Keluar komplek, ku putar stang motor ke kiri. Melewati
perumahan yang beberapa di huni oleh para dosen universitas. Tampak rapi,
megah dan beberapa terlampau mewah. Berbeda dengan tempatku yang terlalu
sederhana. Jalanan terasa menggenjot ketika melintasi polisi tidur yang dibuat
terlalu tinggi dan berlabuh dengan kasar setelahnya. Tubuhku, tak lepas juga
tubuh Hani melompat dari posisinya semula. Ku perbaiki dudukan Hani. Ia menampakkan
wajah cerianya. Selalu. Ketika dibawa berjalan-jalan seperti ini. Terlebih jika
ia lebih mengetahui kemana tujuan kami
Kesibukan jalan A Yani luar biasa. Mobil mewah merayap teratur di tubuh jalan bagian kanan. Motor-motor segala merek ternama bahkan lebih banyak berseliweran. Pengendaranya beragam dan kebanyakan tidak tahu irama di jalanan. Anak sekolahan lebih memimilih meliuk-liuk di tengah kepadatan. Berharap menjadi pemenang dan mungkin saja agar tidak telat setibanya di sekolah. Beberapa mahasiswa dan mahasiwi mengendara lebih santai. Pegawai kantoran instansi pemerintah dan swasta justru lebih tergesa-gesa lagi. Harus mengantar anak-anaknya ke sekolah masing-masing baru menuju tempat kerja.
Kesibukan jalan A Yani luar biasa. Mobil mewah merayap teratur di tubuh jalan bagian kanan. Motor-motor segala merek ternama bahkan lebih banyak berseliweran. Pengendaranya beragam dan kebanyakan tidak tahu irama di jalanan. Anak sekolahan lebih memimilih meliuk-liuk di tengah kepadatan. Berharap menjadi pemenang dan mungkin saja agar tidak telat setibanya di sekolah. Beberapa mahasiswa dan mahasiwi mengendara lebih santai. Pegawai kantoran instansi pemerintah dan swasta justru lebih tergesa-gesa lagi. Harus mengantar anak-anaknya ke sekolah masing-masing baru menuju tempat kerja.
Aku
mengikut arus. Pelan-pelan bukanlah pilihan di jalanan saat itu, kecuali jika
ingin mendapat umpatan dari pengendara lain. Sikut-sikut kecil sering pula
terjadi. Tetapi penduduk disini masih terlalu ramah untuk mempermasalahkan itu.
Tapi tidak untuk orang-orang tertentu.
Hawa pagi
tidak lagi terasa. Gerah mulai terasa meskipun tetap dingin. Ku tatap Hani
seperti menghitung-hitung jumlah pengendara.
“Berapa,
sayang?” Ku belai lembut pipinya yang menghadap ke depan.
Lampu
kuning baru saja berubah merah di bundaran UNTAN. Di tengah bundaran, tertancap
bambu raksasa yang siap menghujam langit. Berwarna kuning Orang-orang menyebutnya tugu Digulis. Kendaraan
berhenti termasuk aku yang jauh di belakang. Beberapa buah motor menerobos dan
di sambut dengan suara nyaring klakson oleh pengendara dari arah berlawanan. Tapi
jelas terlihat pakaian yang mereka kenakan putih abu-abu. “Itu sering terjadi
di kota besar.”
Pikirku.
Kendaraan
mulai bergerak perlahan sesaat setelah lampu hijau menyala. Di garis depan
bahkan sudah ada yang melaju mendahulu lampu tersebut. Tak sabar. Sepertinya
disana ada hadiah bagi siapa yang lebih dahulu sampai.
Ku memutar
di bundaran dan menuju berbalik arah dari sebelumnya, tetapi aku berada di
jalur seberang. Tidak bisa ku pacu laju sepeda mesin ini. Semuanya berjalan
seirama. Kami melintasi sebuah gedung belanja mewah, transaparan dan memiliki empat lantai. Tetapi sepagi ini gedung itu masih
sepi pengunjung. Operasionalnya baru berjalan mulai pukul sepuluh. Namun sudah
ada beberapa orang yang bertugas jaga dan bersih-bersih kaca yang menjulang
tinggi dan mengkilap. Untuk apa memikirkan lebih jauh tentang bangunan itu, toh ia hanya tampak dari luar yang memikat. Tetapi dalamnya jauh lebih memikat, hedon dan hura-hura.
Next ---------->
0 Messages:
Posting Komentar