Kala itu, ia
memakai almamater merah maron. Bukan untuk sekedar pamer, tapi itulah lambang
status pendidikannya. Kebanggaan jelas terlihat di wajahnya setiap kali turun
kejalan. Membawa TOA agar suaranya tetap lantang membelah cakrawala. Juga agar
mampu menggugah hati nurani para punggawa di istana.
Hari itu ia
berjalan beramai-ramai dengan kolega dari berbagai kampus. Jadilah siang itu,
bundaran penuh warna. Kegerahan seakan
menguap sejenak melihat warna-warni pelajar kelas atas itu. Namun, bohong jika
kau mengatakan hawa panas itu sirna.
Tak dapat
dihindari, bentrokan antara para demonstran dengan aparat yang sengaja
diturunkan untuk menghadang massa. Bukan hanya menghadang sebenarnya, tapi
lebih kepada melindungi pemerintahan. Korban yang jatuh tidak bisa dihindari.
Satu, dua, tiga dan seterusnya. Hanya meninggalkan sebuah nama. Pantas saja
gelar pahlawan reformasi di sematkan di jenazahnya kelak. Biar Allah yang
menilai, mati seperti apa diri mereka itu. Pandangan kita menilai, itu mati
mulia.
Cita-cita
reformasi terwujud. Singgahsana tiga puluh dua tahun runtuh berkeping-keping.
Penguasa kala itu menyatakan diri mundur. Lebih terhormat dari pada harus
ditarik mundur. Itu pilihannya. Dan sang wakil pun menaiki jabatannya. Pergantian
demi pergantian presiden pun terus terjadi.
Reformasi, sebuah
momentum heroik ditahun 1998. Biarlah pelajaran-pelajaran di sekolah
mencatatnya. Karena sekarang ia bagian dari sejarah itu.
Hampir
mual ia melihat setumpuk uang di atas mejanya. Sangat keterlaluan jika kau yang
melihatnya mengatakan itu jumlahnya sedikit. Tidak, jumlah nolnya hampir
sembilan digit. Luar biasa bukan. Itu demi licinnya sebuah kasus perpajakan
yang tengah ia tangani. Sang klien ingin pajaknya bisa ditekan sekecil mungkin.
Tentunya, dengan sedikit “cara berbeda”.
Ah,
kamu. Yang lalu-lalu kamu terima dengan senang hati. Lah, kenapa dengan yang
ini. Bahkan jumlahnya lebih banyak. Bukan begitu?
Ia
tidak lagi ingat warna apa sebenarnya almamater yang dikenakannya ketika
menurunkan rezim pemerintahan yang terkenal KKN. Ia lupa. Merah, Merah Muda,
Merah Hati, Merah Maron, ataukah Pink.
Dan
sesungguhnya tidak perlu untuk mengingat baju kebesaran yang telah di makan
rayap itu. Toh ia telah menjadi bagian dari lingkaran setan korupsi. Ia tahu,
tidak mudah untuk keluar dari lingkaran itu. Kecuali….
Kecuali,
apa? Di Adili!
Yah,
kamu bicaranya sok suci sih. Menggunakan kata “Di Adili” segala. Tidak perlu
sekejam itu, kawan. Jika pun memang harus melewatinya. Itu hanya sekedar sebuah
prosesi. Menguak kepermukaan lalu lenyap di dibawa air laut. Hilang. Dan kau akan bersenang-senang.
Itulah.
Ia tidak tahu harus mulai dari mana menuju tobat. Mengaku saja tidak akan
semudah yang dibayangkan. Karena pihak-pihak yang pernah melibatkan dirinya
tentu tidak akan terima begitu saja. Tidak apa! Teruskan berjuang.
Ia
juga tahu, uang itu telah mengalir ke tubuh-tubuh anak serta istrinya. Mendarah
daging. Alhasil, istrinya jauh dikatakan sebagai pendamping sholeha. Begitupun
anak-anaknya. Lebih rakus dari rayap yang menggerogoti almamaternya. Semua
sudah terlambat.
Jika
kau berpikir terlambat, maka itu memang sudah terlambat. Tetapi keterlambatan
dalam ukuran Allah bukan demikian. Keterlambatan itu adalah pada saat nyawa
sudah dikerongkongan. Kenyataannya itu belum terjadi padamu. Maka bersegeralah,
kawan. Allah mencintai orang-orang yang bertobat. Ya Allah tunjukilah kami
jalan yang lurus. Jalan orang-orang yang Kau beri nikmat. Bukan jalan mereka
yang Kau murkai. Dan bukan pula jalan mereka yang sesat. Aamiin.
0 Messages:
Posting Komentar