Senin, 30 April 2012

Teacher of The Year 2 (The End)


                 Bally tampak sesekali menyisir rambutnya  ke belakang menggukan jari-jemarinya. Jika dibilang parlente ia hari itu, justru berlebihan. Dikatakan hampir, itu lebih mendekati. Dan pembawaannya diatur sedemikian rupa agar lebih berwibawa serta elegan. Merasa menjadi pusat perhatian para siswi, duduknya gusar. Meskipun bukan hanya itu sebenarnya penyebabnya. Kesannya sebagai seorang pengajar psikolog ternyata tidak bisa membantunya kali ini. Walau bagaimanapun harap-harap cemas itu tetap ada.
                Di kursi sebelahnya, disamping Bally ada Donita yang tegang. Muka, tengkuk hingga ke rahang-rahangnya. Tidak ada senyum terulas kecuali dihatinya. Jika bisa, ia ingin melompat hingga kelangit. Ia sangat yakin, hari ini adalah miliknya. Tidak Smarta, tidak Bally, apalagi Soegara. Tentunya setelah apa yang ia lakukan beberapa hari yang lalu. Hari pendidikan nasional tahun ini akan menjadi hari yang bersejarah dalam hidupnya. Ia ingin mengatakan kepada dunia bahwa dirinya layak diperhitungkan. Hanya untuk tahun ini. Tahun depan? Ia meyakinkan dirinya untuk tidak lagi ambil bagian. “Tidak lah sama antara karyawan yang dipecat dengan mengundurkan diri. Yang terakhir bisa berjalan dengan membusungkan dada.” Pikirnya. Sementara matanya menatap seisi ruangan berkonsep pendidikan berkarakter tersebut. Diluar kendalinya, bibirnya tertarik keras ke kiri dan kanan.
                Dan yang paling rilek adalah Smarta. Walau demikian, mendapat kursi disamping seseorang yang membenci dirinya adalah hal yang tidak mengenakkan. Terlebih karena ajang ini ditahun lalu adalah penyebabnya. Ia akan semakin rilek seandainya duduk disamping Bally. Bagaimana tidak, komunikasinya harus melewati karang yang menjulang tinggi. “Dan, seandainya Soegara datang lebih awal.” Smarta membatin. Kursi disampingnya masih kosong. Memang hal luar biasa jika guru bahasa Inggris itu datang tidak tepat waktu. Smarta membuat daftar hal yang mungkin menyebabkan rekan kompetitornya belum menampakkan batang hidungnya. Sakit, menempati tempat teratas. Tetapi, pikir Smarta, bukankah Soegara bisa mengirimkan pesan singkat atau menelpon. Kedua, ia tengah dalam perjalanan. Bisa jadi sepeda motornya bermasalah ketika ingin datang lebih awal kesini. Itu sangat memungkinkan. Dan yang terakhir, Soegara bermaksud untuk tidak menghadiri acara ini. Namun sepertinya itu tidak masuk akal. Lelaki itu tidak akan begitu saja meninggalkan event yang penting buat sekolah dimana ia mengais rezeki. Tidak akan.
                Dari Bally, mata Smarta mengarah ke pintu masuk. Berharap disana ada Soegara berlari-lari kecil menuju podium. Menyapa dirinya dan mengucapkan maaf karena ia telat. Nihil. Itu hanya ada dalam angan-angan Smarta.
                Di lain pihak, Pak Imtihan berinisiatif bijak. Sebaiknya acara perhargaan Teacher of The Year 2012 dimulai saja. Ia mengangkat tangannya sebagai aba-aba kepada ketua panitia. Dan acara pun dibuka.
                Sambutan hanya oleh sang kepala sekolah. Mengulas singkat tentang ajang ini serta mengucapkan selamat kepada seluruh siswa kelas tiga yang baru saja mengikuti ujian nasional. Dalam kesempatan itu, pak Imtihan juga mengajak semuanya untuk berdoa agar hasil ujian nasional tahun ini bahkan lebih baik dari tahun sebelumnya. Meskipun ditahun lalu, sekolah Bintang lulus seratus persen dan menduduki peringkat pertama dalam hal nilai.
                Selesai. Sebaik saja pak Imtihan mengucapkan salam penutup dan dijawab oleh seluruh yang hadir diruangan itu, tepuk tanganpun bergemuruh. Lalu sang MC mengambil posisi.
                “Setelah ini kita akan menyaksikan sebuah persembahan spesial dari pihak sekolah. Kepada Mr. Soegara kami persilakan.”
                Bally ternganga. Donita mematung. Dan Smarta terperangah.
                Sesosok bayangan hitam ada dibalik tirai panggung. Semua perhatian tertuju pada benda itu. Perlahan, tirai putih itu disibak menepi. Dan Soegara muncul dengan biola menempel dipundaknya. Gesekan pertama, melambungkan hingga ke awan. Kedua, ketiga dan gesekan demi gesekan pun tercipta. Mengalunkan irama syahdu nan merdu. Semua mata tertuju padanya.
                Dan beberapa saat kemudian, pintu aula terbuka. Burqa muncul disana. Menenteng selembar kertas putih. Ia berjalan menuju podium. Mic kecil terselip ditelinganya. Fokusnya hanya satu, membaca tulisan dikertas tersebut. Langkahnya perlahan, tetapi pasti. Seirama dengan gesekan biola dari sang guru. Perpaduan sempurna.
Puisinya usai tepat ketika ia menginjakkan kaki di podium. Dan suara biola pun berhenti. “Guru Langit. Karya Soegara.” Burqa menunduk memberi hormat pada seluruh yang hadir disana.
Tak ayal lagi, semua meneteskan air mata. Pak Imtihan, Bally, Smarta hingga Donita yang pura-pura tidak tersentuh. Juga staf pengajar, siswa serta pak Burhan yang mengintip dari jendela.
Hening.
Pak Imtihan membuyarkannya dengan bertepuk tangan. Dan kemudian di ikuti tangan-tangan lainnya. Soegara menuju kursi kosong disamping Smarta. Sementara Burqa duduk di jejeran siswa lainnya.
“Orang pendiam memang punya cara sendiri untuk membuat kejutan.” Smarta berbisik kepada Soegara.
Soegara hanya mengangkat alisnya.
“Saya tidak tahu yang pak guru bisa bermain biola.” Ungkapnya lagi.
“Itu buah dari penjajahan oleh ayah sewaktu kecil. Ia memaksa untuk mengikuti kelas musik. Sambil menggerutu, namun aku tetap ikut juga katanya. Akhirnya ayah mengetahui sendiri bahwa saya tidak tertarik untuk terjun ke dunia itu lebih jauh.”
Smarta nyengir.
“Sudah lama sekali saya tidak memainkan itu. Saya takut justru akan memalukan tadi.” Tambah Soegara lagi.
“Itu bagus. Dan tentang puisi itu?”
Di kursi paling ujung, Bally berusaha mencari perhatian. Dan ketika Soegara beralih padanya, ia mengangkat kedua jempolnya. Giliran Soegara yang nyengir.
Donita berpendapat lain. Apa yang dilakukan Soegara itu biasa-biasa saja. Meskipun tadi ia bahkan hampir tidak berkedip. “Anakku yang SMP bisa lebih dari itu.” Kata hatinya.
Sebenarnya ia ngeri ketika hatinya sempat mengingatkan dirinya pada anaknya yang bungsu tersebut. Memang dii bidang musik, anak itu bisa sedikit diandalkan. Tetapi, besar kemungkinan ia akan terlempar ke sekolah lain. Tidak masuk kualifikasi untuk bersekolah di Sekolah Bintang tersebut. Ia menyadari dirinya terang-terang telah gagal.
******
Hanya dalam hitungan detik kedepan, sang ketua osis yang juga bertindak sebagai ketua panitia sudah berdiri dengan amplop terselip di saku jas nya. Amplop tersebut menyimpan sebuah nama rahasia. Satu diantara empat orang yang dinilai, ya beruntung. Demikian menurut pak Imtihan. Karena apa? Pemilihan secara voting seringkali jauh dari fair. Uang, pamor, tampang fisik tetapi mengesampingkan kualitas. Kala itu sang kepala sekolah mengambil contoh dari kontes pencari bakat hingga pemilihan berbagai kepala, “pokoknya kepala-kepala apalah,” tukasnya kala itu.
“Teacher of The Year, tahun ini jatuh pada….”
Sang ketua Osis membuka lipatan amplop dengan hati-hati. Sambil menghadap ke seluruh siswa, ia bertanya, “Siapa?”
“Mr. Bally…..” beberapa siswi berteriak.
Tak mau kalah, para siswa lainnya juga meneriakkan sebuah nama. “Ms. Smarta…..”
Mendengar itu, Bally semakin melebarkan senyumnya. Demikian pula dengan Smarta. Soegara diam tanpa ekspresi antusiasme. Dan Donita menggelegak.
“Tenang-tenang.” Kata sang ketua Osis.
“Dia adalah…..” Suaranya tertahan.
Deg, deg, deg. Suara detakan jantung mengisi sudut-sudut ruang aula.
“Mr. Bally Setiawan.”
Sorak sorai menggema. Histeria pendukung Bally tidak bisa dibendung. Para siswi melonjak kegirangan. Dan siswa pula banyak yang bermuka kecewa.
Sang pemenang hampir lupa bahwa kakinya ternyata masih menginjak bumi. Langkahnya tercipta sembari namanya disebut untuk maju. Disana pak Imtihan berdiri dengan sebuah piagam penghargaan. Jabat tangan, dan berpelukan. Lalu Bally menghadap ke seluruh siswanya. Sorak sorai kembali menggema.
Disela riuh rendah itu, sang ketua Osis sedikit mengurai tentang hasil polling. “Mr. Bally Setiawan mendapat dukungan sebanyak 44%.” Berhenti sebentar.
“Selanjutnya di ikuti oleh Ms. Smarta Nisa dengan perolehan dukungan sebanyak 32%. Lalu Ms. Donita 20%. Dan terakhir 0,4% adalah Mr. Soegara.” Lanjut sang ketua Osis.
Mendengar itu Burqa memicingkan mata pada teman disampingnya, “Itu kamu Len?”
Leni  tidak berkata apa-apa.
Smarta ikut senang atas gelar yang didapatkan oleh Bally, meskipun ia berharap sejatinya Soegara yang seharusnya ada diposisi itu. Namun, ya, itulah kompetisi. Tidak selamanya pemenang selalu yang terbaik. “Mungkin” Smarta membatin. Di alihkan perhatiannya pada pengajar disampingnya.
Soegara berbaur dengan keadaan. Tak berbeda dengan Smarta, ia juga senang atas keberhasilan Bally tahun ini. Itu suatu penghargaan yang layak didapatkan oleh guru muda tersebut, pikirnya. Seandainya ia yang terpilih, akan sangat sulit baginya untuk mempertanggungjawabkan itu kelak. Tepuk tangannya masih berlanjut ketika Bally memberikan sambutan beserta ucapan terima kasih.
Di lain pihak, Donita meremas-remas jari-jemarinya. Mengenggamnya sekuat mungkin. Berharap emosinya tidak tumpah. Tangannya ia sembunyikan di belakang. Ia yakin tidak ada yang mengetahui hal itu. Susah payah ia menonjolkan muka tidak kecewa seperti tahun lalu. Boleh dibilang itu cukup berhasil. Meskipun ia hendak berteriak sekeras mungkin.
“Permisi.” Donita berjalan di muka Smarta dan Soegara. Berniat ingin ke belakang sebentar.
Secepat kilat ia sudah sampai di toilet guru. Menutup pintu tanpa ampun. Dan berhenti di tepat di wastafel. Ia melihat muka pecundangnya sempurna di cermin. Gaunnya yang dikiranya anggun, kini mentertawakannya seperti seluruh siswa di aula tadi yang menurutnya juga mentertawakan kegagalannya.
“Ha………” Donita berteriak histeris. Lalu tangisnya pecah.
Terdengar ketukan dari balik pintu, “bu, anda tidak apa-apa?”
Merasa kepergok, ia berbohong, “saya baik-baik saja. Hanya ada kecoa.”
Donita mendengar langkah kaki menjauh. Sekarang ia kembali sendirian. Tangisnya tertahan menjadi sebuah isakan. Ditatapnya mukanya di cermin kembali. Kusut. Make up nya sudah luntur. Bersamaan dengan harga dirinya. Seperti tahun lalu. Hanya saja tahun ini entah mengapa lebih menyakitkan. Ia bertahan disana lebih dari sepuluh menit.
“Tidak, aku tidak boleh membiarkan ini berlarut-larut. Pengorbananku sudah sejauh ini. Sia-sia jika harus tidak mendapat apa-apa. Aku kalah, mereka juga harus kalah.” Tawa sinis ada dicermin. Sorot matanya menyiratkan dendam yang belum terbalas.
Bergegas Donita mencuci mukanya. Tidak ingin ketahuan bahwa ia baru saja melelehkan gelegak hatinya. Ia kembali bergabung.
Kehadirannya kembali di podium dikejutkan oleh suara sang ketua Osis, “Ms. Donita, kami semua menunggu kedatangannya. Kami persilakan untuk mengucapkan sepatah dua patah kata.”
“Ini saatnya!” Bisik hatinya.
Donita berucap salam lalu berterima kasih atas kesempatan tersebut. Menyusun irama nafasnya agar terdengar normal.
“Selamat kepada Mr. Bally Setiawan. Saya rasa anda memang patut mendapatkan penghargaan itu.” Jeda sejenak.
“Tapi kita semua tahu bukan bahwa sistem pemilihan seperti ini punya kelemahan. Yang menurut saya sangat fatal. Saya salah jika memang ingin mendapatkan pemenang secara instan. Tetapi, bukankah ajang ini untuk memilih pengajar yang terbaik. Saya yakin, diantara yang memilih Bally berasal dari kalangan siswi.”
Para siswi saling pandang sesama mereka. Sementara Bally menelan ludah atas apa yang didengarnya.
“Jika kalian mengira saya kecewa atas keputusan ini, itu tidak benar. Saya hanya ingin sekedar meluruskan. Dan” Donita berhenti untuk menjelajahi seisi ruangan.
“Dan agar sistem pemilihan ini menjadi yang pertama dan terakhir. Kepada para siswi saya ingin menekankan. Bagaimana jika suatu saat Mr. Bally harus meninggalkan sekolah ini? Apakah kalian tetap bersemangat dalam belajar? Begitu juga seandainya Ms. Smarta harus mengajar ditempat lain. Apakah kalian para siswa akan senang pelajaran Bahasa Indonesia?. Di situlah intinya. Jujur, hati terkecilku mengakui bahwa sebenarnya yang layak untuk mendapat gelar ini tahun ini adalah Mr. Soegara. Kita tahu sendiri bagaimana beliau, bukan? Kalian menyukai bahkan mencintainya bukan karena tampang rupa. Melainkan  cara mengajar serta keseriusannya. Ia ingin kalian mendapatkan nilai serta pemahaman terbaik dalam kelasnya.”
Soegara yang disebut-sebut menunduk. Perasaan tidak enak melanda dirinya. Terutama pada Bally. Ia melihat wajah Bally yang tadinya sumringah kini berubah muram. Kata-kata Donita mengenai hingga ke hatinya. Tentu itu menyakitkan. Dan Soegara dilibatkan dalam hal ini. Seharusnya tidak begitu.
Persis seperti Soegara, Smarta menangkap hal yang sama pada Bally. Sekarang guru BK yang ada disampingnya tidak berani mengangkat muka lebih tinggi. Pandangannya menerawangan. Rasa bahagianya menguap pelan-pelan. Semakin lama Donita berbicara disana, selama itu pula ia menunduk. Seharusnya tidak begitu.
“Itu saja, terima kasih. Wassalamu’alaikum.”
Donita bergabung dengan tiga nominator lainnya. Bally yang tidak mengangkat muka, Smarta yang tidak lagi serileks sebelumnya, dan Soegara yang merasa bersalah.
“Puas!”
Melihat itu Donita merasa benar-benar menang.
******
“Sedikit banyak saya setuju dengan ucapan Ms. Donita waktu itu. Sistem pemilihan harus dirubah. Cara lama lebih mempunyai nilai. Dan betul juga, seharusnya yang mendapatkan penghargaan hari itu adalah Soegara. Buktinya sudah didepan mata.” Pak Imtihan berucap kepada empat wakil kepala sekolah.
Sekolah Bintang menduduki peringkat teratas kembali dalam nilai kelulusan. Dan tahun ini lebih istimewa, nilai Bahasa Inggris salah satu siswanya menjadi yang tertinggi tingkat nasional. Itu membanggakan.




                

0 Messages:

Posting Komentar

 
;