Senin, 31 Maret 2014

ZURIAT

“Nano, mak datang nak.”
ILUSTRASI

“Nano, mak datang nak.”
Wanita itu beranjak dari satu kuburan ke kuburan lain. Rambut panjangnya tak lagi terurus, sementara bajunya kumal bukan main. Kalau kau orang baru di desa itu, mungkin akan terkejut dengan wujudnya. Tetapi warga sudah maklum. Sebulan terakhir, itulah lakonan di perkuburan sejak hari baru terang tanah.
“Nano, mak datang nak.”
=Sebulan silam=
Parlina tiba-tiba mematung. Pandangannya kosong berikut bibirnya mulai bergetar. Turun ke tangan, lalu kakinya. Braakkkk….Telepon seluler yang digenggamnya berserakan dilantai.
“Par, ada apa?!”
Suaminya yang tengah membaca jadi panik. Untung dalam beberapa langkah, ia mendahulu menyangga tubuh Parlina yang seketika lunglai. Parlina pingsan.
“Par, Parlina, bangun sayang…”
Parlina tetap pejam. Suaminya kelabakan mencari bantuan keluar rumah.
Kurang dua puluh empat jam dari kejadian itu, rumah pasangan Surya dan Parlina sesak pentakziah. Tepat menjelang pukul delapan, ambulan tiba di depan rumah. Mengantar putra semata wayang mereka. Satu-satunya zuriat yang mereka miliki kini telah berpulang akibat kecelakaan. Tiada yang tersisa. Umur keduanya pun toh tidak memungkinkan untuk menambah keturunan lagi.
Saat jenazah dikeluarkan dari mobil ambulan, Surya berlutut, terduduk lemas. Ia berharap ini cuma sebuah mimpi. “Bangunkan aku!” pintanya tak pada siapapun. Dua langkah darinya, Parlina tak ubahnya mayat hidup. Ia berbaring di pangkuan kakak kandungnya. Dengan matanya yang terbuka hampir tak berkedip. 
..………….
“Nano, mak datang nak.”
Ratusan kalimat itu terdengar, namun Salmah tak merasa terganggu. Ia mengkhusyukkan diri pada dua gundukan tanah di depannya. Nisan yang satu bertuliskan Ramadhan, dan satu lainnya, Winara. Tangannya telaten mencabuti rerumputan disitu. Walau tak ada lagi yang tersisa, tangannya tetap bekerja. Apa pikirannya juga mulai tidak waras? Buliran bening menyeruak dari dua celah matanya.  Salmah tergugu.
=Dua minggu sebelumnya=
Dua dini hari, Dani gusar menunggu di muka pintu. Ia berjalan mondar mandir dan hatinya resah gelisah.
“Tenang, Dan. Kita sama-sama berdoa.”
Ibu mertuanya mencoba menghibur. Ayah mertuanya pula telah menghabiskan berpuntung-puntung rokok. Masih belum ada tanda-tanda bidan membuka pintu, Dani coba untuk duduk. Kreeek…..padahal itu hanya kucing yang mencakar-cakar tong sampah. Namun lelaki itu menyangka pintu di depannya membuka. Kesunyian kini mendekap. Malam membisu dengan lampu redup lesu. Seolah kehidupan tidak benar-benar ada.
“Kreee….k.”
Dani langsung berdiri. “Bagaimana Salmah bu? Bagaimana anak saya?”
Bidan menyingkap masker yang menutupi mulutnya. Kepalanya menggeleng perlahan. “Ibu tidak apa-apa pak, hanya…..hanya saja bayi dalam kandungannya telah meninggal kira-kira sejak dua jam yang lalu. Maaf. Kami segera mempersiapkan untuk melakukan operasi. Silakan bapak ke bagian administrasi.”
Bidan berlalu. Danni tersungkur ke lantai. Ibu Salmah berurai air mata, dan ayahnya menyeka matanya berulang-ulang.
=Dua tahun sebelumnya=
“Pak Danni dan Bu Salmah, silakan duduk.”
“Terima kasih dok.”
“Jadi begini, pak, bu.” Dokter mengangguk dari dari ke Salmah.
Danni dan Salmah was-was.
“Jantung Ramadhan bocor.”
………..
Sampai sekarang, masih saja Salmah sesekali menyesalkan, seandainya waktu itu ia punya uang, Ramadhan mungkin ada bersama mereka saat ini. Tapi memang tidak masuk akal bagi diri dan suaminya. Lima belas juta, bukanlah jumlah yang sedikit.
…………
“Jadi ini yang dibicarakan orang-orang?”
Baru saja menapaki langkah pertama memasuki areal perkuburan, mata Laila langsung tertuju pada wanita gila di ujung sana. Belum cukup sampai disitu, eh rupanya ada wanita lain juga, pikirnya.  Punya teman meski berjauhan, ketakutannya buyar dalam sekejap. Tanpa menyapa, ia melenggang menuju arah berbeda. Berbelok-belok kiri-kanan melintasi puluhan kuburan, akhirnya ia berhenti juga. Tangannya mengelus batu besar tanpa nama. 
Pikirannya terpental ke setengah tahun lalu……..
“Ayah…ayah…ayah…..”
“Hussshh…husshh….”
Dalam tangisnya, Laila menyadari badan Miki, anaknya makin panas. Tiap lima menit sekali, bocahnya itu mengingau mencari-cari ayahnya terus. Apa yang bisa dilakukannya? Menemui suaminya? Itu jelas-jelas tidak mungkin. Badun, suaminya atau mantan suaminya raib entah kemana. Sejak pertengkaran di siang yang panas itu, Badun tidak muncul-muncul lagi. Pun bila dipikir-pikir, untuk apa ia datang kembali. Talak telahpun terucap. Kini Laila tinggal menjalani nasib. Membesarkan hasil pernikahannya yang baru duduk di bangku PAUD.
“Ayah…ayah…ayah….”
“Hussshh…hussshh…”
Laila menepuk-nepuk bahu Miki berulang-ulang. Menenangkan. Ia teringat lagi……….
“Maaf ni Lai, tapi orang-orang hampir semuanya sudah pada tahu cerita ini.”
“Cerita apa bu?” Laila pura-pura tidak tahu.
“Tapi sekali lagi maaf ya, kata orang suamimu itu selingkuh disana.”
Hari nahas itulah menjelaskan segala-galanya pada Laila. Memang Badun tidak mengaku perilakunya terang-terangan. Tetapi kata talak menjelaskan segala-galanya.
Laila tersentak.
“Ayah…ayah…ayah….”
“Hussshhh…hussshh…”
Panas badan Miki meninggi. Igauannya makin menjadi-jadi. Kadang-kadang meraung –raung dalam waktu lama. Tetangga berdatangan mendengar itu. Kasihan, prihatin, membaur, jadi satu. Beberapa mendesak agar Miki dirumah sakitkan. Awalnya Laila menolak dan menunggu perkembangan hingga esok saja.
“Ini mungkin Malaria, Lai. Lebih baik Miki segera dibawa ke rumah sakit.” Pak RT menasehati.
“Biar saya menyiapkan mobil,” tawar tetangga lainnya. Karman, yang tak lain dan tak bukan adalah teman satu sekolah Laila sewaktu kecil. Entahlah, yang pasti lelaki itu pernah menyimpan relung hati buat Laila suatu waktu dulu. Apakah saat ini rasa itu masih ada? Mengingat dirinya belum menikah-menikah jua.
Sejuknya malam menusuk-nusuk hingga ke tulang. Tadi sore habis hujan lebat, makanya angin terasa jauh lebih dingin.
“Biar Laila dan Miki di depan.” Perintah pak RT.
Benak Karman berteriak kegirangan. “Ini bukan saatnya,”  ia mengingatkan diri. Beberapa menit kemudian Laila yang tengah mendekap Miki, ada disamping Karman. Karman yang berada di belakang setir.
Pak RT, istrinya, dan ibunya Karman, duduk di box pickup. Semuanya mengenakan baju berlapis-lapis, dan berbalut jaket lagi.
“Ayah…..ayah…..ayah….”
“Hussshhh…husshhh….Miki, Miki….”
Kali ini Miki tidak bisa diam. Teriakannya memekakkan. Bocah itu meronta, lalu kejang-kejang. Berulang-ulang hingga membuat Laila dan Karman panik. Rombongan di belakang juga ikut panik. Laju pick up yang terseok-seok lantaran jalan berbatu kong menambah penyakit.
“Stop…stop…stop…” Pak RT memukul-mukul badan kendaraan roda empat itu.
Malam terbelah. Jauh dari perkampungan, yang ada bentangan sawah saja. Mobil pick up berhenti, namun tidak dengan Miki. Miki meronta dan kejang-kejang.  Laila terus memanggil-manggil nama anaknya. Karman, Pak RT, bu RT, ibunya Karman, semuanya beristighfar. Sesekali memanggil-manggil nama Miki. Saat lampu HP disuluhkan ke muka Miki, bocah itu melotot. Berteriak dan berteriak lagi.
“Astaghfirullah….”
“Astaghfirullah….”
Miki kejang lagi untuk yang penghabisan. Sebelum akhirnya, matanya menutup pelan. Nafasnya berhenti seiring detak jantung yang tiada lagi.
“Miki, Miki, Miki…….” Laila mengguncang-guncang anaknya.
“Innalillahi wainna ilaihi roji’un….”
“Innalillahi wainna ilaihi roji’un….”
………….
“Harus secepatnya saja.”
Syahadah bungkam.
“Ikhlaskan saja, Ada. Biarkan Wahid tenang disana. Seharusnya kita bersyukur Allah masih memberikan kepercayaan kepada kita. Meski hanya dalam hitungan jam.”
Syahadah tetap bungkam.
=Tiga dini hari tadi=
Syahadah terjaga mendengar sepeda motor yang tiba-tiba berhenti tepat didepan rumahnya. Ia langsung awas. Khawatir kalau-kalau sesuatu yang tak diinginkan terjadi. Jadilah ia keluar kamar dengan mengendap-endap. Menyibak tirai sedikit, dan ia telat. Dua orang diatas sepeda motor itu melaju secepat kilat.
Syukurlah, Syahadah membatin. Ada sedikit kebingungan yang mengganggu sebenarnya. Kok tiba-tiba dua orang tadi singgah disini, lalu langsung pergi. Wanita itu menguap sambil berbalik badan. Satu setengah jam yang akan datang baru subuh bertandang. Syahadah bermaksud kembali ke kamar, namun langkah kakinya tercekat. Ketika indera pendengarannya menangkap suara tangisan. Ya, suara itu dari teras depan rumahnya sendiri. Hantukah? Syahadah bergidik. Kakinya melangkah lagi.
“Huaaa……”
Suara itu lagi. Syahadah penasaran. Cepat-cepat ia masuk kamar. Membangunkan suaminya, Sultan. “Bang, bang, bangun bang. Ada suara bayi di luar.”
Senyap.
Sultan mengerjap-ngerjapkan matanya. “Tidak ada. Ada mimpi kali?”
“Benar bang. Ada tidak mimpi. Suaranya dari teras depan.”
Sultan konsentrasi mendengarkan.
Senyap lagi.
“Tidak ada.”
“Tadi ada.” Syahadah membela diri.
Sultan membalikkan bantal dan badannya. Syahadah terduduk di pinggir tempat tidur.
“Huaaa…….”
Mendengar tangisan itu lagi, Syahadah berlari keluar kamar. Diraihnya kunci pintu depan diatas meja. Dengan dua putaran, pintu terkuak. Sebuah paket kardus teronggok di muka pintu.
“Huaaa……”
“Abaaaaang.”
……….
Syahadah mengangguk pelan. Semua datangnya dari Allah dan akan kembali kepada Allah. Wahid memang bukanlah anaknya, tapi ia menganggap titipan sebentar itu lebih dari anaknya sendiri. Apa mungkin perasaan ini muncul karena lima tahun pernikahannya belum juga mendapat zuriat?
Syahadah menatap lekat-lekat pada tubuh mungil bertutup kain batik kepunyaannya sendiri.
………..
Desa gempar mulai pukul tiga lewat sedikit. Warga berduyun-duyun mengerumuni bayi misterius. Atau tepatnya, bayi malang dari dalam kardus. Komentar-komentar menyayangkan dan mengutuk orang tua bersangkutan, meluncur deras bersamaan. Bersamaan dengan itu pula, Syahadah tak henti-hentinya menceritakan sewaktu ia melihat dua orang diatas sepeda motor tadi.
“Di luar gelap. Saya tidak bisa mengenali mereka berdua. Tapi kalau dilihat-lihat dari perawakannya, tampaknya bukan orang kita sini.”
Terus berulang-ulang seperti itu. Hingga warga sedikit demi sedikit kembali ke rumah masing-masing. Pun Syahadah letih bercerita. Tapi kegembiraannya justru meluap-luap.
“Besok dibawa ke puskemas saja bu Ada, memastikan keadaannya bayi ini,” saran bidan Desa yang diiyakan Sultan serta Syahadah.
Sampai pagi, bidan desa sengaja tinggal disana, untuk antisipasi hal-hal yang tidak diinginkan. Maklumlah, pasutri itu belum pengalaman mengurus bayi. Lagi pula, sepertinya bayi tersebut baru menatap dunia dalam hitungan beberapa jam.
“Bang,” Syahadah memecah kesunyian.
“Em?” Sultan tiba-tiba mengantuk lagi.
“Ada menamai bayi ini….Wahid. Bagaimana?”
“Emm…bagus juga.”
“Kan ini anak pertama dalam rumah tangga kita, makanya Ada mau kasih nama itu.”
………..
“Sudah siap, pak Haji.”
Pak haji meminta kepada warga agar bersiap-siap.
“Baiklah, kita segera melaksanakan shalat jenazah. Pak Sultan, silakan.”
Bayi itu bukan siapa-siapa bagi Sultan, melainkan anak pertamanya. Itu yang dipikirkannya. Makanya ia meminta diri untuk menjadi imam.
………..
Syahadah baru saja dari belakang. Ia berucap lirih, “innalillahi wainna ilaihi roji’un”.
Ruh Wahid telah pun dijemput malaikat maut.
…………
Sinar mentari mulai panas. Banyak yang mengantar jenazah Wahid ke pembaringan terakhir. Yang merasa kehilangan adalah Syahadah dan Sultan. Namun bila dipikir-pikir, itu tak lah seharusnya terjadi. Rupanya, kasih sayang dan nurani keibu-bapakan, menjadikan mereka lupa. Sosok siapa yang tengah mereka antar.
Menghampiri perkuburan, warga pengantar jenazah bocah Wahid menyaksikan tiga wanita ada disana. Berada agak berjauhan, masing-masing khyusuk dengan ziarahnya.
………..
“Nano, kau kah itu nak? Nano, kau kah itu nak?,” ucap Parlina ketika menoleh kerumunan warga .
Salmah memutar pandang, “ada yang meninggalkah?”
“Siapa yang meninggal?” pikir Laila.
………..
Di sebuah kamar, disebuah rumah, di sudut kota, seorang wanita muda mengecap dirinya sendiri sebagai makhluk durjana. Membuang bayinya dengan kedua belah tangannya sendiri. Demi masa depan, ah persetan! Masa depannya telah hancur bahkan sejak suatu malam, sembilan bulan yang lalu. Saat menyaksikan zuriatnya dikubur dari kejauhan, hatinya runtuh berkeping-keping. Ia memastikan tidak akan memaafkan tindakannya itu.



===BTW, ternyata hari ini tanggal merah ya===

0 Messages:

Posting Komentar

 
;