Sekeluarnya dari masjid
pasca shalat Maghrib, kami heboh bukan main. Pasalnya seorang tetangga yang
termasuk salah satu jamaah kehilangan sepeda motornya. Yamaha merek Vega warna biru donker. Komentar bernada heran meluncur deras.
termasuk salah satu jamaah kehilangan sepeda motornya. Yamaha merek Vega warna biru donker. Komentar bernada heran meluncur deras.
"Disini ni!"
Kata bang Ervin selaku korban sambil menunjukkan dimana tadi ia memarkir
motornya.
Sejauh ini kesimpulannya
masih pada tahap 'barangkali orang salah bawa', meski tidak dipungkiri
kemungkinan dicuri cukup terbuka. Beberapa waktu silam kasus kehilangan motor
juga sempat membuat panik warga se-gang kami dan sekitarnya. Seorang warga
mengaku sepeda motornya raib. Hanya saja, kala itu ternyata ada satu motor
lainnya yang tertinggal. Dan dalam hitungan beberapa jam kedepan, pemilik motor yang
terparkir lebih dulu melapor ke pihak berwajib dan mengakui bahwa ia khilaf.
Bukan lantaran bermaksud mencuri, hanya salah bawa motor.
Kami semua mencocokkan
jumlah motor dengan jumlah jamaah yang belum pulang. Cocok! Artinya motor bang
Ervin benar-benar hilang untuk sementara ini.
.........sampai disini cerita nonfiksinya tamat.......
Aku bersegera
menuju base camp. Yang kumaksudkan adalah kios ukuran empat kali
tiga dimana aku sehari-hari menjemput rejeki. Akhir-akhir ini tidak ada kasus
yang cukup menarik. Secara keseluruhan membosankan. Gardu meledak gara-gara
tali kawat layang-layang, perkelahian remaja di dini hari, ibu-ibu gosip bareng di beranda rumah dan yang semacam itu
lainnya. Semuanya bukan urusanku. Kali ini beda. Saatnya memungsikan
TEROPONG ciptaanku lebih jauh. Mudah-mudahan berhasil.
Tidak perlu tergesa-gesa
kupikir. Toh kemungkinan tidak hilang seperti yang saya sebutkan diatas masih
ada. Oleh karena itu, setibanya di base camp aku memilih
melanjutkan tilawah dulu. Jika tidak, menuntaskan juz 8 bakal memecahkan rekor.
Dalam 4 hari! Apa saja sih sebenarnya yang aku lakukan!
Dan kini waktunya tiba.
Aku memilih icon berbentuk teropong hitam. Ya, apalagi kalau bukan TEROPONG. Kemampuan software ini adalah mendeteksi titik-titik keramaian massa. Menggunakan kemampuan satelit, dilayar akan memunculkan spot merah seperti titik api, namun ketika kita mengarahkan mouse kesana, akan muncul sebuah tag berisi situasi terkait. Informasi yang disuguhkan cukup akurat walau terkadang perlu dipastikan dengan fakta dilapangan. Pengembangan ini terus kulakukan karena prospek kedepannya cukup meyakinkan. Menyaingi google earth dan sesuatu yang berharga untuk ditawarkan pada pihak media massa. Lumayan.
Radius kupersempit dengan mengetikkan desa dan kota dimana aku berada pada kolom search. Ada tiga titik merah dilayar sekarang. Aku mengabaikan dua lainnya, langsung menuju lokasi dimana aku ada disana beberapa waktu lalu. "Belasan orang berkumpul. Membicarakan sepeda motor hilang. Belum diketahui keberadaannya." Demikianlah kalimat dalam tag pada titik tersebut.
Lagi, pada kolom search, ku tambahkan nomor plat sepeda motor yang hilang. Ruang radius kulebarkan seisi kota. Hasilnya? TIDAK TERDETEKSI.
Jangan menyalahkan. Aku hanya mencoba, kan. Memang ini masih dalam tahap pengembangan.
................
Tahu-tahu aku secara sengaja mendamparkan diri di salah satu pulau terkecil di Indonesia. Masih dalam provinsi yang sama dengan kotaku sebenarnya. Tujuanya, aku memenuhi undangan seorang tetangga yang telah lama berdomisili di sini. Pertama-tama, kedatanganku disambut oleh scene yang menggoda mata untuk menatap lekat. Jernihnya air menyuguhkan ikan-ikan kecil yang berenang dengan riang dibawahnya. Pasir dan kerikil pun seolah menyentuh benakku untuk dijajaki. Luar biasa. Belum lagi lambaian pepohonan kelapa bak penari pantai. Itu semua membuat aku kehilangan pendengaran, ketika seseorang menyebut namaku. Aku tersentak kemudian.
"Oh, iya. Benar, bang. Maaf, disini sungguh, sungguh indah."
Perawakannya tidak lebih tinggi daripadaku. Usia? kayaknya seumuran. Pukul rata saja, makanya aku memanggilnya abang. Ya, biar lebih santun.
Aku sudah berada di jok belakang sang utusan tuan rumah dimana aku akan tinggal selama dua hari. Begitulah rencana refreshingku kali ini. Sayangnya, aku belum menjadwal apa-apa saja yang akan kulakukan di pulau menakjubkan ini. Terlintas tentang panen cengkeh, ikut nelayan melaut jika gelombang tenang, membayar rasa terkesan tadi, dan entahlah. Mungkin lebih banyak dari yang bisa kusebutkan.
Rupanya sumberdaya yang melimpah belum berkorelasi dengan tingkat kesejahteraan masyarakat sini. Kebanyakan rumah masih berbinding papan walau beratap seng. Jika aku tidak salah besar. Apa itu? Oho, bagaimana bisa itu terlewat dari perhatianku. Pilihannya adalah antara hiburan juga transportasi dengan tempat berlindung. Terbukti dari bertengger dengan angkuhnya antena parabola disetiap rumah. Selain itu, sepeda motor ikut melengkapi hiasan taman. Kalau bisa disebut taman.
Sampai juga akhirnya. Perjalanan dari steher sampai ke rumah Cik Mai memakan waktu lima belas kurang lebih. Orang yang kusebutkan itu telah menunggu di depan pintu. Seringainya mengembang tanpa terpaksa. Itu artinya sebenar-benarnya ketulusan. Sulit bagiku untuk membalasnya kelak bagaimana. Apakah dengan menjadi tamu baik-baik sudah mencukupi. Semoga.
"Ini," aku menyodorkan uang sepuluh ribu rupiah pada tukang ojek tak resmi tadi. Ia menolak dengan halus. Cik Mai juga mengatakan hal yang sama. "Tak usahlah, Soe." Tukasnya.
Wah-wah. Selain dilafazkan, aku juga berucap terima kasih dengan hati terdalam. Baik benar orang disini.
Sepeda motor itu melesap saat sang pengendara menarik gasnya lebih kencang. Raungannya tertahan oleh rancangan knalpot sejenis itu. Suaranya bergetar dan teredam. Tidak merasa risih sebenarnya. Hanya saja memperhatikan setiap detil adalah bagian tidak terpisah dari kepribadianku. Jadinya merek motor itu sasaranku. Jidatku berkedut sejenak. Lalu kabar baik pun datang menghampiri.
(Eit, jangan berprasangka buruk dulu. Pasar gelap untuk barang-barang seperti itu cukup dengan mudah untuk mendapatkan pembeli. Jadi orang itu hanyalah korban. Titik)
Cik Mai mengajakku masuk. Tentu saja aku mengikuti belakangnya. Dari dapur pula, muncul sang istri yang langsung menghampiri dengan sebuah baki berisi gelas mengepulkan asap. Kopi barangkali.
"Oh, itu namanya Ukil. Baru-baru ini ia memang suka jalan-jalan. Maklum, motor baru. Murah lagi. Ia beli dari temannya teman dia," jelas Cik Mai saat aku menanyakan perihal lelaki yang menjemputku tadi. Aku mengangguk paham.
Sesi awal istirahat kugunakan untuk membuka netbook. Aplikasi TEROWONGlah yang pertama kali kuaktifkan. Mengulang tindakan dua minggu silam. Memasukkan plat kendaraan bang Ervin yang hilang. Berputar-berputar-dan-berputar. TERDETEKSI.
"Oh, iya. Benar, bang. Maaf, disini sungguh, sungguh indah."
Perawakannya tidak lebih tinggi daripadaku. Usia? kayaknya seumuran. Pukul rata saja, makanya aku memanggilnya abang. Ya, biar lebih santun.
Aku sudah berada di jok belakang sang utusan tuan rumah dimana aku akan tinggal selama dua hari. Begitulah rencana refreshingku kali ini. Sayangnya, aku belum menjadwal apa-apa saja yang akan kulakukan di pulau menakjubkan ini. Terlintas tentang panen cengkeh, ikut nelayan melaut jika gelombang tenang, membayar rasa terkesan tadi, dan entahlah. Mungkin lebih banyak dari yang bisa kusebutkan.
Rupanya sumberdaya yang melimpah belum berkorelasi dengan tingkat kesejahteraan masyarakat sini. Kebanyakan rumah masih berbinding papan walau beratap seng. Jika aku tidak salah besar. Apa itu? Oho, bagaimana bisa itu terlewat dari perhatianku. Pilihannya adalah antara hiburan juga transportasi dengan tempat berlindung. Terbukti dari bertengger dengan angkuhnya antena parabola disetiap rumah. Selain itu, sepeda motor ikut melengkapi hiasan taman. Kalau bisa disebut taman.
Sampai juga akhirnya. Perjalanan dari steher sampai ke rumah Cik Mai memakan waktu lima belas kurang lebih. Orang yang kusebutkan itu telah menunggu di depan pintu. Seringainya mengembang tanpa terpaksa. Itu artinya sebenar-benarnya ketulusan. Sulit bagiku untuk membalasnya kelak bagaimana. Apakah dengan menjadi tamu baik-baik sudah mencukupi. Semoga.
"Ini," aku menyodorkan uang sepuluh ribu rupiah pada tukang ojek tak resmi tadi. Ia menolak dengan halus. Cik Mai juga mengatakan hal yang sama. "Tak usahlah, Soe." Tukasnya.
Wah-wah. Selain dilafazkan, aku juga berucap terima kasih dengan hati terdalam. Baik benar orang disini.
Sepeda motor itu melesap saat sang pengendara menarik gasnya lebih kencang. Raungannya tertahan oleh rancangan knalpot sejenis itu. Suaranya bergetar dan teredam. Tidak merasa risih sebenarnya. Hanya saja memperhatikan setiap detil adalah bagian tidak terpisah dari kepribadianku. Jadinya merek motor itu sasaranku. Jidatku berkedut sejenak. Lalu kabar baik pun datang menghampiri.
(Eit, jangan berprasangka buruk dulu. Pasar gelap untuk barang-barang seperti itu cukup dengan mudah untuk mendapatkan pembeli. Jadi orang itu hanyalah korban. Titik)
Cik Mai mengajakku masuk. Tentu saja aku mengikuti belakangnya. Dari dapur pula, muncul sang istri yang langsung menghampiri dengan sebuah baki berisi gelas mengepulkan asap. Kopi barangkali.
"Oh, itu namanya Ukil. Baru-baru ini ia memang suka jalan-jalan. Maklum, motor baru. Murah lagi. Ia beli dari temannya teman dia," jelas Cik Mai saat aku menanyakan perihal lelaki yang menjemputku tadi. Aku mengangguk paham.
Sesi awal istirahat kugunakan untuk membuka netbook. Aplikasi TEROWONGlah yang pertama kali kuaktifkan. Mengulang tindakan dua minggu silam. Memasukkan plat kendaraan bang Ervin yang hilang. Berputar-berputar-dan-berputar. TERDETEKSI.
Selesai dengan kesan sebuah sinetron ya? Ha....ha....hanya sebuah dongeng.
0 Messages:
Posting Komentar