Selasa, 17 April 2012

Lembar Kunci


Tiga pasang kaki diatur sedemikian pelan langkahnya. Agar tidak terdengar nyaring dan kepergok kemudian. Mengendap-ngendap di kegelapan. Setelah sampai, menyandarkan punggungnya di dinding bercat kuning pudar. Berhati-hati dan nyaris tidak ada suara.
                “Yang kuketahui, diruang ini.”
                “Kau yakin, Dit?”
                Adit mengangguk.
                “Kurasa satpam sudah pulas diluar. Jadi kita bisa mulai beraksi.”
                “Bagaimana jika…?”
                “Diam, Ger. Kalau takut, kenapa mau ikut. Kamu tidak ingin lulus? Dan kita akan kaya setelah ini.”
                “Mar, linggisnya.” Adit membuka telapak tangan kirinya. Dan Dimar memberikan linggis yang diminta.
                “Pelan-pelan.” Bisik Dimar kemudian.
                Sementara itu, tubuh Geri mulai menggigil. Bayangannya akan sosok bang Sudirman memergoki mereka bertiga. Dan itu bisa celaka. Reputasi diri dan keluarga. Juga terancam divonis dari pihak sekolah. Paling buntung, dikeluarkan.
                “Berhasil?”
                Adit menggeleng.
                “Biar aku coba.”
                Dimar memasukkan ujung pipih linggis ke celah-celah diantara bingkai jendela dan dinding semen. Berkali-kali namun tak ada hasil.
                Geri yang sedari tadi bersikap pasif mencoba bertindak. Kali ini, ia memilih daun jendela yang lain. Pikirnya, keberuntungan bisa saja menghampiri. Pesuruh sekolah mungkin lupa mengunci salah satu jendela-jendela ini.
                “Tek.” Berhasil pada percobaan jendela ke dua.
                Adit dan Dimar berpandangan. Keduanya saling melemparkan senyum kemenangan. Rintangan pertama telah teratasi. Selanjutnya adalah membongkar teralis besi yang menghalangi. Itu gampang. Juga dengan menggunakan linggis yang sama. Dicari celah yang memunggikan untuk menancapkan ujung linggis kembali. Baut perekatpun tercabut. Selesai.
                Ketiganya masuk. Ruang kepala sekolah gelap. Berbekal cahaya dari senter kecil yang dibawa, mereka mulai memeriksa satu per satu amplop oranye di lemari. Tak lama, usaha mereka berbuah. Kunci jawaban itu ada ditangan mereka. Secepat kilat, Dimar mencatat isinya. Tak hanya satu mata pelajaran. Seluruh jawaban soal-soal ujian sekolah ada ditangan mereka. Geng ADG. Tajinya terbukti.
**********
                “Ini pekerjaan beresiko, ten. Satu juta itu tawaran termurah kami. Dengar ya, dengan orang lain, kami hargai ini hampir tiga juta.”
                “Bagus, pukul 5 di depan gang.”
                Adit memasukkan kembali handphone ke saku celananya. Puas dengan usaha mereka malam ini. Juga puas dengan penjualan yang baru saja dilakukannya.
                “Aku harus pulang. Sebentar lagi ibu akan membangunkanku. Memaksa shalat subuh.” Tukas Geri.
                “Tidak apa-apa Ger. Jadilah anak baik. Jangan khawatir, bagianmu akan kamu dapatkan.”
                Geri sangat yakin ucapan Dimar barusan. Persahabatan berjalan tiga tahun itu menumbuhkan kepercayaan diantara ketiganya. Tak terkecuali untuk urusan ini.
                Geri berlalu. Tak lama kemudian, tubuhnya hilang didekap kegelapan. Tinggal Adit dan Dimar yang mulai sibuk menghubungi koneksi di sekolah lain untuk menawarkan “barang” mereka.
                Masing-masing sibuk dengan percakapan-percakapan singkat. Berisi negosiasi harga. Patokan yang ditawarkan pun bervariasi. Mulai dari satu sampai tiga juta rupiah. Tergantung kepada siapa mereka menjual kunci jawaban tersebut.
                “Ku rasa semuanya sudah. Dan kita harus bergerak cepat. Berbagi tugas. Kita tidak punya banyak waktu. Hampir pukul setengah empat. Mulai dari lokasi terdekat.” Adit memberi komando.
                “Berapa kira-kira yang akan kita dapatkan pagi ini?” Dimar mencoba menghitung pendapatan mereka.
                Adit memandangi jari-jemarinya yang tengah berhitung. “Dariku sekitar sepuluh.”
                Dimar melakukan hal yang sama. “Delapan juta sekian.”
**********
                Pukul 6.43 WIB, seharusnya masih menyisakan udara dingin. Tapi tidak berlaku pada pak Raden. Kumis tebalnya terasa semakin menusuk lubang hidung ketika mendapati kunci lemarinya dijebol. Dan seperti dugaannya, ujung map oranye sobek. Meskipun tidak ada yang hilang. Sekolah yang dipimpinnya kecolongan tadi malam.
                Sudirman adalah orang pertama yang layak untuk disalahkan. Atas kelalaiannya mengawasi berkas penting tersebut. Murka sang kepala sekolah tumpah kepadanya. Dan ia terima, karena tadi malam dirinya memang ketiduran diluar ruangan.
                Kedua, Bayu, si pesuruh sekolah. Sudah berulang kali pak Raden menyuruhnya untuk memperbaiki kunci jendela yang rusak. Entah kenapa selalu tidak menghiraukan. Dan akibatnya, itu menjadi pintu masuk bagi sang pencuri kunci jawaban.
                Bayu hanya bisa mengedip-ngedipkan matanya ketika dimarahi. Dengan masygul ia mendengarkan ocehan pak Raden. Dalam hatinya berjanji akan memperbaiki jendela tersebut segera. Paling tidak agar tidak kecolongan lagi nanti.
                Pertemuan singkat antar guru pun digelar. Rapat mendadak, ketika para guru yang juga bertugas sebagai pengawas ujian hari ini.
                “Seperti yang saya katakan tadi, mereka melakukan ini bukan sekedar untuk melingkari setiap pertanyaan. Mereka berbisnis.”
                “Setuju, pak.” Tukas bu Wardah, wakil kepala sekolah seksi kesiswaan.
                “Dan juga kita seharusnya bisa menetapkan beberapa tersangka saat ini.” Lanjut bu Wardah kemudian.
                Sementara guru-guru lainnya mengangguk-ngangguk.
                “Adit, Dimar, dan aku tidak tega jika harus memasukkan Geri didalamnya. Tapi siswa berkacamata itu selalu ada diantara keduanya.” Lagi, bu Wardah mengklasifikasi.
                “Kita tidak punya bukti, tapi berdasarkan jejak mereka disekolah ini, itu masuk akal.” Tambah pak Handi, guru honorer BK.
                Pak Raden memutuskan, “kita lihat hasil nilai mereka bertiga. Apakah terjadi kejanggalan. Begitu juga dengan beberapa siswa lainnya yang selama ini terkenal dibawah rata-rata. Terakhir, kita akan melakukan koordinasi dengan sekolah-sekolah di kota ini tentang hal ini. Karena jika benar mereka berbisnis, maka pasar mereka tentu bukan sekolah ini saja. Rapat selesai. Kita bicarakan langkah preventif selanjutnya, nanti.”
                Ujian sekolah berjalan dengan lancar. Seluruh siswa sepertinya sangat jujur dalam mengerjakan soal. Dan juga begitu serius. Seakan daun jatuh ketanah pun akan mengganggu konsentrasi mereka. Itu berlangsung hingga seluruh mata pelajaran diujiankan tuntas dalam satu minggu.
                Terlalu bodoh  jika Adit, Dimar dan Geri melakukan aksi penyontekan secara konvensional. Membuat catatan kecil dan diselipkan dibawah lembar soal. Pengalaman memberikan pelajaran. Banyak metode pembelajaran saat ini yang semakin berkembang. Mereka mencontoh salah satunya. Menomori setiap orang yang ada didepan, belakang, kiri, dan kanan. Si anu adalah soal no sekian, dan jawabannya itu.
                Itu cerdas. Guru  pengawas yang sejatinya memeloti gerak-gerik mereka, bertekuk lutut. Tidak mendapati sesuatu yang ganjil dari tingkah mereka bertiga selama ujian. Hal tersebut mampu mengurangi dugaan para guru.
**********
                “Ini Ger. Tiga juta.” Adit menyodorkan uang hasil penjualan mereka.
                Geri diam. “Hanya tiga juta,”pikirnya.
                “Geri, kita hanya dapat 9 jutaan. Kami tidak bisa menjual dengan harga selangit. Karena ini hanya ujian sekolah. Dan nanti, di ujian nasional, kita akan mendapatkan lebih.” Dimar meyakinkan Geri yang mulai sangsi dengan jumlah pendapatan mereka.
                Mau tidak mau, Geri menerima juga. Menyanggah, hanya sia-sia belaka. Kecuali ia ikut sampai akhir subuh itu. Sayang, ia keburu pulang cepat-cepat.
                Sambil memasukkan uang tersebut kedalam dompetnya, Geri berujar, “sepertinya pihak sekolah mencurigai kita. Mereka mengawasi kemarin, seakan-akan ingin memakanku.”
                “Benar.” Kata Dimar kemudian.
                “Tapi mereka tidak ada bukti untuk menuduh.” Tambah Adit.
                Ketiganya tertawa sejadi-jadinya. Rencana refresh sejenak pasca ujian nasional pun diurai. Adit akan menghabiskannya dengan memancing bersama teman-temannya yang lain. Sementara Dimar akan hiking. Juga bersama teman lainnya. Tak satu pun mengajak Geri ikut bersama. Padahal Geri tidak punya rencana apa-apa untuk menghabiskan uang tiga juta rupiah di dompetnya. Sepertinya uang itu hanya akan menambah saldo tabungannya di bank. Atau untuk membelikan obat ibunya.
**********
                “Cerdik sekali. Mereka tidak membiarkan kita membuat alasan untuk menuduh mereka. Semuanya terlihat normal. Lebih tinggi satu dua poin itu normal, bukan? Bisa jadi mereka meningkatkan intensitas belajarnya. Mereka termotivasi oleh mulut kita, para guru, yang berkoar-koar saat upacara bendera.”
                Pak Raden kembali menghisap rokok di tangan kanannya. Dalam-dalam dan membuangnya lewat hidung.
                Terasa kaku dari pertemuan sebelumnya. Tidak hanya pak Raden dan Bu Wardah, namun semua guru yang hadir dalam pertemuan khusus tersebut. Setiap orang mengetahui penyebabnya. Dan tidak satu pun yang berani mendahului membukanya.
Bu Wardah angkat bicara, “pak.”
Ada jeda sejenak. Bu Wardah menarik nafas dalam-dalam. “Tentang Riko,” lanjutnya kemudian.
Jelas pak Raden kebakaran jenggot. Lambat laun, ruas akan bertemu buku. Guru-guru menduga anaknya termasuk salah satu orang yang melakukan pencurian jawaban malam itu. Mengetahui dimana berkas tersebut disimpan juga sangat memungkinkan. Toh ayahnya sendiri adalah kepala sekolah.
Tapi pak Raden sangat yakin, anaknya tidak terlibat dalam hal ini. Hanya saja ini terjadi begitu instan. Kapten yang bernama asli Riko memang digenjotnya agar belajar dengan keras akhir-akhir ini. Tidak ada waktu luang selain belajar. Dan Kapten mentaati itu. Maka, wajar Kapten mendapat nilai tinggi. Meskipun dalam keseharian, anaknya tidak pernah masuk dalam 20 besar di kelasnya. Sekarang, mungkinkah ia akan melontarkan alasan tersebut. Itu tidak objektif. Dan terkesan melindungi.
Pak Raden berkata bijak, “Aku mengerti. Semua bisa dijadikan tersangka. Termasuk putraku. Tidak fair jika aku membela Riko. Asal kalian tahu, minggu-minggu terakhir ini, saya menekankan kepadanya agar belajar dengan gigih. Dan ia menuruti.”
Suasana rapat hening tiba-tiba. Bu Wardah, begitu juga guru lainnya berusaha mencari kata yang tepat untuk menanggapi hal tersebut. Begitulah, rasa “tak enak sama” seharusnya dibuang jauh-jauh.
“Lantas, apa langkah yang harus kita tempuh?” Handi yang belum sampai dua tahun mengabdi di SMA itu memecah kebungkaman.
                Bu Wardah berusaha bersuara netral. “Kita perketat penjagaan. Bukan begitu pak Raden?”
                “Tepat.” Pak Raden menambahkan.
                Keputusannya adalah penjagaan dilakukan oleh tiga orang pada malam menjelang Ujian Nasional. Handi, Sudirman, dan Bayu dikerahkan untuk melakukan hal tersebut. Handi menyanggupi. Pasti begitu pula dengan dua orang lainnya. Rapat juga memutuskan, hal itu lebih efektif dan terjamin.
**********
                Tiga minggu berlalu. Pak Raden memaksa Riko mengaku jika memang ia beraksi malam itu. Namun anaknya kuat-kuat menutup mulut. Apapun resiko terburuknya, sudah diperhitungkan oleh anak itu. Tidak mungkin berterus terang begitu saja. Tindakan ugal-ugalannya dalam kamar sepanjang hari akan tersingkap. Belum lagi dirinya menjadi salah satu konsumen geng ADG tersebut. Tak ada pengakuan yang keluar dari celah-celah giginya. Akhirnya pak Raden percaya juga.
                Sementara itu, seseorang laki-laki muda bertamu disore menjelang Ujian Nasional yang akan digelar keesokan harinya. Laki-laki itu antusias. Membawa kabar baik dan sebuah tawaran kerja sama. Juga, ia tahu siapa yang akan ditemuinya. Adit si ketua geng.
                “Masih tidur kayaknya. Duduk dulu, pak.” Setelah mempersilakan, wanita paruh baya itu menuju kamar anak bungsunya. Mengedor-ngedor pintu kamar. “Dit, ada tamu. Gurumu.”
                Tak ada sahutan dari dalam. Maka, wanita itu pun memaksakan diri masuk ke kamar anaknya. Nihil. Adit tidak ada ditempat.
                “Wah, pak Handi. Aditnya ternyata keluar. Tidak ada pamit. Tapi sepertinya kumpul sama teman-temannya di rumah Dimar.” Ibu Adit merasa bersalah.
                “Oh, saya langkah kiri ya bu. Mungkin saya bisa minta nomor HP nya Adit?”
                Belum selesai wanita itu menyebutkan dua belas angka, sesosok remaja belia itu datang.
                “Lha, panjang umur ini anak.” Tukas ibu Adit.
                Adit terkesima sebentar. Angin apa gerangan yang membawa guru BK nya bertandang kerumahnya sore-sore begini. Pasti ada hal yang penting. “Atau jangan-jangan…” Adit was-was.
                “Eh, pak Handi. Ada apa pak?” Adit berlakon sewajar mungkin. Menyamarkan rasa khawatir di pundaknya. Berharap bukan kunci jawaban itu yang membawa lelaki muda dihadapannya datang kerumahnya.
                Sementara ibu Adit beranjak ke dapur. Berniat membuatkan barang segelas air manis untuk tamunya. Itu adat dirumahnya. Khusus, tidak akan ditemui dirumah warga lainnya di kota itu.
                Suara pak Handi lebih kepada berbisik, “lebih baik kita bicara diluar saja.”
                Tentu saja. Insting sebagai ketua geng ADG terbukti. Adit mencium sebuah muslihat dari guru dihadapannya. Tapi ia belum bisa menyimpulkan apakah itu sebuah bentuk tawaran atau sebuah perangkap.
                “Tentang apa, pak.” Adit pura-pura tidak tahu dan berupaya menyelelidiki lebih jauh.
                “Di luar.” Pak Handi bersikukuh.
**********
                Itu membuat hati ibu Adit sedikit gelisah. Apa yang lakukan anaknya dengan guru sekaligus tamunya barusan. Dua-duanya menghilang dari ruang tamu. Dan tidak berpamitan. Apa itu urusan  sekolah? Ia terduduk di kursi tamu. Menyeruput kopi panas yang dibuatnya sendiri.
                Rumah Dimar dalam keadaan kosong, kecuali dirinya sendiri. Sekarang bertamah dua, Adit dan pak Handi.  Jadilah tiga kepala berada disana. Siap untuk melakukan pembicaraan serius. Hanya pak Handi saja yang mengetahui tingkat keseriusannya.
                “Bapak, eh lebih enak gunakan saya saja.” Pak Handi melontarkan pandangan bergantian. Kepada Adit, lalu ke sepasang mata Dimar.
                “Saya tahu kalian sudah punya planning untuk malam ini.” Tukas Handi. Mencari titik-titik pengakuan diwajah kedua muridnya.
                “Maksud bapak?”
                “Gak perlu bertele-tele. Saya datang kesini untuk menawarkan kerjasama.” Pak Handi berbicara sambil mencondongkan tubuh ke arah Adit. Adit kecut.
                Pak Handi membalikkan badan. Sementara Adit dan Dimar saling mengkode menggunakan mata. “Kalian ini payah. Tawaran saya, 50-50. Adil bukan, kalian tidak perlu mengendap-ngendap dikegelapan maupun mencungkil daun jendela. Tugas kalian hanya menjual. Itu saja.”
                “Maksud bapak apa?” Dimar mencoba mengalihkan.
                “Jadi, bapak menuduh kami yang mencuri kunci jawaban itu?” Adit menimpali.
                “Sekarang baru kalian mau mengaku. Bagus.” Pak Handi menjawab.
                “Siapa yang mengaku. Kami tidak mencuri. Betulkan dit,” Lagi-lagi Dimar menyangkal.
                Mereka pikir tengah berbicara dengan siapa. Ingat, guru BK. Pak Handi sangat paham mengenai arti body language. Sejak awal percapakan tadi, baik mata Adit maupun Dimar keluyuran. Tidak berani menatap langsung pada dua bola mata gurunya. Bukan karena segan, tapi jelas mereka berbohong.
                “Sepertinya mereka perlu sedikit tekanan.” Pikir pak Handi.
                “Sekarang katakan, aku tidak mencuri. Sambil mengarah ke mataku.” Pak Handi menekan.
                Gawat. Semuanya akan terbongkar. Bisa jadi pak Handi merekam semua pembicaraan mereka itu. Dan pengakuan yang terucap dari mulut Adit dan Dimar pasti menjadi bukti bagi sekolah untuk menghukum ketiganya.
                Tak ada kata-kata terucap. Adit dan juga Dimar diam dalam kegelisahan. Bentrokan antara harus berkata jujur atau menghindar. Tidak ada pilihan sama sekai. Jalan buntu.
                Adit bertindak diplomatis. Terlanjur usahanya terkuak. Dan jika benar dugaannya bahwa pak Handi diutus sekolah untuk menyelidiki mereka, ia pasrah. Karena memang tidak bisa lari kemana-mana lagi. Guru BK itu bisa membaca hatinya.
                “Apa tawaran bapak?” Adit berujar
                “Hah, itu dia. Akhirnya mengaku juga. Tapi jangan khawatir, saya kesini ingin belajar bisnis dengan kalian.”
                Ada riak kelegaan tergambar diwajah Adit beserta Dimar. Dua-duanya penasaran, tawaran apa yang disuguhkan oleh partner barunya itu.
                “Kunci jawaban untuk esok ada ditangan saya. Rekan dari pusat berbaik hati. Ini peluang besar.” Kata pak Handi mengutarakan.
                “Tapi 50-50 itu berat sebelah, pak.” Dimar berkomentar.
                “Berat sebelah? Berat sebelah dari hongkong! Saya punya kunci dan kalian hanya menyebarkan. Bahkan persenan itu terlalu bermurah hati saya pikir.”
                Pak Handi menambahkan, “malam nanti, saya, Sudirman, dan Bayu yang jaga malam. Jadi, jika kalian masih berminat dengan bisnis ini. Pilihan kalian hanyalah menerima apa yang kubawa.” Pak Handi mengeluarkan beberapa lembar kertas dari balik jaket hitamnya.
**********
                Kali ini Geri disingkirkan. Anak itu tidak diperlukan dalam hal ini. Seperti ucapan Adit dan Dimar padanya, bahwa mereka harus berhenti dari perbuatan ini. Saatnya untuk bertobat. Geri percaya begitu saja. Jadilah ia alpa. Paling tidak, rasa bersalahnya tidak bertambah.
                Begitulah. Pak Handi, Sudirman, dan Bayu berjaga di ruang kepala sekolah. Memakan gorengan yang ditemani seceret air kopi panas. Berbicara ke sana kemari. Sesekali berkeliling seantaro sekolah. Mengantisipasi kemungkinan adanya penyusupan. Dan nihil.
                Sampai pukul 12 malam, ketiganya masih terjaga. Hanya Bayu yang menguap berkali-kali. Dan mulai merebahkan diri di sofa di ruang tamu kepala sekolah. Pak Handi sibuk berlayar ke dunia maya. Dan Sudirman yang sering mondar-mandir. Keluar masuk ruangan. Sesuatu mengaduk isi perutnya. Kamar mandi menjadi langganannya hampir sepanjang malam.
                Syahdan. Ujian Nasional sekota berjalan tanpa kendala. Meskipun ada desas desus kebocoran soal, namun hal tersebut tidak menular kemana-mana. Hanya dianggap angin lalu. Itu biasa. Juga terdengar kasus, beberapa oknum guru yang terlihat membantu siswanya selama ujian berlangsung. Guru yang terlalu sayang pada muridnya. Atau sekedar ingin sekolahnya dinilai berprestasi. Semua alasan itu menjadi tabu dan belakangan semakin bisa dinalar.
                Diluar dari tetek bengek prosesi Ujian Nasional itu, ada pihak yang tengah kejatuhan buah durian dari langit. Tak tanggung-tanggung, harga per paket jawaban yang ditawarkan  mulai 3 sampai 4 juta rupiah. Orang kaya baru pun muncul.
                Terkumpul hampir empat puluh juta. Hanya sayang, harga selangit itu tidak diikuti oleh daya beli konsumen. Banyak siswa yang membeli harus berpatungan uang terlebih dahulu. Setelah itu ada juga yang menjual kembali. Begitulah seterusnya.
                Tiga anak manusia itu bersyukur. Bersyukur atas sesuatu yang tidak layak untuk disyukuri. Berkhianat kepada dunia pendidikan bangsa sendiri. Cita-cita untuk mewujudkan pendidikan berkarakter pupus ditelan bumi. Tergadai dalam lembaran-lembaran uang bernominal lima dan enam angka.
**********
                Adit hampir pingsan. Sementara Dimar mematung tidak percaya. Lembar putih ditangannya umpama badai tornado yang menyapu beberapa wilayah Amerika. Dan dipodium, pak Raden lesu mendapati 80% muridnya harus mengikuti ujian ulang atau mengambil paket C. Riko, si Kapten ada diantaranya.
                Riuh rendah tangis pecah didalam aula. Tidak hanya dari siswa yang bersangkutan, tetapi juga berasal dari orang tua yang hadir. Haru biru. Banyak yang meraung. Seolah-olah kerasukan jin yang tersesat. Padahal, sebuah bentuk penyesalan.
                Sisanya, mengukir senyum dihati. Tidak mungkin melompat-lompat ditengah kesedihan kebanyakan siswa lainnya. Geri, nilainya hanya terpaut 0,5 dari standar kelulusan. Ia bangga, bisa membuat ibunya menangis bahagia. Dalam hatinya terbersit untuk membersihkan uangnya dari hasil penjualan malam itu. Sebelum semuanya terlambat. Dan jika harus menghadapi sangsi, ia terima.
                Pak Handi beralasan mengambil cuti panjang. Sehingga ia tidak menyaksikan langsung penderitaan murid yang dibohonginya. Sejak kapan ia punya relasi dipusat. Ia hanya bosan hidup dari hasil honorer yang tak seberapa. Prestasinya didikannya di sekolah tidak mendapat penghargaan yang sesuai. Dua puluh juta, itu pantas. Pandai-pandai mencari untung ditengah buntung, itu motto hidupnya.
                Potret kehidupan. Hanya saja belum dibingkai. Sudah terjadi dan tidak bisa diulangi. Tidak ada rekonstruksi kriminalitas pendidikan. Semuanya bungkam. Adit dan Dimar menjadi mangsa. Amukan konsumennya mengarah pada mereka berdua. Mau apa lagi. Menjelaskan yang sebenarnya tidak ada gunanya. Kejadian terparahnya, beberapa lebam menghiasi rupa mereka. Di muka, punggung dan beberapa bagian di dada.
                Keduanya kompak, beralasan kepada orang tua bahwa mereka terjatuh ketika berkendara. Orang tua masing-masing memendam berang. Tidak mungkin itu alasannya. Namun, sama seperti Kapten, Adit dan Dimar diam seribu bahasa dengan berjuta dalih. 

N/B: di kirim ke annida-online.com, tapi sepertinya tidak ada di inbox email mereka. Jadi  saya entry disini aja deh....


0 Messages:

Posting Komentar

 
;