Minggu, 02 Maret 2014

Tung-tung

ilustrasi
Tung-tung membuka matanya dengan malas. Meski demikian, ia tahu dengan pasti apa dihadapannya. Semesta malam benderang dengan bulan dan gemintang menggantung diatasnya. Dendangan binatang malam menambah kemeriahan, serta para lalat pengacau.

Ia mengibaskan ekornya, pun dengan setengah hati. Tak banyak yang diharapkan, para lalat pastinya pergi cuma dalam hitungan detik. Secepat itu pula hinggap lagi pada tubuhnya. Tung-tung melengus. Hussss...

Purnama?

Ia tiba-tiba terjaga, sadar sepenuhnya. Ini, kalau tidak salah purnama keempat sejak terakhir kali melihatnya. Sesosok lelaki tua yang selalu mengelus tubuh dan kepalanya dengan apik. Memberi rumput-rumput enak. Tak lupa air minum pun disuguhnya dengan lemah lembut.

Membayangkannya, binatang berkaki empat tersebut mendesah lesu. Kemana lelaki itu sekarang? tanyanya dalam hati. Tung-tung menutup matanya lagi. Sebelum kesadarannya benar-benar hilang, dari kejauhan ia melihat lelaki itu tengah menuju kearahnya. Namun, kantuk menyergapnya dari belakang. Sosok itu menghilang begitu saja.
..........
Wanitu itu berusia awal empat puluh.

Setengah karung rumput tampak ringan di pundaknya. Langkahnya gesit dan mantap. Keringat mengalir di jidat, dari balik kerudung putih lusuh yang dikenakannya. Akhirnya, ia menurunkan panggulannya juga. Tepat disamping seekor sapi gemuk yang sibuk merumput. Moooooo.....ooh.

Entah bagaimana, sambutan Tung-tung langsung menghempas letihnya. Disekanya keringat dengan lengan baju. Kemudian, ia menarik nafas sejadi-jadinya, menghebuskannya lewat mulut.

Melihat jatah makan, Tung-tung kian mendekat. Wanita itu menumpahkan seluruh isi karung, dan beranjak pergi. Sapi itu sedang menikmati makanannya, sementara wanita tadi menghampiri sumur.

Moooooo.....ooh. Lagi, Tung-tung menyambut kembalinya wanita itu dengan seember air. Saat binatang peliharaannya itu minum, wanita itu mengelus lembut badan dan kepala Tung-tung. Persis yang dilakukan oleh suaminya. Dulu.
.........

Ah, wanita itu lagi.
Tung-tung selalu berharap, yang datang adalah lelaki itu. Bukannya wanita di hadapannya sekarang ini. Tapi, melihat apa yang dibawanya, Tung-tung menyapa dengan antusias juga.

Kemana lelaki itu?
Ingin Tung-tung bertanya pada si wanita. Sayangnya, Tung-tung faham, tidak ada cara tuk menyampaikannya. Sesekali ia melirik, wanita itu tampak tegar. Wajahnya jelas menyimpan keletihan, tetapi Tung-tung pikir tekadnya mengalahkan segala-galanya.
.........
Mentari menggelinding semakin tinggi. Cahayanya mulai menghangatkan bumi. Tung-tung mencari tempat berlindung.
..........

Sorenya, air berjatuhan dari langit. Tidak lebat memang, tapi cukuplah membasahi sekujur tubuh Tung-tung. Binatang itu benar-benar berharap segera dipindahkan. Tali di lehernya membuatnya tak bisa kemana-mana.

Kresek-kresek-kresek

Setengah berteriak, Tung-tung juga melompat saat menoleh. Mooooo...ooh. Rupanya, tengah berdiri wanita di belakangnya. Mengenakan mantel plastik dan sepatu boat. Melepaskan ikatan pada tiang pancang, lalu menarik Tung-tung agar mengikutinya.

Tung-tung senang.

Hujan tambah lebat. Wanita itu pun mengayun kaki tambah cepat dan pantas.

Berhenti.

Kenapa? Tung-tung ikut berhenti. Tepat di pemakaman keluarga, wanita itu menyambung langkah. Tung-tung bertahan di luar area sambil mengedip-ngedipkan matanya sendiri. Menahan air. Tak perlu jauh masuk lebih dalam, wanita itu jongkok di depan sebuah gundukan tanah. Masih bisa dibilang baru. Pun rerumputan belum banyak yang tumbuh diatasnya. Tapi sepertinya itu hal yang tak bisa dimaafkan oleh si wanita. Tangannya tanpa ampun mencabuti rumput-rumput pada gundukan tanah tadi.

Ia keluar pemakaman tak lama setelah itu. Mengambil tali kekang Tung-tung, lalu beranjak pergi.
..........
"Saya rasa sudah cukup," ucap seorang lelaki berjenggot tipis. Merasai mata parang dengan telapak jempolnya sendiri.

Orang-orang sudah pada berkerumun. Lobang kecil telah pun digali di tanah. Tung-tung tidak mendapati wanita yang membawanya kemarin disitu. Moooooo....ooh. Tung-tung memanggil. Wanita sekaligus lelaki itu. Nihil. Manusia-manusia yang diharapkannya tak jua muncul.

"Sekarang!" perintah terlontar dari mulut seorang lelaki lainnya.

Tung-tung baru saja hendak berontak, namun beberapa pria mengikat sepasang kaki depannya lebih dulu. Jasadnya rebah ke tanah. Giliran sepasang kaki belakang pula yang diikat selanjutnya.

"Ha, angkat kesini. Siap ya, satu, dua, tiga. Uhhh...."

Tung-tung pasrah. Orang-orang menahan tubuhnya. Banyak di bagian punggung, kaki, dan kepala. Kilatan mata parang begitu menakutnya. Lebih-lebih saat matahari memantulkannya tepat ke kedua mata Tung-tung.

Tung-tung menutup mata sejenak. Inilah akhir hidupnya, pikirnya. Ia menelan ludah. Membuka mata lagi.

"Bismillahi........" ucap lelaki berjenggot tipis.

Mata parang terasa dingin di lehernya.
Saat ia membuka mata, Tung-tung melihat lelaki itu. Senyum dan tampaknya ingin membelai kepala dan tubuhnya. Lelaki itu?

Mata Tung-tung langsung berair. Rasa sakit tak lagi dihiraukannya. Lelaki itu bahkan kini telah mendekapnya.
.........

"Ini untuk anak-anak yatim dan kurang mampu."
Hampir separuh daging sapi yang dipotong sengaja wanita itu sisihkan. Untuk membantu sesama, seperti yang sering dilakukan oleh suaminya. Dulu.

0 Messages:

Posting Komentar

 
;