Suara anak-anaknya yang masih merah membangunkannya dari lelap. Tubuh-tubuh mungil itu berlomba-lomba untuk direngkuh segera. Ia tersenyum dengan caranya sendiri. Juga mengungkapkan sayang pada generasinya itu dengan caranya sendiri. Saat memanjangkan leher dan mengintip ke luar, semburat cahaya biru muda mengambang di langit timur. Kini saatnya.
Awalnya ia kaku mengepakkan sayap di pagi ini. Namun itu tidak berlangsung lama. Kemampuannya menaklukkan angin tidak lagi diragukan. Ia terus saja berkeliling menjelajahi hutan yang tidak lagi rimbun. Instingnya sebagai hewan mampu merasakan ancaman akan keberlangsungan hidup habitatnya dimasa hadapan. Pepohonan kekar dan menjulang semakin banyak yang rebah. Berduyun-duyun, seolah setiap saat jumlah pemalak kayu semakin bertambah saja.
Ia terus melebarkan sayapnya. Sorotan matanya menangkap mangsa pertama. Seekor cacing tengah berkeliaran di tanah becek. Dalam satu kali patukan mudah, binatang merah memanjang itu telah ada di paruhnya. Di sarangnya, ia disambut gembira oleh anak-anaknya yang membuka mulut lebar-lebar. Tiga-empat kali atau lebih ia melakukan itu. Sampai anak-anaknya kekenyangan.
Waktu berburu kembali tiba. Entah kenapa ada kekhawatiran saat berpisah dengan anak-anaknya. Jelas saja, usia yang masih sangat belia seperti itu sangat rentan dimangsa. Ular pohon paling tidak, dan burung buas lainnya. Diantara semua itu, ada yang lebih membuatnya gusar. Ya, deru mesin penebang kayu semakin hari semakin dekat dengan sarangnya. Bagaimana jika kediaman mereka hari ini mendapat giliran. Tetapi, ia berhasil juga mengesampingkan pikiran tersebut. Ia dilepas dengan teriakan anak-anaknya lagi.
Hingga sore. Rupanya ia bertualang terlalu jauh hingga memasuki pemukiman warga di pinggir hutan. Tidak seperti biasanya, sekarang tengah musim layangan yang bergentayangan di langit. Menandai musim panen telah berakhir dan manusia akan segera mulai lagi menyemai bibit. Banyaknya benda segi empat itu mengapung di udara, menyempitkan ruang geraknya. Terlanjur ia ada disana, mau tidak mau ia harus melintasi benda-benda tersebut. Padahal sewaktu ia datang tadi tidak demikian.
Sepasang sayapnya dengan tangkas membuat dirinya meliuk-liuk. Cukup mudah, pikirnya. Tinggal beberapa kepakan kedepan, ia akan terbebas. Tidak ada lagi yang menghalanginya membumbung. Kecuali, sreeet...
Apa ini? teriaknya keras. Sebuah pisau tajam, ah bukan, bukan pisau tapi tali tajam. Tali tajam? Apapun itu telah berhasil menyabet sayapnya bagian kanannya. Terbangnya pincang, lalu keseimbangannya hilang. Oh, untuk pertama kali atau mungkin saja yang terakhir melihat keadaannya, ia akan mendarat dengan tragis. Sayap kirinya bukannya mencoba untuk mengepak, justru merapat ketubuhnya sendiri. Dalam waktu singkat jaraknya dengan bumi kini semakin pendek. Daya gravitasi menariknya dengan cepat tanpa ampun. Ia terhempas, pasrah, dan tergolek. Bahkan tidak sempat untuk memikirkan anak-anaknya.
Sementara di tempat berbeda, sebuah pohon sebesar rentangan tangan orang dewasa kembali tumbang. Bersamaan dengan itu, lima ekor anak burung yang baru kemarin menatap dunia harus ikut rebah. Mereka sama sekali tidak tahu apa yang terjadi. Tahu-tahu tubuh mereka telah terpental dan keluar jauh dari sarangnya.
0 Messages:
Posting Komentar