikku itu telah berhasil membuat kalori dalam tubuh kurusku terbakar ludes. Menginjak starter berkali-kali hingga berkeringat. Hidup setelah ganti busi. Kirain langsung beres. Eh, setiap kali berhenti, maunya minta di lap businya. Kebanjiran? Bukan! Minta ganti tuh.
Dan minta ganti itu belum terlaksana lantaran malam menjelma. Aku sangsi kalau masih ada bengkel yang buka. Akhirnya aku mengalah. Mengelapnya lagi dan lagi. Puncak dari itu semua adalah pasca shalat isya di Masjid Tumok. Busi tiga buah gonta-ganti, yang di lap pun tak berbuah manis. Ku guncang itu motor, memastikan bensinnya masih ada. Oh, hampir habis. Seberkas cahaya mulai bersinar. Kios bensin terdekat di muka jalan. Lega rasanya.
Delapan ribu menebus satu liter bensin. Mengenyangkan tangki dan memupus harapanku. Fizer tidak juga mau meraung lantang. Nasib motor tua. Eittss, bagaimanapun si Fizer telah menemaniku sejak kelas dua SMK. Itu artinya, kami telah bersama-sama dalam kurun waktu sebelas tahun. Membanggakan, bukan?
Kembali aku melakoni buka bongkar busi. Fizer hidup sejenak, lalu mati. Sementara itu, gerimis tidak lagi menyejukkan badan. Keringat merembes dari pelipis.
"Itulah, saye lebih suka pakai gerete (sepeda)," seorang remaja bersuara wanita berkata pada gadis di kios.
"Iyelah, payahnye motor kalau mogok. Gerete daan gimane-gimane...." timpal gadis itu.
Uhh...berterus terang sekali. Bergosip di depanku yang tengah berjuang keras menghidupkan si Fizer. Tapi sebaliknya, aku sebenarnya ingin tertawa mendengarnya. Aku bungkam. Kedua tanganku tetap bekerja.
"Ini yang terakhir," ucapku membatin.
Fizer mengamuk setelah di ganti busi yang itu-itu juga. Gumpalan asap menggumpal keluar dari corong knalpot. Secara kebetulan menuju dua sosok manusia di kios, tiga dengan penjaga kios yang diam. Dan itu cukup buat menyumbat mulut mereka, kukira. Mereka terdiam, masuk ke dalam.
Bravo Fizer. Sejak lama, aku hampir percaya kita bisa berkomunikasi dengan cara kita sendiri. Puas? Well, aku harus mendorongmu lagi sejauh lima ratus meter untuk mencapai kos. Besok kita lanjutkan lagi membelah kota kecil ini. OK?
Dan minta ganti itu belum terlaksana lantaran malam menjelma. Aku sangsi kalau masih ada bengkel yang buka. Akhirnya aku mengalah. Mengelapnya lagi dan lagi. Puncak dari itu semua adalah pasca shalat isya di Masjid Tumok. Busi tiga buah gonta-ganti, yang di lap pun tak berbuah manis. Ku guncang itu motor, memastikan bensinnya masih ada. Oh, hampir habis. Seberkas cahaya mulai bersinar. Kios bensin terdekat di muka jalan. Lega rasanya.
Delapan ribu menebus satu liter bensin. Mengenyangkan tangki dan memupus harapanku. Fizer tidak juga mau meraung lantang. Nasib motor tua. Eittss, bagaimanapun si Fizer telah menemaniku sejak kelas dua SMK. Itu artinya, kami telah bersama-sama dalam kurun waktu sebelas tahun. Membanggakan, bukan?
Kembali aku melakoni buka bongkar busi. Fizer hidup sejenak, lalu mati. Sementara itu, gerimis tidak lagi menyejukkan badan. Keringat merembes dari pelipis.
"Itulah, saye lebih suka pakai gerete (sepeda)," seorang remaja bersuara wanita berkata pada gadis di kios.
"Iyelah, payahnye motor kalau mogok. Gerete daan gimane-gimane...." timpal gadis itu.
Uhh...berterus terang sekali. Bergosip di depanku yang tengah berjuang keras menghidupkan si Fizer. Tapi sebaliknya, aku sebenarnya ingin tertawa mendengarnya. Aku bungkam. Kedua tanganku tetap bekerja.
"Ini yang terakhir," ucapku membatin.
Fizer mengamuk setelah di ganti busi yang itu-itu juga. Gumpalan asap menggumpal keluar dari corong knalpot. Secara kebetulan menuju dua sosok manusia di kios, tiga dengan penjaga kios yang diam. Dan itu cukup buat menyumbat mulut mereka, kukira. Mereka terdiam, masuk ke dalam.
Bravo Fizer. Sejak lama, aku hampir percaya kita bisa berkomunikasi dengan cara kita sendiri. Puas? Well, aku harus mendorongmu lagi sejauh lima ratus meter untuk mencapai kos. Besok kita lanjutkan lagi membelah kota kecil ini. OK?
0 Messages:
Posting Komentar