Jumat, 27 September 2013

Mocai Menghilang


Runi gak pernah membayangkan hari-hari kedepan. Tanpa Mocai, oh sungguh terasa ada yang hilang. Tiada lagi yang mengeong, mengelus kaki saat berjalan, dan  terpenting, gerombolan tikus bakal berpesta di rumah. Membayangkannya, menjadikan gadis itu semakin terperuk dalam kesedihan. Tiba-tiba, dari pelupuk matanya, menganak sungai aliran bening. Telat menyeka, jatuh begitu saja di jilbab ungunya. "Mocai," ucapnya lirih.

Hening, sepi, seolah kehidupan telah lenyap. Runi mencoba berpikir positif diantara dugaan-dugaan mengerikan yang menimpa kucingnya itu. Tapi sungguh sulit nian. Berkelebat bayangan Mocai mengeong untuk terakhir kalinya, sebelum menjemput maut di ujung pisau. Uh...tidakkkk! Mocai, dimana kamu.

Harus ada yang dikasih tahu tentang ini. Meski belum tentu mengembalikan Mocai secara utuh, paling tidak menghibur dirinya dengan berbagi. Runi, dari kamar menuju ruang tamu. Di meja, tergeletak Handphone dan buku catatan hariannya. Bisa-bisanya dua benda penting itu ada disana. Kalau orang tak bertanggungjawab merasa memilikinya bagaimana?

Memilih menu kontak dan sebuah nama kemudian, lewat HP Runi menunggu sejenak hingga ujung sambungan berbalas. "Assalamu'alaikum....." Begitulah selanjutnya. Runi mengulangi kronologi terakhir dia melihat Mocai sampai pada detik dimana binatang kaki empat itu raib tanpa jejak. Sesekali di sekanya matanya. Urusan Mocai, melebihi urusan yang lebih besar. Skripsi yang tak kunjung selesai. Nasib.

Dan, "wa'alaikum salam." Keluh kesah selesai. Untungnya Runi mendapatkan sedikit pencerahan dari sepupunya tadi. Bersabar dan berdoa, itulah petuahnya. Semoga Mocai kembali ke rumah dengan selamat. Mencari kucing yang seperti Mocai itu tidaklah mudah. Kucing itu istimewa diantara yang lainnya. Karena? Runi enggan memberitahukannya. Itu rahasia dirinya sendiri.

Kemana sebenarnya Mocai?
........
Runi berjalan ke teras depan dengan lunglai. Membuka pintu dengan sepenuh tenaga tersisa. Perihal kehilangan Mocai telah menyedot energinya begitu banyak. Runi duduk setelah itu di salah satu kursi. Pandangannya menjelajah halaman yang dijejali rumput mulai memanjang serta bunga yang bisa dihitung jari. Dari dulu, ia memang tidak suka menanam bunga-bungaan. Dari sana, beralih ke kanan kiri pada rumah tetangga. Berharap Mocai tengah bermain "petak umpat" dengannya. Enggan menampakkan diri saja saat ini. Semoga.

Semua prasangka bernilai nol. Runi membetulkan jilbabnya sambil mendesah pelan. Hmmmm...
Oh, apa itu? ada yang terlintas dari jelajah matanya. Diantara rerumputan, terdapat seonggok benda hitam. Tidak terlalu besar, namun pas untuk ukuran jasad Mocai. Runi berlari sejadi-jadinya. Sepertinya, kalau ada lautan diantara dirinya dengan benda aneh itu, pun akan diarunginya dengan semangat empat lima. Jangan, bukan, itu bukan Mocai! Langkahnya semakin cepat dan berhenti tepat di depan Mocai yang diam. Meringkuk tanpa nafas. Innalillahi ...... Mocaiiiiiiiiiiiiii ( Macam di film2 be, kameranya di atas, Runi menatap langit sambil berteriak histeris )

"Yo, ngape be, ni?" Pak Hamzah yang baru saja pulang dari Depag langsung terkaget-kaget. Tentu saja mendapati putrinya tiba-tiba berteriak tidak karuan. Dan Runi menyadari realita. Mimpi. Ternyata, keletihan telah membuatnya tertidur di kursi tamu. Mimpi? Hah? Kadang-kadang mimpi juga bisa menjadi petunjuk. Apa ini berlaku pada Mocai.

Sementara pak Hamzah masuk ke kamar tanpa jawaban putrinya, Runi bergegas menuju teras. Hatinya mengatakan mimpi tidak akan jadi kenyataan. Dengan deg-degan dia turun hingga ke taman. Di tempat ia menemukan Mocai dalam mimpinya, adalah tempat pertama yang disambanginya. Mocai tidak ada! Syukur Alhamdulillah.....

"Meooooooooong,"

Runi berbalik arah. "Moooocaaaai..." ( bayangkan adegan pertemuan mengharukan itu diperlambat ). Mereka berpelukan. "Dari mana saja kamu?" Tentu saja tidak bisa menjawab. Mocai kan kucing. "Meoooong."

= Tuanku tengah berada di dapur ketika sebuah benda bergetar hebat dekatku. Padahal aku kan lagi enak-enaknya santai. Siang-siang gini enaknya tidur-tiduran gitu lo. Dan uh, lagi-lagi ke benda itu, menakutkanku. Aku berlari sekencangnya. Beruntung pintu depan terbuka, kesanalah arah tujuanku. Benda itu masih bergetar saat aku berada di teras, seolah menguntitku. Maka, aku pun tidak mau dalam bahaya. Pergi menjauhi rumah. Rupanya semangatku itu yang justru membahayakan. Saat merasa aman, aku baru tersadar, "dimana aku?"

Tahu-tahu aku sudah berada di tempat asing. Apalagi yang bisa kulakukan selain mencari jalan pulang. Banyak jalan menikung menyulitkanku. Masuk keluar dari tikungan satu ke tikungan yang lain. Rumah tuanku tidak juga kunjung ketemu.

"Meoooong," suara lain di suatu rumah. Mengajakku berkenalan. Aku tidak terlalu tertarik sebenarnya. Satu-satunya yang membuatku mendekatinya adalah karena ia tengah makan. Dan aku lapar. Jadilah kami berkenalan berdasarkan kepentingan. Tanpa basa-basi, aku meninggalkan kenalan baruku itu. Melanjutkan pencarian rumah tuanku lagi. Akhirnya, pencarian berbuah juga. Di kejauhan, ku lihat seorang gadis muda berjilbab ungu memangu di taman. Ya, aku kenal persis dengannya. Dia itu ...... ah, kami berpelukan =

6:20
Masih dari Tempat Tidur bersama secangkir Kapal Api Grande dan sekantong kue lagi.

0 Messages:

Posting Komentar

 
;