Minggu, 15 Januari 2012

Panggung Cinta Bertopeng (Bagian 2)


Keluar komplek, ku putar stang motor ke kiri. Melewati perumahan yang beberapa di huni oleh para dosen universitas. Tampak rapi, megah dan beberapa terlampau mewah. Berbeda dengan tempatku yang terlalu sederhana. Jalanan terasa menggenjot ketika melintasi polisi tidur yang dibuat terlalu tinggi dan berlabuh dengan kasar setelahnya. Tubuhku, tak lepas juga tubuh Hani melompat dari posisinya semula. Ku perbaiki dudukan Hani. Ia menampakkan wajah cerianya. Selalu. Ketika dibawa berjalan-jalan seperti ini. Terlebih jika ia lebih mengetahui kemana tujuan kami
Kesibukan jalan A Yani  luar biasa. Mobil mewah merayap teratur di tubuh jalan bagian kanan. Motor-motor segala merek ternama bahkan lebih banyak berseliweran. Pengendaranya beragam dan kebanyakan tidak tahu irama di jalanan. Anak sekolahan lebih memimilih meliuk-liuk di tengah kepadatan. Berharap menjadi pemenang dan mungkin saja agar tidak telat setibanya di sekolah. Beberapa mahasiswa dan mahasiwi mengendara lebih santai. Pegawai kantoran instansi pemerintah dan swasta justru lebih tergesa-gesa lagi. Harus mengantar anak-anaknya ke sekolah masing-masing baru menuju tempat kerja.
        Aku mengikut arus. Pelan-pelan bukanlah pilihan di jalanan saat itu, kecuali jika ingin mendapat umpatan dari pengendara lain. Sikut-sikut kecil sering pula terjadi. Tetapi penduduk disini masih terlalu ramah untuk mempermasalahkan itu. Tapi tidak untuk orang-orang tertentu.
            Hawa pagi tidak lagi terasa. Gerah mulai terasa meskipun tetap dingin. Ku tatap Hani seperti menghitung-hitung jumlah pengendara.
            “Berapa, sayang?” Ku belai lembut pipinya yang menghadap ke depan.
            Lampu kuning baru saja berubah merah di bundaran UNTAN. Di tengah bundaran, tertancap bambu raksasa yang siap menghujam langit. Berwarna kuning  Orang-orang menyebutnya tugu Digulis. Kendaraan berhenti termasuk aku yang jauh di belakang. Beberapa buah motor menerobos dan di sambut dengan suara nyaring klakson oleh pengendara dari arah berlawanan. Tapi jelas terlihat pakaian yang mereka kenakan putih abu-abu. “Itu sering terjadi di kota besar.” Pikirku.
            Kendaraan mulai bergerak perlahan sesaat setelah lampu hijau menyala. Di garis depan bahkan sudah ada yang melaju mendahulu lampu tersebut. Tak sabar. Sepertinya disana ada hadiah bagi siapa yang lebih dahulu sampai.
            Ku memutar di bundaran dan menuju berbalik arah dari sebelumnya, tetapi aku berada di jalur seberang. Tidak bisa ku pacu laju sepeda mesin ini. Semuanya berjalan seirama. Kami melintasi sebuah gedung belanja mewah, transaparan dan memiliki empat lantai. Tetapi sepagi ini gedung itu masih sepi pengunjung. Operasionalnya baru berjalan mulai pukul sepuluh. Namun sudah ada beberapa orang yang bertugas jaga dan bersih-bersih kaca yang menjulang tinggi dan mengkilap. Untuk apa memikirkan lebih jauh tentang bangunan itu, toh ia hanya tampak dari luar yang memikat. Tetapi dalamnya jauh lebih memikat, hedon dan hura-hura. 
            Next ---------->

0 Messages:

Posting Komentar

 
;