Senin, 09 September 2013

Memanggil Cinta

Angin menyeruak masuk melalui celah dinding kayu yang berongga. Tanpa diundang, namun cukup menyenangkan. Mengusir gerah tadi siang yang memanggang. Di kamar sempit seukuran empat langkah kaki orang dewasa ini, aku bergadang didepan monitor. Mousepointer mengajakku bermain-main, tuts pula menggoda untuk dihentakkan. Itulah sebabnya aku terpaku disini sekarang. Pertanyaannya selanjutnya adalah, ide apa yang menarik?

Pencarian itu justru berakhir pada mimpi beberapa malam terakhir. Tentang seorang dibalik hijab raksasa. Setiap kali saat aku hendak menyibaknya, terjaga pula. Selalu seperti itu. Uh. Dan sekarang aku memikirkannya seperti hari-hari sebelumnya. Bodohnya aku, seharusnya itu bisa bahan tulisan, kan?. Nyatanya jemariku kaku. Aku malah memilih menghindari kesumpekan setelahnya. Beranjak dari kursi kayu reot yang berderit saat kubangkit, lalu menuju jendela yang lagi-lagi terbuat kayu. Ku menyebut rumah ini bangunan eksotik yang pernah ada. Hah, terlalu berlebihan mungkin. 

Angin menyerbu saat kubuka jendela perlahan. Engselnya protes lantaran karat yang ada disana. Bergeming, yang kupedulikan hanyalah batuk ibu dari kamar sebelah. Kering, seolah itu suatu lumrah. Ibu menolak saat kuajak untuk berobat. Biasa, orang tua.

Binatang malam berpesta dibalik rindangnya hutan tak jauh dari tempatku berdiri. Jangkrik bernyanyi merdu, burung hantu membuat kuduk merinding, sesekali pula terdengar sesuatu merangsek dengan gesit. Saat ku mendongak keatas, rembulan mengambang tanpa malu. Cahayanya ke bumi disela oleh pohon akasia. Itu membuatku, lega. Entah bagaimana, bulan yang bersinar manja, kini tiba-tiba menggurat sesosok kaum hawa. Membelakangi dengan jilbabnya berkibar pongah. Aku tersentak untuk sesaat. Menggosok mata, meyakinkan itu hanya ilusi semata. Dan tepat, tak lebih dari khayalan belaka. Tetap saja mengganggu benak dan pikiranku. Apa ini suatu kebetulan ataukah sekedar obsesi yang berlebihan? 

Bukan! Ini adalah, "cinta...." aku bergumam pelan.

..........
Gadis itu meletakkan bukunya sesaat. Beranjak dari kasur dan sedikit berlari menghampiri pintu "Ayah mem........" Begitu pintu terkuak, tidak ada ayahnya disana. Ia mengernyitkan jidatnya lantaran merasa heran. Jelas-jelas seseorang tadi memanggilnya. Meski suaranya jauh beda dengan milik sang ayah. Merasa kesal sendiri, ditutupnya pintu kembali sekenanya. Dan belum mencapai kasur lagi, kini benar-benar ada yang memanggilnya. Itu ayahnya.

Ayahnya menyembulkan kepala dari balik pintu, "Suchiro datang, Cin."

Tunangannya itu menuntut penjelasan pastinya. Perihal rencana turnya yang sengaja dirahasiakan, tapi bocor juga. Cintya menganggap ini adalah jalan-jalan sendiriannya untuk terakhir kali. Sebelum ia berstatus istri orang. Ke negeri yang belum pernah dikunjunginya sama sekali. Bahkan tidak pernah berniat kesana sejauh ini, kecuali ada yang harus dilakukannya. Amanah sang almarhum ibu. 

"Baik, ayah. Terima kasih."
..............



0 Messages:

Posting Komentar

 
;