Senin, 09 Januari 2012

Bapakku dan Ayahmu


           Riak wajah itu kini terus menghantuiku. Ku pejamkan mata, mukanya makin tampak jelas saja. Tampilan di monitor lambat tapi pasti mengukir diri menjadi alis lebat, mata tajam, hidung lebar, bibir tebal hingga akhirnya menampilkan dia. Ingin ku hempaskan laptop yang tengah menyala dihadapanku. Andai saja tidak ingat bahwa aku sedang di meja kerja, pasti kepalan ini sudah memecahkan layar kacanya. Hawa panas sejak tadi sudah merayap ke seluruh tubuhku. AC terasa mati. Gigi geraham atas-bawah sudah saling merapat keras dan kaku. Kurasa darahku semakin naik. Urat-urat kepala timbul dan lebih besar dari biasanya, membentuk akar-akar menjalar kemana-mana. Meskipun aku tak bisa melihat mataku sendiri, mulai berubah menjadi kemerah-merahan. Nafasku turun naik. Hanya menunggu kesempatan yang tidak akan pernah datang, aku sudah sejak tadi berteriak sejadi-jadinya. Kertas yang telah kulumat-lumat dalam genggaman  kulemparkan kasar ke tong sampah di bawah meja. Memantul mengenai bibir rubbish bin dan berguling-guling dilantai, lalu berhenti.
            Hape bergetar di saku celana. Kurogoh, dan tertulis bunda calling. Aku sama sekali tidak berminat untuk mengangkatnya. Aku bisa menebak apa yang ingin sampaikannya. Meskipun beberapa saat yang lalu, aku juga khawatir sama sepertinya. Tapi tidak untuk sekarang ini. Benteng perjuangan ku untuk melupakan dan memaafkan kejadian dimasa lampau telah roboh dan berantakan kemana-mana. Dia,  seorang laki-laki yang tengah tergeletak di atas kasur putih di ruang D kelas II RSUD. Ku yakin saat ini dia masih tengah kepayahan bernafas hingga dibantu dengan selang oksigen  Seperti saat aku menjaganya tadi malam. Hingga subuh tadi saja, sudah 8 botol infus yang dihabiskan. Sekarang, aku tak hirau lagi. Meskipun segunung botol infus yang akan dihabiskan olehnya nanti. Aku juga tidak mengharapkan ia sembuh. Wajah beringas itu, tak ingin kupandangi, walaupun untuk sekali lagi. “Bapak kritis, ga.” Sms bunda masuk kemudian.
………….
Pasti aku akan jadi bulan-bulanan pak Hendra siang ini. Beliau memintaku menyiapkan laporan penjualan selama sebulan beserta analisisnya. “Rapat pimpinan besok siang jam 1,” aku diingatkannya kemarin. Sebenarnya itu bukanlah hal rumit. Rentang waktu 1 sampai 2 jam aku bisa menghadirkan laporan itu lengkap dan tersusun rapi di meja pak manajer operasional tersebut. Semua itu telah kusiapkan sejak awal, hanya saja analisis tentang perubahan selera konsumen yang belum rampung. Kuartal ketiga tahun ini, grafik bergerak semakin menurun kearah kanan. Konsumen memerlukan layanan yang lebih. Komplit, fleksibel dan gratis yang hampir benar-benar gratis. Ah, mana ada perusahaan yang mau laporan keuangan menuliskan kata “rugi” didalamnya. Disitulah keahlianku teruji, di perusahaan seluler ini. Namun, sebagai manajer pemasaran, sedikit banyak penurunan tingkat penjualan adalah tanggungjawabku. Dan celakanya, poin-poin penting yang ingin kucatatkan dan lengkap dengan 5W + 1 H nya hilang seketika. Semuanya berantakan. Aku tidak tahu lagi menyebutnya apa. Tawakal atau sebuah kepasrahan yang bodoh. “Ah…,” jiwa ku meronta. Denyut-denyut di kepala bagai bom waktu yang siap meledak yang akan menyemburkan darah segar. Mungkin itu yang kuharapkan jika dapat menyelesaikan segalanya.
Ku tarik nafas sedalam mungkin. Lalu menghembuskannya secara perlahan dari mulut. Setahuku, teknik ini dapat memberikan ketenangan ketika gusar. Ku bangkit dari dudukku. Nampak busa terperuk dalam karena menyangga beban tubuhku. Ku beranjak menuju dispenser di samping pintu. Ku tekan keran berwarna biru dan kusambut air yang keluar dibawahnya dengan mug kaca berwarna hitam. Ada tulisan IndoCel dengan style tak tentu arah, nama perusahaan kami. Tulisannya berselang-seling antara merah dan putih. Disisi yang lain, tertulis “ayo, hubungkan dunia”, maskot tersebut tertulis lebih unik mungkin lebih tepatnya aneh. Tetap saja berwarna merah-putih. Keras kepala tingkat tinggi melicinkan usulanku 2 tahun lalu di terima pimpinan saat itu. Keberhasilan menularkan warna kegemaran pada seantaro perusahaan, hitam. “Hitam itu lambang profesionalisme, kepercayaan diri,  dan juga lambang kehidupan yang solid. Perusahaan kita butuh itu, pak.” alasanku. Paling tidak, akan tampak dari setiap tampilan iklan, poster, brosur dan produk-produk yang diluncurkan. Menggusur warna hijau. Betul kata Bunda, aku memang keras kepala.
……………
Berada di balkon lantai lima sedikit menenangkan. Terpaan angin pagi menarik kemeja panjang biru dongker dan celana hitamku ke belakang. Seharusnya dasi putih bergaris-garis hitam tidak lepas dari jangkauan angin. Tapi setibanya dibalkon, ia sudah kulepas. Dan terperangkap di saku kemeja. Kenyataannya mug hitam masih menyisakan setengah air. Aku masih ingin berlama-lama mengangkatnya setinggi dada. Ku sapu seluruh cakrawala. Dari langit pagi yang begitu cerah. Warna biru bersih mendominasi. Ku pejamkan mata sejenak masih dengan kepala menonggak keatas. Ku paksa tubuhku untuk menghampiri sisi balkon. Ku kembali menatapi penjuru kota sejauh yang ku bisa. Berdiri tegak tugu kebanggaan kota ini di sebelah utara. Tak jauh dari situ, bertengger bangunan, sebuah gedung raksasa yang tidak lain adalah pesaing ketat kami. Pengalamannya jauh lebih banyak dibanding perusahaan yang aku pijak. Aku ingin menaklukkannya nanti karena ia hanya tinggal sebesar dempetan kesepuluh jari jemariku.
Atap-atap perumahan penduduk, instansi pemerintah, gedung-gedung bertingkat seperti tancapan pensil, tinggi dan rendah layaknya diagram batang. Sedikit demi sedikit memudar. Warna kelam menyelimuti. Ku mulai mendengar suara nafas anak kecil yang tengah ketakutan. Suara laki-laki dan perempuan yang tengah bertengkar hebat. Sekali, terdengar suara wajah di tampar dengan tangan kasar. Dan disusul dengan isakan tangis sang perempuan. Sangat memilukan.    
…………….
            Ufo berkeliaran di rumah hampir setiap hari dan pasti membentur dinding, pecah berantakan. Beruntung bagi Ufo beling. Tak retak apalagi pecah. Jika itu terjadi, Yoga Surya hanya mengintip dari sekat dinding pembatas dapur dengan ruang tengah apa yang terjadi. Tak dipinta, wajahnya pucat. Bapaknya selalu saja membawa kekalahan bermain judi ke dalam rumah. Melampiaskan marahnya pada bunda, meskipun bunda tidak punya salah apa-apa. Dan juga tidak jarang pada Yoga kecil. Walaupun hanya sebatas sumpah serapah yang Yoga mulai sedikit demi sedikit tahu artinya.
“Bunda banyak memiliki simpanan air mata,” pikir Yoga.
Padahal dia juga sama. Setiap kali bundanya menangis, Yoga juga menangis. Tak jarang bahkan lebih nyaring.
“Pak, beras kita hanya cukup untuk besok.” Ucap bunda sangat berhati-hati.
Burhan hanya mengerling sedikit kepada istrinya. Lalu melanjutkan makan dengan lahapnya. Wajar bapak seperti itu, karena beliau adalah pekerja keras. Betah duduk berjam-jam bersama teman-temannya di pojok warung. Berhalusinasi dan berimajinasi menjadi kaya raya dengan hanya mengocok dan membagikan kartu-kartu keberuntungan.
“Hei.., tak lihat orang sedang makan apa?.” Kata bapak kasar.
Bunda menjadi kecut. Namun dengan hati-hati bunda melanjutkan. “Teman-teman Yoga semuanya sudah ada baju batik. Ibu kasihan, Yoga minder dengan teman-temannya pak.”
“Memangnya uang yang saya berikan kemarin di kemanain saja? Katanya sekolah gratis. Koq masih bayar ini dan itu” Tanya bapak judes
“Pak uang itu kan juga di pakai untuk belanja keperluan harian. Jika dihabiskan semua, tidak ada teman nasi putih di atas meja.” lanjut bunda.
“pak, sekolah itu kan yang gratis hanya biaya SPP. Keperluan lainnya masih di bebankan kepada siswa.” Tambah bunda mencoba menjelaskan sedikit tentang kamuflase sekolah gratis saat ini. Tapi mungkin tidak semuanya, pikirnya.
“ah banyak alasan kamu.” Sangkal Bapak. Beliau langsung menuju ruang tengah, terus saja ke teras dan pergi melanglang buana.
Bunda tahu Yoga ada disebalik tabir triplek. Bunda juga tahu bahwa Yoga mendengarkan dan menyimpulkan sendiri kejadian tadi.
“Bapak hanya capai, nak.” Kilah bunda yang tidak mau anaknya berpikir buruk tentang bapaknya. Tapi Bunda tidak berselera untuk menjelaskan lebih. Bunda hannya menerawang keluar lewat jendela dapur. Tiga buah nangka saling berebut untuk unjuk lebih besar. Tentu saja, yang paling bawah hanya menunggu jatuh dengan sendirinya. Warnanya semakin menghitam. Begitulah keadaan di rumah jika bapak tengah menganggur dari profesinya.
………………
            Yoga tersenyum sendiri dan hampir tertawa memandangi tingkah polah makhluk animasi dari kotak hitam berlayar kaca. Berbaring sendirian berteman bantal dibawah kepalanya. Senantiasa, perjuangan kucing menangkap tikus perusak seisi rumah. Kewalahan sang kucing mengejarnya. Jatuh bangun berulang-ulang,  tapi ajaib segar kembali. Setelah susah payah, akhirnya tikus tertangkap. Namun ketika sang kucing akan memakan tikus, tiba-tiba layar menontonkan warna hijau. Hampir penuh seluruh layar kaca. Tampak ramai manusia kerdil berlari-lari di dalamnya. Berbaju putih sebagian dan sebagian warnanya hitam. Dua atau tiga orang berwarna kuning. Di sisi-sisi petak hijau, gerombolan manusia lebih kecil lagi. Tak nampak tengah berdiri atau duduk. Bergerak-gerak melambaikan kain berwarna-warni. Ada manusia berbicara. Tapi tidak terlihat batang hidungnya.
            Remote TV sudah ada di tangan kanan bapak. Duduk di kursi dengan kaki kanan menyilang di atas kaki kiri. Melototi TV dengan muka tegang dan harap-harap cemas. Sesekali berteriak dan berkomentar melebihi sang komentator. Mengatur melebihi sang pelatih. Tapi malang, sang pemain tak bisa di dikte olehnya. Tak mungkin ia merebut benda kecil itu dari bapaknya. Kecuali jika ingin menjadi santapan mulut bapak sore itu. Pertandingan sepak bola Liga Indonesia belum sampai separuh jalan.
“Pergi sana!”
Yoga merajuk. Berjalan menyentakkan kaki ke lantai. Getarannya begitu terasa hingga ke Bapak. Bapak berucap marah. “ Eh, anak ini!”. Pertandingan sepakbola terlalu menyita perhatiannya untuk menuruti sifat amarahnya kala itu. Bunda tak bisa berbuat banyak. Dia dan Yoga harus mengalah. Untuk kemenangan kemudian. Mungkin.
            Di kamar, Yoga yang tidak terlalu suka sepak bola berduka ala anak kecil. Melempar-lempar bantal ke dinding dan mengacak-acak pakaian di lemari kain. Kini dia benar-benar membenci permainan dua tim memperebutkan satu bola di petak hijau tersebut.
“Saya akan pergi ke daerah. Ada pembangunan sekolah. Tiga bulan” Ungkap bapak
“Kapan berangkatnya pak?” Tanya ibu yang keluar dari kamar anaknya yang tengah merajuk.
“Besok.” Balas bapak singkat.

……………..
            Tidak ada lagi rasa kerinduan. Semuanya sirna dengan isu yang menggelinding lebih cepat terdengar dari pada yang empunya badan datang ke rumah. Bunda tidak lagi menyimpan senyuman sambutan selamat datang kembali. Penasaran dan ketidakpercayaan mengisi setiap waktu yang terlewati menunggu kepulangan suaminya.
“Jadi kamu lebih percaya dengan ucapan-ucapan mereka, hah..?”
“Lalu siapa yang harus saya percaya? Bapak? Sudah terlalu banyak kebohongan yang tidak pernah saya tanyakan kebenarannya pak. Dan sekarang, masalah ini tidak bisa dibiarkan begitu saja. Ini tentang perasaan dan kehidupan seorang wanita. Sekarang bapak jujur!. Apa benar apa yang ibu dengar?” Tanya bunda menggerogoti
“Plakk…,” satu hadiah dari suami yang entah bunda masih cintai atau tidak. Yang pasti bunda masih mampu bertahan demi sang buah hati.
Rintihan seorang wanita hamil delapan bulan lebih pun pecah. Menjadi tangis tersedu-sedu.Dan parahnya, perkara-perkara serupa sering kali disaksikan langsung oleh Yoga. Tak terkecuali saat itu. Yoga terlanjur menjadi anak pendiam dan sering kali merasa ketakutan mendengar suara-suara keras. Jiwanya seketika luntur apabila bersua dengan mereka yang lebih dewasa. Terkecuali guru-guru di sekolah yang dianggapnya sangat perhatian terhadap anak-anak dan tentu saja bundanya. Dia hanya melihat anak-anak seusianya tertawa, melompat, berlari, mematung, saling pukul-pukulan dari balik tirai rumahnya. Dan satu-satunya teman Yoga adalah Rena, wanita berusia 30 tahun sekaligus bundanya sendiri. Yang  menghabiskan banyak air mata untuk setiap episode kehidupan.
            Yoga membuka pintu kamar. Bunda berusaha untuk menyembunyikan kesengsaraannya. Disekanya air mata, dan mulai melebarkan senyum keterpaksaan. Yoga membelai wajah bunda. Menghapus sisa air mata dengan jari-jarinya.
“Sudahlah, nak. Jangan bersedih. Bunda tak ingin kamu menjadi anak yang lemah. Laki-laki itu harus kuat dan tegar.” Bunda berucap dengan suara masih parau dan terbata-bata.
Apakah sosok seperti bapak yang ibu maksudkan. Kuat, tegar dan sering menyiksa. Benar. Yoga tak pernah melihat bapak mengeluarkan air mata. Yang ada hanya tertawa, memekik dan berkata kasar.
“Maafkan Yoga, bunda.” Suara Yoga pelan.
Dua ekor cicak di dinding saling beradu. Memperebutkan hidangan malam. Saling dorong, dan tindih menindih. Cicak yang ukurannya lebih kecil terjatuh ke lantai.
“Menurutmu, cicak mana yang menang?”
“Yang lebih besar, bunda.”
“Betul, tapi yang benar-benar menang adalah yang terjatuh ke lantai. Tahu kenapa?. Cicak yang besar merayap dan menunggu mangsa yang beterbangan dan yang hanya sekali-kali menempel di dinding. Dan cicak kecil bisa berkeliaran mencari lebih banyak serangga yang tidak punya sayap maupun yang bisa terbang.”
Penjelasan bunda terlalu dangkal. Dan cenderung di ada-adakan. Bukankah cicak yang besar juga bisa turun dan bergerilya di lantai kemudian.
“Yoga ingin tidur dengan bunda.” Tambah Yoga selanjutnya. Yoga dan bunda sama-sama tahu bahwa Bapak tidak akan pulang kerumah malam itu. Selalu. Sebuah pertengkaran berakhir dengan bapak yang dengan leluasa melangkahkan kaki keluar rumah tanpa memberitahu kemana arah tujuan. Seleluasa bapak pulang nantinya.
“Ya” jawab bunda dengan lemah lembut.. Karena kamar tiba-tiba menjadi gelap gulita. Ibu merebahkan diri disamping Yoga. Menghela nafas. Mengisyaratkan beratnya beban kehidupan rumah tangganya. Mungkin juga ibu tengah mengelus-elus adik di dalam perut yang membuncit.
………………..
Larut malam menyandera penduduk desa diruang-ruang persegi empat. Bergulung dengan selimut-selimut hangat. Tapi tidak semua selimut terasa hangat. Ruang-ruang tengah menjadi lengang. Teras-teras rumah bercahaya lampu temaram. Binatang malam pun sudah sejak tadi berpesta pora di balik-balik pepohonan rindang di sekeliling kampung. Suara gagak dan burung hantu membawa nuansa mistis dan sering dikaitkan dengan aroma kematian. Beberapa penduduk membangkang dan memberontak. Tidak kenal dan mengerti bahasa malam. Melepaskan diri dari sekapan gelap gulita. Bertemu di warung-warung dengan penerangan lampu badai bercahaya seadanya. Tumpukan uang ribuan ditengah menunggu untuk di jamah oleh sang pemenang setiap rondenya. Tak ada yang berani untuk menegur apalagi mengganggu. Sudah menjadi rahasia umum.
Seorang wanita hamil tua menutup seluruh auratnya. Meskipun dirumahnya sendiri dan tidak ada yang melihatnya. Kecuali Tuhannya. Bersujud dan memohon untuk keselamatan diri beserta keluarganya dari panasnya api neraka. Air mata masih belum habis. Ia tumpahkan lagi ditengah malam itu. Lebih banyak.
“Ya Allah, aku tidak mengenal siapa dia. Jika benar apa yang ku dengar selama ini. Berilah ketabahan kepada hamba. Berikan kekuatan kepada perempuan itu, karena dia hanya seorang korban. Hamba tidak tahu apakah ada selain dirinya diluar sana. Hamba ikhlas. Tunjukkanlah kami semua jalan taubat, tak terkecuali suami hamba…”
Wanita itu melanjutkan doanya dengan kata-kata tak terlafazkan. Berbisik-bisik didalam hati. Karena dia yakin Tuhannya Maha Mengetahui segala isi hati.  
………………
            Bunda masih hanyut dalam ritual tahajudnya ketika mendengar pintu depan digedor paksa. Namanya berulang-ulang disebut. “Bapak?” pikir Bunda dan segera bergegas.
“Siapa suruh kunci pintu. Hah!”
“Pikir ibu bapak tidak …”
“Tidak pulang maksud kamu? Jadi kamu ingin saya tidak pulang lagi kerumah ini?”
“Bukan itu maksud ibu, pak.”
“Aalah…”
Bapak menyelonong masuk. Membiarkan bunda sendirian mengunci pintu. Bunda tidak tahu apakah bapak kali ini membawa kekalahan atau kemenangan. Tidak ada lagi bedanya. Yang bunda kenal adalah suaminya kini seseorang yang sangat emosional. Tak terlewatkan untuk hal-hal yang remeh temeh.
            Yoga tidur pulas di atas materas yang tidak lagi empuk. Siswa kelas 4 SD itu meninggalkan kehidupan nyata. Menggantinya dengan mimpi-mimpi indah tentang sebuah keluarga yang saling menyayangi. Seorang bapak yang tetap menyayanginya hingga 4 tahun terakhir ini. Seorang bapak yang juga menyayangi bundanya. Berjalan-jalan di pasar malam. Membelikan topi baru., es krim, masuk rumah hantu dan menjerit bersama-sama. Memasukkan bola kedalam keranjang meskipun tak dapat hadiah boneka. Karena Yoga mamang tidak memerlukan mainan anak perempuan tersebut. Tapi sinar lampu mengganggu tidurnya.
“Saya tidak mau Yoga tidur di kamar ini!” desak bapak sambil menunjuk-nunjuk Yoga yang tengah menggeliat sejenak.
“Biarkan saja pak. Kasihan. Sudah pulas begitu.” Sahut ibu sepelan mungkin.
“Pokoknya saya tidak mau dia tidur disini. Mengerti tidak!” ucap bapak keras kepala
“Pak, sudah larut begini. Biarkan saja pak.” Bela ibu lagi
“Atau…” bapak menuju sosok Yoga. Membangunkan paksa. Mengguncang-guncangkan kaki, lengan, dan kemudian kepala. Yoga mengerjap-ngerjapkan mata sebentar. Dan kembali tidur.
“Yoga…Bangun!” perintah bapak tegas. Merasa tak diambil peduli. Bapak menyeret lengan Yoga paksa. Dan badannya pun ikut terseret. Bunda mencoba melepaskan cengkraman tangan bapak. Sambil berteriak histeris. Tak rela anaknya diperlakukan seperti itu. Tubuh yang diseret bersuara memanggil-manggil bunda.
“Pak…pak…” berulang-ulang bunda berucap. Memohon sebuah belas kasihan. Bunda menarik-narik tubuh dan lengan Yoga, tapi kalah kuat. Wajah beringas dan marah bapak sangat menyeramkan.
“Ayo!.” Kata bapak lagi tak kalah kasarnya dari sebelumnya
Bunda berganti, mencoba membuka jari-jemari bapak. Tapi lagi-lagi kalah kuat. Satu dorongan kuat menjadikan bunda terduduk di lantai. Melihat itu Yoga meraung keras. Bunda dan Yoga sama-sama sudah bersimbah air mata. Malam tidak lagi menenangkan dan menyandera. Mukena bunda bagian atas terlepas sejak peristiwa tarik-menarik tubuh Yoga tadi. Merasa tidak lagi mampu berbuat banyak, bunda akhirnya pasrah akan kemungkinan terburuk.   
“Burhan!”
Jam tidak lagi berputar. Binatang malam tidak lagi berpesta. Semuanya terhenti dan membisu. Yoga ternganga. Bunda terpaku. Dan bapak, bola matanya hampir-hampir keluar. Mukanya memerah. Dan perlahan-lahan melepaskan genggamannya dari tangan Yoga. Melangkah juga perlahan-lahan. Menuju bunda kemudian. Bunda menguatkan diri untuk bangkit. Namun, belum tegak seimbang posisi tubuhnya, tangan bapak sudah mencengkeram kuat bahunya. Sambil mengguncang-guncang seperti yang dilakukannya pada Yoga beberapa waktu sebelumnya. Lebih kuat bahkan.
“Apa katamu tadi?, Burhan!”
Kala itu bapak benar-benar kerasukan. Memandang bunda layaknya musuh yang mesti dihapuskan. Satu dorongan kuat kembali bapak buat. Tubuh bunda berbalik dan akhirnya berbenturan dengan dinding. Tak sempat melindungi perutnya, bunda merasakan nyeri yang teramat sangat. Bunda terduduk kemudian. Ada cairan yang mengaliri betisnya. Warna merah meresap di kain putih yang di pakainya. Kemudian terbaring tak sadarkan diri.
………………
            Kepanikan bapak mungkin sekedar agar tidak meringkuk di penjara. Di sel kan sebagai pembunuh istrinya sendiri. Bunda tengah ditangani di ruang ICU. Tak banyak yang diharapkan keselamatan sang bayi di perutnya. Atau bunda sekalian. Kecuali sebuah keajaiban. Bukan kah itu mudah bagi Sang Pemilik Nyawa?. Tapi lebih beruntung jika sang bayi tidak bertemu dengan sosok bapak seperti itu. Bapak mondar mandir di depan pintu. Menunggu cemas dengan sebuah kepastian. Mukanya menampakkan kekhawatiran dan penyesalan. Menurut Yoga itu hanyalah sebuah kepura-puraan. Setelah apa yang bapak lakukan tadi malam.
Waktu berputar terasa lamban. Tiap detiknya bagai sehari. Yoga bersandar ditubuh Minah adik kandung bunda. Masih menyimpan kesedihan mendalam. Dalam hatinya berdoa agar bunda dan adik kecilnya selamat. Yang tidak yoga ketahui adalah pandangan tajam Minah pada bapaknya. Pandangan penuh amarah tertahan. Pandangan menyalahkan.
            Setelah 2 jam lebih, lampu di atas pintu yang sedari tadi berwarna merah berganti hijau. Terlihat ganggang pintu ditekan ke bawah. Laki-laki bermasker hijau, bertutup kepala hijau dan berbaju seperti jubah, juga berwarna hijau muncul disebaliknya. Perlahan membuka tutup mulutnya dan tanpa berkata apa pun. Menggeleng-gelengkan kepala.
“Maaf pak, kami tidak bisa menyelamatkan bayi bapak. Kondisi ibu sekarang sangat lemah.” Kata dokter itu kemudian. Berlalu.
…………….
            Aku masih tetap berdiri. Di balkon lantai 5. Masih rela dibelai-belai oleh angin dan hawa mulai terasa terasa hangat. Pandanganku tertuju kebawah. Jalan As lancar merayap. Manusia terlihat sama kecilnya seperti yang ku saksikan di petak hijau dulu. Ku tersenyum sinis, kesan itu masih ada. Aku tetap tidak suka dengan permainan itu Walaupun kebencianku sudah pupus. Karena waktu menjelaskan, sikap bapak yang otoriter saat itu.
            Lebih dari satu jam aku disini. Laporan tidak lagi aku peduli. Murka pak Hendra ku abaikan. Ego menuntunku. Ku kembali teringat tentang bunda. Dia sekarang apakah bersedih atau bahagia sebenarnya. Akan ditinggalkan oleh sosok yang kerap menyiksanya dulu. Bunda, dari pintu mana engkau ingin memasuki surga ketika semua pintu syurga terbuka untukmu. Mataku berbinar-binar.
……………….
Tadi Pagi.
            Sepulang menjaga bapak dan shalat subuh, pukul 4.30, bunda datang menggantikan ku. Ku mencium tangan beliau dan pamit pulang. Satu minggu, keadaan bapak tidak bisa ditangani oleh rumah sakit umum di kabupaten. Dokter merujuk bapak ke RSUD di kota ini. Sudah dua minggu bapak koma sejak kejadian itu. Tabrakan truk pengangkut sawit yang bapak kemudi dengan bis umum penyebabnya. Tulang belakang dan kaki patah. Tengkorak kepala mengalami keretakan.
            Setibanya di rumah, aku menuju Fadhil. Bocah berusia PAUD ku masih tertidur nyenyak. Ku kecup keningnya. Ku merebahkan diri kembali di kamar tidur. Adila, istriku, bertanya singkat tentang keadaan bapak.
“Tak ada perubahan.” Jawabku singkat.
“Ma, bangunkan papa jam 7 ya. Papa ingin tidur sejenak.”
“Insya Allah.”
……………….
Hampir dua jam yang lalu.
            Ruanganku berada di lantai 5 dari 7 keseluruhan. Jam ditangan baru menunjukkan pukul 08.02. Belum sampai di muka ruangan bagian pemasaran, seorang OB keluar dari sana. Pemuda itu bernama Jaya. Tanpa menyapaku ia langsung menuju ruangan sempit di pojok koridor. Berjalan memunggungiku. Ku menatapnya. Ku teringat canda staf-stafku bahwa muka ku mirip dengannya. Terutama Reynold.
“Hey ga, matanya kok mirip denganmu ya? Sama-sama tajem.” Godanya padaku sewaktu Jaya mulai kerja disini setengah tahun yang lalu.
“Bibir dan bentuk tulang wajah juga mirip lho, ga.” Lanjutnya lagi.
“Ah, kamu Rey. Ini hanya seperti Sandra Dewi dengan artis korea itu. Siapa? O iya, Song Hye Kyo atau Brad Pitt dengan Duncan James, kawan.” Aku menimpali. Reynold tidak memanggilku dengan sebutan “pak” karena kami berdua lulusan universitas negeri kota ini, jurusan yang sama, sama-sama melamar di perusahaan ini juga. Dan beruntungnya, sama-sama diterima. Hanya saja, karirku lebih menanjak dari pada dirinya. Tapi aku salut, dia tipe seorang teman yang tidak ada rasa dengki sedikitpun.
“Ingat!, aku jauh lebih ganteng. Cam kan itu!” Lanjutku kala itu. Kami berdua pun saling tertawa.
“Jaya.”  Panggilku
Jaya menoleh dan menghampiriku.
“Maaf pak, ada apa?. Oh iya, kopi susu atau teh susu pak?” Tanya Jaya padaku
“Kopi susu. Tapi nanti saja. Apakah sekarang kamu tengah sibuk?” Ku berbalik bertanya.
“Tidak terlalu untuk saat ini.” Jawab nya.
“Ikut saya sebentar”
Tentu saja aku ingat tentang laporan penjualan yang harus ku siapkan. Tapi, tak ada salahnya menunda barang sejenak paling lama satu jam untuk sekedar ngobrol dengan OB yang baru ku tahu namanya saja pikirku. Aku sendiri juga tidak tahu, kenapa aku ingin ngobrol dengannya.
            Setelah memesan Cappucino panas, kami mulai mengobrol ringan. Tak dapat ku pungkiri. Ada kemiripan wajahku dengannya.
“Bagaimana kerja mu, ya?” ku membuka pembicaraan
Jaya sedikit kaget. Karena untuk pertama kalinya ada orang di perusahaan yang mau mentraktirnya seperti ini. Mungkin tidak akan ada kali ke dua. Setelah menyeruput minuman panasnya, Jaya menjawab “baik pak.”
“Dari mana asalmu?” Tanya ku lagi. Ternyata Jaya tipikal pendiam atau terlalu canggung. Sehingga dia sulit untuk berkata lepas.
“Dari Kampung Baru, pak. Di pulau Kalimantan. Perlu waktu tiga hari dua malam di atas kapal untuk sampai kesana pak. Dan kurang lebih 10 jam perjalanan baru sampai di rumah dari pelabuhan.” Jelas Jaya mulai memanjang.
“Kenapa bisa terdampar dikota ini?” Tanyaku belum putus.
“Orang bilang kota ini menjanjikan sejuta harapan. Aku ingin membuktikannya. Teman SMP ku, Dodi, Bapaknya bekerja di perusahaan ini. Sudah hampir 7 tahun mereka disini. Aku harus berterima kasih padanya. Mohonnya pada Bapaknya, menciptakan lowongan kerja buat saya. Meskipun akhirnya saya tahu, hutan beton disini begitu ganas.”
“Siapa?”
“Pak Hendra. Pak Hendra Kusuma.”
Aku mengangguk. “ Orang tua mu?”
“Ibu sudah meninggal ketika umurku baru beranjak satu tahun.”
“Maafkan saya.”
“Tidak apa-apa pak.”
“Bapak mu?” tanyaku lebih jauh
“Ayah? Kata ibu ayah telah meninggal ketika aku masih dalam kandungan. Tapi setelah pemergian ibu, nenek bilang ayah masih hidup. Sebenarnya ibu meminta janji nenek agar tidak memberitahukan tentang ayah. Tapi nenek mengingkarinya. Nenek bahkan bercerita banyak.” Pandangan Jaya menembusi tembok-tembok kantin. Bahkan lebih jauh menembus penghujung dunia. Membayangkan sosok yang disebutnya ayah.
…………………
            Suriati, perempuan desa yang tidak lagi patut untuk dipanggil gadis karena termakan bilangan umur. Perempuan yang pandai menjaga kesuciannya dan jarang bergaul tak jelas semasa belia dan remajanya. Meskipun belum lengkap melindungi auratnya, tapi dia selalu menggunakan pakaian yang tertutup. Wajahnya biasa saja. Tapi hatinya luar biasa. 31 tahun waktu yang sudah termasuk lewat untuk membangun mahligai rumah tangga baginya. Dia hanya pasrah, semoga di pertemukan segera dengan jodoh yang terbaik dunia dan akhiratnya.
            Tapi tidak di mata Burhan. Buruh bangunan itu melihat Suriati adalah sosok wanita yang memiliki daya tarik tersendiri. Berbeda dengan wanita-wanita lainnya. Lemah lembutnya, sopan santunnya. Memikat hatinya.
Proyek sekolah menengah pertama negeri mentakdirkan Burhan dan 20 teman-temannya bermukim di desa itu selama tiga bulan. Setiap hari mereka mengerjakannya. Kecuali hari Jum’at. Prosesi pembangunan gedung pendidikan itu bekas lapangan sepak bola, tepat di depan rumah Suriati. Lambat laun, hari-hari dalam minggu pertama Burhan sudah mengetahui nama Suriati.
Perputaran waktu membawa Burhan untuk datang kepada orang tua Suriati sebagai lelaki bujang. Dan meminta persetujuan untuk mempersunting anaknya. Masih dalam masa-masa pengerjaan bangunan sekolah tentunya. Ibu Suriati merasa senang, akhirnya anaknya mempunyai pendamping hidup. Apalagi, dilihatnya sosok Burhan sering pergi ke Masjid di waktu maghrib. Pantas untuk putrinya. Lebih lagi Suriati. Burhanlah sosok pangeran yang ditunggunya. Yang ada dalam setiap mimpi-mimpi indahnya. Saat itu tiba, pikirnya. Tersipu malu ketika sang perjaka datang memintanya.
Tak lama berselang, acara walimahan pun diadakan seadanya. Tak banyak yang diundang. Warga se RT saja dan kerabat-kerabat dekat Ibu. Akad nikah juga dilangsungkan pada hari bersamaan. Orang-orang desa memanggilnya dengan sebutan nikah dibawah tangan. Karena tidak ada catatan dan penghulu. Di nikahkan oleh Saudara kandung laki-laki ibu.
Hari berganti bilangan bulan dan tak terasa mencapai 3 bulan sudah. Pernikahan antara Suriati dan Burhan tetap langgeng. Meskipun terkadang ada sengketa kecil. Burhan tidak pernah marah-marah besar. Sepertinya dia sangat menyayangi istrinya. Kenyataannya, gedung sekolah negeri tersebut sudah berdiri tegak. Tinggal polesan warna dan penyediaan bangku saja agar siap digunakan untuk proses belajar mengajar. Yang pasti, tugas para buruh bangunan sudah pun usai. Saatnya untuk mereka kembali pulang menemui sanak keluarga yang ditinggalkan. Melepas rindu.
“Sur, saya harus pulang. Mau menjenguk Bapak. Sewaktu di tinggalkan beliau sakit-sakitan. Tidak lama. Sebentar saja.” Burhan mengungkapkan alasan untuk pulang ke tempat dia berasal.
“Tapi abang janji, tak akan lama kan?” ucap Suriati sedih
“Ya, abang janji.”
…………….
“Kata nenek, ibu meninggal dalam penderitaan akan sebuah penantian kepulangan ayah. Hingga ibu tidak lagi sadar bahwa perutnya kian membesar. Setiap saat ibu lewatkan dengan hujan air mata. Ibu jadi semakin pendiam. Dan tambahan satu sifat baru, pemurung. Tak banyak senyum lagi mengembang di bibirnya. Kata nenek juga, ayah tidak meninggalkan apa-apa selain zuriat di rahim ibu.” Kata-kata Jaya tertahan.
Tak ada satu katapun dari mulut Jaya yang terlewat dari pendengaranku. Sedikit banyak aku bisa merasakan bagaimana perasaannya. Kerinduan untuk memanggil ayah atau sebuah kemarahan karena telah membiarkan ibunya sendirian.
“Apakah kamu tahu sekarang ayahmu dimana?” Tanyaku memecah lamunan Jaya
“Kata nenek, ayah ada di daerah disekitar kota ini. Ku sangat berharap untuk bertemu dengannya. Aku hanya ingin melihat sosoknya seperti apa. Aku juga tidak tahu, apakah aku sanggup memanggilnya ayah. Aku hanya ingin mengatakan kepadanya bahwa ibu sangat mencintai dan sekaligus kecewa dengannya. Seperti yang nenek katakan.” Jaya mengutarakan keinginannya.
Rasa terharu mengguncangku. Ku kira air mataku diwaktu kecil sudah habis. Ternyata masih tersisa sedikit. Ku tahan ia untuk keluar. Aku tak mau terlihat lemah di hadapan orang yang tengah ku ajak bicara.
“Dengan apa kau ingin mencarinya?” Tanya ku kemudian.
Jaya mengeluarkan dompet nya. Kempis. Berisi uang 50.000 dua lembar, 10.000, dan beberapa lembar uang seribuan. Ada juga KTP disana. Dari balik tumpukan uang itu, Jaya mengeluarkan pas photo hitam putih lusuh berukuran 3x4.
Berkata Jaya sambil menyodorkan photo itu ke arah ku “Nenek menyelipkannya di saku baju ketika saya akan berangkat.”
……………….
            Enam sms masuk dari operator di mana aku mengais nafkah sebaik saja aku mengaktifkan hape. Semua berisi laporan tentang seseorang yang mencoba menghubungiku. Dua dari bunda dan selebihnya dari Adila. Tiga pesan lainnya berasal dari “Bidadari Qu”, sang pengirim.
Asslmkum, pa. knp hpnya gak di aktifkan. Sesibuk itukh?Bpk sdh sadar tk m’buka mata n bcra t’tatih2. Bnda sgt snang. Bpk meminta maaf pd bnda n bunda mengiyakan. Bpk menemukan mama n jg cucunya, ttpi tdk anaknya. Dia mencarimu, pa. Bpk ingin sekali b’bicra. Enth ap yang mau dismpaikannya. Bnda berujar papa tengah sibuk. Bpk menangis tiba2.
Ku beralih ke pesan selanjutnya.
Pa, ad apa? Apkah urusan kantor lebh pentg drpd Bpk yang tengah sekarat sekarng? Bpk melepas slang oksigennya sendiri. Bpk putus asa. Skarng Bpk tengah meregang maut. Itu yang kami yakini. Tubuhnya berkringat dingin. Atw mungkn papa masih dendam sebnrnya? Jangn begitu pa. Mama mengerti ap yang papa rasakan dulu. Tpi skarang bukan saatnya. Apkh papa ingin Fadhil melihat papanya memperlakukan kakeknya seperti itu. Anak2 kita merekam ap yang orang tuanya lakukan pada kakek neneknya n pd lingkungannya. Seperti papa menyaksikan penderitaan bunda dulu.
Jiwaku tertusuk kata-kata Adila Permata. Bidadari ku selalu menyinarkan kilauan permata dalam kehidupanku. Beruntung dia menjadi sahabat sejati dalam perjuangan hidup ini. Seperti beruntungnya dia mendapatkan ku, katanya di awal pernikahan.
Ku kembali ke pesan terakhir yang belum dibuka.
            Mama tdk tahu harus b’kata apa lagi. Jika itu pilihan papa. Disini bunda terimbas pasrah Bpk dan memupuk keikhlasan jika saat ini Bpk harus b’temu dgn Malaikat Maut. Napas Bpk tersengal-sengal. Tak sadarkan diri. Mulutnya bergumam-gumam tak jelas. Merasa selalu kehausan. Sekali terlintas menybut sur. Kami tak tahu apa itu?. Ibu sekarng tengah menyuapi bpk air putih. Pa, Mama mohon. Kesini segera.
            Kata “Sur” mengingatkanku pada seseorang kembali. Jaya. Bergegas ku berlari untuk tidak lagi tertahan di balkon itu. Tak sempat lagi ku hitung sebenarnya berapa lama aku berdiri disana. Dua jam bahkan lebih pikirku. Ku terus berlalu menuju ruang sempit di ujung lorong. Tak ku hiraukan makhluk hidup atau mati di sekitarku. Berpapasan dengan pak Hendra di depan pintu bagian pemasaran.
“Bagaimana laporannya, ga?”
Tak ku ambil peduli pertanyaan pak Hendra. Meskipun mungkin karir ku dipertaruhkan siang nanti. Aku tidak punya banyak waktu untuk menyapanya dan meminta izin untuk keluar sebentar dan juga memohon maaf atas laporan itu.
            Memasuki ruangan OB, tak ku temukan sosok Jaya. Ku berlari menuju ruang bagian pemasaran. Pak Hendra masih terdiam bingung di depan pintu melihat tingkahku. Jantungku berdegup kencang. Aku mengejar waktu atau waktu sesunggunya mengejar dibelakangku. Lagi-lagi tidak kutemukan sosok Jaya.
“Rey, kamu lihat Jaya?” tanyaku panik pada Reynold yang tengah memfotocopy dan membelakangiku. Dia berbalik
“O, barusan saya menyuruhnya membeli gado-gado di bawah.”
Ku berlari sekencang yang ku bisa. Ketika membuka pintu pak Hendra masih berdiri didepannya dan masih dengan keheranannya.
            Terlalu lama untuk menunggu tanda kearah bawah menjadi berwarna merah. Tangga darurat tujuanku selanjutnya. Ingin rasanya aku menjadi seperti cheetah dan menemukan Jaya segera. Nafasku terengah-engah setibanya dilantai dasar. Jaya baru saja menutup pintu utama gedung ini. Ku mengejarnya. Ku tak tahu lagi apakah sebenarnya aku masih masih punya nafas. Mulut ku terasa kering dari liur. Sedikit kuupayakan menyusun pernapasan. Tapi itu terlalu lama. Dalam suara putus-putus aku berucap, “mau kah kamu bertemu ayahmu?”.
…………….
            Kemunculanku disambut dengan tangisan oleh bunda dan panggilannya, “nak…”. Mata Adila menggambarkan kegembiraan tak terkira dan juga dengan tangisannya disana. Fadhil masih tidak tahu apa yang tengah terjadi sebenarnya. Aku, mematung di dekat pintu. Ku lihat tubuh bapak tak jauh berbeda seperti yang ku jaga tadi malam. Sekali lagi, ternyata simpanan air mataku masih banyak. Dan kali ini tumpah dengan sendirinya. Ku melangkah kan kaki perlahan. Bahkan lebih lamban dari setengah detik. Menuju bapak. Suasana di dibungkus oleh keharuan, kesedihan, dan kegalauan. Semuanya menyatu. Bapak tidak lagi sadar. Hanya tarikan dan hembusan nafas cepat dan sakit yang menandakan bapak masih hidup. “Pak…” lirihku di dekat telinganya. Ada aliran bening seketika keluar dari pejaman matanya. “Ampun kan Yoga pak.” Ucapku lagi. Sama sekali tidak ada tanda-tanda bapak akan menyahut. Satu tarikan napas panjang oleh bapak dan berhenti.
“Innalillahi wainnailaihi roji’un” ucap kami serentak. Aku memeluk tubuh bapak. Bunda memeluk kami berdua. “Bapak…” ujar bunda panjang.
            Perlahan mendekat, seorang anak muda berusia 22 tahun, berdiri tanpa kata tepat dibelakangku yang tengah merangkul jasad bapak. Mendung menggelayuti mukanya. Hujan deras pun tidak terbendung. Air itu sudah mengalir di pipinya hingga menetes di seragam putihnya.
“Ayah…” katanya hampir tidak terdengar olehku.
Jaya telah membuktikan bahwa kota ini memiliki sejuta harapan.

(he..he.. masuk dalam cerpen rijek annida-online...tak apelah..klw rajin baru di edit)
           


 
      

0 Messages:

Posting Komentar

 
;