Perlu tujuh tahun untuk ku mengelarkan study dan mendapat gelar sarjana. Dua tahun terakhir, aku bercita-cita untuk menjadi the last student khususnya di satu angkatan dan jurusan ku. Terealisasi. Aku benar-benar menjadi the last student. Jelas! itu lebih baik daripada the last samurai.
Tujuh tahun? bagi banyak orang mungkin terlampau keterlaluan bodohnya. Mana aku peduli. Bukankah aku sendiri yang tengah mengambil studi dan aku lebih tahu apa sebabnya aku melakukan itu. Kadang terpojok juga sih, mendengar sindiran orang-orang. Tapi ku anggap angin lewat saja. Pikirku, seseorang itu di hormati bukan karna statusnya sebenarnya, tetapi karena prinsip. Memang itu tidak nampak instan. itu akan tampak butuh waktu yang lama. Tak lepas, orang terdekatpun seperti kebanyakan mereka. Tetapi mereka terlanjur bosan untuk mengingatkanku agar lulus segera. Semua punya waktu dan tempat.
Aku merasa geli sendiri dengan proses kelulusan itu. Benar-benar di hujung tanduk. Lewat sekitar satu bulan dari seharusnya aku di DO. Toleransi dari kampus ku ketahui ternyata masih ada satu semester untuk mahasiswa "bermasalah" seperti ku. Kemudahan benar-benar Allah limpahkan kepadaku saat itu. Jurusan tengah menggodok akreditas. Aku di untungkan dan dipermudah tepatnya. Mahasiswa Abadi mengiang-ngiang di telingaku. Tidak ada lagi teman satu angkatan di sana. Semuanya junior berjarak 3 sampai 7 tahun di bawah.
Proses penyelesaian berjalan lancar dan cepat. Dihitung-hitung cuma sebulan lebih sedikit. Dan hari yang di tunggu-tunggu pun datang. Sidang kompre/skirpsi.
Lagi, alhamdulillah beruntungnya, dosen penguji yang dijadwalkan tidak hadir keduanya, tetapi dosen pembimbing lengkap. Dosen senior lagi sibuk rapat pemilihan ketua program ekstensi. Singkatnya, hanya dosen yang benar-benar kosong jadwal di minta untuk menguji beberapa mahasiswa, including me.
Sebelumnya...
Di ruang seminar, dua orang mahasiswi di dua level di bawahku tengah sibuk dengan catcil mereka. Menghafal dan mengingat kemungkinan-kemungkinan pertanyaan dosen kelak. Aku santai saja. Sudah terlalu capek untuk itu. Tidur malam sebelumnya terasa terjaga. Sampai pukul 10 malam berkas untuk maju baru selesai di print. Semuanya mendadak. Dan planning persiapan untuk pagi juga sudah sip. Untungnya lagi, itu terjadi di bulan ramadhan, jadinya aku tidak perlu repot-repot mempersiapkan makanan berat untuk para dosen.
Paginya tiba, ternyata ada di beberapa halaman terjadi error. Ku print ulang, eh tintanya habis. Tamat! Belum lagi. Setelah semuanya kurasa lengkap, ku bergegas menuju rental komputer. Di perjalanan kuraskan ban sepeda motor terasa kempis. uh....berpacu dengan waktu. Ku lihat jam hampir pukul sepuluh. Ku berhenti sejenak sambil berdoa semoga kondisi kendaraan benar-benar fit. Ban kempis hanya imajinasiku saja. Tak ada halangan menuju rental. Selesai nge-print aku kembali di sibukkan dengan menyusun berkas. Keringat sudah sedikit membasahi kemeja panjang putih. Dasi sengaja tidak aku pasang, gerah. Jadwal untuk ujian sidang memang pukul 10. Tetapi biasalah, jam Indonesia lebih lambat dari jam dunia.
Saat Ujian...
Seorang dosen yang belum tergolong senior menjadi dosen pengujiku. Hanya dia sendiri. tidak ada yang lain. Dua dosen pembantu di ruangan seminar juga tengah menguji dua mahasiswi tadi. Aku ujian di ruang Dosen. Keterlaluan! Karena ruang seminar penuh. Tapi jujur, aku bersyukur ada di ruang itu.
Ku lihat dosen penguji mulai mual melihat tebalnya skripsi ku. Skripsi yang langka untuk jurusanku. Aku merasa menang. Paling tidak beliau tidak akan konsen meneliti satu persatu.
Ujian berlangsung. Aku memaparkan sekilas. Dilanjutkan dengan pertanyaan oleh beliau. Aku menjawab. Merasa tidak puas dengan jawabanku, beliau mengait-ngaitkan dengan pertanyaan lain. Aku berusaha untuk menjawab. Tetapi tanya jawab itu buyar, karena satu dosen masuk keruangan. Dosen penguji ternyata punya selera humor yang tinggi. Aku di ketepikan. Ia lebih memilih berbicara dengan dosen yang baru saja datang. Aku menjadi penonton setia. Aku lebih suka seperti ini. Bila perlu tidak usah ada tanya jawab atau ujian dan semacamnya. Langsung aja kasih nilai. C pun aku rela.
Kondisi serupa pun terus terjadi. Karena itu memang ruang dosen. Keluar masuk itu biasa. Dan tingkat konsentrasi pun sangat rendah. Akhirnya dosen penguji meminta ku untuk keluar setelah mendengarkan jawabanku yang ngalur-ngidul. Aku puas. Paling tidak selesai untuk ketegangan itu. Aku keluar dengan hati tenang dan menunggu nilai yang akan kuperoleh. Jauh-jauh-jauh sekali ku berharap untuk dapat nilai A. Jika aku di posisi dosenpun, aku tidak akan memberi nilai tertinggi itu pada mahasiswa seperti ku. Ha..ha..
Nilai B tertulis di lembar nilai. Aku lega dan jika C pun aku setuju. Dua orang dosen berpesan panjang lebar. Sedikit banyak terlalu berlebihan menurutku. Tapi ya, itulah prosedurnya. Aku mengakhiri dan ingin menyebarkan segera berita ini kepada keluarga dan kerabat.
Sekarang aku jadi yakin, seandainya dosen yang terjadwal untuk menguji hari itu datang. Aku akan mengulang lagi ujian skripsi....he..he....
Tujuh tahun? bagi banyak orang mungkin terlampau keterlaluan bodohnya. Mana aku peduli. Bukankah aku sendiri yang tengah mengambil studi dan aku lebih tahu apa sebabnya aku melakukan itu. Kadang terpojok juga sih, mendengar sindiran orang-orang. Tapi ku anggap angin lewat saja. Pikirku, seseorang itu di hormati bukan karna statusnya sebenarnya, tetapi karena prinsip. Memang itu tidak nampak instan. itu akan tampak butuh waktu yang lama. Tak lepas, orang terdekatpun seperti kebanyakan mereka. Tetapi mereka terlanjur bosan untuk mengingatkanku agar lulus segera. Semua punya waktu dan tempat.
Aku merasa geli sendiri dengan proses kelulusan itu. Benar-benar di hujung tanduk. Lewat sekitar satu bulan dari seharusnya aku di DO. Toleransi dari kampus ku ketahui ternyata masih ada satu semester untuk mahasiswa "bermasalah" seperti ku. Kemudahan benar-benar Allah limpahkan kepadaku saat itu. Jurusan tengah menggodok akreditas. Aku di untungkan dan dipermudah tepatnya. Mahasiswa Abadi mengiang-ngiang di telingaku. Tidak ada lagi teman satu angkatan di sana. Semuanya junior berjarak 3 sampai 7 tahun di bawah.
Proses penyelesaian berjalan lancar dan cepat. Dihitung-hitung cuma sebulan lebih sedikit. Dan hari yang di tunggu-tunggu pun datang. Sidang kompre/skirpsi.
Lagi, alhamdulillah beruntungnya, dosen penguji yang dijadwalkan tidak hadir keduanya, tetapi dosen pembimbing lengkap. Dosen senior lagi sibuk rapat pemilihan ketua program ekstensi. Singkatnya, hanya dosen yang benar-benar kosong jadwal di minta untuk menguji beberapa mahasiswa, including me.
Sebelumnya...
Di ruang seminar, dua orang mahasiswi di dua level di bawahku tengah sibuk dengan catcil mereka. Menghafal dan mengingat kemungkinan-kemungkinan pertanyaan dosen kelak. Aku santai saja. Sudah terlalu capek untuk itu. Tidur malam sebelumnya terasa terjaga. Sampai pukul 10 malam berkas untuk maju baru selesai di print. Semuanya mendadak. Dan planning persiapan untuk pagi juga sudah sip. Untungnya lagi, itu terjadi di bulan ramadhan, jadinya aku tidak perlu repot-repot mempersiapkan makanan berat untuk para dosen.
Paginya tiba, ternyata ada di beberapa halaman terjadi error. Ku print ulang, eh tintanya habis. Tamat! Belum lagi. Setelah semuanya kurasa lengkap, ku bergegas menuju rental komputer. Di perjalanan kuraskan ban sepeda motor terasa kempis. uh....berpacu dengan waktu. Ku lihat jam hampir pukul sepuluh. Ku berhenti sejenak sambil berdoa semoga kondisi kendaraan benar-benar fit. Ban kempis hanya imajinasiku saja. Tak ada halangan menuju rental. Selesai nge-print aku kembali di sibukkan dengan menyusun berkas. Keringat sudah sedikit membasahi kemeja panjang putih. Dasi sengaja tidak aku pasang, gerah. Jadwal untuk ujian sidang memang pukul 10. Tetapi biasalah, jam Indonesia lebih lambat dari jam dunia.
Saat Ujian...
Seorang dosen yang belum tergolong senior menjadi dosen pengujiku. Hanya dia sendiri. tidak ada yang lain. Dua dosen pembantu di ruangan seminar juga tengah menguji dua mahasiswi tadi. Aku ujian di ruang Dosen. Keterlaluan! Karena ruang seminar penuh. Tapi jujur, aku bersyukur ada di ruang itu.
Ku lihat dosen penguji mulai mual melihat tebalnya skripsi ku. Skripsi yang langka untuk jurusanku. Aku merasa menang. Paling tidak beliau tidak akan konsen meneliti satu persatu.
Ujian berlangsung. Aku memaparkan sekilas. Dilanjutkan dengan pertanyaan oleh beliau. Aku menjawab. Merasa tidak puas dengan jawabanku, beliau mengait-ngaitkan dengan pertanyaan lain. Aku berusaha untuk menjawab. Tetapi tanya jawab itu buyar, karena satu dosen masuk keruangan. Dosen penguji ternyata punya selera humor yang tinggi. Aku di ketepikan. Ia lebih memilih berbicara dengan dosen yang baru saja datang. Aku menjadi penonton setia. Aku lebih suka seperti ini. Bila perlu tidak usah ada tanya jawab atau ujian dan semacamnya. Langsung aja kasih nilai. C pun aku rela.
Kondisi serupa pun terus terjadi. Karena itu memang ruang dosen. Keluar masuk itu biasa. Dan tingkat konsentrasi pun sangat rendah. Akhirnya dosen penguji meminta ku untuk keluar setelah mendengarkan jawabanku yang ngalur-ngidul. Aku puas. Paling tidak selesai untuk ketegangan itu. Aku keluar dengan hati tenang dan menunggu nilai yang akan kuperoleh. Jauh-jauh-jauh sekali ku berharap untuk dapat nilai A. Jika aku di posisi dosenpun, aku tidak akan memberi nilai tertinggi itu pada mahasiswa seperti ku. Ha..ha..
Nilai B tertulis di lembar nilai. Aku lega dan jika C pun aku setuju. Dua orang dosen berpesan panjang lebar. Sedikit banyak terlalu berlebihan menurutku. Tapi ya, itulah prosedurnya. Aku mengakhiri dan ingin menyebarkan segera berita ini kepada keluarga dan kerabat.
Sekarang aku jadi yakin, seandainya dosen yang terjadwal untuk menguji hari itu datang. Aku akan mengulang lagi ujian skripsi....he..he....
0 Messages:
Posting Komentar