Sabtu, 14 Juli 2012

Offline Annida

     Terakhir baca Majalah Annida itu tahun berapa ya? Kalau tak salah 2009 - 2010. Masa-masa mengambang. Kuliah sudah tak ada lagi. Tahap dimana skripsi menggantung-gantung. Tunda-menunda menjadi irama harian di kampus. Besok aja. Besok lagi ketemu dosen. Nanti saja cari literatur de el el.  
        Awal-awal kuliah dulu, senang baca itu majalah. Kadang malu-malu juga sih. Coz, "sepertinya" Cewek only. Lembar-lembar dibuka, ternyata banyak cerpennya. Itu daya tariknya bagiku. Temanya sangat luar-luar-luar biasa. Beberapa membuat rase mo keluarkan air mata (lebay, sayangnya waktu itu kata lebay belum tercipta). Bahkan kadang sambil baring-baring di perpustakaan FKMI Iqtishad FE UNTAN.
     Risih juga jika ketahuan akhwat. Apalagi mau pinjam di bawa pulang. Jatuh maruah. Ya, bawa enjoy aja. Tak lebih, aku hanya ingin membaca cerpennya. Waktu itu, tersirat, mungkin, sebuah keinginan agar karyaku juga ada disana. Sekali lagi, mungkin. Betul kata orang bijak. Bermimpilah.
     Meskipun bukan dalam bentuk majalah, akhir tahun 2011 Desember lalu, satu karyaku nampil di salah satu kolom Annida-online.com. Salah satu hadiah paling berharga dalam hidupku. Cita-cita itu jadi kenyataan. Paling tidak, pernah satu kali. 
     "Panggilan Mak" judul cerpennya. Ketika duduk-duduk di depan kompu sambil menunggu orang belanja, teringat ibu mertua kakak sulungku. Sudah almarhum hampir 10 tahun yang lalu. Pertama mengenalnya hingga sampai wafat sama uzurnya. Terakhir, memanggil-manggil anaknya adalah lakonnya tiap hari. Tiap detik bahkan. Kurang lebihlah seperti yang saya tuliskan. Tentu saja, kakakku bukanlah seperti Siti di cerpen itu. Kakak tertuaku itu adalah sosok yang baik hati. Dan berbakti kepada ibu mertuanya. Dan juga, iparku juga tentunya, anak yang paling berbakti yang pernah ku kenal. Oleh karena itu, ibunya hanya mengenal satu anaknya, yaitu iparku tersebut, ketika ingatannya sudah lumpuh.
          

0 Messages:

Posting Komentar

 
;