Senin, 02 Januari 2012

Ruai


            Angin sore terasa lembab dan menggoyangkan dedaunan sengon yang berjejer di luar pagar istana. Hingga tampak melambai-lambai dari kejauhan. Desaunya memanggil-manggil kepada siapa saja yang berada di sekitarnya. Melenakan, membuai, hingga menidurkan mata. Angin sore tersebut juga merayap ke sebuah pondopo dimana dua anak manusia tengah bercengkerama sambil bersila dan menatap satu sama lain.
            “Ayahanda, hamba merindu ibunda.”
            “Yang ayah rasa juga tak kurang Setanggi, bahkan jauh lebih besar.”
            “Apakah ayahanda berniat ingin mencari pendamping lagi. Kalaupun itu yang ayahanda pikirkan, jangan khawatir, ananda bahkan senang. Malam-malam ayahanda tidak lagi sendiri. Serta masalah-masalah istana bisa ayahanda bagi dengannya nanti.”
            “Tidak Setanggi. Ayahanda terlalu cinta dengan bundamu. Dan tidak ada lagi yang bisa menggantikannya. Asal kamu tahu Setanggi, ayahanda selalu merasa bundamu ada di antara kita.”
            Setanggi hanya tersenyum senang. Dan berharap apa yang diucapkan oleh ayahandanya barusan benar adanya. Dan jujur saja, dia tidak ingin ada seorang wanita lain disamping ayahnya selain ibundanya. Tapi terkadang dia merasa kasihan dengan kesendirian ayahandanya. Dan baru saja dia mendengar langsung dari sang raja, bahwa tidak ada lagi permaisuri di istana setelah ibundanya, Purnama, ia menjadi yakin.
            Seorang pengawal datang menghampiri. Membawa tombak sebagai bukti statusnya di istana. Berbaju kuning berlengan panjang. Dan celana yang juga kuning, sebetis. Kepalanya berbalut kain yang juga berwarna kuning.
            “Maafkan hamba yang mulia. Tamu dari kerajaan selatan sudah pun tiba.” Sang pengawal berucap sambil merendahkan tubuh dan menunduk. Tangan kanannya di letakkan di dada kiri.
            “Ayahanda harus meninggalkanmu sendirian disini, Setanggi.”
            “Tidak apa-apa ayahanda. Ananda masih ingin berlama-lama disini”
            Raja Bantahan itu pun meninggalkan pondopo berwarna kuning tersebut. Meninggalkan putrinya yang tengah menikmati sendunya sore dengan belaian sang angin. Sementara itu, Setanggi menatap langit petang. Serasa wajah ibundanya ada disana.
********
            “Teratai, gantian!”
            “Aduh, saya kan baru sebentar.”
            “Cepat Seroja, jangan lama-lama. Giliran saya sekarang.”
            “Ganteng bukan, Kenanga?”
            Kenanga mengangguk. Tapi matanya masih terus mengintip dari balik pintu.
            “Sekarang saya lagi.” Teratai menarik baju Kenanga tidak sabar.
            “Andai saja dia menjadi pangeranku.” Mata Kenanga berbinar-binar dan hayalannya membumbung keangkasa. Mukanya menengadah ke langit-langit kamarnya.
            “Enak saja!. Pemuda itu akan di jodohkan dengan Kasturi, Mawar, atau Bakung. Buktinya mereka bertiga tengah menyambut kedatangan utusan kerajaan selatan tersebut.” Bantah Seroja kepada adindanya.
            “Tapi saya ingin sebuah keajaiban.” Tukas Kenanga kembali yang masih dengan mata tertutup. Membayangkan sang pemuda idaman menjadi miliknya.
            “Teratai! Enak saja. Sekarang giliran saya.” Seroja yang tidak mau ketinggalan setiap detik memandangi pangeran kacak tersebut meskipun dari balik pintu. Ia menghiraukan khayalan Kenanga yang baru saja di dengarnya. Gonta-ganti pengintip pun terjadi antara tiga putri istana di balik hijab kayu.
            “Bagaimana kabarmu wahai pemuda.” Sapa raja membuka pembicaraan.
            “Sehat, begitu juga dengan ayahanda dan ibunda, paduka.” Jawab pemuda yang dikenal dengan nama pangeran Panca.
            “Maaf paduka, sebenarnya saya tidak terlalu mengerti alasan ayahanda menyuruh hamba untuk bertandang ke kerajaan utara ini?”
            Raja bantahan tersenyum begitu pula dengan tiga putrinya yang tengah tersipu-sipu memandangi pemuda yang ada di hadapannya.
            “Begini.” Suara raja bantahan tertahan.
            “Raja Sakur memandang, sudah saatnya bagi putranya untuk memiliki pendamping hidup. Sebenarnya ini telah kami bicarakan jauh-jauh hari. Disamping untuk mempererat hubungan antar kerajaan, kami juga berniat untuk mempererat hubungan kekeluargaan.” Jelas Raja Bantahan.
            Tepat seperti apa yang diduga oleh Pengeran Panca sebelumnya. Ayahandanya berniat ingin menjodohkan dirinya dengan salah satu putri Raja Bantahan. Dan ia pun senang. Karena berdasarkan kabar yang ia dengar, putri-putri Raja Bantahan cantik-cantik belaka. Dan benar. Tiga gadis dihadapannya menjadi bukti.
            Belum sempat Pangeran Panca berucap, Raja Bantahan melanjutkan
            “Ini namanya Kasturi, putri sulung saya.” Ucap Raja sembari menunjuk kearah jelita yang duduk tepat disampingnya. Kasturi berkemban ungu cerah. Selendangnya membungkus dari leher hingga ke siku. Juga berwarna ungu cerah. Ketika namanya di sebut, Kasturi tersenyum kemudian menunduk.
            “Yang bergaun merah, putri kedua, Mawar namanya.” Raja menambahkan
            “Secantik orangnya, paduka.” Pangeran Panca menyela.
            Mawar juga tersipu seperti kakaknya. Dan ada kemenangan tersendiri atas pujian yang dilontarkan kepadanya oleh Pangeran Panca.
            “Dan terakhir, namanya Bakung.”
            Putri yang di sebut juga tersenyum simpul dan malu-malu. Pangeran Panca mengangguk. “Benar apa yang pernah di dengarnya tentang bidadari-bidadari kerajaan ini.”
            “Bukankah…?” Pangeran Panca mencoba untuk bertanya lebih banyak. Tapi urung. Dan berpikir bahwa pasti ada alasan tertentu bagi sang raja untuk tidak memperlihatkan ke tujuh putri kesayangannya.
**********
            Hidangan mewah di sajikan diatas meja. Dan telah disantap oleh raja Bantahan, ketiga putrinya dan pangeran Panca. Di sisi pintu masuk, berdiri dua pengawal kerajaan yang tetap dengan pakaian kuningnya. Khas kerajaan Bantahan. Berbeda dengan hitam yang merupakan ciri dari kerajaan Selatan.
            “Terima kasih paduka atas jamuannya. Sangat lezat.” Ucap pangeran Panca setelah merasa kenyang dan puas atas santapannya tadi. Apalagi ditemani oleh jelita yang salah satunya bakal menjadi permaisurinya.
            “Sudah selayaknya bagi kerajaan kami untuk melayani tamu dengan sebaik-baiknya. Itu adat kami di kerajaan ini.” Balas raja Bantahan kemudian.
            “Hamba rasa sudah saatnya untuk hamba kembali ke istana, paduka. Untuk langkah selanjutnya tentang pertemuan ini, hamba serahkan semuanya kepada perbincangan paduka dengan ayahanda. Hamba menurut saja. Siapapun salah satu diantara tiga wanita dihadapan hamba, hamba setuju.” Kembali pangeran Panca Berujar.
            “Baiklah kalau begitu, pangeran.” Ucap raja menutup pembicaraan.
            Pengawal istana baru saja akan membuka pintu ruang tamu, tiba-tiba sosok Setanggi berlari dan mendobrak pintu. Tubuhnya terjatuh ke lantai dan secara tidak sengaja bertatap muka dengan pangeran Panca. Semua terkejut. Apalagi ketiga saudari Setanggi.
            “Maaf ayahanda. Ananda kira pertemuannya sudah selesai. Sekali lagi ananda minta maaf atas kelancangan ananda.”
            Raja Bantahan terlampau baik hati untuk memarahi putri bungsunya tersebut. Segera menghampiri putrinya yang masih terjerembab di lantai dan membantunya berdiri.
            “Maaf atas ketidaksopanan putri bungsu saya, pangeran.” Raja menundukkan badan sedikit tanda penghormatan untuk setiap kerajaan dan para bangsawan.
            “Putri bungsu?” Pangeran Panca terpana dan hanya mampu berucap dengan kata terbata-bata
            “Namanya Setanggi.” Kata raja menjawab tanda tanya diwajah sang pangeran. Dan pangeran mengangguk pelan.
            Setanggi tidak berani mendongakkan kepala lantaran kesalahan yang telah diperbuatnya kepada tamu kehormatan kerajaan. Sementara Kasturi, Mawar dan Bakung berkecamuk marah dengan pikirannya masing-masing. Bahkan tiap mereka ingin memarahi Setanggi sejadi-jadinya atas perilaku tak senonoh tadi sekaligus perilaku yang bisa mengancam perjodohannya.
            “Maaf paduka, hamba harus segera pulang ke istana.” Kata terakhir dari mulut pangeran Panca sebagai pamit kepergiannya meninggalkan istana kuning itu. Dan sosok pangeran pun menghilang seketika pintu ruang tamu di tutup lembut oleh dua pengawal.
            “Ayahanda, tidak sepantasnya apa yang telah dilakukan oleh Setanggi. Ini bisa menjadi aib bagi kerajaan kita.” Ucap Kasturi emosi.
            “Benar ayahanda, seharusnya Setanggi diberi kelas khusus agar dia bisa mempelajari sopan santun kerajaan.” Timpal Mawar lagi
            Tak mau ketinggalan, Bakung pun memberikan saran kepada ayahandanya “Sebaiknya Setanggi di beri hukuman yang berat agar jera, ayahanda.”
            Raja Bantahan sedikit bingung mendengar ucapan para putrinya. Di tatapnya wajah Setanggi. Sedih. Sebuah tanda penyesalan dari perbuatan yang tidak disengajanya tadi.
            “Ayahanda tahu, tadi Setanggi tidak sengaja. Jadi, lupakan saja apa yang terjadi beberapa saat lalu.” Pinta sang raja
            “Tapi ayah,” Mawar mencoba membantah
Namum raja terlanjur mengangkat tangan kanannya yang menandakan tidak ada lagi negosiasi. Dan ketiga putrinya itu pun keluar dengan hati kesal.
            “Maafkan Setanggi, ayahanda.”
            “Sudahlah, ananda.” Raja memeluk putrinya yang masih di penuhi rasa bersalah.
            Diatas tandunya, pangeran Panca membayangkan dan menyebut-nyebut nama Setanggi. Seolah-olah ia tengah mencium aroma terwangi diantara wanginya bebungaan.
**********
            Sesampainya di kerajaan selatan, nama pangeran Panca disebutkan. “Pangeran Panca tiba…”. Sang pangeran pun turun dari tandu. Dan segera menuju ruang utama istana. Menemui ayahanda dan ibundanya.
            “Bagaimana, putraku. Apakah kamu sudah menemui kesemua putri raja Bantahan?”
            Pangeran panca menggeleng. “Tidak. Hanya tiga. Tidak, empat.”
            “Saya pikir raja Bantahan tidak ingin mempertemukan ananda dengan ketujuh putrinya. Dan ananda tidak tertarik untuk mengetahui kenapa.”
            Raja Sakur mengangguk setuju dengan penjelasan putranya.
            “Lalu siapa yang kamu pilih, anakku?” Tanya permaisuri Cempaka
            “Hamba menurut saja ibunda. Siapapun dia. Biar ayahanda dan raja Bantahan yang membicarakannya lebih lanjut. Tetapi jika hamba bisa memilih, hamba memilih Setanggi, ibunda. Tapi sayang, Setanggi tidak termasuk diantara tiga yang dipertemukan dengan hamba tadi. Dan kelancangan yang tidak disengaja oleh Setanggi lah menjadi sebab hamba mengenalnya.” Ungkap pangeran Panca.
            “Karena ananda sudah mengatakan akan mengikuti apa saja yang ayahanda putuskan, ananda harus rela menerima apapun keputusan ayahanda.” Kata raja Sakur kemudian.
            Pangeran Panca menundukkan tubuh sedikit sebagai tanda tiada perlawanan atas ucapan ayahandanya. “Ananda pamit dulu, ingin beristirahat di kamar.” Raja Sakur dan permaisurinya hanya tersenyum, mengiyakan. Pangeran Panca meninggalkan ruang utama kerajaan. Tapi pikirannya masih berbicara tentang Setanggi dan wajah Setanggi jualah yang tiba-tiba terukir di dinding-dinding istana, di halaman dan di pintu kamarnya. Jelita itu tersenyum. Memasuki kamar, pangeran Panca langsung merebahkan diri. Tapi matanya menatap lekat tiap sudut kamar. Menduga-duga mungkin Setanggi akan menemuinya.
            Diruang utama, raja Sakur dan permaisuri Cempaka memperbincangkan perihal apa yang diutarakan putranya tadi. Dan akhirnya seseorang di utus untuk menyampaikan undangan jamuan makan malam kepada raja Bantahan.
***********
            “Saya tidak terima. Ayahanda lebih mencintai Setanggi daripada kita semua.” Kasturi memanasi ke lima saudarinya. Sambil berdiri dan memukul-mukul pelan kearah dinding. “Ini bisa mengancam jodohku. Aku tidak rela jika pangeran Panca harus jatuh ke pangkuan si bungsu!” lanjutnya lagi.
            Mawar yang merasa lebih berhak atas pangeran Panca angkat bicara. “Asal kalian semua tahu ya, pangeran Panca tadi lebih terkagum-kagum terhadap diriku. Jadi saya kira, saya yang lebih berhak untuk tidak rela jika Setanggi menjadi orang ketiga.”
            “Memang benar tadi pangeran Panca menyebut namamu, hai Mawar. Tapi itu bukanlah petanda bahwa dia akan memilih kamu sebagai permaisurinya. Ketika menatap saya, dia juga ternganga.” Bakung yang tidak mau diam akhirnya membuka mulut.
            Adu mulut kecil-kecilan pun terjadi antara ketiganya. Sementara Kenanga, Seroja, dan Teratai tidak ambil peduli dengan pertengkaran itu. Sebenarnya mereka masing-masing punya khayalan sendiri atas pangeran ganteng itu.
            “Aduhai pangeran Panca, hadirlah dalam mimpiku.” Ucap Kenanga tak sadar. Lalu menutup mulutnya rapat-rapat. Semua mata menatap tajam ke arahnya. Lebih-lebih Kasturi, Mawar dan Bakung.
            “Kenanga!” semuanya berteriak, mengecam. Kenanga menyesal atas tindakan bodohnya dan semakin terperuk menahan kesal dan malu.
            Tiba-tiba dua orang pengawal yang senantiasa berjaga di luar kamar pun masuk.
            Ada apa gerangan tuan putri? Tanya salah satu pengawal dengan raut muka cemas.
            “Tidak apa-apa. Kami semua baik-baik saja.”
            Pengawal tersebut pun keluar dan kembali menutup pintu.
***********
            “Jadi ayah akan pergi ke kerajaan selatan?” Tanya Kasturi di ruang utama istana. Sengaja raja Bantahan memanggil putri sulungnya sendiri untuk menemuinya. Semoga hal ini bisa mengurangi penolakan-penolakan yang mungkin terjadi.
            “Ya, utusan kerajaan selatan baru saja menemui ayahanda. Dan menyampaikan perihal perjodohan pangeran Panca.” Jelas raja Bantahan
            “Berarti raja Sakur sudah memilih dengan siapa putranya akan menikah, ayahanda?”
            Raja mengangguk.
            Kasturi tersenyum lebar dan hatinya juga tersenyum sekaligus penasaran siapakah calon permaisuri bertuah itu. Harapannya tentu saja dirinya sendiri.
            “Siapa ayahanda?” Desak Kasturi
            “Ini di luar dugaan ayahanda, Kasturi”
            Kasturi mulai was-was. “Maksud ayahanda?”
            “Pangeran Panca memilih Setanggi. Ayahanda juga tidak tahu apa sebabnya. Surat dari raja Sakur tidak menjelaskan alasannya.”
            Muka Kasturi memerah, dan hatinya jelas tidak setuju.
            “Tidak ayahanda. Itu tidak mungkin terjadi. Bukankah perjodohan itu hanya antara ananda, Mawar, dan Bakung. Tidak Setanggi. Pasti ada yang salah, ayahanda. Kemunculan Setanggi hanya kecelakaan dan lebih tepatnya pengacau.” Kasturi menyatakan penolakannya.
            “Ayahanda tidak bisa memaksakan kehendak pangeran Panca dan raja Sakur untuk memilih salah satu diantara kalian bertiga. Dan ayahanda tahu, pasti pangeran Panca juga berbicara tentang Setanggi.”
            “Tapi ayahanda kan bisa bernegosiasi dengan raja Sakur dan pangeran Panca!”
            “Cinta itu masalah hati anakku. Ayahanda tentu tidak bisa memaksa kehendak pangeran Panca dan ayahandanya.”
            “Bukankah pangeran Panca setuju saja apapun dan siapapun yang akan menjadi permaisurinya. Seperti yang dia katakana waktu itu.”
            “Kenyataannya, pangeran Panca memilih Setanggi dan raja Sakur mengiyakannya.”
            “Ayahanda tidak bisa berbuat banyak, Kasturi. Ini semua di luar kemampuan ayahanda. Lagi pula ayahanda pikir Setanggi juga sudah layak untuk mendapatkan seseorang pendamping.”
            “Apakah Setanggi tahu akan hal ini?”
            “Ayahanda belum memberitahukan kepadanya tentang ini. Ayahanda ingin memberikan kejutan kepadanya nanti setelah pulang dari kerajaan selatan.”
            “Jika itu memang keputusan ayahanda, ananda menurut.” Ucap Kasturi. Namun pikirannya tengah merayap liar dan menyusun strategi untuk menggagalkan pernikahan itu. Tidak ada gunanya berdebat panjang lebar dengan ayahandanya tentang hal ini. Lebih baik menggunakan sedikit cara untuk merubah segalanya.
“Apakah ada hal lain yang ingin ayahanda bicarakan kepada ananda?” Tanya Kasturi kemudian.
“Ayahanda ingin Kasturi, selaku putri sulung untuk memegang tampuk kerajaan sementara ayahanda berkunjung ke kerajaan selatan. Tidak usah khawatir, para panglima yang tinggal di istana akan membantu ananda kelak. Ayahanda pergi tidak dalam waktu lama. Sebelum purnama, ayahanda sudah akan tiba di kerajaan kembali. Ayahanda juga ingin ananda menjaga dan memperhatikan adik-adik ananda dengan baik. Itu saja.”
“Baiklah ayahanda.” Wajah ke duanya mulai tampak. Manis di depan raja Bantahan dan siap-siap melaksanakan rencana yang ternyata telah tercipta ketika ayahandanya berucap banyak tadi.
“Kalau tidak ada, ananda keluar dulu.”
Kasturi meninggalkan ayahandanya sendirian dengan para pengawalnya. Dari kejauhan sayup-sayup terdengar suara raja Bantahan memerintahkan pengawal-pengawalnya untuk mempersiapkan segala keperluan menuju kerajaan selatan. Kasturi melangkah yakin. Yakin atas rencana yang telah di susunnya. Tentu saja akan melibatkan kelima saudari-saudarinya untuk memuluskan niatnya.
***********
“Tidak, ini tidak bisa di biarkan. Setanggi telah merampas pangeran Panca dariku!” Mawar mendadak marah. Mengepal-ngepalkan tangannya.
“Dari kita bertiga!” timpal Bakung
“Itu tidak penting. Sekarang adalah bagaimana kita bisa menggagalkan pernikahan Setanggi dengan pangeran Panca.” Sanggah Kasturi
“Apakah kamu punya rencana, Kasturi?” Tanya teratai
Kasturi diam sambil melipat kedua tangannya di dada.
“Membunuhnya.” Canda Kenanga memecah kesunyian.
“Tepat!” Tanggap Kasturi.
“Apakah kalian benar-benar ingin melenyapkan Setanggi?. Aku hanya bercanda kakak-kakak ku.” Sergah Kenanga kelabakan.
“Tidak ada cara lain. Atau kalian punya ide yang lebih cemerlang dari itu?” Semuanya menggeleng, kecuali Kenanga.
“Aku tidak ikut!” Kenanga menolak. Kita tidak boleh terlalu jauh. Pasti ada cara lain.”
“Tidak ada!” Kasturi menegaskan.
“Kita bisa membicarakan masalah ini kepada Setanggi. Aku yakin dia mau mengalah hanya gara-gara urusan cinta ini. Setanggi kan tidak kenal dengan pangeran Panca. Jadi tidak mungkin dia bersikeras untuk menikah dengan pangeran asing itu.”
“Walaupun Setanggi menolak untuk menikah dengan pangeran Panca dan aku tidak yakin akan hal itu, ayahanda tidak mungkin bisa menolak keinginan raja Sakur. Demi stabilitas politik dan kekerabatan kedua kerajaan, ayahanda mau saja menuruti keinginan raja selatan itu. Ini terlalu sepele di mata ayahanda untuk di pikir masak-masak.” Mawar mengutarakan pendapatnya.
Semua mengangguk.
“Tapi walau bagaimanapun aku ingin menemui Setanggi dan membicarakan permasalahan ini.” Sebelum Kenanga keluar dari dapur ruangan rahasia kerajaan, sebuah pukulan keras mengenai tengkuknya. Dan dunia tiba-tiba berubah menjadi gelap.
“Sekap dia di gudang lama!” Perintah Kasturi. Teratai dan Seroja sebenarnya enggan mengikuti rencana busuk itu, tapi mereka lebih memilih aman daripada harus senasib dengan adiknya, Kenanga. Lain halnya dengan Mawar dan Bakung yang beriya-iya mengikat kedua tangan Kenanga. Satu halangan terlewati, pikirnya masing-masing.
**********
Melewati rimbunnya hutan dan bermalam di tengah incaran binatang buas, perjalanan 2 hari satu malam pun berhasil di lewati. Tampak megah istana kerajaan yang di dominasi oleh warna hitam abu-abu. Memang lambang kerajaan selatan.
“Raja Bantahan tiba…” suara pengawal mengaung seisi sentaro.
Kedatangan raja Bantahan disambut oleh pengawal istana. Dan langsung diantar menuju ruang utama menemui raja Sakur dan permaisuri Cempaka.
“Selamat datang di kerajaan selatan, raja. Ini sebuah kehormatan buat kami”
Raja Bantahan menundukkan badan sejenak dan berdiri tegap kembali.
“Saya juga merasa terhormat di undang ke istana megah ini kembali.”
“Silakan duduk.” Pinta raja Sakur
Raja bantahan menempati kursi khusus yang memang disediakan untuk dirinya. Sementara raja Sakur dan permaisurinya masih tetap di singgahsananya.
“Bagaimana perjalanannya, wahai Tarung?” Tanya raja Sakur
“Cukup melelahkan. Saya sudah lama tidak melakukan perjalanan sejauh ini lagi. Dan hal penting inilah yang menguatkan saya untuk hadir di sini.”
Seorang dayang menyuguhkan buah-buahan segar dan tidak lupa minuman. Raja Bantahan minum dan menjemput anggur merah. Namun matanya menunjukkan kegelisahan dan tanda tanya. Dan akhirnya berakhir dengan munculnya sesosok pemuda yang dicarinya.
“Maafkan ananda, ayahanda. Ananda terlambat menyambut kedatangan tamu terhormat kita. Hamba juga minta maaf karena tidak menyambut paduka tadi.” Pangeran Panca merendahkan tubuhnya dan mengangkatnya kembali.
“Hamba baru saja datang berburu di hutan.” Lanjut pangeran Panca lagi.
“Tidak apa-apa, pangeran. Apakah gerangan yang pangeran buru?”
“Hamba sebenarnya ingin memelihara burung ruai. Tapi seperti kemarin-kemarin, burung itu tidak pernah muncul lagi dihutan. Entah ada pemburu lain yang menangkapnya atau punah dengan sendirinya.”
“Burung itu memang langka sekarang, pangeran.”
“Dari pada sibuk membicarakan burung yang tidak lagi ada didunia ini, lebih baik kita segera menuju ruang makan dan tentu saja setelahnya raja Tarung bisa beristirahat.” Sela raja Sakur di tengah asyiknya pembicaraan tentang burung ruai.
**********
Seroja dan Teratai berganti-gantian menjaga didepan pintu gudang lama. Takut-takut seseorang yang tidak di duga akan masuk kedalamnya. Sedangkan didalam gudang, Kenanga masih belum sadar dari pingsannya. Tangannya masih terikat. Tertidur, terkulai diantara debu-debu. Seroja dan Teratai tidak tega melihat Kenanga seperti itu, tapi apa hendak di kata mereka sudah terlebur dalam permainan yang dibuat oleh Kasturi.
Di pondopo, Kasturi, Bakung dan Mawar tengah memujuk Setanggi untuk ikut dengannya pergi menangguk.
“Maksud kakanda gua keramat itu?”
Ketiganya mengangguk.
“Apakah kakanda tidak pernah mendengar seseorang yang tidak pernah kembali setelah memasuki gua batu tersebut?”
“Itu hanya dongengan rakyat-rakyat bodoh, Setanggi. Aku tidak pernah percaya sedikitpun.” Pangkas Kasturi dengan hati-hati membujuk adik bungsunya.
“Benarkan Mawar, Bakung?”
“ii..ya.” Keduanya menyahut bersamaan.
“Tapi Setanggi takut, kakanda. Biarlah kita suruh pengawal atau dayang saja untuk menangguk disana jika kakanda benar-benar ingin memakan ikan sungai.” Saran Setanggi.
Hati ketiga saudarinya memanas, tetapi tetap berusaha tersenyum agar Setanggi menurut.
“Tidak, adindaku. Bukankah sudah lama kita tidak bersenang-senang diluar istana. Lagipula disana tempatnya sangat indah. Sekalian kita bisa mandi dan berenang-renang. Bukankah itu kesukaanmu?” ucap Bakung yang juga berusaha untuk membujuk dan bermuka manis.
“Ayolah, Setanggi. Kapanlagi kita bisa keluar istana sebebas ini. Mumpung ayahanda tidak ada di kerajaan tentunya, bukan?” Mawar memperkuat ajakan.
“Tapi tidak akan lama kan, kakanda?”
“Tidak, jika tempat ini sudah terisi, kita langsung pulang.” Jawab Kasturi sambil menunjukkan tempat kecil yang muat hanya untuk kira-kira 20 ekor ikan betok.
***********
Dari kejauhan gua batu tampak begitu mempesona. Di lingkupi oleh dedaunan liar menjalar di mukanya. Batu besar yang kokoh dan beronggalah menjadikan ianya di panggil gua batu. Memang sebuah gua ajaib. Gua tersebut berada dua langkah dari pinggir aliran sungai. Tetapi tanahnya agak curam. Sehingga air sungai tidak mampu memasuki gua tersebut. Tetapi pernah sekali, menurut cerita rakyat jelata, musim hujan terlama dan air sungai meluap hingga menggenangi kerajaan. Tidak luput untuk air memasuki gua batu. Kala itu, Gua Batu seolah-olah menyatu dan mempunyai aliran tersendiri dari sungai. Tak ada yang tahu kemana hujung gua tersebut. Apakah buntu ataupun bertemu ke muara sungai lainnya. Ketika itulah berbagai jenis ikan berenang ke dalamnya. Dan ketika air surut, ikan-ikan tersebut tidak bisa kembali ke sungai. Beranak pinak dan makin banyak. Tetapi karena dianggap keramat, tidak ada seorangpun berani untuk masuk kedalam gua tersebut dan menangkap ikan didalamnya.
“Kita sudah sampai setanggi.”
Setanggi yang masih bingung dan sedikit takut mencoba untuk mengingat-ingat jalan pulang nanti. Berbeda dengan ketiga kakak-kakaknya yang sudah sangat hafal dengan jalan di hutan ini. Setanggi memutar badan dan menyapu apa saja yang bisa di tangkap oleh indra penglihatannya. Dan terhenti dan terpegun pada Gua Batu.
“Ya, itulah gua yang disebut-sebut sebagai gua keramat itu. Sama saja, bukan?. Rakyat jelata memang terlalu suka untuk melebih-lebihkan. Batu itu tidak beda dengan batu yang ada di belakang istana, Setanggi.” Ungkap mawar yang juga tengah memandang Kasturi dan Bakung. Mengedip-ngedipkan mata, memberi kode. Dan Setanggi masih diam dan tidak percaya bahwa dirinya akan melihat gua yang dianggap mistis itu dihadapannya. Hatinya setuju dengan ungkapan mawar tadi.
“Aduh, aku minta maaf Kasturi, Mawar dan Setanggi. Perutku tiba-tiba sakit. Dan panggilan ala mini harus segera di laksanakan.” Ucap Bakung tiba-tiba.
“Jorok kamu, Bakung. Cepat pergi sana, sebelum kami disini jijik semua.” Kasturi pura-pura menanggapi.
Bakungpun mencari tempat yang rindang dan tertutup. Ketika dia masuk, tubuhnya sudahpun hilang di peluk rimbunan dedaunan dan pohon-pohon besar.
“Baiklah Setanggi, hari masih pagi dan kita punya banyak waktu untuk bersenang-senang. Saya ingin mandi dulu di sungai.” Kemudian Kasturi melafazkan niatnya.
“Tapi kakanda. Bukankah sebaiknya kita langsung menangguk saja agar kita bisa lebih cepat pulang ke istana?”
“Tenang Setanggi. Hanya sebentar! Apakah kamu mau ikut?”
Setanggi menggeleng.
“Kamu mawar?”
“Aku ingin mencari ranting-ranting dulu. Rugi rasanya jika sudah masuk ke hutan seindah ini kita tidak memakan ikan bakar. Apalagi ikan tinggal meraup di depan kita.”
“Ide bagus, Mawar.”
Kasturi dan Mawar pun bersamaan meninggalkan Setanggi sendirian. Mawar menuju Gua Batuk dan menikung di sebaliknya. Lenyap. Sedangkan Kasturi mulai menjajaki tepi-tepi sungai berenang semakin jauh. Tertawa kecil. Makin lama makin tidak tampak sosoknya. Dan Bakung belum juga selesai dari hajatnya. Setanggi hanya duduk di atas batu kecil tak jauh dari mulut Gua batu.
Lamunan Setanggi pecah oleh berisik dari kegelapan dalam gua. Seperti kebasan sayap seekor burung. Ukurannya tentu bukan seekor burung kebanyakan. Sedikit memberanikan diri, Setanggi mengintip. Ada apakah gerangan di dalam gua tersebut. Gelap, tidak ada cahaya sedikitpun. Setanggi kembali duduk di batu kecil tadi. Lama ia menunggu ketiga saudarinya, belum juga menunjukkan tulang punggungnya. “Kakanda, kemana kalian?” teriak hati Setanggi. Setanggi menghampiri sungai. Berharap Kasturi tergapai-gapai sambil tertawa disana. Tetapi nihil. Lalu kembali. Menuju arah menghilangnya sosok mawar di balik batu besar, yang tampak hanya pohon-pohon raksasa. Terakhir, mendekati dimana Bakung membuang hajatnya. Tetapi Bakung juga tidak ada disana. Setanggi pasrah dan berdoa semoga ketiga kakandanya cepat selesai dengan keperluannya masing-masing.
“Treeeek….”
Setanggi kembali terkejut. Sumber suara berasal dari dalam gua.
“Kakanda, kalian jangan menakut-nakutiku. Setanggi takut.”
Tidak ada balasan. Dengan hati berbebar-debar, Setanggi memasukkan tubuhnya lebih dalam ke mulut gua. Tak berbeda. Gelap gulita. “Treeeek…” kembali terdengar, tetapi suaranya lebih jauh di dalam gua. Seolah-olah mengundang Setanggi untuk masuk. Tetapi Setanggi lebih takut dengan binatang yang mungkin menghuni gua itu. Ular raksasa yang sering di ceritakan oleh orang-orang desa. Kalajengking hitam dan berbagai binatang berbisa lainnya.
Setanggi mengumpulkan ranting-ranting kecil dan daun-daun kering. Memukulkan pecahan batu satu sama lainnya dibawahnya. Percikan api tampak dari sentuahan paksa batu-batu tersebut. Berkali-kali Setanggi memukulkan, dan akhirnya berhasil. Api menyala memakan material kering tersebut.
Kembali Setanggi mencoba memasuki gua Batu, tetapi lebih yakin dengan obor di tangan kanannya sebagai penerangan. Hati-hati Setanggi, dan berpikir “Sungai di gua ini benar-benar ada, tetapi lebarnya lebih kecil dari yang diluar. Hanya setengah tombak untuk bisa berjalanan di sisi sungai tersebut. Setanggi melangkah dengan waspada agar tidak tergelincir dan tercebur ke sungai.
“Treeeek…” kembali suara itu muncul dari dalam. Lebih jauh terdengar. Tetapi memenuhi setiap sudut gua. Ikan-ikan melompat-lompat di aliran sungai kecil. Memercikan air, membuat gelombang kecil dan tenang. Disana juga, disana lagi. Dan ternyata banyak.
Di luar hujan tiba-tiba turun. Lebat. Entah bersyukur atau tidak, yang pasti Setanggi mendapatkan tempat untuk berteduh. Tetapi ia masih menunggu kedatangan saudari-saudarainya. Harapannya kakak-kakaknya juga berteduh di gua ini. Tapi sampai saat ini tidak ada tanda-tanda akan apa yang diharapkannya segera terwujud. Hujan semakin deras saja.
Setanggi terus saja berjalan. Semakin jauh ke dalam. Ia terkejut menemukan ruangan seluas kamarnya di dalam gua keramat itu. Setanggi meraba-raba dengan cahaya seadanya. Ruangan itu kosong tentu saja. Ketakjuban akan apa yang dilihat dengan mata kepalanya sendiri dan rasa was-was yang masih mencekamnya. Hanya bunyi cemplungan ikan di air yang terdengar nyaring. Ketika datang sejauh itu, suara hujan lebat di luar menghilang.
************
“Kalian benar-benar membunuh Setanggi?” Kenanga berucap sambil bersimbah air mata. Di ikuti oleh Seroja dan Teratai.
“Kami hanya meninggalkannya di hutan, dekat gua Batu.” Balas Kasturi puas.
“Itu sama saja!. Bukankah kita semua tahu tentang cerita gua Batu tersebut?” Lanjut Kenanga.
“Diam! Kalau sampai berita ini sampai ke telinga ayahanda, nasibmu akan sama dengan Setanggi. Paham!”
Kenanga diam. Tapi masih tersedu-sedu.
“Sekarang tugas kita adalah berpura-pura ketika ayahanda sampai kembali di istana. Perlu alasan yang logis agar ayahanda percaya apa yang kita bicarakan nantinya.”
Keenam putri raja Bantahan itu pun berunding tentang alasan yang bakal disampaikan kepada ayahandanya berkenaan dengan menghilangnya Setanggi dari istana. Meskipun Kenanga, Seroja dan Teratai enggan, tetapi mereka lebih memilih aman dari kematian yang tidak dikehendakinya.
“Bagus!. Jadi kita harus kompak ketika ayahanda bertanya tentang hal ini.”
*************
Raja Bantahan yang bernama Tarung itu tengah berbicara serius dengan raja Sakur juga melibatkan permaisuri Cempaka.
“Dua purnama dari sekarang?”
“Saya kira itu waktu yang tepat. Rakyat Bantahan juga telah memanen hasil sawah dan kebun saat itu. Jadi kita bisa menggelar pesta besar-besaran.”
“Bagaimana permaisuriku? Apakah adinda setuju?”
“Itu waktu yang sangat tepat.”
*************
Setanggi masih bertahan di ruangan misterius di dalam gua gelap itu. Obornya mulai menunjukkan tanda-tanda akan padam. Ia bangkit dari duduknya dan akan menuju kearah dari mana ia masuk tadi. Belum sempat melangkahkan kaki keluar, sebuah sapaan hampir membuatnya pingsan.
“Kakak-kakakmu tidak akan kembali.”
Diam. Sedangkan Setanggi merasa jantungnya telah lepas. Tubuhnya gemetar dan wajahnya pucat. Aliran darahnya seolah-olah terhenti. Bahkan untuk menggerakkan anggota tubuhnya, ia tidak lagi punya daya.
“Mereka sudah sejak tadi meninggalkan hutan ini. Alasan mereka hanyalah tipu daya. Agar kamu tertinggal disini sendirian. Aku melihat mereka bertemu di muara sungai. Tepat di balik gundukan batu raksasa ini. Aliran sungai di gua ini bertemu kembali dengan sungai utama. Kamu akan menemukannya jika terus saja berjalan semakin dalam ke dalam gua.”
Setanggi gugup bukan main. Ternyata benar. Gua ini berpenghuni makhluk halus. Dan sekarang ia benar-benar merasa dan mendengar langsung. Bukan mimpi atau cerita rakyat.
“Siapa kamu?” Setanggi berusaha untuk membuka mulut. Tapi terasa kelu. Ucapannya tak lebih dari desahan pelan. Tapi terdengar oleh lawan bicaranya.
Seekor ular kobra raksasa menghampirinya. Sisiknya mengkilat dan hitam pekat di sinari oleh obor yang hampir padam. Badannya sama besarnya dengan tubuh Setanggi. Sisik-sisiknya sebesar induk jari. Kepalanya terangkat dan siap untuk memangsa. Lagi, kepalanya hampir mencapai langit-langit gua. Padahal langit-langit setinggi dua kali tubuh Setanggi.
Setanggi semakin panik. Andai saja ia bisa berlari, sudah dilakukannya sejak tadi. Tetapi nasib, kakinya terasa mati. Ular adalah makhluk yang paling Setanggi geli sekaligus takuti. Dan sekarang tidak ada lagi rasa takut. Yang ada hanya sebuah ketakutan luar biasa dan berakhir dengan kepasrahan. Tidak ada yang bisa dilakukannya dan menerima andaisaja tubuhnya akan menjadi sarapan ular hitam pagi itu.
Kepala ular kobra menurun dan menguncup. Lidahnya menjulur-julur. Mendekat ke tubuh Setanggi. Tepatnya ke muka Setanggi. Setanggi memejamkan mata tanda tidak lagi berdaya. Ternyata ular itu melingkarkan seluruh tubuhnya, kecuali bagian atas, di pojok ruangan. Sehingga ketika masuk, Setanggi tidak melihat sosok binatang berbisa itu.
“Jangan takut. Melihatmu aku teringat akan putriku.”
Setanggi membuka mata perlahan. Dan berteriak ketika muka ular raksasa tepat ada di depan mukanya. Mata merah dan lidah cabang duanya seolah-olah ingin mencicipi muka Setanggi.
“Aaaaaaa…!” Setanggi berteriak sejadi-jadinya. Pingsan.
Setanggi tidak tahu berapa lama ia tidak sadarkan diri. Ketika membuka matanya, ia mendapati dirinya masih terkulai di dalam gua batu. Tapi berbeda, gua menjadi lebih terang. Di lihatnya seseorang lelaki tua tengah menghadap perapian. Membakar ikan. Tetapi, Setanggi kembali ingat perihal ular raksasa tadi. Setanggi ketakukan dan merapat ke dinding batu.
“Sudah bangun, nak?”
Setanggi hanya diam. Suara itu? Suara ular tadi.
“Jangan takut. Apakah kamu lapar? O ya, siapa namamu?”
Setanggi pun menyebutkan nama yang diberi oleh ibundanya. Tapi tubuhnya masih merapat ke dinding dan mengawasi sekeliling. Masih tampak jelas besarnya badan ular dan mengerikan. Setanggi berpikir mungkin saja ular itu ada disebalik lelaki tua disana.
Lelaki tua berpakaian hitam itu berbicara tanpa memandangi Setanggi. “Mau ikan?” tawarnya kemudia. Tidak ada sahutan keluar dari mulut yang ditanya.
“Berapa umurmu?”
“240 purnama.” Jawab Setanggi datar
“Pasti Kasuari sama besarnya dengan mu sekarang, nak.”
“Kasuari?”
“Putri tunggalku. Sudah lama aku tidak bertemu dengannya. Hampir selama usiamu. Ketika aku mulai bertapa disini, umurnya baru satu purnama.”
“Jadi…?”
“Ya, Setanggi. Kamu pasti pernah mendengar cerita itu, bukan? Akulah orangnya. Aku sangat menyesal menuntut ilmu ini. Masyarakat mengucilkanku, aku juga tidak mungkin bisa lagi bertemu dengan keluargaku. Aku sudah terlanjur mengabdi pada ilmu yang sesungguhnya hanya menyiksa setiap detik kehidupanku. Aku sangat menyesal.”
Lelaki berjubah hitam itu menangis. Menyesali apa yang telah diperbuatnya selama bertahun-tahun.
“Aku menuntut ilmu ini jauh sebelum istriku mengandung anak pertama kami. Guruku telah meninggal, jadilah aku pewaris tunggal ilmu ini. Aku tidak ingin ada orang lain mewarisi ilmu keparat ini. Makanya aku bersemedi di tempat ini. Tujuanku pertama adalah untuk menyempurnakan ilmu, tetapi aku merasa kesepian setelah semuanya sempurna. Tidak banyak yang bisa ku perbuat. Tubuhku berubah menjadi binatang buas. Dalam masa-masa penyempurnaan, aku tidak bisa berubah menjadi manusia semauku. Menjadi ular raksasa adalah syarat yang harus ku lalui. Tapi sekarang berbeda, mau jadi hewan apa saja aku bisa.”
Sepi kembali, hanya cemplungan ikan di sungai yang terdengar.
“Apa aku tadi menakutkanmu?”
Setanggi mengangguk.
“Maafkan aku, tadi aku tengah bertapa. Ketika bertapa aku harus merubah diri menjadi ular raksasa. Dan kehadiranmu menyadarkanku. Instingku mengatakan kehadiran ancaman. Ternyata hanya seorang anak perempuan yang sengaja di tinggal oleh saudari-saudarinya.”
“Kenapa kamu tidak menemui keluargamu lagi?” Setanggi mulai mencoba santai dan memang sudah seharusnya begitu sekarang. Karena tidak ada lagi ular raksasa yang menakutkan.
“Ilmuku memang telah sempurna, tetapi belum mencapai paripurna. Jika ingin mencapai tingkat tertinggi itu, aku harus memangsa darah dagingku sendiri. Jika aku menyentuh putri atau istriku, secara spontan jasadku akan menjadi seperti apa yang kamu lihat tadi. Bahkan aku akan kehilangan kesadaran. Yang tersisa adalah nafsu buas yang siap untuk menyantap anakku sendiri.”
“Ini kulakukan pertama kali hanya untuk menjadi kaya raya tanpa harus bersusah payah menggarap sawah atau berkebun. Tetapi semuanya sudah terlambat ketika hari pertama aku bersemedi. Aku tidak merasa tertipu oleh guru. Tetapi aku tidak menyangka akan sejauh ini akibatnya.”
Setanggi hanya diam mendengarkan dan dapat merasakan kerinduan seorang ayah terhadap putrinya. Apa yang akan terjadi pada ayahnya seandainya jika dirinya tidak kembali lagi ke istana.
Diam Setanggi terpotong. Lelaki tua itu ingin mengajaknya berbicara lagi.
“Namaku Bara.”
Setanggi tidak terlalu memperdulikan nama itu. Yang setanggi pikirkan adalah apakah benar kakandanya sengaja meninggalkannya sendirian di hutan itu. Atau mungkin ketika mereka kembali berkumpul, mereka tidak mendapatiku di tempat semula dan kemudian mencariku kemana-mana.
“Apa yang menyebabkan saudari-saudarimu meninggalkanmu sendirian di hutan ini, Setanggi?”
“Aku tidak tahu. Sama sekali tidak tahu.”
“Mungkin harta juga menggelapkan mata mereka hingga tega melakukan ini, seperti gelapnya mataku sewaktu menerima tawan Mbah Puteh untuk menjadi muridnya.”
Setanggi benar-benar tidak tahu apa alasan kakandanya meninggalkannya. Setahu Setanggi, tidak ada percekcokan, pertengkaran maupun perebutan harta antara dirinya dan ketiga saudarinya tersebut.
            “Saya ingin kembali ke istana.”
            “Istana?”
            “ya, istana.”
            “Jadi…?”
            “Saya putri bungsu raja Bantahan. Penguasa wilayah utara ini.”
            Bara terkejut mendengar identitas gadis dihadapannya. Selama ini rakyat jelata susah payah untuk bertemu dengan orang-orang di dalam istana. Dan sekarang, dihadapannya, putri bungsu penguasa tengah tersesat. Dan tidak tahu jalan pulang.
            “Hari sudah beranjak malam, Setanggi. Sebaiknya besok pagi kamu baru pulang ke rumahmu, maksudku ke istana.”
            “Apakah pak Bara tidak bisa mengantarkanku malam ini juga?”
            Ada sedikit pekerjaan yang harus aku laksanakan.”
            Setanggi mengerti meskipun tidak tahu pekerjaan apa yang hendak dilakukan oleh lelaki siluman itu.
            “Tidurlah!” pinta Bara perlahan
            Tanpa menunggu waktu lama, Setanggi langsung terlelap dan berkelana kealam mimpi. Disana ia melihat ayahandanya tengah bercanda gurau dengan ibundanya di taman bunga istana. Setanggi menghampiri kedua orang tuanya dan bergabung tertawa dan berlari bersama.
************
            Raja Bantahan murka mengetahui kehilangan putri bungsunya, sesaat setelah kedatangannya di istana kerajaannya. Ia memerintahkan ratusan pengawal untuk mencari Setanggi di tempat kehilangannya sebagaimana yang disebutkan oleh ke enam putrinya. Raja Bantahan mondar-mandir. Tidak sabar menunggu hasil. Duduknya tidak tenang, makannya juga tidak terasa kenyang. Lupa untuk istirahat setelah perjalanan jauh. Pikirannya hanya tertuju pada si bungsu dan berdoa untuk keselamatannya.
            “Kasturi!. Bagaimana mungkin kamu membiarkan Setanggi pergi ke dalam hutan sendirian.”
            “Maafkan Kasturi ayahanda. Sebenarnya ananda dan kelima saudari hamba sudah melarang keras keinginan si bungsu. Tetapi si bungsu tidak menghiraukan nasihat kami. Kami pun tidak menyerah. Kami memerintahkan pengawal dan dayang untuk mengawasi kemana saja Setanggi pergi. Tetapi Setanggi kabur keluar istana ketika malam atau mungkin dia menyuap salah satu pengawal atau dayang kerajaan. Kami semua tidak pasti, bagaimana Setanggi bisa lolos dari pengawasan kami.” Kasturi beralasan selogis mungkin.
            “Betul apa yang di katakan Kakanda Kasturi, ayahanda.” Kelima putrinya serentak mengucapkan perkataan yang sama. Meskipun Kenanga, Seroja dan Teratai sangat kaku jika sang raja jeli memperhatikan.
            “Kata Setanggi juga, ayahanda. Kepergian ayahanda ke kerajaan selatan adalah kesempatan emasnya untuk bisa leluasa berkeliaran di luar istana. Termasuk untuk berkelana ke dalam hutan larangan.” Mawar mencoba untuk memperkuat alasan Kasturi.
            “Benarkah begitu?”
            Semua putrid-putri raja Bantahan mengangguk.
            “Setanggi, apakah ayahanda masih berkesempatan melihat kamu kembali nak. Hutan larangan itu menyimpan sejuta mistis. Sering munculnya makhluk-makhluk aneh, binatang melata yang lebih buas dari lainnya, dan banyaknya rakyat yang hilang setelah memasuki belantara tak terjamah tersebut.” Kegundahan hati raja Bantahan berkata. Air mata pun tak terbendung dari laki-laki beruban itu.
            Malam berganti siang, hingga datang dalam hitungan minggu. Namun Setanggi masih belum ditemukan oleh para pengawal yang ditugaskan. Kekecewaan dan kesedihan serta mungkin juga kepasrahan tampak di wajah raja Bantahan. Tidurnya tidak lagi nyenyak, lebih banyak termimpi akan kembalinya putri tercinta.
************
            Ketika Setanggi bangun dari tidurnya didapatinya sesuatu yang ganjil terjadi pada dirinya. Tubuhnya menyusut dan mengecil. Tubuhnya banyak ditumbuhi oleh bulu-bulu halus. Ada paruh panjang di mulutnya. “Apakah ini mimpi?” pikirnya. Ia mencoba mencubit kulitnya, tetapi hanya kepakan sayap yang terjadi.
            “Tidak! Ini tidak mungkin terjadi. Apakah ini kutukan oleh Bara Si ular jahanam itu?” umpat Setanggi dalam hati.
            “Maafkan aku Setanggi. Ini kutukan ilmu. Karena kamu telah tahu semua cerita tentang diriku dan dimana keberadaanku.”
            “Lepaskan saya. Saya tidak pernah menyakitimu dan saya juga tidak bermaksud ingin mengganggu pertapaanmu.”
            “Ini tidak terkait dengan itu semua. Ini adalah kutukan karena kamu telah mengetahui identitasku” ucap burung ruai jantan yang ada di hadapan Setanggi.
            Setanggi telah menjadi ruai betina. Bulunya sangat halus dan berbintik-bintik hitam. Warnanya keseluruhan berwarna emas. Ekornya panjang menjuntai. Dadanya berwarna putih mutiara berpadu dengan hijau muda. Sungguh seekor burung ruai yang menakjubkan. Mahkota di kepalanya berwarna agak gelap. Tetapi masih jelas berwarna hijau.
            “Kutukan ini sedikit banyak akan membantumu kembali ke istana.”
            “Membantu! Ini menyiksa!” Setanggi marah besar
            “Kamu telah tertidur seminggu penuh. Itu masa yang diperlukan untuk merubah wujudmu menjadi ruai seutuhnya. Dan sekarang kamu bisa kembali ke istana. Tentunya dengan wujudmu sebagai seekor burung. Apakah kamu tidak tertarik untuk mengetahui apa sebenarnya alasan saudari-saudarimu melepasmu berkeliaran di hutan ini?”
            Setanggi diam. Sedikit membetulkan apa yang diucapkan oleh ruai jantan. Ruai itu berwarna biru gelap. Di dadanya putih susu. Paruhnya juga berwarna gelap. Badannya tegap dan menunjukkan kekuasaan dan keangkuhan. Ditambah dengan mata yang terbuat tajam.
            Setanggi tidak sabar ingin kembali ke istana. Dan ketidaksabarannya itu pulalah yang menghilangkan rasa amarahnya yang membuncah tadi.
            “Ke arah mana saya harus terbang?” Tanya Setanggi yang tidak sabar untuk menemui ayahandanya di istana.
            “Terbanglah ke arah sana.” Ruai jantan menunjuk arah di balik batu besar dimana didalamnya terdapat ruangan yang dialiri air sungai.
            Langsung saja Setanggi membawa tubuhnya melambung ke udara. Tanpa mengucapkan sepatah katapun kepada satu-satunya makhluk yang bisa berbicara dengannya dalam kondisi seperti itu. Setanggi tidak tahu harus mengucapkan apa, terima kasih, selamat tinggal atau kurang ajar. Tetapi ketika gua batu tinggal terlihat sebesar rembulan purnama, Setanggi memandang kebawah. Dan masih melihat titik hitam di samping batu itu. Bara masih ada disana. Mungkin tengah melihatnya melayang-melayang mengepakkan sayap.
************
            Dari atas awan, istana kerajaan Bantahan berkilau emas. Menyilaukan mata. Sungguh tampak sangat kecil. Berbeda ketika berada di depan pintu gerbang. Sebuah istana yang memona, megah dan berwibawa.
            Seorang laki-laki dan beberapa wanita tengah duduk-duduk di pondopo istana. Entah apa yang tengah di sembangkan. Yang pasti pembicaraan tentang sebuah kehilangan seseorang. Ruai betina menurun dari ketinggian dan mencoba mencari dahan terdekat dengan para manusia-manusia itu. Dan dahan sengon menjadi tempat berlabuh.
            “Sudahlah ayahanda. Jangan terus begini. Kita semua telah berusaha dan berdoa. Mungkin ini sudah menjadi suratan Setanggi. Harus pergi menghilang dari istana.” Bakung berbicara menghibur kesedihan ayahandanya. Lima saudarinya yang lain juga melafazkan ucapan yang serupa. Tetapi sang ayah masih menyesalkan kepergian Setanggi tanpa pamit kepada dirinya. Padahal Setanggi tahu bahwa dirinya mencintai putri terakhirnya melebihi semua kakandanya.
            “Ayah ingin sendirian. Kalian semua boleh pergi.” Pinta raja Bantahan kepada ke enam putrinya.
            Bidadari kerajaan itu pamit dan meninggalkan ayahnya yang tengah meratap. Jelas Kasturi, Mawar dan Bakung senang akan hal ini, tetapi berbeda dengan Teratai, Seroja dan Kenanga.
            Di kejauhan, ruai betina mengamati lelaki tua yang tengah sendiri di pondopo. Tidak tahan untuk segera menghampiri ayahandanya. Setanggi mengepakkan sayapnya perlahan dan tidak lama hinggap di atap pondopo. Sang raja mendongak ke atas. Ada sesuatu diatas. Raja Bantahan berdiri dari duduknya. Berjalan menuruni tangga. Dari bawah, di lihatnya seekor ruai betina ada disana.
            “Ruai? Wahai burung langka. Betapa ingin kami melihat indahnya bulu-bulumu.
Betapa kami merindukan kehadiranmu diantara burung-burung piaraan kami. Tidak hanya aku, pangeran Panca dari kerajaan selatan juga tengah memburumu.”
            Ruai betina menatap lama kepada raja Bantahan. Seolah-olah ada sesuatu yang ingin disampaikan oleh sang burung. Tentu saja. Setanggi tengah memanggil-manggil ayahandanya. Hanya saja, ayahandanya tidak mengerti bahasa yang diucapkannya.
            Burung betina itu menghampiri raja. Raja gelapakan dan meminta tolong. Tetapi tidak ada seorang pun yang mendengar. Hingga akhirnya ruai betina hinggap di bahu sang raja.
            “Burung yang jinak.” Ucap raja Bantahan kemudian. Raja melihat mata berkaca-kaca pada sang burung. “Ada apakah gerangan wahai burung? Sepertinya engkau merasa sedih seperti sedih yang aku rasa saat ini.”
            Ruai betina mengelus-ngelus pipi raja Bantahan dengan sayapnya. Persis sama dengan yang sering Setanggi lakukan disaat-saat ayahandanya tengan di rudung kesedihan. “Ruai, aku jadi semakin merindu putri bungsuku. Setanggi.” Kata raja merasa terharu atas belaian burung tadi. “Aku tidak tahu dimana dia sekarang. Apakah masih hidup ataupun malaikat maut telah datang kepadanya. Aku seorang ayah yang tidak berguna. Tidak bisa menjaga putrinya sendiri. Jika purnama mengetahui ini, pasti ia akan sangat marah kepadaku.”. Ruai kembali mengelus muka raja Bantahan. “Lagi!” pinta sang raja.
            Raja bantahan menutup mata dan merasakan seolah-olah Setanggi tengah menghibur dirinya.
            “Setanggi! Ruai, apakah kamu tahu dimana Setanggi?” Tanya raja mengejutkan. Setanggi tidak lagi mengelus-ngelus pipi ayahandanya karena kaget. Setanggi sendiri masih tidak tahu bagaimana caranya untuk memberitahukan kepada sang raja bahwa dirinya adalah putri yang tengah di carinya. Menunggu 100 purnama ke depan waktu yang lama untuk memberitahukan kepada ayahandanya. Dan diwaktu itu, Setanggi akan kembali normal menjadi anak manusia. Begitu yang dikatan Bara sebelum sepeninggalnya dari gua Batu.
            Setanggi sempat berpikir untuk kembali kepada Bara dan berniat untuk menanyakan bagaimana caranya agar dirinya bisa berbicara kepada ayahandanya. Tetapi niatnya urung. Dia tidak mau mengemis kepada orang yang telah menyengsarakan kehidupannya dalam tubuh seekor burung betina. Tidak akan!.
            Untuk saat ini, Setanggi harus meninggalkan ayahandanya segera. Setelah melepas rindu beberapa saat dan dilihatnya ayahandanya pun tampaknya terobati sedikit lara kerinduannya, ia meninggalkan lelaki itu sendirian di pondopo istana. Meskipun terasa berat, tetapi Setanggi merasa harus berbuat sesuatu agar bisa membuktikan bahwa dirinya adalah putri kerajaan. Sepeninggalannya, raja Bantahan masih menatap kearah langit melepas penerbangan ruai betina.
            Rupanya Setanggi tidak terbang jauh. Setelah raja masuk kembali ke dalam istana, secara diam-diam ia juga kembali memasuki kawasan istana. Ia menuju kamarnya. Berusaha agar tidak ada satu pengawalpun maupun putrid-putri yang lain melihatnya. Ada celah yang cukup luas untuk seekor burung masuk. Setanggi ingin tidur lagi dikamarnya. Tapi sekarang ia hanyalah seekor binatang. Apa yang bisa di buatnya? Setanggi berpikir keras. Sebuah ide cemerlang terlintas di benaknya.
***********
            Sejak diberitahu perihal kehilangan Setanggi dari istana utara, pangeran Panca melewati harinya dengan perasaan muram. Banyak melamun dan menyayangkan. Bidadari impiannya kini telah pergi kealam lain. Mungkin. Tapi sang pangeran senantiasa berupaya untuk mengatakan kepada dirinya sendiri bahwa Setanggi masih hidup. Dan suatu saat mereka akan dipertemukannya kembali.
            Raja Sakur dan permaisuri Cempaka mencemaskan keadaan putranya yang semakin memprihatinkan. Berkali-kali menawarkan kepada pangeran Panca agar memilih saja salah satu dari enam putrid raja Bantahan. Bukankah ada tiga lagi bidadari yang belum di lihatnya?. Semuanya sia-sia belaka. Perasaan pangeran bantahan sudah terikat pada si bungsu. Hati kecilnya berkata bahwa gadis itulah jodoh yang telah tertakdir.
            Dua hari sejak kehilangan Setanggi, raja Sakur, permaisuri Cempaka dan tidak lepas pangeran Panca menerima kedatangan utusan dari raja Bantahan. Tentu saja berkenaan dengan apa yang tengah melanda putri raja Tarung itu. Ketika itu juga, raja Bantahan menyampaikan penyesalannya atas segala pembatalan, terutama acara pernikahan. Ketiga orang yang diberi kabar mencoba untuk maklum, tetapi pangeran Panca tetap saja tidak bisa melupakan dan merelakan begitu saja. Jadilah hidupnya seperti dedaunan kering yang jatuh ke tanah. Pergi kemana saja angin membawa.
            Merasa hatinya tidak terhibur didalam istana, pangeran Panca mengajak beberapa pengawal untuk berburu dan mencari burung ruai. Barang kali saja ia akan menemukan burung langka tersebut. Dan tepat, di tengah hutan. Tak jauh dari gua batu dan wilayah perbatasan kerajaan selatan dan utara, pangeran Panca melihat seekor ruai betina tengah mengangkasa. Terlalu tinggi untuk di kejar. Tetapi ruai betina tersebut masuk kawasan kerajaan kuning.
************
            Setanggi baru akan memulai rencananya ketika tengah malam. Sebagai sebuah antisipasi agar tidak ada seorangpun yang akan melihatnya keluar masuk kamar sang putri.
            Tengah malam telah tiba. Suara binatang malam dari hutan riuh dan beraneka suara. Dari longlongan serigala, burung hantu, jangkrik, dan bunyi-bunyian yang membuat merinding jika terlalu di perdengarkan. Kenyataannya, istana kuning masih di dampingi oleh hutan yang rimbun.
            Sesosok bayangan hitam, berbaju hitam dan bertopeng yang hanya menampakkan mata juga berwarna hitam, mengintip-ngintip di balik jendela kamar tidur sang raja. Mengendap-ngendap. Langkahnya diatur sepelan mungkin agar penghuni kamar tidak terjaga dan berteriak memanggil pengawal. Semua rencananya akan berantakan. Dan siap-siap dengan konsekuensi yang jauh lebih parah dari ketahuan oleh sang raja.
            Kenanga mencari waktu yang sangat tepat untuk memberitahukan prahara yang sesungguhnya terjadi di istana kepada ayahandanya. Tetapi sangat susah untuk mencari waktu itu. Kelima saudarinya seringkali memperhatikan gerak-geriknya. Meskipun terlihat tidak seperti itu, tetapi Kenangan tahu apa yang di pikirkan oleh Kasturi, Bakung dan Mawar. Mereka semua was-was jika Kenanga berani untuk mengadu kepada sang raja.
            Kenanga juga tahu, tiga saudari tertuanya memerintahkn beberapa pengawal pengawal untuk melihat segala kemungkinan-kemungkinan pengaduan dirinya pada ayahandanya. Namun celakanya, Kenanga tidak tahu pengawal yang mana. Dan sekarang saat yang tepat, pikir Kenanga. Kesempatan emas ini tidak boleh dilepas begitu saja. Mungkin tidak ada yang kedua.
            Berbekal sedikit keberanian, setelah semua putri-putri tertidur pulas dan pengawal pun mulai ternguap-nguap, Kenanga beraksi.
            Kenanga mencungkil daun jendela dengan pisau yang dibawanya. Dua pengawal menjaga pintu masuk. Kenanga harus berhati-hati. Ternyata tidak sesulit yang Kenanga bayangkan. Mungkin sebelum tidur tadi ayahandanya mencari angin dengan membuka jendela. Dan ketika mengantuk hanya merapatkan daunnya, tidak menguncinya. Kenanga lega dan bersyukur urusannya di pemudah Yang Maha Kuasa. Apapun yang terjadi nanti, dia sudah pasrah dengan resiko sebesar apapun. Meskipun ancaman pelenyapan dari saudari kandunganya sendiri.
            Raja Bantahan menggeliat dan membetulkan posisi tidurnya, tetapi masih dalam indahnya mimpi. Melihat itu, Kenanga meningkap di lantai. Takut baying-bayangannya terlihat oleh pengawal dari luar. Kenanga mendekati ayahandanya yang tidur dengan pulas. Mungkin ini tidur terpulas sejak kehilangan Setanggi. Sebenarnya Kenanga kasihan untuk membangunkannya, tetapi ada sesuatu yang lebih penting.
            Kenanga membelai muka ayahandanya dengan lembut sebagaimana sering ia lihat Setanggi melakukannya. Ia sendiri untuk pertama kali melakukan itu. Muka ayahandanya begitu kasar dan keriput. Bulu-bulu brewoknya sedikit menggelikan telapak tangan Kenanga. Masih terpejam, “Setanggi?” raja berucap.
            Kenanga membuka penutup mukanya seiringan dengan raja membuka matanya. Kenanga meletakkan telunjuk jari merepat kebibir ayahandanya.
            “Kenanga?” raja heran
            Kenagan mengangguk. Raja mengerti. Kenanga ingin agar dirinya berbicara sepelan mungkin dengan putri yang lebih tua sedikit dari Setanggi itu.
            “Apa yang kamu lakukan?” raja menambahkan, penasaran.
            Kenanga berbicara keadaan sesungguhnya yang menimpa Setanggi. Siapa dalang dibalik semua itu. Tak terlepas mengatakan penyesalannya karena sedikit banyak terlibat dan tidak mampu menghalangi rencana si sulung. Terakhir, Kenanga bercerita tentang dirinya yang harus menjadi penghuni gudang lama selama bebera jam.
            Raja Bantahan sama sekali tidak menyangka penghianatan dari orang yang diberi kepercayaan untuk mengurus istana dan saudari-saudarinya. Raja murka. Dan sudah pasti berniat akan menghukum Kasturi terutama. Karena dia otak di sebalik ini.
            “Jangan ayahanda. Ananda yakin Setanggi masih hidup. Setanggi anak yang cerdas untuk bertahan di dalam hutan batu. Yakinlah ayahanda! Menghukum Kasturi secara terang-terangan malah akan memperburuk citra kerajaan ini di mata mitra dan lawan-lawan ayahanda”
            “Kamu benar Kenanga. Setanggi anak yang cerdas dan pandai. Perasaan ayah juga yakin bahwa Setanggi masih ada di luar sana. Tapi kita semua tahu, tentang ular raksasa penghuni hutan batu bukan? Ayah harus mengarahkan pengawal untuk mencarinya di hutan batu.”
            “Jangan ayahanda. Jika itu yang terjadi, pasti Kasturi dan yang lainnya mengetahui dari mana sumber informasi ini ayahanda dapati. Dan nyawa ananda terancam. Ananda tidak ingin cepat-cepat meninggalkan ayahanda.”
            “Apakah ananda punya rencana?”
            “Belum ayahanda. Lebih baik kalau rencana itu berujung pada pengakuan Kasturi sendiri di hadapan ayahanda.”
            “Ayahanda akan pikirkan itu.”
            “Sebaiknya Kenanga  keluar segera ayahanda, sebelum semuanya sadar kehadiran Kenanga di sini.”
            Raja diam bertanda mengiyakan. Namun, ketika Kenanga sudah mencapai daun jendela dan hendak melompat keluar. Tiba-tiba raja berujar. “Kenanga, ayahanda juga akan memikirkan hukuman apa yang pantas untuk keterlibatan kalian semua dalam masalah ini.”
            Kenanga mengangguk lemas. Ini sudah diperkirakan sebelumnya. Tetapi hatinya terasa lapang. Berkurangnya beban rahasia yang selama ini di pendamnya. Meskipun hukuman di buang keluar dari istana pun akan diambilnya dengan ikhlas jika itu keputusan yang menurut ayahandanya paling bijaksana.
***********
            Sementara itu, Setanggi tengah bersusah payah memotong-motong batang rumput dengan paruhnya. Kemudian dibawa kedalam kamar. Seperti dugaannya, tengah malam itu sepi adanya. Jadi ia lebih mudah untuk keluar masuk kamarnya sendiri. Setanggi lupa untuk menghitung sebenarnya sudah berapa kali ia bolak balik dari kamar ke taman dan dari taman ke kamar.
            “Cukup.” Pikir Setanggi puas. Namun tubuh kecilnya merasa cukup lelah. Tapi ia tidak ingin menunda-nunda untuk membuat kode yang akan bisa di baca oleh siapapun ketika memasuki kamarnya. Dan harapan Setanggi adalah ayahandanya yang pertama kali membacanya.
            Dengan menggunakan paruhnya, ruai betina itu berupa merangkai huruf-huruf. Tidak mudah untuk menyusun batang-batang rumput itu. Setelah susah payah, terbang sana-terbang sini. Akhirnya, usahanya berbuah. Syukur saja penerangan dikamarnya selalu saja menyala, sehingga pekerjaannya jadi bertambah mudah. Setanggi beristirahat sejenak tetapi harus menguat diri kembali untuk terbang keluar, ketika terdengar suara beberapa orang di luar kamarnya. Bergegas ia keluar, dan mendengarkan perbincangan tiga orang yang memasuki kamarnya tanpa izin dan mengendap-ngendap.
            “Kenanga. Apa yang kamu lakukan malam-malam begini?” Suara Seroja dipelankan tak lebih dari berbisik-bisik saja.
            “Aku menemui ayahanda.”
            “Apakah kamu sudah gila, Kenanga. Kita bisa di hukum.” Teratai menambahkan.
            “Aku tahu. Dan aku juga bercerita kepada ayahanda keterlibatan kalian dalam hal ini.” Kenanga berbicara dengan nada kepasrahan. Meskipun untuk disekap kembali oleh kedua kakandanya malam itu di gudang lama. Atau yang lebih parah sekalipun.
            “Lalu apa kata ayahanda?”
            “Ayahanda akan memikirkan hukuman apa yang pantas untuk kita semua.”
            Seroja dan Teratai bergidik. Masing-masing membayangkan akibat perbuatannya beberapa waktu yang lalu. Dan semuanya diam kemudian.
            “Teratai, Kenanga. Lihat.” Seroja berjalan diantara kedua saudarinya. Melihat batang-batang rumput yang disusun menjadi sebuah kalimat. Acak-acakan, tetapi bisa dibaca dengan jelas.
            Ketiganya saling berpandangan. Tersenyum. Seolah-olah harapan baru telah muncul. Dan Adiknya yang dikiranya telah menghadap ilahi, ternyata masih ada di dekatnya.
            “Setanggi. Apakah kau disana?”
            Setanggi tidak menjawab. Ia kecewa dan kembali merasa terancam. Bukan ayahandanya yang membaca pesan yang ingin disampaikannya, tetapi mereka yang ternyata terlibat juga dalam rencana pengasingan dirinya di hutan batu.
            Terdengar kepakan sayap. Terdengar nyaring dari dalam kamar. Seekor burung ruai terbang diatas atap istana. Ketiga putri itu cepat-cepat membuka jendela. Tapi sosok burung itu tidak nampak di dalam kegelapan. Hanya terdengar kepakan sayap di udara.
            Ketiganya menyebut-nyebut nama Setanggi dengan keras. Tetapi hanya dalam hati. Tidak mungkin untuk meneriakkanya sekuat suara, kecuali jika ingin mereka tertangkap basah saat itu. Mereka hanya berpikir keras bagaimana caranya untuk memberi berita menggembirakan ini kepada ayahandanya.
***********
            “Maafkan hamba, paduka. Hamba tidak memberikan kabar untuk bertandang ke istana paduka terlebih dahulu.” Pangeran Panca menghadap.
            “Bangunlah. Tidak apa-apa. Seharusnya saya yang meminta maaf atas apa yang telah terjadi beberapa hari ini.” Tukas raja Bantahan
            “Hamba sudah mulai bisa melupakan itu, paduka. Sebenarnya kedatangan hamba kesini secara tidak sengaja. Hamba membawa diri kedalam hutan di perbatasan wilayah kekuasaan paduka dan ayahanda untuk berburu. Hamba masih ingin mencari burung ruai.
Tetapi tetap saja nihil, hingga tak berselang lama hamba melihat seekor ruai betina tengah mengangkasa. Ruai itu sepertinya berasal dari hutan batu yang ada di kekuasaan paduka. Dan ketika hamba menongakkan keatas, hamba melihat burung itu terbang menuju arah dimana istana ini berdiri.”
            “Benarkah itu, pangeran Panca?. Ini sungguh ajaib. Pasti ada sesuatu di balik ini semua. Kemarin ketika saya tengah duduk-duduk di pondopo depan istana, seekor ruai betina menghampiri dan hinggap di pundakku.”
            “Ini pasti bukan kebetulan, paduka.” Pangeran Panca meyakinkan.
            Raja bantahan kembali teringat apa yang telah di dengarnya dari Kenanga tadi malam. Gua Batu, hutan Batu, lenyapnya Setanggi ditelan bumi, dan perilaku kotor ketiga putri lainnya.
            “Mungkinkah?” Mata raja mulai memerah dan basah
            ‘Setanggi…” Lanjut raja lagi
            “Apakah raja tidak apa-apa.” Beberapa pengawal menghampiri. Raja mengiyakan dan bilang bahwa dirinya hanya teringat putri bungsunya.
            “Apakah paduka tidak apa-apa?” Tanya pangeran Panca kemudian mayakinkan dirinya dan pengawal istana.
            “Iya, saya baik-baik saja.”
***********
            Berita kehilangan Setanggi tidak di umumkan kepada khalayak. Sehingga rakyat jelata tidak satu pun perihal itu. Hanya orang-orang di istana yang mulai sibuk membicara ketiadaan Setanggi di tempat mereka mengabdi.
            “Kebetulan, sekarang Kasturi, Bakung dan Mawar dipanggil menghadap ayahanda. Ini kesempatan kita untuk menyelinap masuk ke kamar ayah dan menyelipkan kertas ini di balik bantal ayahanda.” Ide brilian itu di utarakan.
            “Tapi sebaiknya Seroja atau Teratai yang masuk kesana. Karena jika saya yang masuk, pasti pengawal suruhan Kasturi akan curiga.” Kenanga memberi saran.
            “Biar saya yang masuk. Karena akhir-akhir ini saya yang lebih sering mengantar minuman keruang ayahanda. Jadi tidak ada satupun yang bakal curiga.” Teratai menawarkan diri.
************
            Ketiga putri yang tengah menghadap paduka raja merasa was-was atas panggilan mendadak itu. “Jangan-jangan rahasia telah terbongkar. Pasti ada seseorang yang telah membongkarnya. Kenanga. Siapa lagi yang berani.” Kata-kata itu menggelayuti pikiran mereka bertiga.
            “Maaf ayahanda, ada apakah gerangan ayahanda tiba-tiba memanggil ananda bertiga untuk menghadap?” Kasturi mengawali dan berusaha menunjukkan wajah tenang.
            Raja bantahan berdehem. Dan jelas mengetahui kerisauan yang ada didalam hati ketiga putrinya itu.
            “Begini.” Raja berucap sepatah. Dan mengatur irama pembicaraan.
            “Ayahanda berpikir tentu kalian ikut bersedih lantaran kehilangan adik bungsu kalian. Sebagai hiburan, besok akan ada pesta panen pertama di desa Kemuning. Jadi ayahanda mengutus ananda bertiga untuk menggantikan dan mewakili ayahanda disana. Nanti beberapa panglima juga akan ikut mengawal. Ayahanda masih terlalu sedih untuk berpesta bersama rakyat. Untuk kalian, bergembiralah disana!”
            Tampak kelegaan di muka ketiga putri tersebut. Ternyata apa yang dicemaskannya tidak terjadi.
            “Bagaimana?” Raja Bantahan menegaskan
            “Baiklah ayahanda. Ananda tidak keberatan.” Bakung setuju
            “Ananda juga, ayahanda.” Lanjut Mawar
            “Ananda juga sama.” Ucap Kasturi terakhir.
            Teratai telah kembali dari ruangan ayahandanya. Menyelipkan catatan kecil dibawah bantal tidur. Dan berdoa agar ayahandanya segera membacanya.
**********
            Malam kembali datang. Tamu dari selatan diminta untuk menginap barang semalam di istana kuning tersebut. Yang dimintai tidak keberatan. Dan tengah berisitirahan di kamar tamu kerajaan.
            Dikamarnya, raja Bantahan tidak bisa melelapkan mata. Pikirannya mengembara dan menduga-duga. Benarkah ini semua? Mungkinkah ruai kemarin itu adalah anaknya, Setanggi. Raja berdiri dari duduknya dan menuju lilin yang tengah menggoyangkan api diatasnya. Meniupnya. Ruangan menjadi gelap. Rajapun membaringkan tubuh dan mengalas kepalanya dengan bantal. Tetapi terasa ada sesuatu di bawahnya. Sebuah kertas. Penasaran, dihidupkannya kembali lilin dan membaca apa yang tertulis di kertas tersebut.
            “Setanggi…” raja bantahan menangis sejadi-jadinya.
            Benar adanya burung ruai betina itu adalah Setanggi. Dan ia menyesal telah membiarkan burung itu kembali terbang ke istana kemarin. Raja menyesali dirinya sendiri. Andai saja ia lebih peka membaca isyarat-isyarat yang diberikan oleh sang burung yang ingin mengatakan bahwa dirinya adalah Setanggi. Raja Bantahan kembali menangis.
            Tiba-tiba terdengar sesuatu jatuh diatap tepat diatas kamar raja Bantahan. “Setanggi.” Pikirnya spontan.
            Terdengar kepakan sayap. Semakin mendekati jendela kamar. Raja menghampiri jendela dan bersegera membukannya. Tepat. Seekor ruai betina masuk kedalam kamar. Hinggap di tubuh raja. Raja memeluk burung betina itu. Memeluk sekuat-kuatnya.
            “Ayahanda tahu, kamu adalah Setanggi, putriku. Maafkan ayahanda yang telah lalai menjaga keselamatan ananda.” Ruai tetap tidak berontak di pelakukan lelaki tua itu. Merasakan hangatnya tubuh dan menumpahkan kerinduan yang juga sama dirasakan olehnya. Tapi sayang, Setanggi tidak bisa bercakap-cakap dengan ayahnya. Padahal dirinya sebenarnya menyebut-nyebut nama ayahandanya. Berulang-ulang.
            Masih dalam memeluk putrinya yang kini menjelma menjadi seekor burung, raja Bantahan berpikir “lalu, siapa yang meletakkan kertas dibawah bantalnya?”
            “Teratai. Si pengantar minuman!”
            Terdengar kembali sesuatu terjatuh di atas dan berlabuh di atap di atas kamar sang raja.
************
            Sarapan yang mengesankan bagi pangeran Panca karena dirinya ditemani oleh raja Bantahan beserta ketiga bidadari berbeda yang tidak kalah memukaunya. Hatinya bernyanyi.
            “Bagaimana tidurmu, pangeran?”
            “Luar biasa nyenyak, paduka. Hamba bermimpi bertemu dengan seseorang yang sangat hamba rindukan di istana ini. Rasanya hamba ingin berlama-lama di sini, tetapi hamba sama sekali tidak mengabari istana selatan kedatangan hamba disini. Hamba takut, ayahanda dan ibunda khawatir. Mereka hanya tahu, hamba pergi berburu. Dan hamba tidak pulang. Pasti pikiran-pikiran gelisah menghantui mereka.”
            “Benarkah pangeran bermimpi bertemu dengan putriku didalam mimpi?”
            Pangeran panca mengangguk.
            “Semalam saya menemukan secarik kertas di bawah bantal.” Raja Bantahan berbicara sambil memandang Teratai. Teratai tersedak.
            “Yang pasti itu bukan dari Setanggi. Tetapi memberi pesan tentang Setanggi.” Raja melanjutkan.
            “Paduka, apakah Setanggi masih hidup?” Tanya pangeran Panca mengejar.
            Teratai, Seroja dan Kenanga berpandangan satu sama lain. Seperti yang direncanakan ayahandanya telah membaca pesan melalui secarik kertas itu. Mereka semua bahagia.
            “Saya sangat berterima kasih kepada siapapun orang itu.” Kata sang raja lagi. Kembali memandangi ketiga putrinya.
            “Pangeran, saya ingin menunjukkan sesuatu kepadamu. Maukah pangeran ikut denganku?”
            “Baiklah paduka.”
            Pangeran Panca masih dengan pikirannya sendiri. Apakah Setanggi benar-benar masih hidup.
            Ketiga bidadari istana itu tetap di posisi duduknya dengan terkaannya sendiri akan sesuatu apa yang ingin ayahandanya sampaikan pada pangeran Panca. Raja dan pangeran Panca berjalan menuju ke suatu tempat.
            “Silakan, pangeran.” Raja mempersilahkan pangeran untuk masuk terlebih dahulu.
            Pangeran masuk keruangan yang tak lain dan tak bukan adalah kamar sang raja. Pangeran Panca melihat seluruh sudut kamar. Dari atas sampai bawah. Berbagai samakan kulit binatang mulai dari harimau, kijang, tenggiling, ular dan lainnya tak dapat pangeran Panca sebutkan satu per satu. Di sisi lainnya, koleksi perak dan emas tampak dari teko antik, sloki, kompas, kursi hingga lemari. Semuanya memantulkan cahaya kekuningan.
            “apakah pangeran benar-benar telah melupakan ananda, Setanggi?” raja Bantahan berucap sambil mempersilakan pangeran Panca duduk di kursi kekuning-kuningan tadi.
            “Bukankah takdir telah memisahkan kami berdua, paduka?”
            “Bagaimana seandainya Setanggi masih hidup?”
            Pangeran Panca terdiam. “Paduka, kita semua sama-sama tahu bahwa meskipun hamba tidak pernah berbicara dengan Setanggi, tetapi hati hamba dengannya terasa dekat. Apakah Setanggi juga merasa seperti itu, paduka?”
            “Sebenarnya saya tidak tahu pasti. Masalah pernikahan ini sama sekali belum sempat saya bicarakan dengannya. Saya ingin memberikan kejutan kepadanya awalnya. Semua musnah, ketika saya mengetahui Setanggi sudah tidak ada setibanya saya disini.”
            “Jadi, Setanggi sama sekali tidak tahu tentang ini semuanya?”
            “Ya, bahkan ia tidak tahu alasan tepat mengapa ia dibuang.”
            “Dibuang?”
            “oh, tidak. Maksud saya, kami tidak tahu secara pasti alasan Setanggi meninggalkan Istana.”
            “Maaf, saya hampir lupa.” Raja bantahan berjalan menuju sebuah lukisan yang menggantung di dinding. Dan serta merta menggeser sedikit lukisan tersebut. Tiba-tiba sebuah dinding yang lain bergeser, membuat lubang. Tepatnya membuat sebuah pintu yang menunjukkan bahwa di situ ada ruangan.
            “Silakan.” Raja Bantahan berkata kemudian
            Pangeran Panca berdiri dan menghampiri pintu ruangan rahasia di ikuti oleh sang Raja di belakang.
*************
            Setanggi terkejut. Ada seseorang masuk ke tempat persembunyiannya. Tak sempat untuk terbang dan bersembunyi, sesosok manusia muda yang pernah bertabrakan badan dengannya. Setanggi merasa takut. Dan rasa takut itu, sirna setelah melihat seorang lelaki tua dibelakangnya.
            “Ayah….?” Suara hati Setanggi berbicara
            “Ini…ini….” Pangeran Panca merasa dirinya masih tertidur dan bermimpi bertemu dengan seekor ruai.
            “Paduka…” Pangeran Panca mencoba untuk melanjutkan kata-katanya, namun ia terlalu gembira untuk menyelesaikannya. Pangeran panca mendekati sang burung betina. Tetapi kepakan sayap menghembuskan angin yang membuat pangeran Panca melindungi matanya dari bulu-bulu halus yang beterbangan.
            “Darimana paduka mendapatkannya.”
            Raja yang ditanya tidak menjawab dan terus memandangi kearah mana saja ruai terbang.
            “Ruai. Ini namanya pangeran Panca”.
“Jadi ini yang namanya pangeran Panca.” Ucap ruai membatin.
“Pangeran, saya hadiahkan burung ruai ini. Jagalah ia baik-baik. Kesabaran pangeran akan berbuah manis nantinya. Suatu saat pangeran akan mendapatkan Setanggi kembali. Tetapi seandainya, jika pangeran tidak sanggup untuk mengurusnya dengan baik. Lepaskan saja ia ke udaranya dan biarkan menuju tempat kemana seharusnya. Syarat terakhir. Jangan pernah menyakitinya! Jika itu terjadi, aku pasti akan memperhitungkannya.”
“Baik paduka”
Epilog:
            Bara terlanjur merasa kasihan pada Setanggi yang tidak mungkin bisa berkomunikasi secara verbal dengan ayahandanya. Ia  menguatkan diri untuk bertandang ke istana kuning dalam wujud ruai jantan pada mulanya. Setibanya di kamar raja, Bara merumah wujud menjadi manusia sempurna. Ia bercerita banyak akan pertemuannya dengan Setanggi. Tak lupa, ia juga mengatakan bahwa wujud Setanggi akan kembali normal dalam 100 purnama ke depan.
            Penyerahan penjagaan ruai betina kepada pangeran Panca dimaksudkan agar Keselamatan Setanggi lebih terjamin dan ruang geraknya lebih luasa. Dan seperti pesan sang raja, pangeran Panca menjaganya dengan sangat baik. Harapan untuk bertemu Setanggi lagi begitu memuncak. Meskipun ia sendiri tidak tahu meski harus menunggu seabad purnama lamanya.

CATATAN:  Tuturan asli salah satunya dari www.sambas.go.id . Versi ini murni atas pemugaran dan renovasi cerita dengan menambahkan nama, tokoh, karakter, dan alur berdasarkan imajinasi penulis sendiri.

           
             







   

0 Messages:

Posting Komentar

 
;