“Nano, mak datang nak.”
![]() |
ILUSTRASI |
“Nano, mak datang nak.”
Wanita itu beranjak dari satu kuburan ke kuburan lain.
Rambut panjangnya tak lagi terurus, sementara bajunya kumal bukan main. Kalau
kau orang baru di desa itu, mungkin akan terkejut dengan wujudnya. Tetapi warga
sudah maklum. Sebulan terakhir, itulah lakonan di perkuburan sejak hari baru
terang tanah.
“Nano, mak datang nak.”
=Sebulan silam=
Parlina tiba-tiba mematung. Pandangannya kosong berikut
bibirnya mulai bergetar. Turun ke tangan, lalu kakinya. Braakkkk….Telepon
seluler yang digenggamnya berserakan dilantai.
“Par, ada apa?!”
Suaminya yang tengah membaca jadi panik. Untung dalam
beberapa langkah, ia mendahulu menyangga tubuh Parlina yang seketika lunglai.
Parlina pingsan.
“Par, Parlina, bangun sayang…”
Parlina tetap pejam. Suaminya kelabakan mencari bantuan
keluar rumah.
Kurang dua puluh empat jam dari kejadian itu, rumah pasangan
Surya dan Parlina sesak pentakziah. Tepat menjelang pukul delapan, ambulan tiba
di depan rumah. Mengantar putra semata wayang mereka. Satu-satunya zuriat yang
mereka miliki kini telah berpulang akibat kecelakaan. Tiada yang tersisa. Umur
keduanya pun toh tidak memungkinkan untuk menambah keturunan lagi.
Saat jenazah dikeluarkan dari mobil ambulan, Surya berlutut,
terduduk lemas. Ia berharap ini cuma sebuah mimpi. “Bangunkan aku!” pintanya
tak pada siapapun. Dua langkah darinya, Parlina tak ubahnya mayat hidup. Ia
berbaring di pangkuan kakak kandungnya. Dengan matanya yang terbuka hampir tak
berkedip.
..………….
“Nano, mak datang nak.”
Ratusan kalimat itu terdengar, namun Salmah tak merasa
terganggu. Ia mengkhusyukkan diri pada dua gundukan tanah di depannya. Nisan
yang satu bertuliskan Ramadhan, dan satu lainnya, Winara. Tangannya telaten
mencabuti rerumputan disitu. Walau tak ada lagi yang tersisa, tangannya tetap
bekerja. Apa pikirannya juga mulai tidak waras? Buliran bening menyeruak dari
dua celah matanya. Salmah tergugu.
=Dua minggu sebelumnya=
Dua dini hari, Dani gusar menunggu di muka pintu. Ia
berjalan mondar mandir dan hatinya resah gelisah.
“Tenang, Dan. Kita sama-sama berdoa.”
Ibu mertuanya mencoba menghibur. Ayah mertuanya pula telah
menghabiskan berpuntung-puntung rokok. Masih belum ada tanda-tanda bidan
membuka pintu, Dani coba untuk duduk. Kreeek…..padahal itu hanya kucing yang
mencakar-cakar tong sampah. Namun lelaki itu menyangka pintu di depannya membuka.
Kesunyian kini mendekap. Malam membisu dengan lampu redup lesu. Seolah
kehidupan tidak benar-benar ada.
“Kreee….k.”
Dani langsung berdiri. “Bagaimana Salmah bu? Bagaimana anak
saya?”
Bidan menyingkap masker yang menutupi mulutnya. Kepalanya
menggeleng perlahan. “Ibu tidak apa-apa pak, hanya…..hanya saja bayi dalam
kandungannya telah meninggal kira-kira sejak dua jam yang lalu. Maaf. Kami
segera mempersiapkan untuk melakukan operasi. Silakan bapak ke bagian
administrasi.”
Bidan berlalu. Danni tersungkur ke lantai. Ibu Salmah
berurai air mata, dan ayahnya menyeka matanya berulang-ulang.
=Dua tahun sebelumnya=
“Pak Danni dan Bu Salmah, silakan duduk.”
“Terima kasih dok.”
“Jadi begini, pak, bu.” Dokter mengangguk dari dari ke
Salmah.
Danni dan Salmah was-was.
“Jantung Ramadhan bocor.”
………..
Sampai sekarang, masih saja Salmah sesekali menyesalkan, seandainya
waktu itu ia punya uang, Ramadhan mungkin ada bersama mereka saat ini. Tapi
memang tidak masuk akal bagi diri dan suaminya. Lima belas juta, bukanlah
jumlah yang sedikit.
…………
“Jadi ini yang dibicarakan orang-orang?”
Baru saja menapaki langkah pertama memasuki areal
perkuburan, mata Laila langsung tertuju pada wanita gila di ujung sana. Belum
cukup sampai disitu, eh rupanya ada wanita lain juga, pikirnya. Punya teman meski berjauhan, ketakutannya
buyar dalam sekejap. Tanpa menyapa, ia melenggang menuju arah berbeda.
Berbelok-belok kiri-kanan melintasi puluhan kuburan, akhirnya ia berhenti juga.
Tangannya mengelus batu besar tanpa nama.
Pikirannya terpental ke setengah tahun lalu……..
“Ayah…ayah…ayah…..”
“Hussshh…husshh….”
Dalam tangisnya, Laila menyadari badan Miki, anaknya makin
panas. Tiap lima menit sekali, bocahnya itu mengingau mencari-cari ayahnya
terus. Apa yang bisa dilakukannya? Menemui suaminya? Itu jelas-jelas tidak
mungkin. Badun, suaminya atau mantan suaminya raib entah kemana. Sejak
pertengkaran di siang yang panas itu, Badun tidak muncul-muncul lagi. Pun bila
dipikir-pikir, untuk apa ia datang kembali. Talak telahpun terucap. Kini Laila
tinggal menjalani nasib. Membesarkan hasil pernikahannya yang baru duduk di
bangku PAUD.
“Ayah…ayah…ayah….”
“Hussshh…hussshh…”
Laila menepuk-nepuk bahu Miki berulang-ulang. Menenangkan. Ia
teringat lagi……….
“Maaf ni Lai, tapi orang-orang hampir semuanya sudah pada
tahu cerita ini.”
“Cerita apa bu?” Laila pura-pura tidak tahu.
“Tapi sekali lagi maaf ya, kata orang suamimu itu selingkuh
disana.”
Hari nahas itulah menjelaskan segala-galanya pada Laila.
Memang Badun tidak mengaku perilakunya terang-terangan. Tetapi kata talak
menjelaskan segala-galanya.
Laila tersentak.
“Ayah…ayah…ayah….”
“Hussshhh…hussshh…”
Panas badan Miki meninggi. Igauannya makin menjadi-jadi.
Kadang-kadang meraung –raung dalam waktu lama. Tetangga berdatangan mendengar
itu. Kasihan, prihatin, membaur, jadi satu. Beberapa mendesak agar Miki dirumah
sakitkan. Awalnya Laila menolak dan menunggu perkembangan hingga esok saja.
“Ini mungkin Malaria, Lai. Lebih baik Miki segera dibawa ke
rumah sakit.” Pak RT menasehati.
“Biar saya menyiapkan mobil,” tawar tetangga lainnya.
Karman, yang tak lain dan tak bukan adalah teman satu sekolah Laila sewaktu
kecil. Entahlah, yang pasti lelaki itu pernah menyimpan relung hati buat Laila
suatu waktu dulu. Apakah saat ini rasa itu masih ada? Mengingat dirinya belum
menikah-menikah jua.
Sejuknya malam menusuk-nusuk hingga ke tulang. Tadi sore
habis hujan lebat, makanya angin terasa jauh lebih dingin.
“Biar Laila dan Miki di depan.” Perintah pak RT.
Benak Karman berteriak kegirangan. “Ini bukan saatnya,” ia mengingatkan diri. Beberapa menit kemudian
Laila yang tengah mendekap Miki, ada disamping Karman. Karman yang berada di
belakang setir.
Pak RT, istrinya, dan ibunya Karman, duduk di box pickup.
Semuanya mengenakan baju berlapis-lapis, dan berbalut jaket lagi.
“Ayah…..ayah…..ayah….”
“Hussshhh…husshhh….Miki, Miki….”
Kali ini Miki tidak bisa diam. Teriakannya memekakkan. Bocah
itu meronta, lalu kejang-kejang. Berulang-ulang hingga membuat Laila dan Karman
panik. Rombongan di belakang juga ikut panik. Laju pick up yang terseok-seok
lantaran jalan berbatu kong menambah penyakit.
“Stop…stop…stop…” Pak RT memukul-mukul badan kendaraan roda
empat itu.
Malam terbelah. Jauh dari perkampungan, yang ada bentangan
sawah saja. Mobil pick up berhenti, namun tidak dengan Miki. Miki meronta dan
kejang-kejang. Laila terus
memanggil-manggil nama anaknya. Karman, Pak RT, bu RT, ibunya Karman, semuanya
beristighfar. Sesekali memanggil-manggil nama Miki. Saat lampu HP disuluhkan ke
muka Miki, bocah itu melotot. Berteriak dan berteriak lagi.
“Astaghfirullah….”
“Astaghfirullah….”
Miki kejang lagi untuk yang penghabisan. Sebelum akhirnya,
matanya menutup pelan. Nafasnya berhenti seiring detak jantung yang tiada lagi.
“Miki, Miki, Miki…….” Laila mengguncang-guncang anaknya.
“Innalillahi wainna ilaihi roji’un….”
“Innalillahi wainna ilaihi roji’un….”
………….
“Harus secepatnya saja.”
Syahadah bungkam.
“Ikhlaskan saja, Ada. Biarkan Wahid tenang disana.
Seharusnya kita bersyukur Allah masih memberikan kepercayaan kepada kita. Meski
hanya dalam hitungan jam.”
Syahadah tetap bungkam.
=Tiga dini hari tadi=
Syahadah terjaga mendengar sepeda motor yang tiba-tiba
berhenti tepat didepan rumahnya. Ia langsung awas. Khawatir kalau-kalau sesuatu
yang tak diinginkan terjadi. Jadilah ia keluar kamar dengan mengendap-endap.
Menyibak tirai sedikit, dan ia telat. Dua orang diatas sepeda motor itu melaju
secepat kilat.
Syukurlah, Syahadah membatin. Ada sedikit kebingungan yang
mengganggu sebenarnya. Kok tiba-tiba dua orang tadi singgah disini, lalu langsung
pergi. Wanita itu menguap sambil berbalik badan. Satu setengah jam yang akan
datang baru subuh bertandang. Syahadah bermaksud kembali ke kamar, namun
langkah kakinya tercekat. Ketika indera pendengarannya menangkap suara
tangisan. Ya, suara itu dari teras depan rumahnya sendiri. Hantukah? Syahadah
bergidik. Kakinya melangkah lagi.
“Huaaa……”
Suara itu lagi. Syahadah penasaran. Cepat-cepat ia masuk
kamar. Membangunkan suaminya, Sultan. “Bang, bang, bangun bang. Ada suara bayi
di luar.”
Senyap.
Sultan mengerjap-ngerjapkan matanya. “Tidak ada. Ada mimpi
kali?”
“Benar bang. Ada tidak mimpi. Suaranya dari teras depan.”
Sultan konsentrasi mendengarkan.
Senyap lagi.
“Tidak ada.”
“Tadi ada.” Syahadah membela diri.
Sultan membalikkan bantal dan badannya. Syahadah terduduk di
pinggir tempat tidur.
“Huaaa…….”
Mendengar tangisan itu lagi, Syahadah berlari keluar kamar.
Diraihnya kunci pintu depan diatas meja. Dengan dua putaran, pintu terkuak.
Sebuah paket kardus teronggok di muka pintu.
“Huaaa……”
“Abaaaaang.”
……….
Syahadah mengangguk pelan. Semua datangnya dari Allah dan
akan kembali kepada Allah. Wahid memang bukanlah anaknya, tapi ia menganggap
titipan sebentar itu lebih dari anaknya sendiri. Apa mungkin perasaan ini
muncul karena lima tahun pernikahannya belum juga mendapat zuriat?
Syahadah menatap lekat-lekat pada tubuh mungil bertutup kain
batik kepunyaannya sendiri.
………..
Desa gempar mulai pukul tiga lewat sedikit. Warga
berduyun-duyun mengerumuni bayi misterius. Atau tepatnya, bayi malang dari dalam
kardus. Komentar-komentar menyayangkan dan mengutuk orang tua bersangkutan,
meluncur deras bersamaan. Bersamaan dengan itu pula, Syahadah tak
henti-hentinya menceritakan sewaktu ia melihat dua orang diatas sepeda motor
tadi.
“Di luar gelap. Saya tidak bisa mengenali mereka berdua.
Tapi kalau dilihat-lihat dari perawakannya, tampaknya bukan orang kita sini.”
Terus berulang-ulang seperti itu. Hingga warga sedikit demi
sedikit kembali ke rumah masing-masing. Pun Syahadah letih bercerita. Tapi kegembiraannya
justru meluap-luap.
“Besok dibawa ke puskemas saja bu Ada, memastikan keadaannya
bayi ini,” saran bidan Desa yang diiyakan Sultan serta Syahadah.
Sampai pagi, bidan desa sengaja tinggal disana, untuk
antisipasi hal-hal yang tidak diinginkan. Maklumlah, pasutri itu belum
pengalaman mengurus bayi. Lagi pula, sepertinya bayi tersebut baru menatap
dunia dalam hitungan beberapa jam.
“Bang,” Syahadah memecah kesunyian.
“Em?” Sultan tiba-tiba mengantuk lagi.
“Ada menamai bayi ini….Wahid. Bagaimana?”
“Emm…bagus juga.”
“Kan ini anak pertama dalam rumah tangga kita, makanya Ada
mau kasih nama itu.”
………..
“Sudah siap, pak Haji.”
Pak haji meminta kepada warga agar bersiap-siap.
“Baiklah, kita segera melaksanakan shalat jenazah. Pak Sultan, silakan.”
“Baiklah, kita segera melaksanakan shalat jenazah. Pak Sultan, silakan.”
Bayi itu bukan siapa-siapa bagi Sultan, melainkan anak
pertamanya. Itu yang dipikirkannya. Makanya ia meminta diri untuk menjadi imam.
………..
Syahadah baru saja dari belakang. Ia berucap lirih,
“innalillahi wainna ilaihi roji’un”.
Ruh Wahid telah pun dijemput malaikat maut.
…………
Sinar mentari mulai panas. Banyak yang mengantar jenazah
Wahid ke pembaringan terakhir. Yang merasa kehilangan adalah Syahadah dan
Sultan. Namun bila dipikir-pikir, itu tak lah seharusnya terjadi. Rupanya,
kasih sayang dan nurani keibu-bapakan, menjadikan mereka lupa. Sosok siapa yang
tengah mereka antar.
Menghampiri perkuburan, warga pengantar jenazah bocah Wahid
menyaksikan tiga wanita ada disana. Berada agak berjauhan, masing-masing
khyusuk dengan ziarahnya.
………..
“Nano, kau kah itu nak? Nano, kau kah itu nak?,” ucap
Parlina ketika menoleh kerumunan warga .
Salmah memutar pandang, “ada yang meninggalkah?”
“Siapa yang meninggal?” pikir Laila.
………..
Di sebuah kamar, disebuah rumah, di sudut kota, seorang
wanita muda mengecap dirinya sendiri sebagai makhluk durjana. Membuang bayinya
dengan kedua belah tangannya sendiri. Demi masa depan, ah persetan! Masa depannya
telah hancur bahkan sejak suatu malam, sembilan bulan yang lalu. Saat
menyaksikan zuriatnya dikubur dari kejauhan, hatinya runtuh berkeping-keping.
Ia memastikan tidak akan memaafkan tindakannya itu.
===BTW, ternyata hari ini tanggal merah ya===
0 Messages:
Posting Komentar