Bally tampak sesekali menyisir rambutnya ke belakang menggukan jari-jemarinya. Jika
dibilang parlente ia hari itu, justru berlebihan. Dikatakan hampir, itu lebih
mendekati. Dan pembawaannya diatur sedemikian rupa agar lebih berwibawa serta
elegan. Merasa menjadi pusat perhatian para siswi, duduknya gusar. Meskipun
bukan hanya itu sebenarnya penyebabnya. Kesannya sebagai seorang pengajar
psikolog ternyata tidak bisa membantunya kali ini. Walau bagaimanapun
harap-harap cemas itu tetap ada.
Di
kursi sebelahnya, disamping Bally ada Donita yang tegang. Muka, tengkuk hingga
ke rahang-rahangnya. Tidak ada senyum terulas kecuali dihatinya. Jika bisa, ia
ingin melompat hingga kelangit. Ia sangat yakin, hari ini adalah miliknya.
Tidak Smarta, tidak Bally, apalagi Soegara. Tentunya setelah apa yang ia
lakukan beberapa hari yang lalu. Hari pendidikan nasional tahun ini akan
menjadi hari yang bersejarah dalam hidupnya. Ia ingin mengatakan kepada dunia
bahwa dirinya layak diperhitungkan. Hanya untuk tahun ini. Tahun depan? Ia
meyakinkan dirinya untuk tidak lagi ambil bagian. “Tidak lah sama antara
karyawan yang dipecat dengan mengundurkan diri. Yang terakhir bisa berjalan
dengan membusungkan dada.” Pikirnya. Sementara matanya menatap seisi ruangan
berkonsep pendidikan berkarakter tersebut. Diluar kendalinya, bibirnya tertarik
keras ke kiri dan kanan.
Dan
yang paling rilek adalah Smarta. Walau
demikian, mendapat kursi disamping seseorang yang membenci dirinya adalah hal
yang tidak mengenakkan. Terlebih karena ajang ini ditahun lalu adalah penyebabnya.
Ia akan semakin rilek seandainya duduk
disamping Bally. Bagaimana tidak, komunikasinya harus melewati karang yang
menjulang tinggi. “Dan, seandainya Soegara datang lebih awal.” Smarta membatin.
Kursi disampingnya masih kosong. Memang hal luar biasa jika guru bahasa Inggris
itu datang tidak tepat waktu. Smarta membuat daftar hal yang mungkin
menyebabkan rekan kompetitornya belum menampakkan batang hidungnya. Sakit,
menempati tempat teratas. Tetapi, pikir Smarta, bukankah Soegara bisa
mengirimkan pesan singkat atau menelpon. Kedua, ia tengah dalam perjalanan.
Bisa jadi sepeda motornya bermasalah ketika ingin datang lebih awal kesini. Itu
sangat memungkinkan. Dan yang terakhir, Soegara bermaksud untuk tidak
menghadiri acara ini. Namun sepertinya itu tidak masuk akal. Lelaki itu tidak
akan begitu saja meninggalkan event yang penting buat sekolah dimana ia mengais
rezeki. Tidak akan.
Dari
Bally, mata Smarta mengarah ke pintu masuk. Berharap disana ada Soegara
berlari-lari kecil menuju podium. Menyapa dirinya dan mengucapkan maaf karena
ia telat. Nihil. Itu hanya ada dalam angan-angan Smarta.
Di
lain pihak, Pak Imtihan berinisiatif bijak. Sebaiknya acara perhargaan Teacher
of The Year 2012 dimulai saja. Ia mengangkat tangannya sebagai aba-aba kepada
ketua panitia. Dan acara pun dibuka.
Sambutan
hanya oleh sang kepala sekolah. Mengulas singkat tentang ajang ini serta
mengucapkan selamat kepada seluruh siswa kelas tiga yang baru saja mengikuti
ujian nasional. Dalam kesempatan itu, pak Imtihan juga mengajak semuanya untuk
berdoa agar hasil ujian nasional tahun ini bahkan lebih baik dari tahun
sebelumnya. Meskipun ditahun lalu, sekolah Bintang lulus seratus persen dan
menduduki peringkat pertama dalam hal nilai.
Selesai.
Sebaik saja pak Imtihan mengucapkan salam penutup dan dijawab oleh seluruh yang
hadir diruangan itu, tepuk tanganpun bergemuruh. Lalu sang MC mengambil posisi.
“Setelah
ini kita akan menyaksikan sebuah persembahan spesial dari pihak sekolah. Kepada
Mr. Soegara kami persilakan.”
Bally
ternganga. Donita mematung. Dan Smarta terperangah.
Sesosok
bayangan hitam ada dibalik tirai panggung. Semua perhatian tertuju pada benda
itu. Perlahan, tirai putih itu disibak menepi. Dan Soegara muncul dengan biola
menempel dipundaknya. Gesekan pertama, melambungkan hingga ke awan. Kedua,
ketiga dan gesekan demi gesekan pun tercipta. Mengalunkan irama syahdu nan
merdu. Semua mata tertuju padanya.
Dan
beberapa saat kemudian, pintu aula terbuka. Burqa muncul disana. Menenteng
selembar kertas putih. Ia berjalan menuju podium. Mic kecil terselip
ditelinganya. Fokusnya hanya satu, membaca tulisan dikertas tersebut.
Langkahnya perlahan, tetapi pasti. Seirama dengan gesekan biola dari sang guru.
Perpaduan sempurna.
Puisinya usai
tepat ketika ia menginjakkan kaki di podium. Dan suara biola pun berhenti.
“Guru Langit. Karya Soegara.” Burqa menunduk memberi hormat pada seluruh yang
hadir disana.
Tak ayal lagi,
semua meneteskan air mata. Pak Imtihan, Bally, Smarta hingga Donita yang
pura-pura tidak tersentuh. Juga staf pengajar, siswa serta pak Burhan yang
mengintip dari jendela.
Hening.
Pak Imtihan
membuyarkannya dengan bertepuk tangan. Dan kemudian di ikuti tangan-tangan
lainnya. Soegara menuju kursi kosong disamping Smarta. Sementara Burqa duduk di
jejeran siswa lainnya.
“Orang pendiam
memang punya cara sendiri untuk membuat kejutan.” Smarta berbisik kepada
Soegara.
Soegara hanya
mengangkat alisnya.
“Saya tidak
tahu yang pak guru bisa bermain biola.” Ungkapnya lagi.
“Itu buah dari
penjajahan oleh ayah sewaktu kecil. Ia memaksa untuk mengikuti kelas musik.
Sambil menggerutu, namun aku tetap ikut juga katanya. Akhirnya ayah mengetahui
sendiri bahwa saya tidak tertarik untuk terjun ke dunia itu lebih jauh.”
Smarta
nyengir.
“Sudah lama
sekali saya tidak memainkan itu. Saya takut justru akan memalukan tadi.” Tambah
Soegara lagi.
“Itu bagus.
Dan tentang puisi itu?”
Di kursi
paling ujung, Bally berusaha mencari perhatian. Dan ketika Soegara beralih
padanya, ia mengangkat kedua jempolnya. Giliran Soegara yang nyengir.
Donita
berpendapat lain. Apa yang dilakukan Soegara itu biasa-biasa saja. Meskipun
tadi ia bahkan hampir tidak berkedip. “Anakku yang SMP bisa lebih dari itu.”
Kata hatinya.
Sebenarnya ia
ngeri ketika hatinya sempat mengingatkan dirinya pada anaknya yang bungsu
tersebut. Memang dii bidang musik, anak itu bisa sedikit diandalkan. Tetapi, besar kemungkinan ia akan terlempar ke
sekolah lain. Tidak masuk kualifikasi untuk bersekolah di Sekolah Bintang
tersebut. Ia menyadari dirinya terang-terang telah gagal.
******
Hanya dalam
hitungan detik kedepan, sang ketua osis yang juga bertindak sebagai ketua
panitia sudah berdiri dengan amplop terselip di saku jas nya. Amplop tersebut
menyimpan sebuah nama rahasia. Satu diantara empat orang yang dinilai, ya
beruntung. Demikian menurut pak Imtihan. Karena apa? Pemilihan secara voting seringkali
jauh dari fair. Uang, pamor, tampang
fisik tetapi mengesampingkan kualitas. Kala itu sang kepala sekolah mengambil
contoh dari kontes pencari bakat hingga pemilihan berbagai kepala, “pokoknya
kepala-kepala apalah,” tukasnya kala itu.
“Teacher of
The Year, tahun ini jatuh pada….”
Sang ketua
Osis membuka lipatan amplop dengan hati-hati. Sambil menghadap ke seluruh
siswa, ia bertanya, “Siapa?”
“Mr. Bally…..”
beberapa siswi berteriak.
Tak mau kalah,
para siswa lainnya juga meneriakkan sebuah nama. “Ms. Smarta…..”
Mendengar itu,
Bally semakin melebarkan senyumnya. Demikian pula dengan Smarta. Soegara diam
tanpa ekspresi antusiasme. Dan Donita menggelegak.
“Tenang-tenang.”
Kata sang ketua Osis.
“Dia
adalah…..” Suaranya tertahan.
Deg, deg, deg.
Suara detakan jantung mengisi sudut-sudut ruang aula.
“Mr. Bally
Setiawan.”
Sorak sorai
menggema. Histeria pendukung Bally tidak bisa dibendung. Para siswi melonjak
kegirangan. Dan siswa pula banyak yang bermuka kecewa.
Sang pemenang
hampir lupa bahwa kakinya ternyata masih menginjak bumi. Langkahnya tercipta
sembari namanya disebut untuk maju. Disana pak Imtihan berdiri dengan sebuah
piagam penghargaan. Jabat tangan, dan berpelukan. Lalu Bally menghadap ke
seluruh siswanya. Sorak sorai kembali menggema.
Disela riuh
rendah itu, sang ketua Osis sedikit mengurai tentang hasil polling. “Mr. Bally Setiawan
mendapat dukungan sebanyak 44%.” Berhenti sebentar.
“Selanjutnya
di ikuti oleh Ms. Smarta Nisa dengan perolehan dukungan sebanyak 32%. Lalu Ms.
Donita 20%. Dan terakhir 0,4% adalah Mr. Soegara.” Lanjut sang ketua Osis.
Mendengar itu
Burqa memicingkan mata pada teman disampingnya, “Itu kamu Len?”
Leni tidak berkata apa-apa.
Smarta ikut
senang atas gelar yang didapatkan oleh Bally, meskipun ia berharap sejatinya
Soegara yang seharusnya ada diposisi itu. Namun, ya, itulah kompetisi. Tidak
selamanya pemenang selalu yang terbaik. “Mungkin” Smarta membatin. Di alihkan
perhatiannya pada pengajar disampingnya.
Soegara
berbaur dengan keadaan. Tak berbeda dengan Smarta, ia juga senang atas
keberhasilan Bally tahun ini. Itu suatu penghargaan yang layak didapatkan oleh
guru muda tersebut, pikirnya. Seandainya ia yang terpilih, akan sangat sulit
baginya untuk mempertanggungjawabkan itu kelak. Tepuk tangannya masih berlanjut
ketika Bally memberikan sambutan beserta ucapan terima kasih.
Di lain pihak,
Donita meremas-remas jari-jemarinya. Mengenggamnya sekuat mungkin. Berharap
emosinya tidak tumpah. Tangannya ia sembunyikan di belakang. Ia yakin tidak ada
yang mengetahui hal itu. Susah payah ia menonjolkan muka tidak kecewa seperti
tahun lalu. Boleh dibilang itu cukup berhasil. Meskipun ia hendak berteriak
sekeras mungkin.
“Permisi.”
Donita berjalan di muka Smarta dan Soegara. Berniat ingin ke belakang sebentar.
Secepat kilat
ia sudah sampai di toilet guru. Menutup pintu tanpa ampun. Dan berhenti di
tepat di wastafel. Ia melihat muka pecundangnya sempurna di cermin. Gaunnya
yang dikiranya anggun, kini mentertawakannya seperti seluruh siswa di aula tadi
yang menurutnya juga mentertawakan kegagalannya.
“Ha………” Donita
berteriak histeris. Lalu tangisnya pecah.
Terdengar
ketukan dari balik pintu, “bu, anda tidak apa-apa?”
Merasa
kepergok, ia berbohong, “saya baik-baik saja. Hanya ada kecoa.”
Donita
mendengar langkah kaki menjauh. Sekarang ia kembali sendirian. Tangisnya
tertahan menjadi sebuah isakan. Ditatapnya mukanya di cermin kembali. Kusut.
Make up nya sudah luntur. Bersamaan dengan harga dirinya. Seperti tahun lalu.
Hanya saja tahun ini entah mengapa lebih menyakitkan. Ia bertahan disana lebih
dari sepuluh menit.
“Tidak, aku
tidak boleh membiarkan ini berlarut-larut. Pengorbananku sudah sejauh ini.
Sia-sia jika harus tidak mendapat apa-apa. Aku kalah, mereka juga harus kalah.”
Tawa sinis ada dicermin. Sorot matanya menyiratkan dendam yang belum terbalas.
Bergegas
Donita mencuci mukanya. Tidak ingin ketahuan bahwa ia baru saja melelehkan
gelegak hatinya. Ia kembali bergabung.
Kehadirannya
kembali di podium dikejutkan oleh suara sang ketua Osis, “Ms. Donita, kami semua
menunggu kedatangannya. Kami persilakan untuk mengucapkan sepatah dua patah
kata.”
“Ini saatnya!”
Bisik hatinya.
Donita berucap
salam lalu berterima kasih atas kesempatan tersebut. Menyusun irama nafasnya
agar terdengar normal.
“Selamat
kepada Mr. Bally Setiawan. Saya rasa anda memang patut mendapatkan penghargaan
itu.” Jeda sejenak.
“Tapi kita
semua tahu bukan bahwa sistem pemilihan seperti ini punya kelemahan. Yang
menurut saya sangat fatal. Saya salah jika memang ingin mendapatkan pemenang
secara instan. Tetapi, bukankah ajang ini untuk memilih pengajar yang terbaik.
Saya yakin, diantara yang memilih Bally berasal dari kalangan siswi.”
Para siswi
saling pandang sesama mereka. Sementara Bally menelan ludah atas apa yang
didengarnya.
“Jika kalian
mengira saya kecewa atas keputusan ini, itu tidak benar. Saya hanya ingin
sekedar meluruskan. Dan” Donita berhenti untuk menjelajahi seisi ruangan.
“Dan agar
sistem pemilihan ini menjadi yang pertama dan terakhir. Kepada para siswi saya
ingin menekankan. Bagaimana jika suatu saat Mr. Bally harus meninggalkan
sekolah ini? Apakah kalian tetap bersemangat dalam belajar? Begitu juga
seandainya Ms. Smarta harus mengajar ditempat lain. Apakah kalian para siswa
akan senang pelajaran Bahasa Indonesia?. Di situlah intinya. Jujur, hati
terkecilku mengakui bahwa sebenarnya yang layak untuk mendapat gelar ini tahun
ini adalah Mr. Soegara. Kita tahu sendiri bagaimana beliau, bukan? Kalian
menyukai bahkan mencintainya bukan karena tampang rupa. Melainkan cara mengajar serta keseriusannya. Ia ingin
kalian mendapatkan nilai serta pemahaman terbaik dalam kelasnya.”
Soegara yang
disebut-sebut menunduk. Perasaan tidak enak melanda dirinya. Terutama pada
Bally. Ia melihat wajah Bally yang tadinya sumringah kini berubah muram.
Kata-kata Donita mengenai hingga ke hatinya. Tentu itu menyakitkan. Dan Soegara
dilibatkan dalam hal ini. Seharusnya tidak begitu.
Persis seperti
Soegara, Smarta menangkap hal yang sama pada Bally. Sekarang guru BK yang ada
disampingnya tidak berani mengangkat muka lebih tinggi. Pandangannya menerawangan.
Rasa bahagianya menguap pelan-pelan. Semakin lama Donita berbicara disana,
selama itu pula ia menunduk. Seharusnya tidak begitu.
“Itu saja,
terima kasih. Wassalamu’alaikum.”
Donita
bergabung dengan tiga nominator lainnya. Bally yang tidak mengangkat muka,
Smarta yang tidak lagi serileks sebelumnya, dan Soegara yang merasa bersalah.
“Puas!”
Melihat itu
Donita merasa benar-benar menang.
******
“Sedikit banyak
saya setuju dengan ucapan Ms. Donita waktu itu. Sistem pemilihan harus dirubah.
Cara lama lebih mempunyai nilai. Dan betul juga, seharusnya yang mendapatkan
penghargaan hari itu adalah Soegara. Buktinya sudah didepan mata.” Pak Imtihan
berucap kepada empat wakil kepala sekolah.
Sekolah
Bintang menduduki peringkat teratas kembali dalam nilai kelulusan. Dan tahun
ini lebih istimewa, nilai Bahasa Inggris salah satu siswanya menjadi yang
tertinggi tingkat nasional. Itu membanggakan.
0 Messages:
Posting Komentar