Sabtu, 07 April 2012

Tunjuki kami Jalan Taubat

                Kala itu, ia memakai almamater merah maron. Bukan untuk sekedar pamer, tapi itulah lambang status pendidikannya. Kebanggaan jelas terlihat di wajahnya setiap kali turun kejalan. Membawa TOA agar suaranya tetap lantang membelah cakrawala. Juga agar mampu menggugah hati nurani para punggawa di istana.
                Hari itu ia berjalan beramai-ramai dengan kolega dari berbagai kampus. Jadilah siang itu, bundaran penuh warna. Kegerahan  seakan menguap sejenak melihat warna-warni pelajar kelas atas itu. Namun, bohong jika kau mengatakan hawa panas itu sirna.
                Tak dapat dihindari, bentrokan antara para demonstran dengan aparat yang sengaja diturunkan untuk menghadang massa. Bukan hanya menghadang sebenarnya, tapi lebih kepada melindungi pemerintahan. Korban yang jatuh tidak bisa dihindari. Satu, dua, tiga dan seterusnya. Hanya meninggalkan sebuah nama. Pantas saja gelar pahlawan reformasi di sematkan di jenazahnya kelak. Biar Allah yang menilai, mati seperti apa diri mereka itu. Pandangan kita menilai, itu mati mulia.
                Cita-cita reformasi terwujud. Singgahsana tiga puluh dua tahun runtuh berkeping-keping. Penguasa kala itu menyatakan diri mundur. Lebih terhormat dari pada harus ditarik mundur. Itu pilihannya. Dan sang wakil pun menaiki jabatannya. Pergantian demi pergantian presiden pun terus terjadi.
                Reformasi, sebuah momentum heroik ditahun 1998. Biarlah pelajaran-pelajaran di sekolah mencatatnya. Karena sekarang ia bagian dari sejarah itu.
                Hampir mual ia melihat setumpuk uang di atas mejanya. Sangat keterlaluan jika kau yang melihatnya mengatakan itu jumlahnya sedikit. Tidak, jumlah nolnya hampir sembilan digit. Luar biasa bukan. Itu demi licinnya sebuah kasus perpajakan yang tengah ia tangani. Sang klien ingin pajaknya bisa ditekan sekecil mungkin. Tentunya, dengan sedikit “cara berbeda”.
                Ah, kamu. Yang lalu-lalu kamu terima dengan senang hati. Lah, kenapa dengan yang ini. Bahkan jumlahnya lebih banyak. Bukan begitu?
                Ia tidak lagi ingat warna apa sebenarnya almamater yang dikenakannya ketika menurunkan rezim pemerintahan yang terkenal KKN. Ia lupa. Merah, Merah Muda, Merah Hati, Merah Maron, ataukah Pink.
                Dan sesungguhnya tidak perlu untuk mengingat baju kebesaran yang telah di makan rayap itu. Toh ia telah menjadi bagian dari lingkaran setan korupsi. Ia tahu, tidak mudah untuk keluar dari lingkaran itu. Kecuali….
                Kecuali, apa? Di Adili!
                Yah, kamu bicaranya sok suci sih. Menggunakan kata “Di Adili” segala. Tidak perlu sekejam itu, kawan. Jika pun memang harus melewatinya. Itu hanya sekedar sebuah prosesi. Menguak kepermukaan lalu lenyap di dibawa air laut.  Hilang. Dan kau akan bersenang-senang.
                Itulah. Ia tidak tahu harus mulai dari mana menuju tobat. Mengaku saja tidak akan semudah yang dibayangkan. Karena pihak-pihak yang pernah melibatkan dirinya tentu tidak akan terima begitu saja. Tidak apa! Teruskan berjuang.
                Ia juga tahu, uang itu telah mengalir ke tubuh-tubuh anak serta istrinya. Mendarah daging. Alhasil, istrinya jauh dikatakan sebagai pendamping sholeha. Begitupun anak-anaknya. Lebih rakus dari rayap yang menggerogoti almamaternya. Semua sudah terlambat.
                Jika kau berpikir terlambat, maka itu memang sudah terlambat. Tetapi keterlambatan dalam ukuran Allah bukan demikian. Keterlambatan itu adalah pada saat nyawa sudah dikerongkongan. Kenyataannya itu belum terjadi padamu. Maka bersegeralah, kawan. Allah mencintai orang-orang yang bertobat. Ya Allah tunjukilah kami jalan yang lurus. Jalan orang-orang yang Kau beri nikmat. Bukan jalan mereka yang Kau murkai. Dan bukan pula jalan mereka yang sesat. Aamiin.

0 Messages:

Posting Komentar

 
;