Pagi datang begitu cepat. Baru saja aku melelapkan mata
dari bergadang, suara panggilan Tuhan sudah bergema. Jika dituruti, aku pasti
memilih tidur kembali. Tetapi kewajiban itu mengharuskanku. Aku ingat, Maya
sering membangunkanku dan sedikit memaksa jika aku membandel. Begitulah
seharusnya, saling mengingatkan. Tetapi Maya lebih sering melakukan itu
terhadapku. Tak jarang gerutuku terkuak di hati. Bangkit dengan ketidakkeihlasan.
Sekarang aku rindu untuk itu. Dan aku menangis. Bukan berarti itu suatu
kelemahan yang ku maksud, meskipun tidak salah semuanya. Aku hanya merindu. Sekuat
tenaga aku bangkit dan menuju menghadap sang Khaliq. Aku tidak boleh terburuk
di ujian ini. Hikmah dibaliknya akan lebih indah dari yang pernah aku bayangkan
sebelumnya. Semoga.
"Bagaimana tidurmu, nak?"
Hani sudah pandai tertawa. Ia tumbuh lebih cepat dari yang
ku duga dan lebih dewasa menyikapi kepergian ibunya. Justru rasa iba terbersit
di hatiku. Kenapa anak sekecil ini sudah harus berpisah dan tak berkesempatan
menatap ibunya.
"Astagfirullah" hatiku berucap. Kenapa aku
seolah-olah lebih tahu. Mendahului dan berlagak sombong akan ketentuan Ilahi.
Hanya di tinggal seseorang yang aku mencintainya, hatiku sudah menghakimi. Bisa
saja jika kesenangan yang lain juga terangkat, mungkin hatiku akan menghujat.
Kembali aku berucap dan memohon ampunan atas kekhilafan yang dibisikkan oleh
syetan.
"Saatnya mandi, sayang. Badanmu sudah terlalu
wangi."
"Bi, airnya sudah siap?"
"Sudah, pak."
Sejak sebulan kepergian Maya, aku jadi terbiasa memandikan
Hani. Itu lebih senang ku lakukan sendiri. Ku tahu bi Atin sibuk dengan
pekerjaan yang lain, meskipun tidak salah jika aku menyuruhnya lagi. Toh ia ku
gaji untuk itu. Tapi aku tidak mau melewatkan masa-masa ceria bersama anakku
seperti yang sudah aku lakukan kepada almarhumah istriku. Kecuali jika aku
terlalu sibuk untuk melakukan sesuatu. Maka bantuan Bi Atin sangat ku perlukan.
"Dingin? uh...nah sekarang pakai sampo dulu ya. Biar
rambutnya cantik"
Hani merengek kedinginan meskipun air yang kupakai mengeluarkan
uap. Seharusnya tidak dingin. Atau Hani hanya ingin bermanja-manja
denganku. Aku maklum.
Hati-hati aku memegangi dan melumurkan sampo bayi ke
kepalanya. Kemudian menyabuni tubuhnya. Cukup. Terakhir, menyiram seluruh
tubuhnya dengan air bersih. Beres. Tangis Hani menjadi tanda berontak. Tidak
lama. Berhenti ketika tubuhnya ku keringkan dengan handuk berbulu halus. Ia
tertawa girang.
"Tuh kan ,
habis mandikan segar. Sekarang baru benar-benar wangi."
"Bi...tolong ambilkan bedak dan bajunya Hani"
Bi Atin datang dengan barang yang ku pesan. Segera ku
mengalihtangankan Hani padanya. Seseorang memanggil.
“Ya, sekitar jam sepuluh Insya Allah saya ada di kampus.”
Ku kembali mengarah pada Hani. Menimangnya ketika di baringkan di atas kaki bi
Atin. Membedaki dan mengolesi perutnya dengan minyak telon.
Aku beranjak menuju kamar. Menuju lemari pakaian dan
mengambil sebuah amplop. Dan keluar lagi menemui Hani dan Bi Atin. Ku sodorkan
amplop berisi gaji keenamnya. Delapan lembar pecahan limapuluh ribu
terselip di dalamnya. Bi Atin membantu ku disini dari subuh sampai seluruh
pekerjaan rumah selesai. Mencuci piring, baju, menyapu se isi rumah yang tidak
terlalu besar dan memasak serta hal-hal yang tidak aku ketahui tentang
pekerjaan rumah. Tak lupa, terkadang memandikan Hani.. Biasanya semua itu
rampung sebelum waktu zuhur tiba. Dan ia pun pulang kerumahnya yang hanya berselang
empat rumah dari rumah ku.
Aku telah siap untuk berangkat ke tempat mengais nafkah,
melaksanakan tanggungjawab. Berdasi belang-belang hitam-putih dan kemeja
panjang biru muda yang ku kenakan. Dipadu dengan celana panjang kain tentunya
berwarna hitam. Hani juga telah siap berangkat bersweater pink tebal, celana
wol hitam dan kaos kaki motif bunga matahari kecil-kecil.
“Ayo sayang. Saatnya kita pergi.” Ku memasang kursi khusus
di sepeda motor untuk Hani agar terduduk di selangkangku. Bi Atin mengantar
kami hingga depan pintu. Ku angkat tangan kanan Hani untuk melambai-lambai
kearahnya.
“Kami berangkat, Bi. Assalamu’alaikum. O ya bi, jangan lupa
kunci pintunya ya!”
Next ----------------->>>
0 Messages:
Posting Komentar